Jumat, 20 Juni 2014

Bohong

Akhirnya hujan mereda. Lelaki itu lekas-lekas melintasi pelataran stasiun. Di luar gerbang, ia menaiki angkot yang warnanya sehijau daging alpukat. Ia duduk di hadapan pintu. Tas selempangnya yang gemuk ia letakkan di depannya.

Petang masing terang walau agak muram. Hujan kembali rintik namun tidak sederas sebelumnya. Arus lalu lintas dan manusia di area Pasar Baru seolah tak terganggu; kembali ramai sehabis diguyur hujan besar. Sesekali lelaki itu menoleh ke sana kemari, terus mengawasi pemandangan yang telah lewat.

Ademnya hawa kembali ia nikmati setelah berbulan-bulan meninggalkan kota ini. Hatinya menjadi sejuk sekaligus berat kala teringat anak dan istrinya. Sudahkah istrinya memberitahu anak mereka kalau ia akan pulang hari ini? Percakapan terakhir mereka di telepon tidak berlangsung dengan baik.

Happy anniversary,” ucap lelaki itu waktu itu. Sama gugupnya dengan pemuda pemalu yang ingin mengungkapkan “aku suka kamu” pada gadis pujaannya. Terlontar dalam satu tarikan napas setelah bermenit-menit ketegangan dan pergumulan di dalam batin.

Anniversary apa ya?” sahut istrinya setelah diam agak lama.

“Ayolah. Udah sewindu,” dan akibatnya ia sibuk mencari benda apapun yang terbuat dari perunggu, atau berwarna merah tua seperti perunggu di pasar setempat. Itulah hadiah yang tepat untuk diberikan berdasarkan lama usia pernikahan mereka—menurut Webster’s New World Quick Reference Dictionary yang entah bagaimana terbawa di dalam kopernya selama perjalanan dinas.

Tapi satu-satunya yang berwarna perunggu adalah kulitnya, akibat terpapar oleh sinar matahari selama berbulan-bulan meliput gugusan pulau terluar Indonesia. Ekspedisi itu sebetulnya sudah berakhir minggu lalu.

“Sebentar. Aku lihat kalender dulu…. Oh. Bukannya udah minggu lalu, ya.”

Tapi ajakan rekan-rekannya untuk memperpanjang perjalanan ke tempat-tempat lainnya sungguh sukar untuk ditolak. Kapan lagi ia punya kesempatan lebih untuk melampiaskan minat fotografinya dengan tangkapan berupa objek-objek eksotis? Memang akibatnya ia harus merelakan berkurangnya jatah cuti, dan bonus, dan…

“Kau tahulah, susah cari sinyal di sana.”

Ia baru teringat akan tanggal sakral itu lima menit yang lalu, dan langsung menelepon.

“Kita emang enggak pernah ngerayain, kan.” Tidak pernah sempat, dengan waktu kerja yang dua puluh empat jam sehari dan tujuh hari seminggu—entah mengapa tanggal itu tidak pernah bertepatan dengan waktu cuti. Nada istrinya selagi mengungkapkan itu seakan menyayangkan pulsa yang lelaki itu habiskan untuk perkataan yang tak perlu.

“Aku sampai di rumah besok,” kata lelaki itu setelah membisu beberapa lama.

“Oke.”

Suasana berangsur-angsur mencair begitu pembicaraan beralih pada anak mereka. Anak perempuan yang aktif dan lucu, yang begitu montok saat diasuh sang nenek, dulu, dan setelah wanita itu meninggal, tubuhnya perlahan menjadi kurus sementara kulitnya selegam sang papa. Anak itu senang berteman dengan orang-orang baru dan bermain sampai ke mana-mana, lapor sang mama, sampai jauh sekali.

Lampu merah menghentikan angkot di perempatan Jalan Malabar dan Jalan Gatot Subroto. Gerimis masih menggelitik bumi. Lelaki itu sedang termenung-menung kala sepasang bocah mendekati pintu angkot yang dinaikinya itu.

“Permisi…. Mau numpang nyanyi….” Salah seorang di antara mereka menyapa dengan kenesnya, lalu duduk di pijakan pintu sambil bernyanyi diiringi tepukan tangannya sendiri. Wajahnya menyiratkan kepercayaan diri dan semangat yang tinggi. Yang satu lagi bersandar di ambang pintu dan ikut bernyanyi sambil menabuh kecrekan, agak malu-malu.

Gemuruh merambati punggung lelaki itu sementara matanya terpancang kuat-kuat pada salah satu gadis kecil itu—yang tengah larut dalam penampilannya sendiri walau hanya di muka pintu angkot. Anak itu lalu mengedarkan kantong sejauh yang lengannya sanggup julurkan dari ambang pintu. Sewaktu tiba giliran lelaki berkacamata yang duduk di belakang sopir, anak itu terperanjat.

“Bibe!” seru lelaki itu bersamaan dengan menyalanya lampu hijau. Yang dipanggil buru-buru meloncat dari pintu, disusul oleh temannya. Beberapa mobil berhenti mendadak seraya berdecit panjang, ada yang mengklakson, kala sepasang bocah itu berlarian. Mereka menjauh dalam rinai. Sesekali salah satunya menengok ke belakang dengan ngeri. Hampir saja lelaki itu ikut meloncat ke luar dan mengejarnya, namun angkot keburu melaju.

Lelaki itu terduduk kembali dengan geram, sembari menghindari tatapan para penumpang lain. Apa-apaan yang tadi itu, pikirnya. Setelah dua kali belokan, ia menyadari kalau selama itu ia menaiki angkot yang salah. Angkot yang benar, sebetulnya, apabila yang ditujunya adalah rumah ibunya. Tapi ibunya meninggal lima tahun yang lalu, sementara rumah itu telah beralih kepemilikan kini. Di Jalan Terusan Martanegara ia turun lalu menyetop angkot 01—yang untungnya menuju ke sisi kota tempatnya tinggal meskipun perjalanan akan memakan waktu yang lama lagi. Dalam batin ia betanya-tanya apa kepikunan sudah menderanya kendati usianya belum mencapai kepala empat. Setidaknya itu akan mengurangi rasa bersalahnya karena tidak pernah mengingat tanggal pernikahannya sendiri.

Ia turun dari angkot 01 di depan Taman Makam Pahlawan, lalu menyeret langkah memasuki gang berliku di samping area tersebut. Pandangannya sesekali mengikuti anak-anak yang berlarian. Anak-anak yang berlarian acapkali mengingatkannya pada putrinya, berharap bocah itu terselip di antara mereka, meskipun pemandangan itu tengah dilihatnya di tempat yang ribuan kilometer jauhnya dari rumah. Kali ini ia merasa agak dongkol. Padahal ia sudah mencukur berewoknya kemarin, tapi bisa-bisanya anak itu tidak langsung mengenalinya tadi. Atau jangan-jangan anak yang mengamen tadi itu bukan putrinya? Tapi ia merasa yakin sekali mengenali putrinya. Toh wajahnya yang tercetak di wajah anak itu, adapun kelakuan diwarisi dari sang mama. Ia mengingat-ingat lagi penampakan anak itu. Rambutnya yang lurus terkuncir di belakang kepala. Betisnya yang cokelat dan kenyal. Sorot matanya yang berbinar nakal. Bajunya yang terusan putih itu sangat sering dikenakannya.

Tahu-tahu rumah mungil itu sudah tampak di hadapannya.

Ia membuka pintu sambil mengucap salam. Istrinya sedang membaca buku di depan TV yang disetel dalam volume pelan.

Ia merasa letih sehabis bertugas dalam waktu lama di tempat-tempat jauh, anak mereka berkeliaran di jalanan, sementara perempuan itu bersantai-santai di rumah dengan nyamannya.

“Sampai juga. Minum?” sambut istrinya.

“Ya, makasih.” Lelaki itu menyingkirkan tumpukan cucian kering di sofa, lalu mengempaskan tubuh di samping istrinya. Namun perempuan itu malahan beranjak ke dapur untuk menyeduh minuman yang disangkanya kopi. Ternyata teh. “Kopinya habis?”

“Enggak.”

Bagaimanapun ia tetap menyesap minuman itu. Benaknya membayangkan sebuah percakapan.

“Kau tahu, anakmu ngamen di Malabar? Tadi nyaris keserempet mobil!”

“Naik angkot apa sih kamu, dari stasiun kok sampai ke Malabar segala? Terus kenapa enggak kamu suruh dia pulang sekalian?!”

Pintu terbuka. Sekilas lelaki itu beradu pandang dengan anaknya. Seluruh rambut dan pakaian anak itu lengket dengan badan akibat dibasahi hujan. Sorot matanya sama resah dengan yang tampak sewaktu di jalanan tadi, namun segera ditutupi oleh kegirangan yang dibuat-buat.

“Papa! Papa udah pulang!” Anak itu merenggut tangan kanannya, dan menciumnya.

“Iya.” Lelaki itu terheran-heran karena seketika lenyap kemangkelan yang sempat dirasakannya begitu tangan mereka bersentuhan.

“Habis hujan-hujanan lagi?” sambut istrinya.

“Kata Mama enggak apa-apa hujan-hujanan, biar enggak gampang sakit….” Bibe merengut.

“Ya udah. Cepat mandi, sana, ganti baju.”

Anak itu segera menuruti perkataan mamanya. Terdengar pintu kamar mandi ditutup dengan terlalu bersemangat, lalu gebyar-gebyur yang hendak menandingi deru hujan. Lelaki itu beranjak ke dapur yang terletak di samping kamar mandi, tertutup oleh dinding ruang tengah. Diseduhnya kopi sembari menanti. Ketika anaknya keluar dengan handuk besar menyelubungi ujung kepala sampai lutut, lelaki itu menegur. “Tadi ngapain di Malabar?”

Anak itu tersentak. Bibirnya terkatup rapat-rapat.

Lelaki itu tidak bermaksud memarahi anaknya. Lagipula mereka sudah lama tidak berjumpa. Pelan ditepuknya puncak kepala anak itu. “Jangan diulangi, ya.”

Bibe menatapnya beberapa lama tanpa kata-kata, sebelum mengangguk kuat-kuat dan berlalu menuju kamarnya. Lelaki itu pun duduk di tempatnya semula dengan cangkir besar berisi kopi yang mengepul. Tak lama anaknya muncul dengan mengenakan pakaian kering, siap menyambut sang papa dengan sikap seolah kejadian tadi tidak pernah ada.

Baru saja anak itu bergabung dengan di sofa, mamanya tahu-tahu bertanya, “Tadi ngamen lagi?”

“Enggak!” Bibe menyalak, yang justru malah membuat tatapan mamanya tertahan lebih lama pada anak itu.

“Tadi ada sopir angkot nelepon Mama. Katanya lihat Bibe lagi ngamen.”

Ujung bibir istrinya tertarik sedikit ke atas, tanda bahwa perempuan itu geli dengan candaannya sendiri, yang tanpa disadarinya justru terasa mengerikan bagi anak mereka.

“Bohong! Bohong!”

Tatapan Bibe mengarah pada papanya. Amarah mulai menyala di manik matanya. Lalu ia memandang mamanya lagi dengan penuh penyangkalan. Perempuan itu balas menatap dengan penuh selidik.

Berharap perhatian anak-beranak itu akan teralihkan, lelaki itu membungkuk untuk menyeret tasnya mendekat,  lalu menarik ritsleting. “Papa bawa oleh-oleh nih….”

“Aku enggak ngamen…” dumel Bibe seraya mengambili barang dari dalam tas.

“Tapi Bibe masih ingat kan, kenapa enggak boleh main di jalan?”

“Ya….”

“Kenapa?”

“Entar celaka….”

“Ingat juga kan, kenapa enggak boleh bohong?”

“Enggak bohong! Enggaaak!”

Tapi kedua orangtuanya terus menatapnya. Mama yang curiga. Papa yang terpana. Anak itu mencampakkan barang-barang yang tadi diambilinya, lalu berlari ke kamarnya. Membenamkan diri di kasur sambil menangis tersedu-sedu.

Lelaki itu mengangkat alis, mengembuskan napas. Tak sengaja ia menoleh pada istrinya, yang kini ganti menyorotnya. Sejenak mereka saling bertatapan.

“Aku memang lupa,” ucap lelaki itu akhirnya.

“Apa?”

Anniversary kita.”

Istrinya memberengut. “Dasar. Anak sama bapak sama aja.” Perempuan itu beranjak ke kamar dan menutup pintu.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain