Ini ketiga kalinya aku melihat cowok itu di toko buku. Selalu
ketika kedua belah lengannya tengah membopong tumpukan buku. Tapi dia bukan
pegawai toko karena tidak pernah mengenakan seragam.
Sesekali mataku melompat dari buku yang dipegang tanganku ke
arah sosoknya yang berjaket kulit hitam. Tingginya mungkin beberapa belas
sentimeter di atas kepalaku. Kulitnya agak terang. Rambutnya agak berombak.
Aku pernah membaca beberapa cerita tentang dua orang—cowok
dan cewek—yang memulai hubungan dari perbincangan di toko buku. Yang satu
mendekati yang lain, mungkin dengan teguran, “Suka (isi dengan judul atau
pengarang) juga ya?” dan mengalirlah obrolan yang mula-mula berbau filosofis
lalu lama-lama bernuansa romantis.
Kalau saja aku bisa mengintip judul-judul yang dibawanya.
Tapi dia mondar-mandir melulu. Begitu pula aku. Aku mau saja membaca seluruh
buku di toko ini—eh, mungkin tidak seluruh,
tapi banyak di antaranya—tapi sebagai pembeli dengan anggaran terbatas aku
mesti menentukan pilihan. Sebijak mungkin.
Terutama untuk kategori fiksi, makin kemari aku makin selektif saja. Beda
dengan buku nonfiksi yang suatu saat mungkin bisa dijadikan referensi yang
autentik.
Tapi ke rak mana pun aku menuju, memindai judul demi judul
yang sekiranya menarik, cowok itu seperti mendekatiku. Dia tidak memintaku
menyisihkan jalan—jarak antar rak di toko buku ini relatif sempit sekali sehingga
apabila dua orang berpapasan salah satunya harus menempel ke sisi salah satu
rak. Dia hanya berhenti beberapa jauhnya, lalu berbalik dan mencari jalan lain.
Aku tahu dia tidak benar-benar mendekatiku. Dia seperti mencari sesuatu. Dan
kebetulan aku berada dalam rutenya. Tapi kejadian yang hingga beberapa kali itu
mengetuk-ngetuk pikiranku. Mungkinkah… Mungkinkah terjadi keberlanjutan
hubungan seperti di dalam cerita-cerita itu? Apalagi ini ketiga kalinya kami
bertemu. Dia mungkin pernah melihatku membopong banyak buku juga ke luar dari
toko. Dia mungkin cowok yang ditakdirkan bersamaku membangun kerajaan buku.
Atau mungkin tidak sejauh itu. Mungkin dia bisa menjadi
sekadar temanku dalam menghadiri berbagai acara yang berhubungan dengan
literasi di kota ini. Seperti kemarin petang, ada acara yang menghadirkan
seorang penerjemah novel-novel Jepang sekaligus dosen ilmu budaya di perguruan
tinggi negeri. Setiap orang yang kuajak menemaniku ke sana menolak dengan
alasan capek-baru-pulang-kerja atau sibuk-banyak-tugas-kuliah.
Mungkin dia bakal tertarik juga kalau kuajak menghadiri
pertemuan Book Anonymous. Kelompok ini diadakan bagi orang-orang yang merasa
kecanduan mereka terhadap buku telah mencapai taraf bermasalah. Aku mengikuti
kelompok tersebut karena merasa bersalah dengan kebiasaanku berbelanja buku
sampai ratusan ribu tiap bulannya, padahal orangtuaku berharap uang saku yang
mereka berikan itu kumanfaatkan untuk keperluan lainnya. Konselor di sana
memahamkanku bahwa aku memang perlu
mengeluarkan sejumlah uang tiap bulannya untuk mempertahankan status quo—membuat diriku merasa masih
menjadi bagian dari kalangan menengah yang berdaya-beli. Tak ubahnya dengan
pencandu lain terhadap barang apapun. Setidaknya buku membuat kita dipandang intelek; jadi berbelanjalah dengan tenang
selama tidak mengutang!—aku diminta mencamkan ini untuk mengurangi rasa
bersalahku. Sudah lama aku tidak mendatangi perkumpulan itu lagi, karena
bukannya membuatku berhenti dari kecanduan malahan meneruskannya.
Bagaimanapun, ternyata ada orang yang kecanduannya lebih
parah. Dia tidak punya kasur dan meja lagi di kamarnya. Dia tidur di atas
ratusan buku yang ditumpuk sehingga membentuk balok yang cukup tinggi dan lebar
untuk mengalasi tubuhnya; menulis pun di atas buku. Jangan tanya bagaimana
kondisi toiletnya.
Ada pula orang yang koleksi bukunya sudah menyerupai isi toko
buku ini. Buku-buku ditumpuk begitu saja. Sebagian besar disampuli plastik,
sebagian dibiarkan telanjang. Debu-debu dibiarkan melapisi. Ada buku yang tidak
sengaja terlipat karena dimasukkan ke dalam rak secara serampangan. Ada buku
yang tampak keriting karena pernah basah oleh entah apa. Sebagian menjadi
persemayaman bangkai cicak, kecoak, lipan, dan entah apa lagi. Jarak antar rak
begitu berdempet sehingga orang harus bergantian memasukinya. Lama dan baru
tercampur-baur. Kadang ada buku yang dobel.
Selain itu, Book Anonymous seharusnya membedakan antara
pencandu buku dan hikikomori yang
ingin tobat. Tapi ya begitulah. Tidak apa-apa juga sih, biar agak ramai.
Cowok itu kembali berada di dekatku sementara aku tengah
berjongkok dengan punggung bersandar pada rak di belakangku. Kedua tanganku
berusaha mengeluarkan buku dari tumpukan yang demikian rapat di rak di depanku.
Setelah aku berhasil menarik buku itu, cowok itu rupanya sedang menanyakan
sesuatu kepada kasir. Gajah Mada,
kudengar.
Hei. Mungkin aku bisa membantu cowok itu mencari. Aku sering
ke toko buku ini, aku cukup berpengalaman dalam mengubek-ngubek isi raknya yang
tidak beraturan ini. Kuingat-ingat di mana kira-kira aku pernah melihat buku
yang bertuliskan Gajah Mada di sini. Di mana, naruhnya di mana…. Aku bahkan
bukan lulusan perguruan tinggi yang diembel-embeli dengan nama orang itu! Dalam
hati aku bertanya-tanya kenapa dia mencari buku tentang Gajah Mada.
Jangan-jangan dia penulis yang sedang mengumpulkan bahan untuk karya
terbarunya.
Aku meneruskan pencarianku, baik terhadap buku yang kira-kira
menarik untuk kumiliki maupun terhadap Gajah Mada, sembari mengamati cowok itu.
Terdengar senandungnya mengikuti lagu yang tengah diputar di dalam toko buku
itu. Seleranya ternyata Yovie and the Nuno—sepertinya aku masih bisa
menoleransinya. Dia kembali mendekati kasir, namun tidak terdengar apa yang
dikatakannya. Lalu dia menjauh, dan berputar-putar di antara dua rak sambil
mengeluarkan dengungan lebah melalui mulutnya. Sepertinya aku juga tidak akan
keberatan kalau zzzzzzzz itu kelak terdengar di ruang tengah rumahku. Teringat
akan hal lain yang kupelajari dari Book Anonymous: pencandu buku akut
seringkali juga memiliki imajinasi yang tinggi; mereka tidak banyak
berinteraksi dengan dunia luar secara langsung sehingga acapkali menciptakan
dunia mereka sendiri. Barangkali termasuk menciptakan lebah sendiri.
Kalau aku tidak berhasil menemukan Gajah Mada, semisal cowok
itu kembali menanyakan sesuatu di kasir aku akan nimbrung dan pura-pura
menanyakan sesuatu pula. Sesuatu yang kedengarannya keren seperti… seperti…
seperti… apa ya? Aku melihat novel yang secara tidak sengaja kupegang, yang
ternyata pemenang sayembara novel DKJ 2006. Judulnya Lanang. Ya. Aku menanyakan novel ini saja biarpun sudah tahu
letaknya. Atau mungkin sesuatu yang tetap terkesan “cerdas” dan lebih terkenal.
Ayu Utami, misalnya. Atau Sabda Palon—apalah
itu.
Sialnya aku terlupa akan cowok itu karena menemukan buku
James Danandjaja yang diberi subjudul: Sebagai
Terapi Penyembuh Amnesia terhadap Suku Bangsa dan Budaya Tionghoa. Aku
mengubek-ubek beberapa tumpukan di depanku dan hanya menemukan empat eksemplar
buku tersebut. Tak satupun dalam keadaan amat baik. Salah satunya bahkan
beraroma kencing kecoak. Setelah membaui bagian dalam keempat-empatnya, kupilih
satu yang aromanya tidak berbahaya. Lalu aku melihat si jaket kulit hitam itu
sudah berada di balik pintu kaca, menjauhi toko.
Mengingat musik macam apa yang menjadi seleranya, dan
kesukaannya dalam meniru bebunyian alam, aku mencoba untuk melepas kepergiannya
dengan legawa. Aku mesti ikhlas pula
melepas dua ratus ribu dari dompetku di kasir untuk beberapa buku yang di
antaranya adalah buku James Danandjaya tentang amnesia itu dan kumpulan cerpen
Anton Kurnia berjudul Insomnia. Empat
puluh tahun lagi aku mungkin akan membeli buku yang dalam judulnya terdapat
kata “demensia”.
Aku menyerahkan tumpukan buku yang telah kubayar ke meja
penyampulan. Karena tidak berminat melihat-lihat buku yang dipajang di
pelataran toko, aku duduk saja sambil mengamati judul-judul yang tengah
disampuli dengan plastik oleh petugas: The
Introvert Advantage, Seratus Tahun
Kesunyian, Misteri Soliter, dan
beberapa novel Haruki Murakami. Si jaket kulit hitam muncul kembali entah dari
mana dan menjemput buku-buku itu bersama ranselnya. Aku terlalu terpaku hingga
bergeming saja. Barangkali adegan cowok-cewek yang tidak saling mengenal
sebelumnya dan dapat mengobrol dengan lancarnya di toko buku tentang buku atau
pengarang yang mereka sama-sama sukai itu memang hanya mungkin terjadi di dalam
cerita, sedang aku tidak tahu apakah ceritaku ini bahkan patut disebut cerita
Aku berdiri untuk mengambil buku-bukuku, menolak kantong
plastik, dan memasukkan semuanya begitu saja ke dalam ranselku yang lebih mirip
buntalan kain perca, lalu berjalan ke luar pelataran. Seorang cowok yang entah
sedari kapan membersamaiku menegur, “Ini kelima kalinya saya lihat kamu di
sini—“
“Berapa kali?” Aku menoleh kepadanya dengan kaget. Sebenarnya
aku bisa mendengar jumlah itu dengan jelas sekali. Sekonyong-konyong terlintas
di kepalaku kalau cowok ini mungkin juga selalu melihatku dalam keadaan
membopong tumpukan buku, dan membatin: Dia
mungkin cewek yang ditakdirkan untuk membangun kerajaan buku bersamaku.
Kutaksir usianya tidak seberapa jauh daripadaku. Rambutnya lurus, hampir
menutupi mata. Kulitnya yang putih sepucat bibirnya yang kelabu. Jaketnya yang
terbuat dari bahan parasut tidak kalah pucat dari warna kulit dan bibirnya.
Puncak kepalanya tepat di depan mataku. Setelah dia menanggapi pertanyaan
spontanku tadi, aku membalasnya dengan senyum kikuk lalu mempercepat langkah ke
Alfamart di sebelah toko. Aku berharap dia sudah tidak ada begitu aku keluar
dengan sebotol Nutriboost rasa jeruk.
Dia mengikutiku ke dalam Alfamart. Kulihat dia tampaknya juga
hendak membeli sesuatu. Jadi aku tidak mengacuhkannya. Setelah ini aku
berencana untuk berjalan kaki ke rumah sekalian melewati kompleks Dinas Tenaga
Kerja. Sewaktu menaiki angkot dalam perjalanan menuju toko buku, aku melihat di
tiang listrik di depan kompleks tersebut terpampang iklan lowongan kerja.
Setelah beberapa menit menjauhi Alfamart dan meneguk
Nutriboost rasa jeruk yang rasanya ternyata mirip Combantrin sirup, aku
mendapati cowok itu menjajari langkahku. Aku mempercepat lajuku, berharap dia
akan terengah-engah karenanya. Dia mengajakku berkenalan dalam kegugupannya
yang menular. Kalau saja aku segigih ini sewaktu cowok berjaket-kulit-hitam
tadi masih ada!
Ranselnya sebesar ransel tentara yang akan menaiki gunung.
Dia membenarkan ketika aku menerka ranselnya hanya berisi buku. Kami hampir
sampai di tiang listrik tujuanku ketika ranselnya ambrol. Aku membantunya
mengumpulkan buku-buku yang berceceran—sebetulnya lebih karena ingin mengetahui
buku macam apa yang dibelinya. Textbook.
Textbook. Dan textbook. Sebagian lagi berupa buku-buku nonakademis namun sampai
kapanpun tidak akan masuk ke dalam daftarku. Dengan malu-malu dia mengaku bahwa
dirinya mahasiswa pascasarjana di perguruan tinggi berlogo gajah duduk. Masih
berjongkok, aku membuka buntalan-kain-percaku, berharap menemukan lipatan tas
kain. Aku terbiasa membawa tas cadangan karena semasa kuliah aku sering pulang
dari perpustakaan dengan setumpuk buku yang terlalu berat untuk dimuat di dalam
ransel. Aku punya sekitar selusin tas seperti itu di rumah. Dengan rikuh ia
menerima pemberianku.
Sementara ia mengatur buku-bukunya di dalam tas yang
sebenarnya tidak besar itu, aku mencuri kesempatan untuk mengintip iklan
lowongan kerja di tiang listrik. Embel-embel “penghasilan tidak terbatas”
membuatku ragu.
“Kamu sendiri… kuliah? Kerja?”
“Autodidak,” jawabku.
“Oh….” Dia mestinya tidak memahami jawabanku dengan jelas,
dan segan untuk memintaku memperjelasnya, tapi terus saja bertanya, “Bidang
apa?”
“Mm…. Humaniora…?” atau apapun yang bisa menjawab
keingintahuan kenapa sebagai orang kota aku senang berbicara dan berjalan
cepat-cepat seperti angkot lagi kejar setoran.
Aku merogoh bon dari pembelian di Alfamart tadi, dan pulpen
dari dalam ransel, lalu menulis di permukaan yang kosong:
BOOK ANONYMOUS
Jalan Soekarno-Hatta XXX
Bandung 40XXX
CP: (022) 73XXXXX/ 08XXXXXXXXXX
Aku menyerahkan kertas tersebut kepadanya.
“Apa ini?”
Untungnya sebuah angkot keburu berhenti di depan kami. Angkot
yang sebetulnya berlawanan dengan arah menuju rumahku. Angkot yang justru akan
membawaku kembali melewati toko buku tadi. Tapi aku tetap menaikinya demi
menjauhi sosok yang terbengong-bengong itu.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar