Minggu, 29 Juni 2014

Makan-makan Akhir Pekan

Sewaktu aku masih SD, kalau Papa sedang tidak bertugas, kedua orangtuaku akan membawaku berjalan-jalan ke keramaian kota, pada gemerlapnya akhir pekan. Tapi ini biasanya tidak begitu menyenangkan. Bukannya memenuhi keinginanku untuk melihat-lihat lebih dekat, memasuki salah satu restoran mewah itu, atau membelikanku pakaian yang bisa kupamerkan pada teman-teman, mereka malah menggiringku ke warung tenda langganan mereka dan memesankanku makanan dan minuman yang rasanya begitu-begitu saja.

Sampai pada suatu malam, aku memberontak. Aku cemberut sejadi-jadinya, menolak untuk diseret ke tempat yang itu lagi, itu lagi. “Aku pingin makan sushi! Pingin sushi!” seruku. Kusebutkan nama sebuah restoran yang pernah dikunjungi oleh seorang temanku. Orangtuanya sering membawanya makan di tempat-tempat keren setiap akhir pekan. Kupikir orangtuaku sebetulnya juga mampu. Lagipula Papa sering pergi ke luar negeri biarpun Mama bilang itu bukan pakai uang sendiri. Karena sikapku yang bersikukuh itu, tidak mau bergerak biarpun ditarik dengan sekuat apapun juga, kedua orangtuaku saling bertatapan, lalu Papa memutuskan, “Sekali-sekali enggak apa-apa kali, ya.”

Mama mengangkat bahu. “Ayo.”

Kami pun menuju restoran yang kumaksud. Letaknya di dalam mal. Suasananya agak temaram karena interiornya berwarna gelap. Ada beberapa tumbuhan semacam bambu di beberapa tempat tapi waktu itu aku tidak yakin apakah itu betulan atau bohongan. Kadang aku melongo saja memandangi gambar-gambar yang dipajang di dinding dan disorot oleh lampu-lampu kecil itu, sambil bertanya-tanya dalam hati kapan aku bisa mencoba kimono seperti yang dikenakan oleh perempuan dalam lukisan-lukisan itu.

Aku diperbolehkan untuk memesan apapun yang tampaknya menarik bagiku, sementara kedua orangtuaku agak lama menimbang-nimbang pesanan mereka. Waktu itu deretan angka di dalam menu sama sekali belum menarik bagiku. Aku memilih berdasarkan gambar yang dipajang saja.

Acara makan pun dimulai. Papa mengajariku cara menggunakan sumpit. Sebetulnya lebih enak makan pakai tangan. Tapi kupikir keren juga kalau aku bisa menggunakan sepasang tongkat kecil itu. Lalu Papa dan Mama mengobrolkan pengalaman Papa sewaktu ditugaskan meliput ke Jepang. Papa mencoba sushi di kedai yang mana para pengunjungnya duduk mengelilingi konter tempat pembuatan makanannya. Di kedai lain, dia berlesehan di atas tikar bambu. Aku sempat mendengar Mama bilang, “Jauh-jauh ke Jepang, tetap aja carinya yang murahan.” Lalu Papa membalas, “Entar enggak ada sisa buat yang minta oleh-oleh dong.”

Pesanan diantarkan. Aku berusaha makan dengan lahap. Rasanya sebetulnya agak aneh. Hampir-hampir tidak berasa malah. Kadang aku merasa agak mual dengan amis yang memasuki kerongkonganku. Waktu Papa bilang yang kumakan itu daging ikan mentah, aku hampir-hampir mengeluarkannya lagi. Tapi kerongkonganku keburu menelannya dalam-dalam. Setelahnya aku kelepasan menjulurkan lidahku. Aku berharap orang-orang berpeci (aku tidak tahu apa tepatnya nama topi yang mereka kenakan) di balik konter itu tidak melihatku. Aku takut mereka marah. Aku takut terutama pada orang yang bermata sipit karena pandangannya yang tajam itu. Jangan-jangan dia orang Jepang betulan. Sewaktu pelajaran Basa Sunda aku dan teman-temanku pernah memainkan drama tentang para serdadu Jepang dan orang-orang desa. Dalam dialog di buku pelajaran itu orang Jepang sering sekali menyerukan “Bagero! Bagero!” pada orang Indonesia. (Bahkan walaupun sekarang aku mendapatkan pelajaran Bahasa Jepang di sekolah, aku tetap tidak tahu apa itu artinya.) Jadinya aku takut diteriaki begitu sekeluarnya kami dari restoran itu.

Sepotong lagi yang tersisa di hadapanku, tapi namanya onigiri, bukan sushi. Aku tahu dari komik Jepang yang kupinjam dari temanku. Kali ini aku memulainya dari bagian yang paling aneh dulu. Aku melepaskan selaput hijau dari segitiga nasi yang padat itu, lalu melahapnya sekaligus. Aku merasakan lembaran itu menjadi lembek dalam mulutku. Amisnya… huek. Aku menelannya dengan susah payah. Mataku terpejam rapat-rapat. Ketika mataku terbuka, kulihat Mama dan Papa memandangku dengan geli. Untungnya mereka tidak terus mengolok-olokku. Mereka melanjutkan obrolan mereka sementara aku menyeruput es tehku dengan rakus. Setelah mulutku terasa netral, aku mengambil kudapan terakhirku yang agak mirip lemper itu. Sayang, tidak ada isinya…. Oh, isinya kan yang tadi, yang berwarna hijau dan ditempel di luar itu! Aku memakan nasi yang agak lengket itu pelan-pelan. Agak amis juga, mungkin bekas kertas hijau yang tadi. Tapi selebihnya terasa biasa-biasa saja. Mama dan Uwak Tata pernah membuat yang semacam ini—lemper ding. Buatan Mama gagal, tapi begitu masuk ke dalam mulut terasa sama enaknya dengan buatan Uwak Tata yang utuh-utuh saja.

Dari restoran itu, kami lalu pulang berjalan kaki. Sebetulnya kami punya motor, tapi seringkali gagasan untuk berjalan kaki melintas begitu saja di kepala kedua orangtuaku seperti anak-anak muda yang lagi kepingin seru-seruan. Jadi inilah kami, berusaha untuk tidak menatap dengan jemawa pada ratusan kendaraan yang terjebak dalam kemacetan di malam hura-hura, sementara kami bebas bergerak di atas kaki kami sendiri. Kalau aku capek, kadang mereka bergantian memanggulku. Tapi seringnya Papa yang melakukannya. Mama sih, baru menggendong beberapa meter saja sudah encok. Sewaktu aku sudah lebih besar, aku baru tahu kalau jarak yang kami tempuh dari sekitaran balaikota itu sampai ke rumah sebenarnya jauh juga. Tapi karena sambil mendengarkan suara kedua orangtuaku mengobrol, juga orang-orang yang kami lewati, menikmati bermacam-macam pemandangan malam, dan kadang larut dalam imajinasiku sendiri, aku tidak merasakan jarak tersebut. Tahu-tahu kami sudah sampai di rumah, ganti baju, gosok gigi, cuci kaki, dan tidur. Tapi malam itu agak lain.

Seperti biasanya, aku berjalan di tengah. Tangan kiri Papa menggandeng tangan kananku, sementara tangan kanan Mama menggenggam tangan kiriku. Sesekali dengan bertumpu pada pegangan mereka aku mengayunkan diriku sendiri. Kedua orangtuaku dengan sigap menahan bebanku biarpun mulut mereka tetap asyik mencerocos pada satu sama lain.

Kali ini mereka membicarakan tentang kesan yang mereka dapatkan dari restoran tadi. Dari nadanya saja aku tahu kalau mereka tidak puas. Mama mengeluhkan betapa besarnya harga yang harus dibayarkan tadi untuk seporsi kecil dan sedikit pula makanan yang disuguhkan, lalu bertanya pada Papa apa di negara asalnya memang begitu adanya. Papa bergumam, mengingat-ingat. “Apa karena dagingnya impor?” imbuh Mama.

“Iya sih. Mestinya enggak semahal itu juga. Waaah…” Papa menanggapi, lalu menambahkan dengan perbandingan rasa dan harga antara kedua negara, lengkap dengan hitung-hitungan dari yen ke rupiah.

“Jadi harusnya lebih enak dari yang tadi ya?” kata Mama.

“Kalau makannya cuman di tempatnya Pak Mi’un sih bisa buat empat kali jajan itu,” suara Papa.

Sepanjang jalan mereka seakan tak henti-hentinya mencela restoran tadi. Bahkan harga segelas air mineral pun tidak luput dari pengamatan mereka. Apalagi sewaktu kami memasuki jalan yang tidak dilewati banyak kendaraan, penyesalan mereka terdengar jelas di kupingku. Aku mulai disusupi rasa bersalah, tak enak, dan malu. Di sisi lain aku berprasangka mereka sengaja mengulang-ulang keluhan itu hanya untuk meledekku, menyalahkanku. Apalagi mereka tadi kan sempat melihat aku sendiri sebenarnya tidak begitu menikmati sajian itu.

“Lain kali makan di tempat yang biasa aja, ah,” kata Papa. “Di tempat kayak gitu mah, mahal kan cuman bayar suasana sama servisnya aja. Enggak jamin rasa.”

“Makan mah enggak usah yang mahal-mahal lah, yang penting kenyang, enak,” Mama menyetujui.

“Mahal tapi enggak kenyang,” ulang Papa dengan nada geli yang bagiku terdengar bagai cemooh.

Aku lalu mencampakkan kedua tangan yang menggandengku itu, dan berjalan cepat-cepat, berusaha mendahului mereka, walau tidak berani terlalu jauh. Di depan sana gelap sih.

Mereka terdiam. Tapi tak satupun yang menegurku. Aku melipat kedua lenganku di depan dada rapat-rapat. Pipi segembung jambu biji. Mereka seakan tidak menyadari sama sekali kedongkolanku waktu itu.

Entah berapa lama kami berjalan dalam bisu. Hanya derik serangga malam yang mendekam dalam pepohonan yang menaungi kami, juga deru kendaraan yang melintas sesekali. Perjalanan itu menjadi terasa jauhnya bagiku. Namun dengan kekesalanku aku tidak peduli. Aku menjaga lajuku agar selalu berada di depan mereka. Langkah-langkah mereka yang jauh lebih besar daripadaku hampir tidak terdengar di belakang sana. Maka sesekali aku terpaksa menajamkan pendengaran untuk memastikan mereka tidak tahu-tahu menghilang. Setelah merasakan keberadaan mereka lagi, aku kembali pada kekesalanku. Kalau saja aku punya banyak uang, aku bisa membeli makanan apapun yang kuinginkan, lalu menyelundupkannya di kamar dan tidak membaginya pada siapapun, apalagi pada Mama dan Papa! Tapi Mama selalu menolak untuk menambah uang jajanku. Papa juga, kalau aku bilang ingin mencoba sesuatu yang baru, pasti bilang, “Itu kan, bikin sendiri juga bisa!”

“Kayaknya bikin di rumah juga bisa deh.” Tuh kan. Baru saja aku memikirkannya, terdengar suara Papa . “Sekarang kan udah banyak yang jual produk-produk Jepang gitu di supermarket.”

“Mmm… Iya, iya. Pernah sih lihat yang rumput laut itu…” kata Mama. “Terus ikannya?”

“Beli yang fillet aja. Di-steam! Bumbunya, ya…” Papa lalu mendiktekan beberapa nama yang Mama tidak kunjung hafal. “Nasinya jangan nasi biasa.”

“Iyalah! Beras ketan yang buat lemper gitu bisa kali ya?”

“Gimana, Be, suruh Mama besok belanja tuh,” Papa sadar juga untuk menegurku.

Aku melengos dan terus mempertahankan cemberutku. “Ah, Mama mah…. Bikin lemper aja enggak jadi-jadi!”

Tiba-tiba pecah tawa Papa. “Kapan bikin lemper?” Aku tidak tahan untuk menoleh ke belakang dan melihat reaksi Mama yang tampaknya tidak merasa bersalah.

“Minggu lalu…?” sahut Mama tidak yakin.

Tawa Papa muncul lagi. Kalau suara Papa seperti perempuan, mungkin dia bakal disangka kunti! Papa melipat kedua lengannya, tapi tangan kanannya terangkat ke depan mulut seakan dapat menghentikan tawanya. “Bikin lemper?” Papa melirik Mama lagi lalu berpaling ke depan lagi dan geli lagi.

Mama memandang Papa dengan heran. Sepertinya rasa kesalku telah menjalar padanya. Ganti aku yang termangu-mangu sementara Mama menonjok lengan kiri Papa. “Udah, ah, jangan diulang-ulang!”

Sambil berjalan mundur aku memerhatikan tawa Papa yang timbul lagi dan lagi tiap kali Mama mencoba untuk menghentikannya dengan berbagai cara lainnya: mencubit pinggang, pipi, mengguncang-guncang lengan, berseru, “Heeei…! Enggak ada yang lucu!”

Terbayang lagi kejadian di rumah Uwak Tata sewaktu Mama memerhatikan petunjuk pembuatan lemper  dengan serius. Tangan Uwak Tata yang terampil berkali-kali memberi contoh, dan berkali-kali pula Mama menggagalkan karyanya. Nasinya terlalu lembek lah. Salah melipat daun lah. Isinya kebanyakan lah. Apa lah. Dan kapan lagi aku menyaksikan Papa mengolok-olok Mama sepuas itu, sementara Mama berusaha menyiksanya agar diam? Sepertinya rasa geli Papa telah menjalar padaku. Aku mulai cekikikan. Pelan-pelan aku kembali menempati posisiku di tengah mereka, lalu menggaet tangan keduanya dan mengayun-ayunkannya. Papa pulih dari gelinya. Mama mendesah keras-keras—aku sempat melihat senyumnya sebelum dia berpaling ke lain arah.

Pada kesempatan jalan-jalan berikutnya, dan berikutnya lagi, lagi, dan lagi, aku menjadi semakin berani memaksa kedua orangtuaku untuk makan di tempat-tempat gaul lainnya (tentu saja aku tidak pernah memikirkan nasib kocek Papa—malah pernah suatu ketika dia meminta tambahan dari Mama). Biasanya mereka menolak, tapi aku terus gigih sehingga adakalanya mereka mengiyakan. Dan pulangnya, malam yang diisi dengan keluhan, ledekan, kekikiran, dan cekikikan itu pun terulang lagi, dan lagi, sampai-sampai aku menjadi kebal, dan akhirnya menemukan orang lain yang bisa diajak bersenang-senang….

Begitulah. Terima kasih, ya, Om, sudah menraktirku malam ini. Tempatnya romantis banget…. Orangtuaku sih, mana mau diajak ke sini. Besok kita mau jalan ke mana lagi, Om?[]

 

sehabis jalan di bip—270614, tapi malam minggunya malah sepi karena malam pertama tarawih kali ya.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain