Senin, 23 Januari 2012

Rebut Ruang(publik)mu!

Setelah kejadian tak terduga, yang bikin Nur harus “mengusir” Haryo secara halus dan saya jadi gaul secara tak sengaja, jadi juga kami melaju ke Common Room Minggu petang itu, 22 Januari 2012. Selain Nur, Rizka dan Rizkita juga menyerta. Kami adalah yang tersisa dari gerombolan anak belakang angkatan enam sebuah SMP di Kota Bandung.

Tak ada satupun dari kami yang sudah pernah ke Common Room. Setelah memarkir motor di tempat yang lebih benar di depan tempat gaul tersebut, kami bersua rombongan dari ST INTEN yang berjumlah tiga orang—satu cowok dua cewek. Siapa sangka maksud kami sama! Karena pada sungkan, akhirnya saya jadi yang terdepan. Pemuda dari ST INTEN yang jalan di belakang saya bilang kalau dia ke sini mau beli ayam.

Kami melewati kumpulan pria berpakaian dominan hitam sebelum kami benar-benar memasuki bangunan yang menyerupai rumah tersebut. Ada semacam ruang pamer yang kami lalui pula sebelum kami benar=benar berjumpa keramaian. Tentu saja acara sudah dimulai! Nur dan Rizkita masih saja menyimpan sungkan, sedang saya dan Rizka sudi tersedot animo.

Setelah galau beberapa saat yang diakhiri dengan registrasi melalui laptop, Nur dan Rizkita malah cari tempat solat. Saya dan Rizka ikut anjuran untuk duduk di atas rerumputan yang tertimpa block. Tiga muda/i dari ST INTEN mengekor.

Tak afdol kalau disuguhi materi menarik namun tak mengikatnya dalam catatan. Tapi yang saya bawa hanya jaket Nur dan penampilan, ponsel pun tidak! Alhamdulillah Rizka bawa pulpen, tapi tidak sesuatu yang pantas ditulisi. Untung Nur menyimpan bungkus bekas permen karet di kantong jaketnya.

Jadi daripada tidak ada foto saat kejadian untuk mewarnai tulisan ini, saya sajikan saja apa yang menarik saya lantas menarik teman-teman untuk datang ke mari. Gambar ini saya peroleh dari dinding komunitas Aleut di Facebook.


Pembicara pertama berasal dari Keukeun. Dengan tajuk “the spice of space”, kami kira Keukeun ini semacam komunitas yang kegiatannya masak-masak di ruang publik. Karena kami telat, sayang sekali kami tidak mendapatkan materi dari awal. Ketika kami datang, pembicara sedang menerangkan jenis ruang publik yaitu ruang publik terbuka dan ruang publik tertutup. Karena saat itu kami masih mengondisikan diri, maka kami kurang menyerap materi.  

Setelah penjelasan mengenai ruang publik, pembicara menceritakan bagaimana Keukeun memanfaatkan ruang publik yang ada untuk acara komunitas tersebut. Acara yang dihelat entah kapan itu, maklum saat itu konsentrasi belum penuh, tidak hanya melibatkan Keukeun sebagai penyelenggara, melainkan juga warga Cikapundung, pemerintah kota, dan Museum Konferensi Asia Afrika.

Selama lima bulan, Keukeun melakukan pendekatan dengan pihak-pihak lain, terutama warga Cikapundung. Bagi warga, sering ada acara di wilayah mereka namun mereka sendiri kurang menikmati acara tersebut karena tidak diajak. Nah Keukeun ingin menarik partisipasi sebesar mungkin dalam acara yang bakal memindahkan dapur keluar rumah ini.

Acara yang terwujud kemudian tidak sekadar masak-masak di Jalan Cikapundung, tapi juga ada pertunjukan musik dan lain-lain. Menonton video dokumentasi acara tersebut bikin kami penasaran untuk ikut mencicip makanan yang diproses di ruang terbuka.

Ada sebuah kunci yang pembicara berikan:

good ideas x well documented x networking
powerful epidemic

Keukeun berencana untuk bikin acara lagi Februari mendatang. :D

Setelah pembicara pertama undur diri, kami disuguhi sebuah video dari TED. TED sendiri adalah penyelenggara acara ini. TED adalah singkatan dari Technology Entertainment (and) Design. Sebetulnya, selengkapnya adalah TEDX. X di atas berarti independently apa begitu… he he… intinya sih EO yang secara independen menyelenggarakan acara-acara TED.

inilah High Line...!
Video menampilkan seorang pembicara yang menceritakan sebuah rel kereta api mati, dikenal sebagai High Line, di New York. Pemerintah berencana untuk menyingkirkan rel yang telah ditumbuhi rerumputan liar tersebut, namun sang pembicara dengan temannya memiliki gagasan lain.

Mereka merancang agar rel tersebut bisa dimanfaatkan sebagai ruang publik. Jadi rel tersebut akan dibikin jadi semacam jalan layang—bukan untuk kendaraan melainkan agar masyarakat bisa berjalan-jalan! Tumbuhan akan mengisi bagian tengah jalan yang dikeliling gedung-gedung tersebut. Bagian tepi diisi dengan bangku-bangku sehingga para pengunjung bisa duduk dan bercengkerama, selebihnya dihiasi tanaman pula. Kerangka billboard ditaruh di sisi luar jalan bukan untuk memajang iklan melainkan membingkai para pengunjung yang berada di baliknya.

Setelah video mengenai gagasan nan menakjubkan itu, seorang pembicara yang konon “tamu misterius” tampil di depan kami. Dia adalah Gadis, siswi kelas dua SMAN 19 Bandung, yang sudah aktif berkomunitas sejak kelas tiga SMP. Dia merupakan salah satu penggagas Hayu Ulin di Baksil! (HUB).

Baksil alias Babakan Siliwangi adalah hutan kota di dekat ITB yang pernah hendak dibangun jadi kondominium dan macam-macam, namun kelompok-kelompok masyarakat gigih mempertahankannya sebagai ruang terbuka hijau.

Apa yang dia sampaikan berhubungan dengan video TED sebelumnya. Bermula dari kesukaan bersepeda di Baksil, ditambah maraknya isu pembangunan Baksil, Gadis dan teman-temannya membuat video mengenai aktivitas bersepeda di Baksil. Setelah diunggah di media sosial, video ini rupanya menarik penontonnya untuk bersepeda juga di Baksil.

Namun tentu saja aktivitas yang bisa dilakukan di Baksil bukan hanya bersepeda. Gagasan ini mewujud jadi gerakan HUB. Sejumlah komunitas telah beraktivitas di sini. Tanpa komunitas pun, kita sebetulnya bisa meramaikan Baksil dengan mengajak teman-teman nongkrong di jembatannya. Jembatan yang dirancang mahasiswa Teknik Arsitektur UGM ini membelah hutan tersebut sehingga memberikan kesan Baksil sebagai hutan yang terbuka.

suhuf yang terkumpul selama acara... (catatan materi)
Ada sebuah kutipan milik ketua Walhi dalam presentasi Gadis, “Satu-satunya cara mempertahankan Baksil adalah dengan meramaikannya.”

Setelah mensosialisasikan HUB melalui berbagai media, keinginan Gadis cs selanjutnya adalah membuat buku kecil mengenai panduan berbagai aktivitas yang bisa dilakukan di Baksil. Baksil bisa kok jadi tempat main yang asyik! Baksil juga bisa jadi tempat belajar yang menyenangkan. Ada beberapa spesies menarik di Baksil, seperti pohon cokelat dan pohon yang bagiannya bisa dimanfaatkan jadi minuman cola. Jika pembangunan benar-benar terjadi, sayang sekali kalau spesies-spesies tersebut harus menyingkir…

Setelah Gadis, kami disajikan kembali video dari TED. Pembicara dalam video itu menyajikan lagi video yang membantunya menerangkan bagaimana membuat suatu “gerakan”.

Dalam video yang berlatar sebuah ruang terbuka dengan rerumputan dan orang-orang yang sedang leyeh-leyeh di atasnya, seseorang mendadak berdiri lalu berjoget. Satu-dua orang mengikuti. Beberapa orang menyusul. Dalam waktu singkat, jumlah orang yang berjoget jadi semakin banyak dan terus bertambah. Bagaimana tidak, kalau kamu tidak ikut, kamu mungkin akan diolok-olok karena tidak menjadi bagian dari sesuatu yang wow. Sesuatu itu mulanya berbeda, namun ketika banyak orang melakukannya, maka mereka yang tidak ikutlah yang berbalik menempati posisi “beda”.

Menurut sang pembicara, sebenarnya yang berperan penting dalam suatu gerakan adalah pengikut pertama. Dialah yang mengubah orang sinting jadi pemimpin. Dia yang bikin orang lain jadi lebih tertarik untuk mengikuti juga.

Pembicara dari Aleut pun ditampilkan. Dengan materi bertajuk “Apresiasi Kota untuk Mencintai Tempat Tinggal Kita”, pembicara menjelaskan apa itu Aleut dan kegiatan apa saja yang dilakukannya. Komunitas ini berupaya mencintai kota dengan jalan-jalan. Yeah. Tentu tak sekadar jalan-jalan. Sambil jalan-jalan, ada saja cerita yang dibagi mengenai apapun yang ada di sekitar mereka. Cerita itu bisa berupa sejarah sebuah bangunan, informasi sebatang pohon, pembangunan sebuah saluran, dan lain-lain. Apresiasi menghasilkan penghargaan dan penghargaan membuahkan cinta.

Aleut sendiri konon berasal dari kata dalam bahasa Sunda, “ngaleut”, yang artinya jalan-jalan. Komunitas ini mengadakan kegiatan setiap Minggu. Siapapun bisa gabung. Menurut Rizka, yang pernah ikut acara Aleut saat SMA—kakaknya pun pernah aktif di komunitas ini, biasanya anak-anak Aleut kumpul di Jalan Sumur Bandung. Waktu, biaya, dan rute atau lokasi jalan-jalan sudah ditentukan sejak hari sebelumnya.

Kalau belum jadi anggota tapi ingin ikut kegiatan Aleut, minta saja jadi teman Aleut di Facebook lalu pantau dindingnya menjelang Minggu untuk mengetahui agenda terdekat. Itulah yang dilakukan Reza, pemuda dari ST INTEN. Saya juga tahu acara di Common Room ini pas iseng buka dinding Aleut. Sepanjang acara, sedikit-sedikit Reza jadi teman bercanda saya dan Rizka.

Sebelum penyerahan kaktus pada para pembicara, acara diakhiri dengan pembagian goodie bag dan sosialisasi dari Taman Foto Bandung. Komunitas ini terbilang baru tapi sudah ramai peminat. Misinya adalah untuk pemanfaatan ruang publik juga, terutama taman. Ada enam ratusan taman di Kota Bandung, meski yang berukuran besar dan layak jadi tempat jalan-jalan mungkin hanya belasan. Nah, intervensi yang dilakukan TFD adalah melalui fotografi.

Sekitar jam lima, setelah acara benar-benar dibubarkan, anak-anak Aleut kumpul di depan Common Room untuk koordinasi. Jumlah mereka kiranya separuh dari jumlah peserta acara sebelumnya. Malam itu, mereka hendak ke Pecinan. Mereka berencana kumpul di Jalan Sumur Bandung dulu pada jam tujuh lalu berangkat ke tujuan jam delapan. Sambil pegang kaktus ke mana-mana, pembicara dari Aleut menyambut dengan sangat terbuka kami yang ingin gabung.

Semula, saya dan tiga sekawan ingin ikut jalan-jalan bareng Aleut. Namun malamnya acara dan tanggungan Nur untuk memeriksa hasil ujian praktikum bikin kami urung. Jadi kami pamit pada Reza dan kawan-kawan. Semula Nur dan Rizkita yang mengajak mereka berkenalan, baru saya dan Rizka mengikuti dan mengetahui bahwa bocah yang tadi asyik sama kami ternyata bernama Reza. Dan mahasiswa angkatan 2010 itu pun melepas kepergian kami dengan tatapan kehilangan wa ha ha…

Nur dan Rizkita, plus pembonceng masing-masing, pun kembali ke masjid UNPAD karena Rizka hendak solat. Saat Nur dan Rizkita sedang berlalu, saya dan Rizka membahas acara barusan.

Menurut Rizka, acara ini jadinya sekadar promosi komunitas-komunitas. Bagi saya hal ini bukan masalah dan merasa kata “sosialisasi” lebih tepat ketimbang “promosi”. Namun kami menyadari bahwa kiranya kebanyakan peserta berasal dari komunitas-komunitas yang dipaparkan tadi—sebagian mungkin panitia.

Sosialisasi memang layak dilakukan pada sebanyak-banyaknya orang. Namun, kiranya lagi, akan lebih baik apabila sosialisasi dilakukan pada orang-orang non komunitas ketimbang pada orang-orang yang sudah berkomunitas. Bisa dimaklumi mengapa yang hadir adalah orang-orang dari komunitas itu juga, toh publikasi ditaruh di media komunitas tersebut. Bukan karena penyelenggara tidak perhatian sama orang-orang non komunitas juga kan, mereka toh sudah mempublikasikan acara ini di media-media yang tersedia dan tidak menghalangi siapapun untuk menghadirinya. Masalahnya, jika arti komunitas itu begitu penting, bagaimana cara menarik orang-orang non komunitas agar mau berkomunitas?

Siapapun berhak memanfaatkan ruang publik. Ruang publik bukan sekadar milik komunitas. Ruang publik juga milik pejalan kaki yang lagi galau dan kesepian, pun individu-individu yang sekadar lagi cari inspirasi. Namun seperti yang dikatakan pembicara dalam salah satu video, ruang publik memungkinkan kita saling bergandengan tangan di tengah hiruk-pikuk kota besar. Barangkali aktivitas di ruang publik berpotensi untuk meminimalisir fenomena renggangnya kohesi sosial— keterasingan—antar warga perkotaan? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...