Senin, 09 Juni 2014

Dari Toko Buku

Ini ketiga kalinya aku melihat cowok itu di toko buku. Selalu ketika kedua belah lengannya tengah membopong tumpukan buku. Tapi dia bukan pegawai toko karena tidak pernah mengenakan seragam.

Sesekali mataku melompat dari buku yang dipegang tanganku ke arah sosoknya yang berjaket kulit hitam. Tingginya mungkin beberapa belas sentimeter di atas kepalaku. Kulitnya agak terang. Rambutnya agak berombak.

Aku pernah membaca beberapa cerita tentang dua orang—cowok dan cewek—yang memulai hubungan dari perbincangan di toko buku. Yang satu mendekati yang lain, mungkin dengan teguran, “Suka (isi dengan judul atau pengarang) juga ya?” dan mengalirlah obrolan yang mula-mula berbau filosofis lalu lama-lama bernuansa romantis.

Kalau saja aku bisa mengintip judul-judul yang dibawanya. Tapi dia mondar-mandir melulu. Begitu pula aku. Aku mau saja membaca seluruh buku di toko ini—eh, mungkin tidak seluruh, tapi banyak di antaranya—tapi sebagai pembeli dengan anggaran terbatas aku mesti menentukan pilihan. Sebijak mungkin. Terutama untuk kategori fiksi, makin kemari aku makin selektif saja. Beda dengan buku nonfiksi yang suatu saat mungkin bisa dijadikan referensi yang autentik.

Tapi ke rak mana pun aku menuju, memindai judul demi judul yang sekiranya menarik, cowok itu seperti mendekatiku. Dia tidak memintaku menyisihkan jalan—jarak antar rak di toko buku ini relatif sempit sekali sehingga apabila dua orang berpapasan salah satunya harus menempel ke sisi salah satu rak. Dia hanya berhenti beberapa jauhnya, lalu berbalik dan mencari jalan lain. Aku tahu dia tidak benar-benar mendekatiku. Dia seperti mencari sesuatu. Dan kebetulan aku berada dalam rutenya. Tapi kejadian yang hingga beberapa kali itu mengetuk-ngetuk pikiranku. Mungkinkah… Mungkinkah terjadi keberlanjutan hubungan seperti di dalam cerita-cerita itu? Apalagi ini ketiga kalinya kami bertemu. Dia mungkin pernah melihatku membopong banyak buku juga ke luar dari toko. Dia mungkin cowok yang ditakdirkan bersamaku membangun kerajaan buku.

Atau mungkin tidak sejauh itu. Mungkin dia bisa menjadi sekadar temanku dalam menghadiri berbagai acara yang berhubungan dengan literasi di kota ini. Seperti kemarin petang, ada acara yang menghadirkan seorang penerjemah novel-novel Jepang sekaligus dosen ilmu budaya di perguruan tinggi negeri. Setiap orang yang kuajak menemaniku ke sana menolak dengan alasan capek-baru-pulang-kerja atau sibuk-banyak-tugas-kuliah.

Mungkin dia bakal tertarik juga kalau kuajak menghadiri pertemuan Book Anonymous. Kelompok ini diadakan bagi orang-orang yang merasa kecanduan mereka terhadap buku telah mencapai taraf bermasalah. Aku mengikuti kelompok tersebut karena merasa bersalah dengan kebiasaanku berbelanja buku sampai ratusan ribu tiap bulannya, padahal orangtuaku berharap uang saku yang mereka berikan itu kumanfaatkan untuk keperluan lainnya. Konselor di sana memahamkanku bahwa aku memang perlu mengeluarkan sejumlah uang tiap bulannya untuk mempertahankan status quo—membuat diriku merasa masih menjadi bagian dari kalangan menengah yang berdaya-beli. Tak ubahnya dengan pencandu lain terhadap barang apapun. Setidaknya buku membuat kita dipandang intelek; jadi berbelanjalah dengan tenang selama tidak mengutang!—aku diminta mencamkan ini untuk mengurangi rasa bersalahku. Sudah lama aku tidak mendatangi perkumpulan itu lagi, karena bukannya membuatku berhenti dari kecanduan malahan meneruskannya.

Bagaimanapun, ternyata ada orang yang kecanduannya lebih parah. Dia tidak punya kasur dan meja lagi di kamarnya. Dia tidur di atas ratusan buku yang ditumpuk sehingga membentuk balok yang cukup tinggi dan lebar untuk mengalasi tubuhnya; menulis pun di atas buku. Jangan tanya bagaimana kondisi toiletnya.

Ada pula orang yang koleksi bukunya sudah menyerupai isi toko buku ini. Buku-buku ditumpuk begitu saja. Sebagian besar disampuli plastik, sebagian dibiarkan telanjang. Debu-debu dibiarkan melapisi. Ada buku yang tidak sengaja terlipat karena dimasukkan ke dalam rak secara serampangan. Ada buku yang tampak keriting karena pernah basah oleh entah apa. Sebagian menjadi persemayaman bangkai cicak, kecoak, lipan, dan entah apa lagi. Jarak antar rak begitu berdempet sehingga orang harus bergantian memasukinya. Lama dan baru tercampur-baur. Kadang ada buku yang dobel.

Selain itu, Book Anonymous seharusnya membedakan antara pencandu buku dan hikikomori yang ingin tobat. Tapi ya begitulah. Tidak apa-apa juga sih, biar agak ramai.

Cowok itu kembali berada di dekatku sementara aku tengah berjongkok dengan punggung bersandar pada rak di belakangku. Kedua tanganku berusaha mengeluarkan buku dari tumpukan yang demikian rapat di rak di depanku. Setelah aku berhasil menarik buku itu, cowok itu rupanya sedang menanyakan sesuatu kepada kasir. Gajah Mada, kudengar.

Hei. Mungkin aku bisa membantu cowok itu mencari. Aku sering ke toko buku ini, aku cukup berpengalaman dalam mengubek-ngubek isi raknya yang tidak beraturan ini. Kuingat-ingat di mana kira-kira aku pernah melihat buku yang bertuliskan Gajah Mada di sini. Di mana, naruhnya di mana…. Aku bahkan bukan lulusan perguruan tinggi yang diembel-embeli dengan nama orang itu! Dalam hati aku bertanya-tanya kenapa dia mencari buku tentang Gajah Mada. Jangan-jangan dia penulis yang sedang mengumpulkan bahan untuk karya terbarunya.

Aku meneruskan pencarianku, baik terhadap buku yang kira-kira menarik untuk kumiliki maupun terhadap Gajah Mada, sembari mengamati cowok itu. Terdengar senandungnya mengikuti lagu yang tengah diputar di dalam toko buku itu. Seleranya ternyata Yovie and the Nuno—sepertinya aku masih bisa menoleransinya. Dia kembali mendekati kasir, namun tidak terdengar apa yang dikatakannya. Lalu dia menjauh, dan berputar-putar di antara dua rak sambil mengeluarkan dengungan lebah melalui mulutnya. Sepertinya aku juga tidak akan keberatan kalau zzzzzzzz itu kelak terdengar di ruang tengah rumahku. Teringat akan hal lain yang kupelajari dari Book Anonymous: pencandu buku akut seringkali juga memiliki imajinasi yang tinggi; mereka tidak banyak berinteraksi dengan dunia luar secara langsung sehingga acapkali menciptakan dunia mereka sendiri. Barangkali termasuk menciptakan lebah sendiri.

Kalau aku tidak berhasil menemukan Gajah Mada, semisal cowok itu kembali menanyakan sesuatu di kasir aku akan nimbrung dan pura-pura menanyakan sesuatu pula. Sesuatu yang kedengarannya keren seperti… seperti… seperti… apa ya? Aku melihat novel yang secara tidak sengaja kupegang, yang ternyata pemenang sayembara novel DKJ 2006. Judulnya Lanang. Ya. Aku menanyakan novel ini saja biarpun sudah tahu letaknya. Atau mungkin sesuatu yang tetap terkesan “cerdas” dan lebih terkenal. Ayu Utami, misalnya. Atau Sabda Palon—apalah itu.

Sialnya aku terlupa akan cowok itu karena menemukan buku James Danandjaja yang diberi subjudul: Sebagai Terapi Penyembuh Amnesia terhadap Suku Bangsa dan Budaya Tionghoa. Aku mengubek-ubek beberapa tumpukan di depanku dan hanya menemukan empat eksemplar buku tersebut. Tak satupun dalam keadaan amat baik. Salah satunya bahkan beraroma kencing kecoak. Setelah membaui bagian dalam keempat-empatnya, kupilih satu yang aromanya tidak berbahaya. Lalu aku melihat si jaket kulit hitam itu sudah berada di balik pintu kaca, menjauhi toko.

Mengingat musik macam apa yang menjadi seleranya, dan kesukaannya dalam meniru bebunyian alam, aku mencoba untuk melepas kepergiannya dengan legawa. Aku mesti ikhlas pula melepas dua ratus ribu dari dompetku di kasir untuk beberapa buku yang di antaranya adalah buku James Danandjaya tentang amnesia itu dan kumpulan cerpen Anton Kurnia berjudul Insomnia. Empat puluh tahun lagi aku mungkin akan membeli buku yang dalam judulnya terdapat kata “demensia”.

Aku menyerahkan tumpukan buku yang telah kubayar ke meja penyampulan. Karena tidak berminat melihat-lihat buku yang dipajang di pelataran toko, aku duduk saja sambil mengamati judul-judul yang tengah disampuli dengan plastik oleh petugas: The Introvert Advantage, Seratus Tahun Kesunyian, Misteri Soliter, dan beberapa novel Haruki Murakami. Si jaket kulit hitam muncul kembali entah dari mana dan menjemput buku-buku itu bersama ranselnya. Aku terlalu terpaku hingga bergeming saja. Barangkali adegan cowok-cewek yang tidak saling mengenal sebelumnya dan dapat mengobrol dengan lancarnya di toko buku tentang buku atau pengarang yang mereka sama-sama sukai itu memang hanya mungkin terjadi di dalam cerita, sedang aku tidak tahu apakah ceritaku ini bahkan patut disebut cerita

Aku berdiri untuk mengambil buku-bukuku, menolak kantong plastik, dan memasukkan semuanya begitu saja ke dalam ranselku yang lebih mirip buntalan kain perca, lalu berjalan ke luar pelataran. Seorang cowok yang entah sedari kapan membersamaiku menegur, “Ini kelima kalinya saya lihat kamu di sini—“

“Berapa kali?” Aku menoleh kepadanya dengan kaget. Sebenarnya aku bisa mendengar jumlah itu dengan jelas sekali. Sekonyong-konyong terlintas di kepalaku kalau cowok ini mungkin juga selalu melihatku dalam keadaan membopong tumpukan buku, dan membatin: Dia mungkin cewek yang ditakdirkan untuk membangun kerajaan buku bersamaku. Kutaksir usianya tidak seberapa jauh daripadaku. Rambutnya lurus, hampir menutupi mata. Kulitnya yang putih sepucat bibirnya yang kelabu. Jaketnya yang terbuat dari bahan parasut tidak kalah pucat dari warna kulit dan bibirnya. Puncak kepalanya tepat di depan mataku. Setelah dia menanggapi pertanyaan spontanku tadi, aku membalasnya dengan senyum kikuk lalu mempercepat langkah ke Alfamart di sebelah toko. Aku berharap dia sudah tidak ada begitu aku keluar dengan sebotol Nutriboost rasa jeruk.

Dia mengikutiku ke dalam Alfamart. Kulihat dia tampaknya juga hendak membeli sesuatu. Jadi aku tidak mengacuhkannya. Setelah ini aku berencana untuk berjalan kaki ke rumah sekalian melewati kompleks Dinas Tenaga Kerja. Sewaktu menaiki angkot dalam perjalanan menuju toko buku, aku melihat di tiang listrik di depan kompleks tersebut terpampang iklan lowongan kerja.

Setelah beberapa menit menjauhi Alfamart dan meneguk Nutriboost rasa jeruk yang rasanya ternyata mirip Combantrin sirup, aku mendapati cowok itu menjajari langkahku. Aku mempercepat lajuku, berharap dia akan terengah-engah karenanya. Dia mengajakku berkenalan dalam kegugupannya yang menular. Kalau saja aku segigih ini sewaktu cowok berjaket-kulit-hitam tadi masih ada!

Ranselnya sebesar ransel tentara yang akan menaiki gunung. Dia membenarkan ketika aku menerka ranselnya hanya berisi buku. Kami hampir sampai di tiang listrik tujuanku ketika ranselnya ambrol. Aku membantunya mengumpulkan buku-buku yang berceceran—sebetulnya lebih karena ingin mengetahui buku macam apa yang dibelinya. Textbook. Textbook. Dan textbook. Sebagian lagi berupa buku-buku nonakademis namun sampai kapanpun tidak akan masuk ke dalam daftarku. Dengan malu-malu dia mengaku bahwa dirinya mahasiswa pascasarjana di perguruan tinggi berlogo gajah duduk. Masih berjongkok, aku membuka buntalan-kain-percaku, berharap menemukan lipatan tas kain. Aku terbiasa membawa tas cadangan karena semasa kuliah aku sering pulang dari perpustakaan dengan setumpuk buku yang terlalu berat untuk dimuat di dalam ransel. Aku punya sekitar selusin tas seperti itu di rumah. Dengan rikuh ia menerima pemberianku.

Sementara ia mengatur buku-bukunya di dalam tas yang sebenarnya tidak besar itu, aku mencuri kesempatan untuk mengintip iklan lowongan kerja di tiang listrik. Embel-embel “penghasilan tidak terbatas” membuatku ragu.

“Kamu sendiri… kuliah? Kerja?”

“Autodidak,” jawabku.

“Oh….” Dia mestinya tidak memahami jawabanku dengan jelas, dan segan untuk memintaku memperjelasnya, tapi terus saja bertanya, “Bidang apa?”

“Mm…. Humaniora…?” atau apapun yang bisa menjawab keingintahuan kenapa sebagai orang kota aku senang berbicara dan berjalan cepat-cepat seperti angkot lagi kejar setoran.

Aku merogoh bon dari pembelian di Alfamart tadi, dan pulpen dari dalam ransel, lalu menulis di permukaan yang kosong:

 

BOOK ANONYMOUS

Jalan Soekarno-Hatta XXX

Bandung 40XXX

CP: (022) 73XXXXX/ 08XXXXXXXXXX

 

Aku menyerahkan kertas tersebut kepadanya.

“Apa ini?”

Untungnya sebuah angkot keburu berhenti di depan kami. Angkot yang sebetulnya berlawanan dengan arah menuju rumahku. Angkot yang justru akan membawaku kembali melewati toko buku tadi. Tapi aku tetap menaikinya demi menjauhi sosok yang terbengong-bengong itu.[]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain