Sewaktu aku masih SD, kalau Papa sedang tidak bertugas, kedua
orangtuaku akan membawaku berjalan-jalan ke keramaian kota, pada gemerlapnya
akhir pekan. Tapi ini biasanya tidak begitu menyenangkan. Bukannya memenuhi
keinginanku untuk melihat-lihat lebih dekat, memasuki salah satu restoran mewah
itu, atau membelikanku pakaian yang bisa kupamerkan pada teman-teman, mereka
malah menggiringku ke warung tenda langganan mereka dan memesankanku makanan
dan minuman yang rasanya begitu-begitu saja.
Sampai pada suatu malam, aku memberontak. Aku cemberut
sejadi-jadinya, menolak untuk diseret ke tempat yang itu lagi, itu lagi. “Aku
pingin makan sushi! Pingin sushi!” seruku. Kusebutkan nama sebuah restoran yang
pernah dikunjungi oleh seorang temanku. Orangtuanya sering membawanya makan di
tempat-tempat keren setiap akhir pekan. Kupikir orangtuaku sebetulnya juga
mampu. Lagipula Papa sering pergi ke luar negeri biarpun Mama bilang itu bukan
pakai uang sendiri. Karena sikapku yang bersikukuh itu, tidak mau bergerak
biarpun ditarik dengan sekuat apapun juga, kedua orangtuaku saling bertatapan,
lalu Papa memutuskan, “Sekali-sekali enggak apa-apa kali, ya.”
Mama mengangkat bahu. “Ayo.”
Kami pun menuju restoran yang kumaksud. Letaknya di dalam
mal. Suasananya agak temaram karena interiornya berwarna gelap. Ada beberapa
tumbuhan semacam bambu di beberapa tempat tapi waktu itu aku tidak yakin apakah
itu betulan atau bohongan. Kadang aku melongo saja memandangi gambar-gambar
yang dipajang di dinding dan disorot oleh lampu-lampu kecil itu, sambil
bertanya-tanya dalam hati kapan aku bisa mencoba kimono seperti yang dikenakan
oleh perempuan dalam lukisan-lukisan itu.
Aku diperbolehkan untuk memesan apapun yang tampaknya menarik
bagiku, sementara kedua orangtuaku agak lama menimbang-nimbang pesanan mereka.
Waktu itu deretan angka di dalam menu sama sekali belum menarik bagiku. Aku
memilih berdasarkan gambar yang dipajang saja.
Acara makan pun dimulai. Papa mengajariku cara menggunakan
sumpit. Sebetulnya lebih enak makan pakai tangan. Tapi kupikir keren juga kalau
aku bisa menggunakan sepasang tongkat kecil itu. Lalu Papa dan Mama
mengobrolkan pengalaman Papa sewaktu ditugaskan meliput ke Jepang. Papa mencoba
sushi di kedai yang mana para pengunjungnya duduk mengelilingi konter tempat
pembuatan makanannya. Di kedai lain, dia berlesehan di atas tikar bambu. Aku
sempat mendengar Mama bilang, “Jauh-jauh ke Jepang, tetap aja carinya yang
murahan.” Lalu Papa membalas, “Entar enggak ada sisa buat yang minta oleh-oleh
dong.”
Pesanan diantarkan. Aku berusaha makan dengan lahap. Rasanya
sebetulnya agak aneh. Hampir-hampir tidak berasa malah. Kadang aku merasa agak
mual dengan amis yang memasuki kerongkonganku. Waktu Papa bilang yang kumakan
itu daging ikan mentah, aku hampir-hampir mengeluarkannya lagi. Tapi
kerongkonganku keburu menelannya dalam-dalam. Setelahnya aku kelepasan
menjulurkan lidahku. Aku berharap orang-orang berpeci (aku tidak tahu apa
tepatnya nama topi yang mereka kenakan) di balik konter itu tidak melihatku.
Aku takut mereka marah. Aku takut terutama pada orang yang bermata sipit karena
pandangannya yang tajam itu. Jangan-jangan dia orang Jepang betulan. Sewaktu
pelajaran Basa Sunda aku dan teman-temanku pernah memainkan drama tentang para
serdadu Jepang dan orang-orang desa. Dalam dialog di buku pelajaran itu orang
Jepang sering sekali menyerukan “Bagero! Bagero!” pada orang Indonesia. (Bahkan
walaupun sekarang aku mendapatkan pelajaran Bahasa Jepang di sekolah, aku tetap
tidak tahu apa itu artinya.) Jadinya aku takut diteriaki begitu sekeluarnya
kami dari restoran itu.
Sepotong lagi yang tersisa di hadapanku, tapi namanya
onigiri, bukan sushi. Aku tahu dari komik Jepang yang kupinjam dari temanku.
Kali ini aku memulainya dari bagian yang paling aneh dulu. Aku melepaskan selaput hijau dari segitiga nasi yang
padat itu, lalu melahapnya sekaligus. Aku merasakan lembaran itu menjadi lembek
dalam mulutku. Amisnya… huek. Aku menelannya dengan susah payah. Mataku
terpejam rapat-rapat. Ketika mataku terbuka, kulihat Mama dan Papa memandangku dengan
geli. Untungnya mereka tidak terus mengolok-olokku. Mereka melanjutkan obrolan
mereka sementara aku menyeruput es tehku dengan rakus. Setelah mulutku terasa
netral, aku mengambil kudapan terakhirku yang agak mirip lemper itu. Sayang,
tidak ada isinya…. Oh, isinya kan yang tadi, yang berwarna hijau dan ditempel
di luar itu! Aku memakan nasi yang agak lengket itu pelan-pelan. Agak amis
juga, mungkin bekas kertas hijau yang tadi. Tapi selebihnya terasa biasa-biasa
saja. Mama dan Uwak Tata pernah membuat yang semacam ini—lemper ding. Buatan Mama gagal, tapi begitu
masuk ke dalam mulut terasa sama enaknya dengan buatan Uwak Tata yang utuh-utuh
saja.
Dari restoran itu, kami lalu pulang berjalan kaki. Sebetulnya
kami punya motor, tapi seringkali gagasan untuk berjalan kaki melintas begitu
saja di kepala kedua orangtuaku seperti anak-anak muda yang lagi kepingin
seru-seruan. Jadi inilah kami, berusaha untuk tidak menatap dengan jemawa pada
ratusan kendaraan yang terjebak dalam kemacetan di malam hura-hura, sementara
kami bebas bergerak di atas kaki kami sendiri. Kalau aku capek, kadang mereka
bergantian memanggulku. Tapi seringnya Papa yang melakukannya. Mama sih, baru
menggendong beberapa meter saja sudah encok. Sewaktu aku sudah lebih besar, aku
baru tahu kalau jarak yang kami tempuh dari sekitaran balaikota itu sampai ke
rumah sebenarnya jauh juga. Tapi karena sambil mendengarkan suara kedua
orangtuaku mengobrol, juga orang-orang yang kami lewati, menikmati
bermacam-macam pemandangan malam, dan kadang larut dalam imajinasiku sendiri,
aku tidak merasakan jarak tersebut. Tahu-tahu kami sudah sampai di rumah, ganti
baju, gosok gigi, cuci kaki, dan tidur. Tapi malam itu agak lain.
Seperti biasanya, aku berjalan di tengah. Tangan kiri Papa
menggandeng tangan kananku, sementara tangan kanan Mama menggenggam tangan
kiriku. Sesekali dengan bertumpu pada pegangan mereka aku mengayunkan diriku
sendiri. Kedua orangtuaku dengan sigap menahan bebanku biarpun mulut mereka
tetap asyik mencerocos pada satu sama lain.
Kali ini mereka membicarakan tentang kesan yang mereka
dapatkan dari restoran tadi. Dari nadanya saja aku tahu kalau mereka tidak
puas. Mama mengeluhkan betapa besarnya harga yang harus dibayarkan tadi untuk
seporsi kecil dan sedikit pula makanan yang disuguhkan, lalu bertanya pada Papa
apa di negara asalnya memang begitu adanya. Papa bergumam, mengingat-ingat.
“Apa karena dagingnya impor?” imbuh Mama.
“Iya sih. Mestinya enggak semahal itu juga. Waaah…” Papa
menanggapi, lalu menambahkan dengan perbandingan rasa dan harga antara kedua
negara, lengkap dengan hitung-hitungan dari yen ke rupiah.
“Jadi harusnya lebih enak dari yang tadi ya?” kata Mama.
“Kalau makannya cuman di tempatnya Pak Mi’un sih bisa buat
empat kali jajan itu,” suara Papa.
Sepanjang jalan mereka seakan tak henti-hentinya mencela
restoran tadi. Bahkan harga segelas air mineral pun tidak luput dari pengamatan
mereka. Apalagi sewaktu kami memasuki jalan yang tidak dilewati banyak
kendaraan, penyesalan mereka terdengar jelas di kupingku. Aku mulai disusupi
rasa bersalah, tak enak, dan malu. Di sisi lain aku berprasangka mereka sengaja
mengulang-ulang keluhan itu hanya untuk meledekku, menyalahkanku. Apalagi
mereka tadi kan sempat melihat aku sendiri sebenarnya tidak begitu menikmati
sajian itu.
“Lain kali makan di tempat yang biasa aja, ah,” kata Papa.
“Di tempat kayak gitu mah, mahal kan cuman bayar suasana sama servisnya aja.
Enggak jamin rasa.”
“Makan mah enggak usah yang mahal-mahal lah, yang penting
kenyang, enak,” Mama menyetujui.
“Mahal tapi enggak kenyang,” ulang Papa dengan nada geli yang
bagiku terdengar bagai cemooh.
Aku lalu mencampakkan kedua tangan yang menggandengku itu,
dan berjalan cepat-cepat, berusaha mendahului mereka, walau tidak berani
terlalu jauh. Di depan sana gelap sih.
Mereka terdiam. Tapi tak satupun yang menegurku. Aku melipat
kedua lenganku di depan dada rapat-rapat. Pipi segembung jambu biji. Mereka
seakan tidak menyadari sama sekali kedongkolanku waktu itu.
Entah berapa lama kami berjalan dalam bisu. Hanya derik
serangga malam yang mendekam dalam pepohonan yang menaungi kami, juga deru
kendaraan yang melintas sesekali. Perjalanan itu menjadi terasa jauhnya bagiku.
Namun dengan kekesalanku aku tidak peduli. Aku menjaga lajuku agar selalu
berada di depan mereka. Langkah-langkah mereka yang jauh lebih besar daripadaku
hampir tidak terdengar di belakang sana. Maka sesekali aku terpaksa menajamkan
pendengaran untuk memastikan mereka tidak tahu-tahu menghilang. Setelah
merasakan keberadaan mereka lagi, aku kembali pada kekesalanku. Kalau saja aku
punya banyak uang, aku bisa membeli makanan apapun yang kuinginkan, lalu
menyelundupkannya di kamar dan tidak membaginya pada siapapun, apalagi pada
Mama dan Papa! Tapi Mama selalu menolak untuk menambah uang jajanku. Papa juga,
kalau aku bilang ingin mencoba sesuatu yang baru, pasti bilang, “Itu kan, bikin
sendiri juga bisa!”
“Kayaknya bikin di rumah juga bisa deh.” Tuh kan. Baru saja
aku memikirkannya, terdengar suara Papa . “Sekarang kan udah banyak yang jual
produk-produk Jepang gitu di supermarket.”
“Mmm… Iya, iya. Pernah sih lihat yang rumput laut itu…” kata
Mama. “Terus ikannya?”
“Beli yang fillet aja.
Di-steam! Bumbunya, ya…” Papa lalu
mendiktekan beberapa nama yang Mama tidak kunjung hafal. “Nasinya jangan nasi
biasa.”
“Iyalah! Beras ketan yang buat lemper gitu bisa kali ya?”
“Gimana, Be, suruh Mama besok belanja tuh,” Papa sadar juga
untuk menegurku.
Aku melengos dan terus mempertahankan cemberutku. “Ah, Mama
mah…. Bikin lemper aja enggak jadi-jadi!”
Tiba-tiba pecah tawa Papa. “Kapan bikin lemper?” Aku tidak
tahan untuk menoleh ke belakang dan melihat reaksi Mama yang tampaknya tidak
merasa bersalah.
“Minggu lalu…?” sahut Mama tidak yakin.
Tawa Papa muncul lagi. Kalau suara Papa seperti perempuan, mungkin
dia bakal disangka kunti! Papa melipat kedua lengannya, tapi tangan kanannya
terangkat ke depan mulut seakan dapat menghentikan tawanya. “Bikin lemper?”
Papa melirik Mama lagi lalu berpaling ke depan lagi dan geli lagi.
Mama memandang Papa dengan heran. Sepertinya rasa kesalku
telah menjalar padanya. Ganti aku yang termangu-mangu sementara Mama menonjok
lengan kiri Papa. “Udah, ah, jangan diulang-ulang!”
Sambil berjalan mundur aku memerhatikan tawa Papa yang timbul
lagi dan lagi tiap kali Mama mencoba untuk menghentikannya dengan berbagai cara
lainnya: mencubit pinggang, pipi, mengguncang-guncang lengan, berseru, “Heeei…!
Enggak ada yang lucu!”
Terbayang lagi kejadian di rumah Uwak Tata sewaktu Mama
memerhatikan petunjuk pembuatan lemper
dengan serius. Tangan Uwak Tata yang terampil berkali-kali memberi
contoh, dan berkali-kali pula Mama menggagalkan karyanya. Nasinya terlalu
lembek lah. Salah melipat daun lah. Isinya kebanyakan lah. Apa lah. Dan kapan
lagi aku menyaksikan Papa mengolok-olok Mama sepuas itu, sementara Mama
berusaha menyiksanya agar diam? Sepertinya rasa geli Papa telah menjalar
padaku. Aku mulai cekikikan. Pelan-pelan aku kembali menempati posisiku di
tengah mereka, lalu menggaet tangan keduanya dan mengayun-ayunkannya. Papa pulih
dari gelinya. Mama mendesah keras-keras—aku sempat melihat senyumnya sebelum
dia berpaling ke lain arah.
Pada kesempatan jalan-jalan berikutnya, dan berikutnya lagi,
lagi, dan lagi, aku menjadi semakin berani memaksa kedua orangtuaku untuk makan
di tempat-tempat gaul lainnya (tentu saja aku tidak pernah memikirkan nasib
kocek Papa—malah pernah suatu ketika dia meminta tambahan dari Mama). Biasanya
mereka menolak, tapi aku terus gigih sehingga adakalanya mereka mengiyakan. Dan
pulangnya, malam yang diisi dengan keluhan, ledekan, kekikiran, dan cekikikan
itu pun terulang lagi, dan lagi, sampai-sampai aku menjadi kebal, dan akhirnya
menemukan orang lain yang bisa diajak bersenang-senang….
Begitulah. Terima kasih, ya, Om, sudah menraktirku malam ini.
Tempatnya romantis banget…. Orangtuaku sih, mana mau diajak ke sini. Besok kita
mau jalan ke mana lagi, Om?[]
sehabis
jalan di bip—270614, tapi malam minggunya malah sepi karena malam pertama
tarawih kali ya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar