Di sebelah timur Pulau Kalimantan, ada sebuah pulau yang bernama Pulau
Kakaban. Pulau tersebut bentuknya seperti angka sembilan. Ada sebuah danau
besar di tengahnya yang tertutup oleh hutan lebat. Dalam bahasa daerah, kakaban
artinya “memeluk”. Jadi Pulau Kakaban adalah pulau yang memeluk danau yang ada
di tengahnya.
Pulau ini terbentuk sekitar dua juta tahun yang lalu. Dulunya, pulau ini
adalah karang yang terletak di dasar samudera. Melalui waktu yang sangat lama,
karang tersebut terangkat naik ke atas. Tetapi, daratan di tengahnya malah
tenggelam. Akhirnya, terperangkaplah air laut di dalamnya dan menjadi danau.
Sekian lama air laut ini bercampur dengan air hujan dan air tanah sehingga
rasanya menjadi payau, tidak asin dan juga tidak tawar.
Danau itu tertutup dari dunia luar sehingga hanya makhluk hidup tertentu
yang dapat tinggal di dalamnya. Sebut saja anemon laut, teripang, bintang laut,
spons, alga, kepiting, ikan-ikan kecil, dan tak terkecuali Cassi, si ubur-ubur
cokelat, dan saudara-saudaranya. Mereka semua harus berjuang keras menyesuaikan
diri agar bisa bertahan hidup di danau tersebut.
Tinggal di danau tersebut malah membuat Cassi kehilangan racunnya. Bangsa
ubur-ubur seperti dia biasanya memiliki racun supaya terhindar dari pemangsa.
Tapi di danau itu tidak ada pemangsa bertulang belakang yang begitu mengancam
nyawanya. Cassi pun tidak memerlukan lagi racunnya. Meski demikian, Cassi
kebingungan. Makanan yang tersedia di danau terbatas. Padahal dia harus selalu
makan supaya bisa bertahan hidup di danau itu.
Cassi yang kebingungan mencari makan bertemu dengan Alga hijau di dasar
danau. Dari jauh makhluk tersebut tampak seperti bunga. Cantik sekali.
“Hai,” sapa Cassi. “Bolehkah aku berkenalan denganmu? Namaku Cassiopeia ornata. Tapi kamu bisa
memanggilku Cassi.”
Alga hijau tersenyum sekilas, namun kegundahannya tetap terlihat. “Aku
Alga hijau.”
“Kok kamu sepertinya sedang bingung juga? Sama sepertiku.”
Alga hijau menjawab dengan murung. “Iya, tidak hanya kamu dan aku. Semua
yang ada di sini juga bingung.”
“Kenapa?” tanya Cassi. “Apakah mereka juga bingung mencari makan?”
Alga hijau mengangguk. Dia menceritakan keluhan para mahluk hidup lainnya
yang kekurangan makanan. Air di danau tersebut sudah terkurung selama jutaan
tahun sehingga tidak ada plankton di dalamnya. Plankton adalah makhluk hidup
yang sangat kecil sehingga hanya bisa dilihat oleh mikroskop. Plankton menjadi
makanan bagi makhluk air lainnya yang lebih besar. Karena tidak ada plankton,
makhluk-makhluk di dalam danau tersebut jadi kekurangan makanan.
Cassi manggut-manggut. “Apa yang bisa kita lakukan supaya kita tidak
begini terus?”
Mereka berdua terdiam. Tunduk merenung. Cassi merasa miris saat sesekali
melihat teman-temannya berseliweran dengan lesu karena kurang makan.
“Sebetulnya aku bisa masak loh, Cassi,” ucap Alga hijau pelan.
“Apakah kamu bisa memasakkan
makanan untuk kami juga?”
Alga hijau mengangguk disambut pendar-pendar dari tubuh Cassi. Dia
melanjutkan masih dengan nada murung. “Tapi aku membutuhkan matahari. Kalau
tidak ada cahaya matahari aku tidak bisa memasak. Masalahnya, aku tidak bisa
bergerak ke sana sendiri.”
Cassi tertegun. Dia menoleh ke arah sumber cahaya yang berada jauh sekali
di atas sana sehingga hampir-hampir tidak menyentuh dasar danau. Lalu dia
mengamati tubuh Alga hijau. Meski cantik, Alga hijau tidak dapat bergerak bebas
seperti dia. Dia mempunyai banyak tentakel dan tubuh kenyal elastis. Dengan
tubuhnya itu, dia mampu membawa dirinya melayang-layang ke seluruh penjuru
danau. Termasuk dari dasar hingga permukaan danau.
Tubuh bening kenyal Cassi berpendar lagi. Kali ini disertai hentakkan
tentakel-tentakelnya. Cassi mendapatkan sebuah gagasan brilian. “Alga hijau,
aku bisa membawamu ke atas sana. Kamu bisa mendapatkan cahaya matahari untuk
memasak makananmu!”
Gagasan tersebut membuat kemurungan Alga hijau hilang perlahan. Dia merasa
mendapatkan kembali harapan. “Ayo, ayo, boleh dicoba tuh!” ucapnya penuh semangat.
“Baiklah, Alga hijau. Kamu bisa naik ke tubuhku.” Cassi berenang merendah.
“Aduh, aduh, permukaan tubuhmu lembut sekali, Cassi...” Alga hijau
sepertinya kesusahan menaiki tubuhnya. Cassi kegelian.
Cassi menggenjot tubuhnya perlahan. Dia berputar melayang mendekati
cahaya. Semakin dekat, semakin terasa hangat tubuhnya. Ketika sudah merasa
dekat permukaan air, dia menegur Alga hijau yang sedari tadi tidak terdengar
suaranya. “Alga hijau, kita sudah dekat permukaan. Apakah kamu sudah bisa memasak
sekarang?”
Cassi memanggil Alga hijau berulang kali. Tetap tidak ada jawaban. Cassi
panik. Dia menengok ke sana ke mari. Saat ada temannya lewat, dia bertanya
apakah temannya itu melihat ada Alga hijau di atas tubuhnya. Temannya itu
menggeleng. Cassi berenang turun lagi sambil dengan gelisah mencari-cari sosok
Alga hijau. Tak lama kemudian terlihat sosok itu sedang melayang ke dasar
danau.
“Aduh, Alga hijau, kok kamu bisa jatuh sih?” Cassi tampak khawatir.
“Kan sudah kubilang, permukaan tubuhmu itu terlalu lembut. Jadi tadi aku
tergelincir dan jatuh,” jawab Alga hijau.
“Naiklah lagi. Kali ini aku pasti berhasil membawamu ke atas. Pegangan
yang kuat.”
“Ya, ya.” Alga hijau naik ke atas tubuhnya lagi. Kali ini Cassi melaju ke
atas lebih pelan. Mendekati permukaan, ditegurnya lagi Alga hijau. Tidak
terdengar jawaban. Berulang kali dipanggilnya, tetap tak ada suara Alga hijau
menjawab.
Cassi jadi cemas. “Aduh, jangan bilang dia jatuh lagi...”
Ternyata memang benar. Ketika Cassi turun lagi ke bawah, dia menemukan
Alga hijau sedang melayang-layang menuju dasar danau.
“Ayo kita coba lagi!” seru Cassi tak habis kesabaran. Alga hijau menurut.
Tapi lagi-lagi Alga hijau tergelincir jatuh sebelum mereka sampai ke dekat
permukaan. Dan hal itu terjadi terus menerus. Lama-lama Cassi dan Alga hijau
merasa kelelahan juga. Mereka beristirahat di dasar danau sambil menahan lapar.
Padahal kalau usaha mereka sudah berhasil dari tadi, mereka mungkin sudah
kenyang sekarang.
Sambil beristirahat, tiba-tiba Alga hijau berkata dengan ragu-ragu, “Mmm,
Cassi, sebenarnya aku punya gagasan lain.”
“Apa itu, Alga hijau? Katakan saja.”
“Kurasa, aku bisa menaikimu sampai atas, asal...”
“Asal kenapa?” desak Cassi tak sabaran. Dia ingin cepat-cepat bisa makan.
“Asal kamu berenang terbalik. Jadi aku naik di atas tentakelmu. Sepertinya
aku tidak akan terjatuh lagi. Permukaan tentakelmu pasti tidak terlalu lembut
seperti tubuhmu.”
Cassi terdiam sejenak. Gagasan itu sama sekali tidak terpikirkannya.
Berenang terbalik? Selama ini dia belum pernah mencobanya.
“Baiklah, mari kita coba!” seru Cassi. Dia membalikkan tubuhnya sehingga
tentakelnya yang berada di atas. Pelan-pelan Alga hijau menaiki tentakelnya
itu.
Dengan tubuh terbalik, Cassi berenang naik ke atas. Setelah dekat
permukaan, dia memanggil Alga hijau untuk memastikan apakah makhluk tersebut
masih bersamanya. Ternyata iya! Dia bisa mendengar Alga hijau menjawab
panggilannya.
“Hangat sekali di sini, Cassi. Aku sekarang bisa memasak,” sambung Alga
hijau.
Girang sekali Cassi mendengar itu. Sambil menunggui Alga hijau memasak,
Cassi mendapatkan sebuah gagasan lagi. “Alga hijau, bagaimana kalau kuajak
teman-temanku untuk membawa teman-temanmu melakukan hal yang sama? Kita bisa
menghasilkan lebih banyak makanan untuk danau ini!”
“Betul sekali!” Alga hijau bersorak mendengar gagasan tersebut. “Kalau
kita sudah selesai, ayo kita lekas memberitahu mereka!”
Tubuh Cassi berpendar-pendar saking senangnya dia akan gagasan tersebut.
Masalah ketersediaan makanan di Danau Kakaban kini terpecahkan! Setelah cukup
makan, Cassi mengajak Alga hijau menjelajahi penjuru danau. Mereka memberitahu
teman-teman mereka gagasan ini. Mereka semua menyambutnya dengan gembira.
Kini tidak hanya Cassi saja ubur-ubur yang berenang terbalik. Ada ribuan
lainnya yang berserakkan di seluruh penjuru Danau Kakaban. Inilah salah satu
keunikan Danau Kakaban, bukti betapa kayanya negeri kita, Indonesia. Danau yang
semacam ini hanya ada dua di dunia. Kita harus menjaga warisan dunia ini agar
tetap lestari. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar