Pada 13 – 16 Oktober 2010, saya berkesempatan untuk pulang ke Bandung. Tak sedikit sesuatu menarik yang saya temu dan alami selama di sana. Saya coba mengabadikan dengan gadget yang ada, meski hasilnya pas-pasan. Inilah mereka.
13 Oktober 2010
# Gaya tidur pacarnya Welwel (1)
Belum ada yang menamainya, jadi saya sebut saja dia sebagai pacarnya Welwel. Dia bergabung dalam keluarga kami pada pertengahan tahun ini. Lumayan, untuk menakut-nakuti para tikus sebab para kucing pejantan di rumah kami tiadalah berguna. Sejak itu, kerjanya hanya diam di rumah cari-cari kesempatan untuk curi-curi dalam kesempitan, antara lain dengan menunggui saya makan. Sebagai betina, dia adalah seekor agresif. Sepertinya dia sedang hamil. Dan ternyata dia memiliki gaya tidur yang tak kalah aneh dari Welwel!
14 Oktober 2010
# Gaya tidur pacarnya Welwel (2)
Ini adalah gaya tidur lain dari pacarnya Welwel.
# Penghitung waktu mundur di lampu merah
Entah sejak kapan yang seperti ini dipasang di Bandung. Apakah memang baru-baru ini—sejak sesudah kepulangan saya ke Bandung sebelumnya—atau memang saya saja yang baru ngeh? Yang jelas saya kira Jogja lebih dulu memasang alat ini—bahkan sejak sebelum saya kuliah di sana. Akhirnya di Bandung ada juga yang begini. Foto diambil di perempatan dari Jalan Riau menuju Jalan Laswi dan dari Kosambi menuju Cicadas.
# Asbak dari kardus kecil
Saya merasa abang penjaga konter pulsa dekat rumah saya ini kreatif juga.
# Ladies Driver Zone
Olala, sudah berapa lama saya tak ke mal? Entah sejak kapan itu terpasang! Foto ini saya ambil di basement BSM, sebelum menuju Bread Talk untuk membeli sesuatu yang bisa dibagikan pada teman sekelas Inda.
Keesokan harinya, saya menyibak KOMPAS Minggu edisi triple ten dan membaca komik strip Mice di mana dia dan temannya sengaja berdandan bak wanita supaya mendapat akses parkir di zona ini.
Kapan ya, saya bisa memarkir mobil di sini? Setidaknya saya tidak harus pakai toket palsu.
15 Oktober 2010
# Eat (Beng-beng) Pray (Isya) Love (to Talk) with Juhe
13 Oktober 2010
# Gaya tidur pacarnya Welwel (1)
Belum ada yang menamainya, jadi saya sebut saja dia sebagai pacarnya Welwel. Dia bergabung dalam keluarga kami pada pertengahan tahun ini. Lumayan, untuk menakut-nakuti para tikus sebab para kucing pejantan di rumah kami tiadalah berguna. Sejak itu, kerjanya hanya diam di rumah cari-cari kesempatan untuk curi-curi dalam kesempitan, antara lain dengan menunggui saya makan. Sebagai betina, dia adalah seekor agresif. Sepertinya dia sedang hamil. Dan ternyata dia memiliki gaya tidur yang tak kalah aneh dari Welwel!
14 Oktober 2010
# Gaya tidur pacarnya Welwel (2)
Ini adalah gaya tidur lain dari pacarnya Welwel.
# Penghitung waktu mundur di lampu merah
Entah sejak kapan yang seperti ini dipasang di Bandung. Apakah memang baru-baru ini—sejak sesudah kepulangan saya ke Bandung sebelumnya—atau memang saya saja yang baru ngeh? Yang jelas saya kira Jogja lebih dulu memasang alat ini—bahkan sejak sebelum saya kuliah di sana. Akhirnya di Bandung ada juga yang begini. Foto diambil di perempatan dari Jalan Riau menuju Jalan Laswi dan dari Kosambi menuju Cicadas.
# Asbak dari kardus kecil
Saya merasa abang penjaga konter pulsa dekat rumah saya ini kreatif juga.
# Ladies Driver Zone
Olala, sudah berapa lama saya tak ke mal? Entah sejak kapan itu terpasang! Foto ini saya ambil di basement BSM, sebelum menuju Bread Talk untuk membeli sesuatu yang bisa dibagikan pada teman sekelas Inda.
Keesokan harinya, saya menyibak KOMPAS Minggu edisi triple ten dan membaca komik strip Mice di mana dia dan temannya sengaja berdandan bak wanita supaya mendapat akses parkir di zona ini.
Kapan ya, saya bisa memarkir mobil di sini? Setidaknya saya tidak harus pakai toket palsu.
15 Oktober 2010
# Eat (Beng-beng) Pray (Isya) Love (to Talk) with Juhe
Memasuki Fakultas Psikologi tidak hanya jadi anugrah bagi Juhe, tapi juga bagi saya. Entah sejak kapan pertemuan kami kerap diisi oleh pembicaraan seputar dunia intrapersonal. Amat menarik bagi saya. Saya jadi bisa mengklarifikasi spekulasi-spekulasi saya terhadap diri sendiri dan kehidupan—sepertinya sejak SMP banyak waktu saya habis hanya untuk itu. Dan sebagai calon psikolog yang baik, dia dituntut untuk mendengarkan apapun yang hendak saya katakan. Juga membuka cakrawala pikiran saya demi datangnya solusi dan inspirasi.
Sejak Despicable Me Ramadhan lalu, dan Eat Pray Love kini, adalah dua film yang cukup memberi kesan berarti bagi saya. Kalau ingin mendapat rekomendasi film-film bermutu, juga copy-nya, minta saja pada Juhe. Atau bilang sama dia, “Kalau mau ke XXI, ajak-ajak yaaa…”
Despicable Me menyampaikan sebuah pesan pada saya agar jangan mau terus-menerus dicemooh—meskipun orangtua sendiri yang melakukannya. Kita boleh gagal dalam mencapai suatu tujuan besar, tapi akhir yang jauh lebih indah adalah jika kita bisa memberi arti bagi hidup orang lain, serta membuktikan bahwa kita bisa lebih baik dari orang yang selama ini mencemooh kita. Dan bisa jadi, pencemooh terbesar dalam hidup kita adalah diri kita sendiri (catatan untuk orang dengan self esteem rendah, haha).
Kalau saya tak salah tangkap, Eat Pray Love adalah cerita mengenai seseorang yang ingin mendapatkan keseimbangan dalam hidupnya. Untuk mendapatkan itu, tidak berarti kita harus lari dari satu hal yang selama ini meresahkan kita—dalam film ini adalah cinta. Untuk menanggung risiko dari mencintai dan dicintai, adalah arti dari keseimbangan hidup itu sendiri. Kira-kira begitulah.
Sudah hampir tengah malam ketika kami pulang dari BSM karena menonton film terakhir. Juhe menginap di rumah saya dan kami mengobrol sampai sekitar pukul dua dini hari. Seperti Liz, yang tak bisa henti menciumi Felipe saat mereka sedang kasmaran-kasmarannya, padahal Liz harus bertemu Ketut, terasa berat juga bagi kami untuk mengakhiri obrolan. Tapi Juhe ada acara pukul enam pagi sementara saya jelas sudah telat untuk menonton 30 Rock. Dan kami sama mengantuk.
Ketika mentari sudah naik sepenggalan pada terang berikut, Juhe resmi jadi mahasiswa berprestasi 2010 Fakultas Psikologi UNPAD sedang saya telah sampai pada suatu kesadaran. Kesadaran bahwa saya telah mencapai tujuan saya dalam memasuki Fakultas Kehutanan UGM—khususnya jurusan KSDH. Adalah suatu perasaan puas saya dapatkan, namun membawa saya pada perenungan baru. Menetapkan tujuan adalah penting, tapi masak tujuannya hanya begitu?
16 Oktober 2010
# Dikira buah, nggak tahunya balon…
Apakah ini adalah balon yang kuat menopang tubuh saat kita menunggang di atasnya? Yang bisa kita perlakukan bak kuda-kudaan? Harus lihat umur sepertinya. Semoga laku daganganmu nan lucu ini, ya, Pak Peniup Balon… Amin…
Di tepi jalanan dekat rumah juga pernah saya temukan mang-mang jualan kepiting—yang sempat saya kira sebagai penyu.
# Yoghurt mix dj froyo
Bandung ngajak royal. Setiap kali ke Bandung, jalan bersama kawan, kerap saya keluarkan lebih dari ceban hanya untuk menghapus penasaran akan cita rasa sebuah kudapan. Beberapa tempat makan—tidak hanya di Bandung sebetulnya—memang menyajikan hidangan yang betulan enak, hanya saja harganya bisa bikin terhenyak. Namun itu dapat tertebus berkat riak-riak kecil kesenangan karena menikmatinya bersama kawan.
Kali ini saya bersama Nuhe dan seorang teman baru bernama Sari—teman kuliahnya Nuhe—di foodcourt BIP. Yang coklat-putih-kuning ialah milik saya, yang oranye-ungu-kuning adalah punya Nuhe, sedang yang putih saja merupakan pesanannya Sari. Selamat makan!
# Balkot Festival
Sayang sekali, saat kami mencapai sana, suasananya sudah GJ.
Padahal menurut spanduk, acaranya masih sampai pukul 23.00 WIB, sementara saat kami tiba di sana, azan ashar baru menyapa. Ditambah angin kencang yang disusul hujan, membuat kami ingin lekas minggat dari tempat ini.
Kata Nuhe, masih lebih baik PSB ITB kemarin. Kalau saja saya sempat mencicipi sajian-sajian utamanya, dalam waktu yang cukup untuk membuat saya merasa cukup, mungkin saya bisa bikin satu tulisan sendiri untuk mengulasnya. Tapi setidaknya lumayanlah, saya sempat lihat salah satu kendaraan hiasnya hendak pulang saat hendak ke BIP sebelum ini.
# Bandung Kreatif 2010
Diambil di jalan samping masjid di sekitar Wastukancana. Saya setuju dengan pencanangan Bandung sebagai kota kreatif—konon karena industri kreatifnya pesat, padahal bukannya kota lain tak mengusahakan demikian. Karena lahir dan besar di Bandung, saya suka menyebut diri saya sebagai orang Bandung setiap ditanya orang. Jika Bandung adalah kota kreatif, maka orang Bandung adalah orang yang kreatif. Saya orang Bandung, maka saya kreatif!
# Jalur biru
Foto ini diambil saat kami sedang berjalan menuju Jalan Ganesa. Jika jalur biru ini terus disusuri, ke kawasan Bandung utaralah kita mengarah.
Bandung terkesan hijau dan peduli lingkungan di kawasan utara, dan sebaliknya di kawasan lain. Dari mulai Taman Balkot, Taman Lansia, Taman Maluku, hingga Taman Cikapayang, semua terpusat di satu titik saja—titik yang tak jauh dari tujuan cuci mata wisatawan. Jika saya ingin mengambil skripsi tentang partisipasi masyarakat terhadap keberadaan RTH di Kota Bandung, sepertinya saya harus mengambil sampel yang banyak sekali di berbagai titik yang tersebar dalam range yang luas. Masyarakat Kota Bandung kan?—bukan masyarakat Bandung utara saja?
# Sehabis menonton Fida
Antara lain berkat dia, hampir setiap kali ke Bandung saya selalu mampir ke kawasan ITB. Sudah serasa kampus kedua saja bagi saya.
Berkat dia pula saya jadi menunda rencana kembali ke Jogja. Demi menonton pertunjukkan singkatnya. Dan mendapatkan foto ini sebagai foto favorit saya dalam rangkaian foto-foto-yang-diambil-di-Bandung-pada-13-16-Oktober-2010-menggunakan-Nokia-2630. Terima kasih pada Sari yang telah mengambilnya! Kendati kualitas gambarnya tak bagus, tetap saya memfavoritkannya. Bukankah menyenangkan bisa bermain musik bersama?—lebih-lebih kalau tahu bagaimana cara memainkan alat musiknya!
# Pemandangan di seberang Taman Cikapayang
O, lihatlah rona menguning pada puncak tajuk salah satu pohon. Pada kelabu yang mencair dan melarut di atas aspal. O, tidak, saya tidak hendak menjerit karena cemas akan betapa ramainya Kota Bandung. Sebab latarnya bukan oranye.
# Ruang tunggu motor
Di lampu merah perempatan menuju Jalan Laswi, Juhe tanya apakah saya sudah mengetahui kehadiran zona merah tempat kami berada saat itu. Lagi-lagi baru ngeh. Saya foto deh. Mengingatkan saya bahwa di jalanan Kota Jogja terdapat ruang dengan fungsi yang sama, yang beda adalah warna dan peruntukannya. Para pesepedalah yang mendapat keistimewaan mengisi barisan terdepan ini. Contoh ruang tunggu sepeda di Jogja diambil di perempatan Jalan Sudirman.
# Lagi-lagi penghitung waktu mundur di lampu merah
Angka 49 belum memberi arti apa-apa bagi saya kini. Pada umur segitu, mungkin saya akan sudah dapat lebih memahami perasaan orangtua saya, dengan anak-anak remaja yang sedang labil-labilnya. Tiga puluh tahun lagi—selama itu adalah proses bagi saya untuk menjadi seorang ibu yang bijaksana dalam menghadapi kelabilan anak-anaknya. Amin.
# Bintang-bintang di lantai
Sebelum menaiki Kutojaya, kena rembesan air hujan dari atapnya, dan disuruh masinis Pramex membeli tiket di Stasiun Jenar, saya disuruh Papa mengisi lambung dulu di resepsi seorang relasi—tetangga sih sepertinya. Dekat saja, di gedung milik SESKOAD dekat rumah.
Tidak banyak yang saya masukkan ke dalam lambung karena sebelumnya saya sudah menghabiskan sebungkus tahu petis di rumah. Kenikmatan yang bisa saya dapat dari sini antara lain adalah apa yang saya makan, apa yang saya ikut nyanyikan dari sudut gedung saat mbak wedding singer menembangkan I Will Fly-nya Ten 2 Five dan Semenjak Ada Dirimu-nya Andity (dengan rasa takut beser nantinya karena berada dekat pendingin), serta apa yang saya temukan pada permukaan lantai. Indah benar bukan, bintang-bintangnya? *mulai GJ*
***
Jika ini bisa menjadi suatu titik balik, akan saya nyanyikan Hari yang Terindah-nya Chaseiro bagi para kawan yang telah mencerahkan jiwa saya. Bukan berarti melenyapkan pengaruh yang kamu berikan di masa itu, kawan. Tak akan bisa saya melakukannya—sebagaimana saya tak bisa mengingkari bahwa hidup saya hanyalah untuk kini dan nanti.
Lalu untukmu, Bandung, tempat saya bernaung sejak dilibatkan dalam pelik dunia, saya pergi dulu, dengan diiringi pertanyaan mengapa saya bisa sampai mencintaimu. Membuat saya gamang. Semoga pada pertemuan kita yang berikutnya, saya bisa lihat kamu lebih indah, lebih bersih, lebih sosial, lebih bahagia… Tetaplah sejuk, tanpa harus mendinginkan jiwa. Amin.
diskleimer: dua foto diambil tidak pada saat kejadian. dua foto lagi diambil melalui milik juhe dan nuhe.
Sejak Despicable Me Ramadhan lalu, dan Eat Pray Love kini, adalah dua film yang cukup memberi kesan berarti bagi saya. Kalau ingin mendapat rekomendasi film-film bermutu, juga copy-nya, minta saja pada Juhe. Atau bilang sama dia, “Kalau mau ke XXI, ajak-ajak yaaa…”
Despicable Me menyampaikan sebuah pesan pada saya agar jangan mau terus-menerus dicemooh—meskipun orangtua sendiri yang melakukannya. Kita boleh gagal dalam mencapai suatu tujuan besar, tapi akhir yang jauh lebih indah adalah jika kita bisa memberi arti bagi hidup orang lain, serta membuktikan bahwa kita bisa lebih baik dari orang yang selama ini mencemooh kita. Dan bisa jadi, pencemooh terbesar dalam hidup kita adalah diri kita sendiri (catatan untuk orang dengan self esteem rendah, haha).
Kalau saya tak salah tangkap, Eat Pray Love adalah cerita mengenai seseorang yang ingin mendapatkan keseimbangan dalam hidupnya. Untuk mendapatkan itu, tidak berarti kita harus lari dari satu hal yang selama ini meresahkan kita—dalam film ini adalah cinta. Untuk menanggung risiko dari mencintai dan dicintai, adalah arti dari keseimbangan hidup itu sendiri. Kira-kira begitulah.
Sudah hampir tengah malam ketika kami pulang dari BSM karena menonton film terakhir. Juhe menginap di rumah saya dan kami mengobrol sampai sekitar pukul dua dini hari. Seperti Liz, yang tak bisa henti menciumi Felipe saat mereka sedang kasmaran-kasmarannya, padahal Liz harus bertemu Ketut, terasa berat juga bagi kami untuk mengakhiri obrolan. Tapi Juhe ada acara pukul enam pagi sementara saya jelas sudah telat untuk menonton 30 Rock. Dan kami sama mengantuk.
Ketika mentari sudah naik sepenggalan pada terang berikut, Juhe resmi jadi mahasiswa berprestasi 2010 Fakultas Psikologi UNPAD sedang saya telah sampai pada suatu kesadaran. Kesadaran bahwa saya telah mencapai tujuan saya dalam memasuki Fakultas Kehutanan UGM—khususnya jurusan KSDH. Adalah suatu perasaan puas saya dapatkan, namun membawa saya pada perenungan baru. Menetapkan tujuan adalah penting, tapi masak tujuannya hanya begitu?
16 Oktober 2010
# Dikira buah, nggak tahunya balon…
Apakah ini adalah balon yang kuat menopang tubuh saat kita menunggang di atasnya? Yang bisa kita perlakukan bak kuda-kudaan? Harus lihat umur sepertinya. Semoga laku daganganmu nan lucu ini, ya, Pak Peniup Balon… Amin…
Di tepi jalanan dekat rumah juga pernah saya temukan mang-mang jualan kepiting—yang sempat saya kira sebagai penyu.
# Yoghurt mix dj froyo
Bandung ngajak royal. Setiap kali ke Bandung, jalan bersama kawan, kerap saya keluarkan lebih dari ceban hanya untuk menghapus penasaran akan cita rasa sebuah kudapan. Beberapa tempat makan—tidak hanya di Bandung sebetulnya—memang menyajikan hidangan yang betulan enak, hanya saja harganya bisa bikin terhenyak. Namun itu dapat tertebus berkat riak-riak kecil kesenangan karena menikmatinya bersama kawan.
Kali ini saya bersama Nuhe dan seorang teman baru bernama Sari—teman kuliahnya Nuhe—di foodcourt BIP. Yang coklat-putih-kuning ialah milik saya, yang oranye-ungu-kuning adalah punya Nuhe, sedang yang putih saja merupakan pesanannya Sari. Selamat makan!
# Balkot Festival
Sayang sekali, saat kami mencapai sana, suasananya sudah GJ.
Padahal menurut spanduk, acaranya masih sampai pukul 23.00 WIB, sementara saat kami tiba di sana, azan ashar baru menyapa. Ditambah angin kencang yang disusul hujan, membuat kami ingin lekas minggat dari tempat ini.
Kata Nuhe, masih lebih baik PSB ITB kemarin. Kalau saja saya sempat mencicipi sajian-sajian utamanya, dalam waktu yang cukup untuk membuat saya merasa cukup, mungkin saya bisa bikin satu tulisan sendiri untuk mengulasnya. Tapi setidaknya lumayanlah, saya sempat lihat salah satu kendaraan hiasnya hendak pulang saat hendak ke BIP sebelum ini.
# Bandung Kreatif 2010
Diambil di jalan samping masjid di sekitar Wastukancana. Saya setuju dengan pencanangan Bandung sebagai kota kreatif—konon karena industri kreatifnya pesat, padahal bukannya kota lain tak mengusahakan demikian. Karena lahir dan besar di Bandung, saya suka menyebut diri saya sebagai orang Bandung setiap ditanya orang. Jika Bandung adalah kota kreatif, maka orang Bandung adalah orang yang kreatif. Saya orang Bandung, maka saya kreatif!
# Jalur biru
Foto ini diambil saat kami sedang berjalan menuju Jalan Ganesa. Jika jalur biru ini terus disusuri, ke kawasan Bandung utaralah kita mengarah.
Bandung terkesan hijau dan peduli lingkungan di kawasan utara, dan sebaliknya di kawasan lain. Dari mulai Taman Balkot, Taman Lansia, Taman Maluku, hingga Taman Cikapayang, semua terpusat di satu titik saja—titik yang tak jauh dari tujuan cuci mata wisatawan. Jika saya ingin mengambil skripsi tentang partisipasi masyarakat terhadap keberadaan RTH di Kota Bandung, sepertinya saya harus mengambil sampel yang banyak sekali di berbagai titik yang tersebar dalam range yang luas. Masyarakat Kota Bandung kan?—bukan masyarakat Bandung utara saja?
# Sehabis menonton Fida
Antara lain berkat dia, hampir setiap kali ke Bandung saya selalu mampir ke kawasan ITB. Sudah serasa kampus kedua saja bagi saya.
Berkat dia pula saya jadi menunda rencana kembali ke Jogja. Demi menonton pertunjukkan singkatnya. Dan mendapatkan foto ini sebagai foto favorit saya dalam rangkaian foto-foto-yang-diambil-di-Bandung-pada-13-16-Oktober-2010-menggunakan-Nokia-2630. Terima kasih pada Sari yang telah mengambilnya! Kendati kualitas gambarnya tak bagus, tetap saya memfavoritkannya. Bukankah menyenangkan bisa bermain musik bersama?—lebih-lebih kalau tahu bagaimana cara memainkan alat musiknya!
# Pemandangan di seberang Taman Cikapayang
O, lihatlah rona menguning pada puncak tajuk salah satu pohon. Pada kelabu yang mencair dan melarut di atas aspal. O, tidak, saya tidak hendak menjerit karena cemas akan betapa ramainya Kota Bandung. Sebab latarnya bukan oranye.
# Ruang tunggu motor
Di lampu merah perempatan menuju Jalan Laswi, Juhe tanya apakah saya sudah mengetahui kehadiran zona merah tempat kami berada saat itu. Lagi-lagi baru ngeh. Saya foto deh. Mengingatkan saya bahwa di jalanan Kota Jogja terdapat ruang dengan fungsi yang sama, yang beda adalah warna dan peruntukannya. Para pesepedalah yang mendapat keistimewaan mengisi barisan terdepan ini. Contoh ruang tunggu sepeda di Jogja diambil di perempatan Jalan Sudirman.
# Lagi-lagi penghitung waktu mundur di lampu merah
Angka 49 belum memberi arti apa-apa bagi saya kini. Pada umur segitu, mungkin saya akan sudah dapat lebih memahami perasaan orangtua saya, dengan anak-anak remaja yang sedang labil-labilnya. Tiga puluh tahun lagi—selama itu adalah proses bagi saya untuk menjadi seorang ibu yang bijaksana dalam menghadapi kelabilan anak-anaknya. Amin.
# Bintang-bintang di lantai
Sebelum menaiki Kutojaya, kena rembesan air hujan dari atapnya, dan disuruh masinis Pramex membeli tiket di Stasiun Jenar, saya disuruh Papa mengisi lambung dulu di resepsi seorang relasi—tetangga sih sepertinya. Dekat saja, di gedung milik SESKOAD dekat rumah.
Tidak banyak yang saya masukkan ke dalam lambung karena sebelumnya saya sudah menghabiskan sebungkus tahu petis di rumah. Kenikmatan yang bisa saya dapat dari sini antara lain adalah apa yang saya makan, apa yang saya ikut nyanyikan dari sudut gedung saat mbak wedding singer menembangkan I Will Fly-nya Ten 2 Five dan Semenjak Ada Dirimu-nya Andity (dengan rasa takut beser nantinya karena berada dekat pendingin), serta apa yang saya temukan pada permukaan lantai. Indah benar bukan, bintang-bintangnya? *mulai GJ*
***
Jika ini bisa menjadi suatu titik balik, akan saya nyanyikan Hari yang Terindah-nya Chaseiro bagi para kawan yang telah mencerahkan jiwa saya. Bukan berarti melenyapkan pengaruh yang kamu berikan di masa itu, kawan. Tak akan bisa saya melakukannya—sebagaimana saya tak bisa mengingkari bahwa hidup saya hanyalah untuk kini dan nanti.
Lalu untukmu, Bandung, tempat saya bernaung sejak dilibatkan dalam pelik dunia, saya pergi dulu, dengan diiringi pertanyaan mengapa saya bisa sampai mencintaimu. Membuat saya gamang. Semoga pada pertemuan kita yang berikutnya, saya bisa lihat kamu lebih indah, lebih bersih, lebih sosial, lebih bahagia… Tetaplah sejuk, tanpa harus mendinginkan jiwa. Amin.
diskleimer: dua foto diambil tidak pada saat kejadian. dua foto lagi diambil melalui milik juhe dan nuhe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar