Pada 18 Oktober 2010, saya chat dengan Pak Taufik, dosen mata kuliah Keanekaragaman Hayati (selanjutnya Kehati), via Facebook.
Saya bilang padanya bahwa kami telah berusaha mengumpulkan jurnal-jurnal yang akan jadi bahan UTS Kehati, tapi tidak semua teman yang dihubungi telah mengkonfirmasi—padahal siapa tahu sang jurnal yang akan jadi bahan ujian adalah milik mereka, berdasar tugas sebelumnya.
Awalnya saya minta judul dari jurnal-jurnal tersebut untuk diunduh sendiri, namun Pak Taufik hendak memberikan jurnal-jurnalnya ternyata. “Gimana caranya, ya?” tanya Pak Taufik. Saya menawarkan opsi agar jurnal-jurnal tersebut diunggah di 4shared.com atau dikirim ke e-mail saya untuk saya teruskan pada teman-teman.
Balasan Pak Taufik kira-kira begini, “Atau gini, gimana kalau kamu bawa flashdisk ke sini, entar saya berikan semua.”
Tanpa pikir panjang saya mengetik balasan yang isinya kira-kira begini, “Oke Pak… Begitu lebih baik, hehe… Kami ke sana sekarang!”
Padahal Pak Taufik tidak memberitahukan posisinya sedang di mana.
Pikiran saya mengasosiasikan Pak Taufik dengan Lab Pelestarian Alam. Lekas saya menutup netbook dan bersama Cah bergegas ke lab tersebut.
Sepanjang perjalanan saya tertawa amat geli (sementara Cah kurang paham lucunya di mana). Sadar, bagaimana saya bisa tahu kalau Pak Taufik ada di labnya? Bagaimana kalau ternyata dia membalas kalimat-kalimat saya tadi via gadget-nya dari suatu tempat? Rumahnya? Taman Nasional Alas Purwo? Suatu kedai kopi di Aceh? Bisa dibayangkan seandainya begitu. Saya tak sempat tahu apabila Pak Taufik balas memberitahu di mana posisinya karena buru-buru saja saya tadi menutup netbook. Lalu kami takkan menemukannya di lab, sementara dia tercenung dari suatu tempatnya, “Emangnya anak ini tau saya lagi di mana?”
Tapi logikanya memang tak mungkin Pak Taufik menyuruh saya ke sini jika ia sedang berada di tempat yang tak lazim dikunjungi mahasiswa—pada jam kerja, pada minggu UTS.
Sesampainya di Lab Pelestarian Alam, kami menemukan Pak Taufik ternyata memang sedang duduk di balik mejanya.
Lain lagi yang terjadi pada 19 Oktober 2010. Dalam rangka menunggu waktu kepemanduan AAI (Asistensi Agama Islam) di samping masjid fakultas, sempat saya menghampiri Ardian dan Nadia yang sedari lama mengobrol berdua. Nadia baru menyadari bahwa air dari tempat minumnya merembes ke mana-mana. Ardian bilang padanya, “Botol yang tutupnya kayak gini emang gitu.”
Gini yang seperti apa? Gitu yang bagaimana?
Hanya dengan melihat fisik botol tersebut, kami seolah sudah dipahamkan bahwa botol dengan tutup yang sedemikian rupa akan rentan terhadap kebocoran.
Maka gini dan gitu, ditambah pengamatan langsung, cukuplah menjelaskan sesuatu yang harus dijabarkan dalam lebih banyak kata jika melalui bahasa tulisan. Atau bahasa lisan—jika tidak mengalaminya langsung. Kamu mungkin bertanya, memang tutup botolnya yang seperti apa sih? Dan karena saya tidak bisa memperlihatkan bendanya padamu, maka tidak cukup saya hanya bilang, “Yang tutupnya kayak gini.” Gerakan pantomim oleh sepasang tangan pun kiranya tak mampu memberi bayangan. Saya harus menambahkan lebih banyak kata, bahkan memperlihatkan langsung bendanya seperti apa, bahkan kalau perlu mengujinya dengan mengisi air sampai penuh ke dalamnya.
Ke sana dan ke sini. Gini dan gitu. Betapa GJ-nya mereka! Namun siapapun yang telah paham, akan merasa bahwa sepasang kata tersebut cukup untuk mewakili banyak kata. Saya takjub benar akan kreasi berbahasa yang satu ini.
Mengingatkan saya akan konsep Blink!—kalau tidak salah, intinya adalah lintasan pikiran dalam sedetik dua detik yang memuat pengetahuan akan sesuatu. Sesuatu yang tidak pernah dengan sengaja dipelajari. Hm, baca sendiri bukunya, saya juga baru baca beberapa lembar pertama, he.
Sepasang kata yang menjelaskan banyak ini tampaknya menginspirasi kreator Doraemon untuk menciptakan sebuah alat dari masa depan yang bernama “PIL INI-ITU!”—kendati bentuknya seperti kapsul.
Saya lupa cerita ini termuat di komik Doraemon nomor berapa. Guna mengefektifkan komunikasi berbelit-belit di antara dua individu, juga untuk bantu menjelaskan sesuatu yang sulit dijelaskan oleh kata-kata, Doraemon mengeluarkan alat tersebut.
Saya juga sudah lupa jalan ceritanya seperti apa. Yang jelas, dengan kapsul ini Nobita tidak perlu mendengar ocehan ibunya. Kalau ibunya hendak mengoceh, ia tinggal lemparkan saja sebagian kapsul ajaib ini ke dalam mulut ibunya, sementara ia masukkan sebagian lagi ke dalam mulutnya. Maka ocehan ibunya hanya terdengar sebagai “INI!” dan Nobita menjawabnya dengan, “…itu…”
Tak hanya menghindarkan dari kata-kata yang bikin gerah telinga, maupun melegakan jiwa karena dapat menyampaikan sesuatu yang sukar dijabarkan hanya dalam satu kata saja, Nobita memanfaatkan benar pemberian Doraemon ini—kalau bukan untuk melawan Giant, ya untuk tujuan akademislah.
Nobita belum mengerjakan PR. Dengan adanya kapsul ini, Nobita tak perlu meminta Dekisugi menjelaskan cara pengerjaan yang memusingkan secara panjang lebar. Ia tinggal memotong kapsul jadi dua, satu untuk Dekisugi dan satu untuknya. Mudah, cepat, dan tak bikin rebek kan? Hanya dengan Dekisugi mengatakan, “ini,” Nobita dapat lekas paham dan manggut-manggut, “oh, itu?!”
Jelas tak rebek. PR dikumpulkan dan Pak Guru tercengang ketika membuka PR Nobita. Pada bentangan halaman buku tulis yang terbuka lebar, ia hanya menemukan satu kata tercetak besar-besar di sana. Terdiri dari tiga huruf, dibaca, “ITU”.
Apakah itu cukup menjadi jawaban, Pak Guru?
Saya bilang padanya bahwa kami telah berusaha mengumpulkan jurnal-jurnal yang akan jadi bahan UTS Kehati, tapi tidak semua teman yang dihubungi telah mengkonfirmasi—padahal siapa tahu sang jurnal yang akan jadi bahan ujian adalah milik mereka, berdasar tugas sebelumnya.
Awalnya saya minta judul dari jurnal-jurnal tersebut untuk diunduh sendiri, namun Pak Taufik hendak memberikan jurnal-jurnalnya ternyata. “Gimana caranya, ya?” tanya Pak Taufik. Saya menawarkan opsi agar jurnal-jurnal tersebut diunggah di 4shared.com atau dikirim ke e-mail saya untuk saya teruskan pada teman-teman.
Balasan Pak Taufik kira-kira begini, “Atau gini, gimana kalau kamu bawa flashdisk ke sini, entar saya berikan semua.”
Tanpa pikir panjang saya mengetik balasan yang isinya kira-kira begini, “Oke Pak… Begitu lebih baik, hehe… Kami ke sana sekarang!”
Padahal Pak Taufik tidak memberitahukan posisinya sedang di mana.
Pikiran saya mengasosiasikan Pak Taufik dengan Lab Pelestarian Alam. Lekas saya menutup netbook dan bersama Cah bergegas ke lab tersebut.
Sepanjang perjalanan saya tertawa amat geli (sementara Cah kurang paham lucunya di mana). Sadar, bagaimana saya bisa tahu kalau Pak Taufik ada di labnya? Bagaimana kalau ternyata dia membalas kalimat-kalimat saya tadi via gadget-nya dari suatu tempat? Rumahnya? Taman Nasional Alas Purwo? Suatu kedai kopi di Aceh? Bisa dibayangkan seandainya begitu. Saya tak sempat tahu apabila Pak Taufik balas memberitahu di mana posisinya karena buru-buru saja saya tadi menutup netbook. Lalu kami takkan menemukannya di lab, sementara dia tercenung dari suatu tempatnya, “Emangnya anak ini tau saya lagi di mana?”
Tapi logikanya memang tak mungkin Pak Taufik menyuruh saya ke sini jika ia sedang berada di tempat yang tak lazim dikunjungi mahasiswa—pada jam kerja, pada minggu UTS.
Sesampainya di Lab Pelestarian Alam, kami menemukan Pak Taufik ternyata memang sedang duduk di balik mejanya.
Lain lagi yang terjadi pada 19 Oktober 2010. Dalam rangka menunggu waktu kepemanduan AAI (Asistensi Agama Islam) di samping masjid fakultas, sempat saya menghampiri Ardian dan Nadia yang sedari lama mengobrol berdua. Nadia baru menyadari bahwa air dari tempat minumnya merembes ke mana-mana. Ardian bilang padanya, “Botol yang tutupnya kayak gini emang gitu.”
Gini yang seperti apa? Gitu yang bagaimana?
Hanya dengan melihat fisik botol tersebut, kami seolah sudah dipahamkan bahwa botol dengan tutup yang sedemikian rupa akan rentan terhadap kebocoran.
Maka gini dan gitu, ditambah pengamatan langsung, cukuplah menjelaskan sesuatu yang harus dijabarkan dalam lebih banyak kata jika melalui bahasa tulisan. Atau bahasa lisan—jika tidak mengalaminya langsung. Kamu mungkin bertanya, memang tutup botolnya yang seperti apa sih? Dan karena saya tidak bisa memperlihatkan bendanya padamu, maka tidak cukup saya hanya bilang, “Yang tutupnya kayak gini.” Gerakan pantomim oleh sepasang tangan pun kiranya tak mampu memberi bayangan. Saya harus menambahkan lebih banyak kata, bahkan memperlihatkan langsung bendanya seperti apa, bahkan kalau perlu mengujinya dengan mengisi air sampai penuh ke dalamnya.
Ke sana dan ke sini. Gini dan gitu. Betapa GJ-nya mereka! Namun siapapun yang telah paham, akan merasa bahwa sepasang kata tersebut cukup untuk mewakili banyak kata. Saya takjub benar akan kreasi berbahasa yang satu ini.
Mengingatkan saya akan konsep Blink!—kalau tidak salah, intinya adalah lintasan pikiran dalam sedetik dua detik yang memuat pengetahuan akan sesuatu. Sesuatu yang tidak pernah dengan sengaja dipelajari. Hm, baca sendiri bukunya, saya juga baru baca beberapa lembar pertama, he.
Sepasang kata yang menjelaskan banyak ini tampaknya menginspirasi kreator Doraemon untuk menciptakan sebuah alat dari masa depan yang bernama “PIL INI-ITU!”—kendati bentuknya seperti kapsul.
Saya lupa cerita ini termuat di komik Doraemon nomor berapa. Guna mengefektifkan komunikasi berbelit-belit di antara dua individu, juga untuk bantu menjelaskan sesuatu yang sulit dijelaskan oleh kata-kata, Doraemon mengeluarkan alat tersebut.
Saya juga sudah lupa jalan ceritanya seperti apa. Yang jelas, dengan kapsul ini Nobita tidak perlu mendengar ocehan ibunya. Kalau ibunya hendak mengoceh, ia tinggal lemparkan saja sebagian kapsul ajaib ini ke dalam mulut ibunya, sementara ia masukkan sebagian lagi ke dalam mulutnya. Maka ocehan ibunya hanya terdengar sebagai “INI!” dan Nobita menjawabnya dengan, “…itu…”
Tak hanya menghindarkan dari kata-kata yang bikin gerah telinga, maupun melegakan jiwa karena dapat menyampaikan sesuatu yang sukar dijabarkan hanya dalam satu kata saja, Nobita memanfaatkan benar pemberian Doraemon ini—kalau bukan untuk melawan Giant, ya untuk tujuan akademislah.
Nobita belum mengerjakan PR. Dengan adanya kapsul ini, Nobita tak perlu meminta Dekisugi menjelaskan cara pengerjaan yang memusingkan secara panjang lebar. Ia tinggal memotong kapsul jadi dua, satu untuk Dekisugi dan satu untuknya. Mudah, cepat, dan tak bikin rebek kan? Hanya dengan Dekisugi mengatakan, “ini,” Nobita dapat lekas paham dan manggut-manggut, “oh, itu?!”
Jelas tak rebek. PR dikumpulkan dan Pak Guru tercengang ketika membuka PR Nobita. Pada bentangan halaman buku tulis yang terbuka lebar, ia hanya menemukan satu kata tercetak besar-besar di sana. Terdiri dari tiga huruf, dibaca, “ITU”.
Apakah itu cukup menjadi jawaban, Pak Guru?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar