Senin, 30 Januari 2012

Andai Duniamu Sunyi dan Kelam


Pagi menjelang siang. Saya bersiap untuk mengurus skripsi saya lagi. Saya memilih sebuah cakram yang menyimpan lagu-lagu dari Rumah Sakit—band indie Indonesia era 90-an—untuk menemani saya.

harmonika yang sudah lama tak kukecup
Di cakram itu, tersimpan pula lagu-lagu yang memuat permainan harmonika. Saya mengumpulkan lagu-lagu tersebut saat lagi keranjingan harmonika. Salah satu lagu yang terkumpul mengombinasikan permainan harmonika dengan beatbox.

Mendengar dentuman-dentuman yang dicipta mulut, seketika ingatan saya melayang pada kenangan saat saya jadi sukarelawan dalam salah satu acara pendamping Biennale Jogja XI, yaitu Family Day, 11 Desember 2011 lalu. Tugas saya waktu itu adalah mengurus bahan dan peralatan masak yang digunakan selama lomba memasak makanan India.

Ada tiga sesi dalam lomba. Jeda pergantian sesi dua dengan sesi berikutnya diisi oleh pertunjukan beatbox. Namun ini bukan beatbox biasa. Tiga pemuda mula-mula tampil untuk mengkreasikan permainan mulut. Di antara mereka ada yang tuna rungu. Selanjutnya, lebih banyak anak muda tampil. Kebanyakan mereka adalah laki-laki. Jumlah semuanya tidak sampai belasan, saya kira. Semuanya tuna rungu. Dengan mengandalkan dentuman yang teraba jantung, mereka menemukan irama yang memandu mereka dalam menampilkan koreografi. Tidak hanya tubuh yang bergoyang, gerakan tangan mereka juga merangkai lirik-lirik yang hanya bisa dimengerti kalangan tertentu. Bahasa isyarat, ya.

Dari belakang panggung, saya melihat wajah-wajah terpana yang menyaksikan pertunjukan luar biasa… yang memang hanya bisa saya saksikan dari belakang itu…

Sesudahnya, seorang pria—katakanlah om pendamping—naik ke panggung juga. Dia menjelaskan bahwa ketika kita, audiens, bertepuk tangan—semeriah apapun—itu tidak begitu berarti bagi mereka. Ia memberitahu kami bagaimana cara yang lebih tepat dalam mengapresiasi mereka. Saya lupa bagaimana, maaf, he he.

Tapi tidak hanya itu yang ia sampaikan pada kami. Ia menjelaskan apa yang sebenarnya para penampil kita tadi sampaikan melalui gerakan-gerakan mereka—gerakan tangan terutama. Kami diberitahu bagaimana cara menyampaikan cinta kami pada mereka. Ini yang paling saya ingat. Kepalkan jari, lalu berdirikan kelingking serta telunjuk dan jempol. Tanda metal? Ya—bukan. Ini artinya “I Love You”. Kelingking merefleksikan “I”—“Aku”—sedang telunjuk dan jempol membentuk “L” dari “Love”. “U” alias “You”—“Kamu” dibentuk kelingking dan telunjuk. Begitulah interpretasi sok tahu saya, disebabkan daya ingat saya yang terbatas.

Kalau tidak salah pula, beberapa hari atau minggu setelah acara tersebut, mereka tampil lagi di Taman Budaya Yogyakarta.

Setelah kenangan itu, saya membayangkan jika dunia saya menjadi sunyi. Yang Cinta AADC katakan jadi semata dusta. Saya sudah ke pasar, tapi tidak hingar bingar. Saya sudah pecahkan gelas, tapi tidak ramai. Mengapa saya harus belajar menari dengan diiringi beatbox agar orang-orang tertarik pada apa yang ingin saya sampaikan? Memangnya mereka mengerti gerakan-gerakan tangan saya? Mengapa mereka harus memerhatikan saya?

Renungkan saja. Betapa komunikasi lisan begitu berarti bagi kehidupan kita. Betapa kita kangen mendengar candaan teman-teman kita. Betapa kita tenteram kala mendengar orang mengaji. Betapa kita seolah tiada energi kalau tidak mendengarkan musik sama sekali barang sehari saja.

Siang. Cakram yang sama memperdengarkan lagu “Beautiful” dari Belle Sebastian—band indie Skotlandia. Lagu ini adalah tentang Lisa yang karena suatu hal akan menjadi buta. Tidak ada yang bisa dilakukan lagi untuk mengubah itu, terepresentasikan dalam penggalan, “They let Lisa go blind.” Sang pendendang kemudian menuturkan proses yang dialami Lisa dalam menghadapi situasi tersebut.

Saya seperti mendengar Lisa berkata,


Orang-orang bilang aku cantik, tapi aku tidak bisa melihatnya
Meski aku sudah minta dihadapkan pada kaca,
                                namun tetap yang kulihat, kelam


Renungkan saja. Bagaimana mata telah membukakan sebegitu luasnya dunia pada kita. Bagaimana menyapukannya pada kata-kata lantas memaknainya telah jadi kebutuhan yang tidak bisa dilepaskan. Bagaimana sosok aktor dan aktris dalam layar melarikan kita dari kebosanan akan kehidupan biasa. Bagaimana seulas senyum dapat menampakkan artinya, bahkan menjadi sedekah, melalui mata.

Bagaimana jika hidupmu tanpa itu?
Apa kamu rela potensi dirimu yang besar itu tersia-siakan hanya karena satu saja indramu tak berfungsi?
Apa kamu akan biarkan nila setitik merusak susu sebelanga?
Tidakkah potensi bagai susu, bagi mereka yang suka susu?

Daripada tertohok sendiri, mending bagi-bagi. Barangkali ada di antara kamu yang lebih bisa menyatakan peduli?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...