“Gimana enggak banyak pikiran pas menstruasi. Kamu enggak
tahu kan rasanya, tiap beberapa jam mesti bolak-balik kamar mandi. Udah gitu,
kamu enggak bisa buang pembalut gitu aja. Kamu mesti peras darahnya keluar dari
pembalut, sebersih mungkin.” Jeda sejenak. Sepasang mata itu melekatinya dengan
saksama. “Puyeng, ya?”
Demi apapun yang mengulas senyum di wajah perempuan itu.
“Enggak,” ucap lelaki yang menjadi lawan bicaranya. Kendati napasnya tertahan,
matanya separuh terpicing, dan ia merasakan gejolak di dalam lehernya.
“Syukurin aja. Dengan berdarah gitu tiap bulan kamu bisa hamil. Itu udah hukum
alam.”
“Melahirkan juga berdarah-darah.”
“Iya.” Ia menyeruput minumannya yang berupa sari jeruk nipis,
sedikit demi sedikit, karena kerongkongannya serasa hendak mengeluarkannya
lagi. Sama-sama cairan, pikirnya. Tapi ini kecut menyegarkan. Lihat warnanya
yang bening. Sama sekali jauh dari kental apalagi amis. Kalau memercik ke
tangan pun tidak akan lengket. Walau toh, sama-sama
cairan.
“Tahu enggak kenapa mesti dibersihin?”
“Kenapa?” Pandangannya meliuk di sela-sela meja-meja yang
padat terisi pengunjung, berlabuh di kolam batu berpenghunikan ikan-ikan koi.
“Karena kamu enggak mau tengah malam ada yang ngais-ngais
tempat sampah karena nyium bau amis, terus nyeret bekas pembalut kamu keluar,
dan paginya kamu nemu darah di mana-mana.”
“Sebentar ya.” Lelaki itu beranjak. Sampai di area toilet, di
atas wastafel, di balik sekat rotan, kerongkongannya serasa ditarik keluar,
tapi ia hanya bisa meludah-ludah.
Terasa getaran dari dalam sakunya. Setelah mengalirkan air
dari keran untuk membersihkan wastafel dan mengelap bibirnya dengan sapu
tangan, barulah ia menjawab panggilan tersebut. Terdengar suara serak dari
seberang, “Sudah waktunya.”
Begitu kembali ke meja, ia sampaikan pada perempuan itu.
“Harus pergi sekarang.”
Mata perempuan itu mengerjap. “Oh! Sudah waktunya?”
“Sudah waktunya.”
Perempuan itu menandaskan minumannya, lalu mereka keluar dari
restoran beriringan.
Lelaki itu yang mengemudikan mobil. Sepanjang jalan menuju
rumah perempuan itu, ia berusaha untuk tetap fokus. Kadang tanpa ia sadari
tangannya tengah menggenggam kemudi erat-erat. Ia kendurkan sedikit
pegangannya, lalu kembali menatap jalanan dengan tajam. Kadang bau amis
menyergap penciumannya, padahal baru beberapa hari lalu ia mengganti pewangi di
dalam mobilnya dengan yang baru. Selama menyetir ke restoran petang tadi pun
aroma kendaraannya masih sesegar hutan cemara.
Berhentilah mobilnya di depan rumah perempuan itu. “Makasih
ya udah nganterin. Salam buat Ana. Mudah-mudahan lancar, ya. Aku tunggu
kabarnya lo!”
Selepas kepergian sepupunya, dan mobilnya terasa lengang,
sesak perlahan melemahkan cengkeraman di sekujur bagian atas tubuhnya. Ia
menghirup napas dalam-dalam beberapa kali. Masih ada sedikit amis tapi hutan
cemaranya telah tumbuh kembali—mudah-mudahan lestari.
Ketika mobilnya terantuk di lampu merah, ia memenungkan
reaksinya beberapa lama lalu dan teringat teman sebangkunya semasa SD. Pada
pelajaran IPA, cairan merah mengalir dari lubang hidung anak itu. Ia
memandangnya sembari terpukau seakan baru pertama kali melihat peristiwa
mimisan—ya, sebenarnya memang baru pertama kali. Ketika guru mendekat dan
menangani temannya itu dengan tisu, ia masih mengamatinya dengan terlongong-longong.
Dasar teman sejati. Ia ikut-ikutan mengeluarkan cairan juga dari dalam anggota
tubuhnya. Hanya yang satu ini keruh dan bacin dan asalnya dari mulut. Keduanya
pun melanjutkan pelajaran di UKS sampai bel pulang berdering. Sampai sekarang
mereka masih kontak setidaknya setengah tahun sekali.
Bagaimana mungkin seorang manusia takut dengan darah? Itu
tidak masuk akal. Ia telah belajar dari sejarah bahwa banyak peradaban yang
dibangun dan dihancurkan dengan pertumpahan darah. Bahkan ketika peradaban terkini
berusaha menggencat peperangan, pertumpahan darah tetap tidak terhindarkan. Ada
banyak hewan yang dibedah tiap harinya di laboratorium demi kepentingan ilmu
pengetahuan. Ia pun mengalaminya semasa sekolah. Teman-teman sekelompoknya yang
memegang pisau sementara ia di pojok ruangan dengan buku tulis dan pulpen siap
menadah data untuk diolah menjadi laporan.
Ponselnya bergetar lagi. Mertuanya mengirim pesan bahwa Ana
telah dipindahkan ke ruangan lain. Sampai di rumah sakit, ia segera mencari
ruangan tersebut dan menemukan istrinya tengah disiapkan untuk menjalani
persalinan. Rumah sakit tersebut masih mengizinkan pasien ditemani seorang
kerabatnya selama persalinan. Keluarga istrinya yang memilih rumah sakit itu.
Dan lelaki itu yang dipilih untuk memasuki ruang persalinan.
Wajah perempuan itu sesekali mengernyit akibat ngilu yang
menusuk-nusuk berbagai penjuru di bagian dalam tubuhnya. Kegugupan tergurat
jelas. Ini pengalaman pertama. Namun segala derita itu tertahankan begitu
dilihatnya sosok sang suami. Diraihnya lengan yang ramping namun kokoh itu.
Suaminya mengusap-usap rambutnya. “Tahan ya. Sebentar lagi.”
Perempuan yang wajahnya memerah itu mengangguk dalam senyum.
Sesaat terlupa akan kesakitan teramat sangat yang ditanggungnya sejak
berjam-jam terakhir ini. Masih sempat ia bertanya apakah suaminya sudah makan.
“Udah,” jawab lelaki itu. Teringat ia menu salad yang dipesannya saat di
restoran tadi. Ia tidak punya banyak pilihan soal makanan. Dalam benaknya
sesaat muncul bayangan. Sepulang sekolah, dua puluhan tahun lalu, ia mendapati
adiknya, ibunya, dan pembantunya tengah berkerumun di depan gudang. Kucing
preman penguasa RT 01 ternyata sudah menemukan tempat persembunyian induk
kucing dan bayi-bayinya. Ia melongok dan mendapati tubuh anak kucing yang sudah
tidak utuh. Di bagian yang mestinya ditempati kepala, tersembul permukaan merah
dan tidak rata yang meneteskan cairan kental sedikit demi sedikit, membentuk
lingkaran-lingkaran yang memendar menjadi genangan pekat. Sejak itu entah
mengapa hanya olahan dari tumbuh-tumbuhan yang bisa masuk ke dalam
mulutnya—walau sesekali telur dan susu boleh juga.
Istrinya menyeringai akibat kontraksi yang mendadak terasa
lagi. Kali ini lebih kuat ketimbang yang sebelum-sebelumnya, sangat kuat.
Semakin kencang cengkeramannya pada lengan suaminya. Lelaki itu merengkuh
kepala istrinya hingga telinga perempuan itu dapat menangkap dengan jelas
dentaman yang bertalu-talu dari dalam dadanya.
Mata istrinya terpejam rapat-rapat selama persalinan. Tidak
melihat namun merasakan rambut suaminya menempel di sisi wajahnya. Napasnya
yang berat dan panas. Keringatnya yang basah dan lembap. Tanda-tanda keberadaan
lelaki itu di sisinya, walau samar saja terasakan di sela-sela nyeri yang
begitu dahsyat mendera, memberinya kekuatan untuk terus mengejan. Dorong!
Dorong! Dorong!
Tangisan kencang memecah ketegangan. Mulut perempuan itu
terbuka, masih mengembuskan napas yang tersengal-sengal, namun matanya
tersenyum kala melihat bayinya diangkat oleh dokter.
Setelah tali pusarnya dibereskan dan tubuhnya diselimuti,
penghuni baru dunia itu diserahkan pada ibunya. Bercak-bercak darah dan lendir
masih menempel di kulit lembutnya, namun ibunya menerimanya dengan sukacita.
Perempuan itu menoleh pada suaminya, namun lelaki itu telah raib… ke bawah ranjang.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar