Di rumah
ada seekor kucing betina. Dia lahir dari seekor kucing betina liar yang kawin
dengan salah seekor kucing jantan yang dipelihara di rumah kami sejak lahirnya.
Agak rumit ya. Tapi terlalu panjang kalau saya ceritakan mulai dari awal sekali
adanya dinasti kucing di rumah. Kembali ke kucing betina. Dia tidak diberi
nama. Padahal kami memanggil saudara kandungnya—kucing hitam-putih jantan yang amatlah
manja dan rumahan serta doyan kencing di mana-mana—Federer. Maka kami menyebut
kucing betina itu dengan “Kucing yang Perempuan”, “Kucing yang Cewek”, “Kucing
yang Betina”, dan baru-baru ini “Induk Kucing”. Kucing berambut loreng ini sudah
tiga kali melahirkan dan tidak ada satupun anak-anaknya yang berhasil bertahan
hidup hingga besar.
Dini hari
ini kami lagi-lagi kehilangan anaknya. Yang terakhir. Pergi menyusul dua
saudaranya yang telah tamat riwayatnya belum lama berselang. Setelah
berhari-hari bertahan tanpa makan dan minum. Selama berhari-hari itu anak itu
hanya mengeong-ngeong dan berjalan tertatih-tatih dengan tubuh kian lemah kian
kurus mencari kehangatan. Ketika eongannya yang nyaring dan memelas itu
terdengar, itu seolah menjadi alarm bagi kami untuk mencari-cari ibunya. Lalu
begitu ibunya ditemukan, kami dekatkan mereka. Lega sesaat ketika si ibu sudah
menjilati anaknya. Tapi sebentar kemudian kami cemas karena anak itu sama
sekali tidak menetek. Entah mengapa. Matanya pernah sesekali terbuka. Salah
satu atau keduanya. Tapi seringnya tertutup karena belek. Begitupun hidungnya
basah karena ingus. Sempat muncul dugaan dia tidak mau menetek karena dia
memakai mulutnya sebagai ganti indra pernapasannya yang tersumbat. Kalau dia
menetek dengan mulutnya itu, bagaimana dia hendak bernapas? Muncul pula dugaan
kalau susu si ibu tidak keluar. Kami hanya memberinya nasi campur ikan. Apa
kurang bergizi? Tapi dari dulu begitu. Dari sejak zaman “Induk Kucing” satu itu
belum lahir, setiap induk kucing sebelumnya yang tinggal di rumah selalu kami
berikan menu itu saja.
Belum lama setelah melahirkan. Kini semua, kecuali yang besar, sudah tiada. |
Kami mulai
berpikir untuk menyuapi anak kucing yang malang itu dengan susu lain atau
Whiskas yang dicairkan. Tapi baru hari ini kami mewujudkan pikiran itu. Ketika
eongan anak kucing itu telah makin lemah. Bahkan untuk berjalan-jalan mencari
kehangatan pun dia sudah tidak kuasa. Mama membeli pipet plastik sebagai ganti
dot di apotek terdekat dan dengan alat itu diberikannya cairan Whiskas, namun
sepertinya tidak berhasil. Menjelang tengah malam adik saya pulang dengan
membawa susu khusus bayi kucing dan dot khusus hewan-hewan kecil yang dibelinya
dari petshop di dekat kampusnya. Kami
memutuskan untuk memberi susu saat itu juga walaupun anak kucing itu tengah
tidur. Adik saya yang menyiapkan susu sedang saya mendapat bagian
menyalurkannya ke mulut.
Anak
kucing itu masih bernapas. Perutnya masih kembang-kempis. Kepalanya tidak
terlihat karena tertutup jaket Mama yang dijadikan alas. Saya singkap penutup
kepalanya. Saya senggol-senggol dia agar bangun. Namun dia tidak bereaksi. Lalu
saya palingkan kepalanya agar terlihat mulutnya. Saya tempelkan dot itu pada
mulutnya. Dia diam saja. Tampak gerakan pada lehernya. Saya kira ada harapan. Tidak
lama kemudian saya sadari kalau air susu itu tidak sepenuhnya masuk ke dalam
mulutnya.
Anak
kucing itu tersedak lalu mengeluarkan suara melengking. Seperti marah karena
dibangunkan—saya kira begitu. Dia bergerak hingga menampakkan tungkai kaki-kakinya dan tulang rusuk di sepanjang perutnya, begitu ceking, mengingatkan saya pada gambaran mengerikan tentang korban Gulag dalam buku Solzenitzyn (maaf kalau salah tulis). Posisinya berganti. Seperti
berjalan menjauh. Tubuhnya meregang dengan lengkingan panjang, lalu berlabuh di
sisi lain keranjang yang beralaskan koran. Adik saya membuatkan susu lagi
karena yang sebelumnya memang hanya dibuat sedikit sebagai percobaan dan
ternyata cepat habisnya, sementara itu saya meraba-raba tubuh anak kucing itu
yang sudah mulai dingin.
Kali
berikutnya saya mencoba untuk memberikan susu secara pengertian. Dengan syal
adik saya sebagai alas, saya angkat kepala kucing itu hingga posisinya agak
seperti duduk. Saya kuak mulutnya pelan-pelan dengan dot lalu menekan-nekan
botol susu agar cairan di dalamnya masuk. Kepalanya masih bergerak-gerak
sedikit seperti tersedak atau menelan. Sampai saya sadari kalau cairan putih
itu entahkah masuk ke dalam mulut atau tidak, namun malah mengalir membasahi
koran. Saya lepaskan kepala anak kucing itu pelan-pelan. Terkulai begitu saja
di atas basahnya koran. Perutnya sudah tidak tampak kembang-kempis lagi. Apakah
dia benar-benar sudah mati?
Di pinggir
ranjang itu duduk pula Induk Kucing yang sedari tadi mengamati kami melakukan
upaya-penyelamatan-coba-coba pada anaknya. Kami pun sadar bahwa ketika anak
kucing itu sempat bergerak-gerak dan bersuara seperti marah, pada saat itulah
nyawanya mungkin sedang dicabut. Atau mungkin dia mati karena keselak susu yang
kami (saya) coba berikan? Kami terdiam beberapa lama di tempat, merenungi nasib
anak kucing sakit-sakitan yang berhasil mempertahankan umurnya hingga sekitar
sebulan itu.
“Coba
lihat besok pagi. Siapa tahu hidup lagi,” putus saya. Lalu kami mematikan lampu
ruangan di mana anak kucing itu ditempatkan. Adik saya ingin membuang kucing
betina itu karena setiap anaknya yang mati berarti kesedihan baginya.
Sebetulnya kami sedari dulu sudah ingin membuangnya bersama saudaranya yang
jantan dan doyan kencing di mana-mana tapi terlalu malas untuk mewujudkannya. Perkataan
adik sedikit menenangkan saya (atau mungkin untuk menenangkan dirinya sendiri),
bahwa ada baiknya juga anak kucing itu mati lebih cepat, sehingga dia tidak
harus menahankan derita lebih lama.
Saya
melanjutkan menonton TV. Adik saya di kamar. Induk Kucing tampak
berjalan-jalan. Memasuki ruang tamu entah untuk apa. Namun tidak lama. Dia
keluar lagi lalu memasuki ruangan di mana anaknya mendekam. Dia mengeong-eong.
Saya panggil adik saya siapa tahu dia mendengarkan juga. Eongannya yang cukup
panjang itu mungkin berarti dia tengah berkabung atau bertanya-tanya apa yang
telah terjadi pada anaknya. Sempat pula saya berpikir jangan-jangan setelah
mendapati anaknya tidak lagi bernyawa, kucing itu malah memakannya saking lapar
karena sedari tadi dia mendekati saya—yang saya artikan sebagai “pasti minta
makan deh”—tapi saya abaikan. Kucing betina itu akhirnya keluar dan mendekati
saya, mengikuti saya ke mana-mana. Karena pikir saya anaknya baru saja
meninggal saya pun membuatkan makanan untuknya.
Sampai
sesudahnya saya belum berani memasuki ruangan itu lagi untuk mengecek keadaan
anak kucing. Kalau benar dugaan kami bahwa ketika dia sempat bersuara seperti
marah tadi ialah karena tengah sekarat, berarti untuk pertama kalinya saya
menyaksikan proses kematian. Malaikat Izrail berada begitu dekat dengan kami,
bahkan mungkin tepat di samping saya, menembus saya, saat tangannya menarik
nyawa itu keluar dari seonggok tubuh ringkih. Jika benar begitu, mengapa harus
terjadi saat itu juga, tepat ketika saya mencoba menyambung hidup anak kucing
itu dengan memberinya susu? Kenapa tidak dari sebelumnya, atau lama setelahnya?
Seolah malaikat menanti-nanti kesempatan itu untuk menunjukkan kepada saya, Begini lo reaksi makhluk sewaktu nyawanya
dicabut… Apa kucing ini kelihatan
menikmatinya?
Karena
saya memikirkannya seperti itu, rasanya jadi berbeda dengan kalau saya
mematikan nyamuk di lengan saya, menepuknya sampai darahnya muncrat. Itu pun suatu
proses kematian walau berlangsungnya cepat sekali dan melalui perantaraan
tangan saya sendiri. Malaikat pun ada di dekat saya melaksanakan tugasnya tanpa
kasat mata mengambil nyawa serangga kecil itu.[]
kak tinggal dimana? kucingnya sama persis kucing yg sering muncul di rumah..
BalasHapusSaya tinggal di Gumuruh, Bandung. Masih hidupkah kucingnya?
HapusTerima kasih, ya, sudah meninggalkan jejak. Maaf baru balas.
Aku nangis bacanya didalam perjalanan kerja kekantor , karna pagi sebelum sy brangkat , anak kucing sy sama seperti itu , saya sempat berfikir aduh anak kucingnya pasti tersedak tapi saya liat jam udah siang sy harus brangkat kekantor , anak kucing itu terus tersedak saya taruh dialas dan dibawahnya botol air hangat biar dia hangat diatas handuk , semoga anak kucingku selamat sampai saya pulang kantor
BalasHapusBagaimana anak kucingnya sekarang? Semoga sehat selalu, ya.
HapusTerima kasih sudah menanggapi tulisan ini. Maaf baru balas.
Ceritanya sungguh menyentuh sekali...
BalasHapusTerima kasih sudah membacanya dan meninggalkan jejak ^^
HapusMaaf baru balas.
Ceritanya persis sekali dengan pengalaman saya hari Sabtu lalu. Bayi kucing saya terkenal flu. Dan tidak mau menyusu induknya. Saat hampir maghrib, tubuhnya sudah dingin dan nafasnya sangat lemah. Saya berinisiatif untuk memberinya susu dengan pipet (khawatir dia dehidrasi). Dan persis, setelah menelan susu tsb dia mengeluarkan suara melengking. Saya pikir dia sudah agak mendingan. Saya kembalikan dia ke induknya. Tapi tetap tidak mau menyusu. Dan akhirnya dia pergi.. Sedihnya masih sampai sekarang. Nyesek banget.. Saya terus mohon ampun sama Tuhan, takutnya justru tindakan saya memberinya susu malah menjadikkan kondisinya semakin buruk dan akhirnya dia pergi... T.T
BalasHapusKata dokter hewan yang saya temui kemarin, memang anak kucing semestinya jangan diberi susu ^^;
HapusMudah-mudahan dipertemukan dengan bayi kucing yang lebih lucu dan sehat selalu sampai besar.
Terima kasih sudah menanggapi tulisan ini dan mohon maaf karena baru membalas.
Ceritanya sama kayak saya tadi pagi. Kucing saya sakit tidak mau makan sama minum. Saya berinisiatif untuk memberinya makan yang saya beli dari petshop. Sejenis bubur untuk kucing. Sata beri sedikit demi sedit tiba2 kucing saya mengeluarkan suara melengking lalu muntah dan akhirnya nafasnya berhenti. Saya sangat sangat menyesal.Nyesek campur aduk semuanya.
BalasHapusIya, rasanya pasti pedih sekali.
HapusTerima kasih sudah menanggapi tulisan ini. Maaf baru membalas ....
Sama terxata g cuma q saja
BalasHapusAnak kucing mati di mana2 dan itu menyedihkan ... :'0
HapusTerima kasih sudah meninggalkan jejak. Maaf, ya, baru balas.
Kak sama anak kucing aku baru berumur seminggu lebih dia ditinggal induknya di tempat kerja ibu saya akhirnya membawanya pulang dan kami kasih susu lewat suntikan yg saya beri pentil epeda diujungnya agar dia bisa menyedot tp tiba2 kemarin tubuhnya lemas biasanya dia ngeong2 tiap 2-3 jam tp saat itu dia diam saja seperti lemas awalnya saya kira dia masih mengantuk dan saya tinggal kemudian saya lihat lagi dia masih lemas lalu saya mulai berpikir ada yg TDK beres saya buru2 beri dia susu tp dia TDK bereaksi seperti sebelumnya saat dia saya beri susu dia lemas TDK ngeong2 mungkin hari ini saya tinggal menantikan kpn nyawanya akan dicabut Krn saya sudah TDK tega melihat nya kembang kempis lemas seperti itu
BalasHapuskasihan :'(( sekarang gimana kucingnya? berhasil bertahan hidupkah?
Hapus(maaf, ya, baru sempat membalas komentarnya. terima kasih sudah meninggalkan jejak :)