Akhirnya hujan mereda. Lelaki itu lekas-lekas melintasi pelataran stasiun.
Di luar gerbang, ia menaiki angkot yang warnanya sehijau daging alpukat. Ia
duduk di hadapan pintu. Tas selempangnya yang gemuk ia letakkan di depannya.
Petang masing terang walau agak muram. Hujan kembali rintik namun tidak
sederas sebelumnya. Arus lalu lintas dan manusia di area Pasar Baru seolah tak
terganggu; kembali ramai sehabis diguyur hujan besar. Sesekali lelaki itu
menoleh ke sana kemari, terus mengawasi pemandangan yang telah lewat.
Ademnya hawa kembali ia nikmati setelah berbulan-bulan meninggalkan kota
ini. Hatinya menjadi sejuk sekaligus berat kala teringat anak dan istrinya.
Sudahkah istrinya memberitahu anak mereka kalau ia akan pulang hari ini?
Percakapan terakhir mereka di telepon tidak berlangsung dengan baik.
“Happy anniversary,” ucap lelaki
itu waktu itu. Sama gugupnya dengan pemuda pemalu yang ingin mengungkapkan “aku
suka kamu” pada gadis pujaannya. Terlontar dalam satu tarikan napas setelah bermenit-menit
ketegangan dan pergumulan di dalam batin.
“Anniversary apa ya?” sahut
istrinya setelah diam agak lama.
“Ayolah. Udah sewindu,” dan akibatnya ia sibuk mencari benda apapun yang
terbuat dari perunggu, atau berwarna merah tua seperti perunggu di pasar
setempat. Itulah hadiah yang tepat untuk diberikan berdasarkan lama usia
pernikahan mereka—menurut Webster’s New
World Quick Reference Dictionary yang entah bagaimana terbawa di dalam
kopernya selama perjalanan dinas.
Tapi satu-satunya yang berwarna perunggu adalah kulitnya, akibat terpapar
oleh sinar matahari selama berbulan-bulan meliput gugusan pulau terluar
Indonesia. Ekspedisi itu sebetulnya sudah berakhir minggu lalu.
“Sebentar. Aku lihat kalender dulu…. Oh. Bukannya udah minggu lalu, ya.”
Tapi ajakan rekan-rekannya untuk memperpanjang perjalanan ke tempat-tempat
lainnya sungguh sukar untuk ditolak. Kapan lagi ia punya kesempatan lebih untuk
melampiaskan minat fotografinya dengan tangkapan berupa objek-objek eksotis?
Memang akibatnya ia harus merelakan berkurangnya jatah cuti, dan bonus, dan…
“Kau tahulah, susah cari sinyal di sana.”
Ia baru teringat akan tanggal sakral itu lima menit yang lalu, dan
langsung menelepon.
“Kita emang enggak pernah ngerayain, kan.” Tidak pernah sempat, dengan waktu kerja yang dua
puluh empat jam sehari dan tujuh hari seminggu—entah mengapa tanggal itu tidak
pernah bertepatan dengan waktu cuti. Nada istrinya selagi mengungkapkan itu
seakan menyayangkan pulsa yang lelaki itu habiskan untuk perkataan yang tak
perlu.
“Aku sampai di rumah besok,” kata lelaki itu setelah membisu beberapa
lama.
“Oke.”
Suasana berangsur-angsur mencair begitu pembicaraan beralih pada anak
mereka. Anak perempuan yang aktif dan lucu, yang begitu montok saat diasuh sang
nenek, dulu, dan setelah wanita itu meninggal, tubuhnya perlahan menjadi kurus
sementara kulitnya selegam sang papa. Anak itu senang berteman dengan
orang-orang baru dan bermain sampai ke mana-mana, lapor sang mama, sampai jauh
sekali.
Lampu merah menghentikan angkot di perempatan Jalan Malabar dan Jalan
Gatot Subroto. Gerimis masih menggelitik bumi. Lelaki itu sedang
termenung-menung kala sepasang bocah mendekati pintu angkot yang dinaikinya
itu.
“Permisi…. Mau numpang nyanyi….” Salah seorang di antara mereka menyapa
dengan kenesnya, lalu duduk di pijakan pintu sambil bernyanyi diiringi tepukan
tangannya sendiri. Wajahnya menyiratkan kepercayaan diri dan semangat yang
tinggi. Yang satu lagi bersandar di ambang pintu dan ikut bernyanyi sambil
menabuh kecrekan, agak malu-malu.
Gemuruh merambati punggung lelaki itu sementara matanya terpancang
kuat-kuat pada salah satu gadis kecil itu—yang tengah larut dalam penampilannya
sendiri walau hanya di muka pintu angkot. Anak itu lalu mengedarkan kantong
sejauh yang lengannya sanggup julurkan dari ambang pintu. Sewaktu tiba giliran
lelaki berkacamata yang duduk di belakang sopir, anak itu terperanjat.
“Bibe!” seru lelaki itu bersamaan dengan menyalanya lampu hijau. Yang
dipanggil buru-buru meloncat dari pintu, disusul oleh temannya. Beberapa mobil
berhenti mendadak seraya berdecit panjang, ada yang mengklakson, kala sepasang
bocah itu berlarian. Mereka menjauh dalam rinai. Sesekali salah satunya menengok
ke belakang dengan ngeri. Hampir saja lelaki itu ikut meloncat ke luar dan
mengejarnya, namun angkot keburu melaju.
Lelaki itu terduduk kembali dengan geram, sembari menghindari tatapan para
penumpang lain. Apa-apaan yang tadi itu,
pikirnya. Setelah dua kali belokan, ia menyadari kalau selama itu ia menaiki
angkot yang salah. Angkot yang benar, sebetulnya, apabila yang ditujunya adalah
rumah ibunya. Tapi ibunya meninggal lima tahun yang lalu, sementara rumah itu
telah beralih kepemilikan kini. Di Jalan Terusan Martanegara ia turun lalu
menyetop angkot 01—yang untungnya menuju ke sisi kota tempatnya tinggal
meskipun perjalanan akan memakan waktu yang lama lagi. Dalam batin ia
betanya-tanya apa kepikunan sudah menderanya kendati usianya belum mencapai kepala
empat. Setidaknya itu akan mengurangi rasa bersalahnya karena tidak pernah
mengingat tanggal pernikahannya sendiri.
Ia turun dari angkot 01 di depan Taman Makam Pahlawan, lalu menyeret
langkah memasuki gang berliku di samping area tersebut. Pandangannya sesekali
mengikuti anak-anak yang berlarian. Anak-anak yang berlarian acapkali
mengingatkannya pada putrinya, berharap bocah itu terselip di antara mereka,
meskipun pemandangan itu tengah dilihatnya di tempat yang ribuan kilometer
jauhnya dari rumah. Kali ini ia merasa agak dongkol. Padahal ia sudah mencukur
berewoknya kemarin, tapi bisa-bisanya anak itu tidak langsung mengenalinya
tadi. Atau jangan-jangan anak yang mengamen tadi itu bukan putrinya? Tapi ia
merasa yakin sekali mengenali putrinya. Toh wajahnya yang tercetak di wajah
anak itu, adapun kelakuan diwarisi dari sang mama. Ia mengingat-ingat lagi
penampakan anak itu. Rambutnya yang lurus terkuncir di belakang kepala.
Betisnya yang cokelat dan kenyal. Sorot matanya yang berbinar nakal. Bajunya
yang terusan putih itu sangat sering dikenakannya.
Tahu-tahu rumah mungil itu sudah tampak di hadapannya.
Ia membuka pintu sambil mengucap salam. Istrinya sedang membaca buku di
depan TV yang disetel dalam volume pelan.
Ia merasa letih sehabis bertugas dalam waktu lama di tempat-tempat jauh,
anak mereka berkeliaran di jalanan, sementara perempuan itu bersantai-santai di rumah dengan nyamannya.
“Sampai juga. Minum?” sambut istrinya.
“Ya, makasih.” Lelaki itu menyingkirkan tumpukan cucian kering di sofa,
lalu mengempaskan tubuh di samping istrinya. Namun perempuan itu malahan
beranjak ke dapur untuk menyeduh minuman yang disangkanya kopi. Ternyata teh.
“Kopinya habis?”
“Enggak.”
Bagaimanapun ia tetap menyesap minuman itu. Benaknya membayangkan sebuah
percakapan.
“Kau tahu, anakmu
ngamen di Malabar? Tadi nyaris keserempet mobil!”
“Naik angkot apa sih
kamu, dari stasiun kok sampai ke Malabar segala? Terus kenapa enggak kamu suruh
dia pulang sekalian?!”
Pintu terbuka. Sekilas lelaki itu beradu pandang dengan anaknya. Seluruh
rambut dan pakaian anak itu lengket dengan badan akibat dibasahi hujan. Sorot
matanya sama resah dengan yang tampak sewaktu di jalanan tadi, namun segera
ditutupi oleh kegirangan yang dibuat-buat.
“Papa! Papa udah pulang!” Anak itu merenggut tangan kanannya, dan
menciumnya.
“Iya.” Lelaki itu terheran-heran karena seketika lenyap kemangkelan yang
sempat dirasakannya begitu tangan mereka bersentuhan.
“Habis hujan-hujanan lagi?” sambut istrinya.
“Kata Mama enggak apa-apa hujan-hujanan, biar enggak gampang sakit….” Bibe
merengut.
“Ya udah. Cepat mandi, sana, ganti baju.”
Anak itu segera menuruti perkataan mamanya. Terdengar pintu kamar mandi
ditutup dengan terlalu bersemangat, lalu gebyar-gebyur yang hendak menandingi
deru hujan. Lelaki itu beranjak ke dapur yang terletak di samping kamar mandi,
tertutup oleh dinding ruang tengah. Diseduhnya kopi sembari menanti. Ketika
anaknya keluar dengan handuk besar menyelubungi ujung kepala sampai lutut,
lelaki itu menegur. “Tadi ngapain di Malabar?”
Anak itu tersentak. Bibirnya terkatup rapat-rapat.
Lelaki itu tidak bermaksud memarahi anaknya. Lagipula mereka sudah lama
tidak berjumpa. Pelan ditepuknya puncak kepala anak itu. “Jangan diulangi, ya.”
Bibe menatapnya beberapa lama tanpa kata-kata, sebelum mengangguk
kuat-kuat dan berlalu menuju kamarnya. Lelaki itu pun duduk di tempatnya semula
dengan cangkir besar berisi kopi yang mengepul. Tak lama anaknya muncul dengan
mengenakan pakaian kering, siap menyambut sang papa dengan sikap seolah
kejadian tadi tidak pernah ada.
Baru saja anak itu bergabung dengan di sofa, mamanya tahu-tahu bertanya,
“Tadi ngamen lagi?”
“Enggak!” Bibe menyalak, yang justru malah membuat tatapan mamanya
tertahan lebih lama pada anak itu.
“Tadi ada sopir angkot nelepon Mama. Katanya lihat Bibe lagi ngamen.”
Ujung bibir istrinya tertarik sedikit ke atas, tanda bahwa perempuan itu
geli dengan candaannya sendiri, yang tanpa disadarinya justru terasa mengerikan
bagi anak mereka.
“Bohong! Bohong!”
Tatapan Bibe mengarah pada papanya. Amarah mulai menyala di manik matanya.
Lalu ia memandang mamanya lagi dengan penuh penyangkalan. Perempuan itu balas menatap
dengan penuh selidik.
Berharap perhatian anak-beranak itu akan teralihkan, lelaki itu membungkuk
untuk menyeret tasnya mendekat, lalu
menarik ritsleting. “Papa bawa oleh-oleh nih….”
“Aku enggak ngamen…” dumel Bibe seraya mengambili barang dari dalam tas.
“Tapi Bibe masih ingat kan, kenapa enggak boleh main di jalan?”
“Ya….”
“Kenapa?”
“Entar celaka….”
“Ingat juga kan, kenapa enggak boleh bohong?”
“Enggak bohong! Enggaaak!”
Tapi kedua orangtuanya terus menatapnya. Mama yang curiga. Papa yang
terpana. Anak itu mencampakkan barang-barang yang tadi diambilinya, lalu
berlari ke kamarnya. Membenamkan diri di kasur sambil menangis tersedu-sedu.
Lelaki itu mengangkat alis, mengembuskan napas. Tak sengaja ia menoleh
pada istrinya, yang kini ganti menyorotnya. Sejenak mereka saling bertatapan.
“Aku memang lupa,” ucap lelaki itu akhirnya.
“Apa?”
“Anniversary kita.”
Istrinya memberengut. “Dasar. Anak sama bapak sama aja.” Perempuan itu beranjak ke kamar dan menutup pintu.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar