Memperingati HUT Jogja ke 254, sedari dluha saya sudah mencari informasi. Keramaian apa yang bisa saya hadiri dan siapa yang bisa saya tebengi. Tidak ada jawaban memuaskan, saya berpikir untuk menghabisi hari dengan menggeluti akademis. Hingga datang ajakan dari Cah.
Sekitar pukul setengah empat sore, kami bertemu di lapangan parkir barat FKT UGM. Meluncur si motor biru ke jalanan di selatan UGM, dengan rambut sang mbah gondrong sesekali menggelitiki saya. Kiranya hanya saya yang bisa Cah ajak untuk menonton pawai.
Kata Cah, pawai dimulai pukul setengah tiga, berawal dari alun-alun utara dan berakhir di balai kota. Kalau kami menunggu teman-teman sampai pukul setengah lima, mungkin kami tak akan berkesempatan menonton pawai.
Memutari Stadion Kridosono, rupanya para polantas sudah menghadang di sana. Cah membelokkan motornya memasuki Kampung Sanggrahan, melintasi Jalan Timoho, dan ke luar di Jalan Kenari. Cilukba. Bukan iringan pawai manusia yang menyambut kami, melainkan rentetan kendaraan! Mengingatkan saya pada Muktamar Muhammadiyah awal Juli kemarin. Betapa Kota Jogja disemarakkan oleh para rombongan penggembira dari berbagai daerah di Indonesia!
Di sebelah kanan tersaji bangunan hijau panjang yang dinamai Kantor Walikota Yogyakarta. Inilah yang Cah sebut sebagai balaikota rupanya. Banyak orang terpencar di sana. Pada halaman berumputnya yang luas, tertancap lajur-lajur pinang untuk dipanjati dengan tubuh berlumur oli. Lingkaran di ujung tiang jadi tempat bergantungnya kotak catur, sandal, dan rupa-rupa buruan lain. Cah bersedia jadi partisipan acara panjat pinang yang entah untuk kapan itu, jika hadiahnya berupa netbook.
Cah memarkir motor di gedung seberang balaikota—sebelah timurnya, kalau saya tak salah arah. Jalan yang memisahkan dua gedung tersebut berisi kerumunan manusia. Ada yang berdiri, duduk di aspal, maupun duduk di deretan kursi di bawah tenda-tenda. Kendati jalan ditutup, terdapat celah yang membuat kami dapat berdiri menonton pertunjukkan di belakang kursi para tamu undangan.
Dengan Nokia 2630 yang hanya mampu mengambil gambar dengan kualitas pas-pasan, saya coba merekam pemandangan yang jarang-jarang saya nikmati ini. Jangan bandingkan dengan para wartawan sungguhan yang menenteng SLR dong. Setidaknya cukuplah memberi gambaran, meski hasilnya seperti sudah diberi efek samar oleh Toko Foto Adobe.
Cah yang menanti-nanti pawai, yang didapatnya barulah sebuah pertunjukkan semacam sendratari. Ada yang berpakaian ala kumpeni, ada pula yang bagai Sri Sultan. Di belakang mereka adalah sekelompok pria berpakaian cerah yang menabuh gamelan. Ada juga yang meniup terompet dan memainkan instrumen lain. Sesekali saya mencuri pandang ke gedung di samping depan saya. Di balik pagarnya terdapat orang-orang dengan hiasan di sekujur tubuh. Mereka yang akan mengisi panggung pada adegan berikutnya.
Saya baru benar-benar memerhatikan pertunjukkan ketika panggung diserbu oleh lima orang bertopeng hewan. Sebut saja monyet, macam, serigala, um, apalagi ya? Mereka berjingkrak-jingkrak, memeragakan lagak hewan. Saya terperangah melihatnya, seakan sedang membaca komik Topeng Kaca. Loncat ke sana ke sini. Hinggap di situ di mari. Sesekali terlihat satu-dua orang memperbaiki topeng mereka yang hendak lepas. Rumbai-rumbai di belakang topeng mengingatkan saya pada rambut mbah gondrong kembaran Cah—Iqbal, yang sudah dua kali berjasa membuat Asus saya jadi ajib.
Lalu sosok yang sepertinya tadi jadi Sri Sultan (saya sebut dia Raja untuk seterusnya) masuk kembali ke panggung. Ia mengenakan semacam blangkon dengan kain menutupi tubuhnya dari pinggang ke bawah. Ada celana panjang di baliknya. Serba batik. Cara jalannya amat khas. Langkah lebar menyampingnya maju satu per satu, hati-hati, seakan di bawahnya berserakkan pecahan kaca. Lalu terjadilah sebuah adegan laga antara Raja dengan para hewan tersebut—yang tidak seperti adegan laga sama sekali, melainkan sebuah rangkaian gerak halus. Seperti menari. Yeah, mereka menarilah, ini kan bukan arena Fight Club.
Saya ingin menonton lebih banyak pertunjukkan tari jadinya. Tidak hanya tari tradisional seperti ini, yang berhasil menggugah ketertarikan saya. Tidak heran, saya pernah lihat tayangan orang Jepang yang rela meng-Indonesia karena jatuh cinta dengan tarian Jawa. Para penari, saya mengangan-angankan diri menjadi bagian dari mereka. Anggun gemulai atau tegas beringas memikat mata. Merambatkan rasa ke dalam jiwa. Entah untuk apa. Kecintaan pada budaya, barangkali. Inilah sebentuk ekspresi yang orang-orang bela untuk lestarikan.
Kendati sudah berakrobat ria, para hewan akhirnya bertumbangan—meski tidak benar-benar kena pukulan. Seorang naga masuk menggantikan mereka. Tak pelak, kalah juga ia.
Sang Raja, dengan langkah-langkah khasnya, pun meninggalkan arena. Mata saya mengikutinya sampai jauh, sampai ia berjalan dengan langkah normal.
Dari arah lain, dua pria berpakaian punggawa menggotong tiang-tiangan berwarna kelabu. Kelihatan benar permukaannya terbuat dari gabus. “Wah, Opera van Java,” komentar Cah. Tidak hanya satu tiang-tiangan, melainkan empat—kalau tak salah.
Para tiang-tiangan ini, dikaitkan dengan adegan tadi, mengingatkan saya akan sebuah cerita yang pernah saya baca mengenai Sunan Kalijaga.
Dikisahkan, Sunan Kalijaga pergi ke hutan. Ia hendak mencari jati yang pas untuk dijadikan tiang masjid. Tidak mudah usaha pencariannya, ia menghadapi rintangan. Apakah itu berupa keroyokan dari monyet, macan, hingga naga, saya tidak ingat persis.
Yang saya bayangkan adalah rintangan berupa bagaimana memotong pohon hingga membawanya ke tempat pengolahan. Kendati kiranya saat itu ilmu Kehutanan mungkin belum ada, Sunan Kalijaga tentu tahu untuk memilih jati yang telah mencapai masak tebang. Diameter jati pada masa itu tentu masih ada yang mencapai sekitar dua meter. Tentunya saat itu chainsaw belum diciptakan, sehingga Sunan Kalijaga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membuat takik rebah dan takik balas dengan kapak. Belum lagi perkara bagaimana hendak menyarad batangan kayu sampai lokasi pembangunan masjid. Apakah hendak menggunakan tenaga manusia atau sapi—tentunya saat itu traktor juga belum diciptakan—Sunan Kalijaga perlu menimbang mana yang prestasi kerjanya lebih baik. Kata Cah, tiang kelima yang Sunan Kalijaga gunakan untuk menopang masjid yang dibangunnya tidaklah berasal dari kayu utuh, melainkan disambung. “Papan partikel ya, Cah?”
Tiang-tiang didirikan, panggung tinggi dihiasi benda-benda keemasan dan mbak-mbak berkemben, setelah semuanya tampak sebagai sepenggal situasi dari istana, Raja—kali ini sudah berpakaian lengkap—datang dengan menaiki kuda yang gagahnya bukan bohongan. Tinggi nian!
Permaisurinya menyusul turun dari tandu. Sebelumnya, para prajurit dengan bendera Jepang yang seperti habis direndam kunyit berdatangan.
Raja dan Permaisuri naik ke atas panggung untuk beberapa lama, lalu turun lagi dan pamit pada pemirsa.
Suara seorang wanita yang entah datang dari mana menutup pertunjukkan.
Datanglah yang Cah tunggu-tunggu, pawai! Di seberang jalan, di bawah tenda, para pria berpakaian loreng-loreng hijau sigap berdiri dengan alat musik masing-masing.
Para volunteer berbaju oranye mulai sibuk mengarahkan pengunjung agar tidak terlalu dekat dengan jalur pawai—menyambut barisan demi barisan rombongan yang berpartisipasi.
Jika benar mereka sudah berjalan dari alun-alun utara sejak pukul setengah tiga—atau mungkin lebih lama dari itu, belum persiapannya—tidak heran jika tersirat lelah di wajah kucel mereka. Namun ada juga yang masih tampak segar dan ceria.
Seorang om-om berkuncir dan beransel merah sesekali muncul untuk mengarahkan para peserta pawai agar lekas jalannya—terutama saat salah satu rombongan marching band dari sekolah Muhammadiyah berhenti di depan para orang penting untuk memamerkan tabuhan drum mereka.
Pemandangan di depan kami sempat terhalang ketika pasukan ABRI berderap datang. Rupanya sedari tadi kami berdiri di belakang deretan kursi untuk para istri ABRI. Mereka ribut setiap kali MC menyebut nama seseorang yang mereka kenal—pimpinan rombongan pawai, misal. Tentu saja mereka juga tidak lupa untuk berdiri. Membuat kaki saya pegal pas balik karena lama jinjit.
Saya juga jadi ingin mengambil gambar para wartawan yang memotret peserta pawai sampai guling-guling.
Ada paskibra dari berbagai SMA di Kota Jogja,
mereka yang membawakan bukti-bukti prestasi yang Kota Jogja raih,
lurah-lurah se-Kota Jogja,
para prajurit Kraton,
korps musik Puro Paku Alaman,
marching band SMP Muhammadiyah 7 (“wah, SMP-ku!” kata Cah),
Paksi Katon,
Karang Taruna se-Kota Jogja,
Tapak Suci (“dari Muhammadiyah juga!” kata Cah, dan masih banyak persembahan lagi dari Muhammadiyah!),
komunitas pesepeda onthel,
komunitas sego segawe,
Badan Lingkungan Hidup dengan berbagai atribut dari sampah,
replika KRI Diponegoro (capek nggak yah mereka yang hormat terus di atas sana?),
pameran macam-macam kendaraan polisi
—tidak bisa saya sebutkan semua, karena masih banyak lagi! Entah itu komunitas pengendara bermotor, tukang becak, maupun pemadam kebakaran.
Sekitar pukul setengah lima, kami harus angkat kaki karena Cah sudah mendapat panggilan untuk kembali ke kampus. Sudah bisa dipastikan, jalanan jadi semerawut akibat pawai.
Cah mengambil jalan memutar hingga Gedongkuning, namun tak jadi. Ada jalan lain yang lebih cepat namun relatif lowong.
Menikmati pawai, tanpa harus terjebak dalam kesemerawutan, menghindarkan kesan negatif dari sebentuk upaya turut serta memperingati HUT Jogja. Sebuah kota yang pada penghujung malam saya sadari, betapa kental ia dengan kreativitas dan seni. Betapa kaya warna. Bandungisme saya jadi menyirna.
Jogja adalah tujuan utama wisata kedua setelah Bali, di Indonesia. Tidak heran jika ia begitu semarak. Tidak hanya karena bermacam peninggalan budaya, tapi kreativitas para warganya juga memukau.
Jalur dari Taman Sari ke Pasar Ngasem contohnya, di tengah perkampungan terdapat sebidang lahan berisi reruntuhan rumah (?) yang di atasnya dihiasi berbagai rupa karya seni. Yang paling saya ingat adalah makam-makaman, dengan kayu bercat terpajang di atasnya, terbaca tulisan macam “RIP Mr. Tepo Seliro” atau “RIP Mr. Clean.”
Juga ingatlah saat Jogja Jamming Festival awal tahun lalu. Tidak salah teman-teman sekelas saya saat SMA main ke Jogja pada saat itu. Karya seni bertebaran di mana-mana! Mereka dapat puas berfoto ria!
Seharusnya saya bangga tengah menjadi bagian dari Jogja. Mencerapi setiap gairah yang diletupkan para seniman Jogja dalam kebersahajaan mereka. Ka mana wae atuh, Bandung? Kalau sudah kembali tinggal di Bandung, saya ingin buktikan bahwa Bandung tidak kalah gaya.
Sekitar pukul setengah empat sore, kami bertemu di lapangan parkir barat FKT UGM. Meluncur si motor biru ke jalanan di selatan UGM, dengan rambut sang mbah gondrong sesekali menggelitiki saya. Kiranya hanya saya yang bisa Cah ajak untuk menonton pawai.
Kata Cah, pawai dimulai pukul setengah tiga, berawal dari alun-alun utara dan berakhir di balai kota. Kalau kami menunggu teman-teman sampai pukul setengah lima, mungkin kami tak akan berkesempatan menonton pawai.
Memutari Stadion Kridosono, rupanya para polantas sudah menghadang di sana. Cah membelokkan motornya memasuki Kampung Sanggrahan, melintasi Jalan Timoho, dan ke luar di Jalan Kenari. Cilukba. Bukan iringan pawai manusia yang menyambut kami, melainkan rentetan kendaraan! Mengingatkan saya pada Muktamar Muhammadiyah awal Juli kemarin. Betapa Kota Jogja disemarakkan oleh para rombongan penggembira dari berbagai daerah di Indonesia!
Di sebelah kanan tersaji bangunan hijau panjang yang dinamai Kantor Walikota Yogyakarta. Inilah yang Cah sebut sebagai balaikota rupanya. Banyak orang terpencar di sana. Pada halaman berumputnya yang luas, tertancap lajur-lajur pinang untuk dipanjati dengan tubuh berlumur oli. Lingkaran di ujung tiang jadi tempat bergantungnya kotak catur, sandal, dan rupa-rupa buruan lain. Cah bersedia jadi partisipan acara panjat pinang yang entah untuk kapan itu, jika hadiahnya berupa netbook.
Cah memarkir motor di gedung seberang balaikota—sebelah timurnya, kalau saya tak salah arah. Jalan yang memisahkan dua gedung tersebut berisi kerumunan manusia. Ada yang berdiri, duduk di aspal, maupun duduk di deretan kursi di bawah tenda-tenda. Kendati jalan ditutup, terdapat celah yang membuat kami dapat berdiri menonton pertunjukkan di belakang kursi para tamu undangan.
Dengan Nokia 2630 yang hanya mampu mengambil gambar dengan kualitas pas-pasan, saya coba merekam pemandangan yang jarang-jarang saya nikmati ini. Jangan bandingkan dengan para wartawan sungguhan yang menenteng SLR dong. Setidaknya cukuplah memberi gambaran, meski hasilnya seperti sudah diberi efek samar oleh Toko Foto Adobe.
Cah yang menanti-nanti pawai, yang didapatnya barulah sebuah pertunjukkan semacam sendratari. Ada yang berpakaian ala kumpeni, ada pula yang bagai Sri Sultan. Di belakang mereka adalah sekelompok pria berpakaian cerah yang menabuh gamelan. Ada juga yang meniup terompet dan memainkan instrumen lain. Sesekali saya mencuri pandang ke gedung di samping depan saya. Di balik pagarnya terdapat orang-orang dengan hiasan di sekujur tubuh. Mereka yang akan mengisi panggung pada adegan berikutnya.
Saya baru benar-benar memerhatikan pertunjukkan ketika panggung diserbu oleh lima orang bertopeng hewan. Sebut saja monyet, macam, serigala, um, apalagi ya? Mereka berjingkrak-jingkrak, memeragakan lagak hewan. Saya terperangah melihatnya, seakan sedang membaca komik Topeng Kaca. Loncat ke sana ke sini. Hinggap di situ di mari. Sesekali terlihat satu-dua orang memperbaiki topeng mereka yang hendak lepas. Rumbai-rumbai di belakang topeng mengingatkan saya pada rambut mbah gondrong kembaran Cah—Iqbal, yang sudah dua kali berjasa membuat Asus saya jadi ajib.
Lalu sosok yang sepertinya tadi jadi Sri Sultan (saya sebut dia Raja untuk seterusnya) masuk kembali ke panggung. Ia mengenakan semacam blangkon dengan kain menutupi tubuhnya dari pinggang ke bawah. Ada celana panjang di baliknya. Serba batik. Cara jalannya amat khas. Langkah lebar menyampingnya maju satu per satu, hati-hati, seakan di bawahnya berserakkan pecahan kaca. Lalu terjadilah sebuah adegan laga antara Raja dengan para hewan tersebut—yang tidak seperti adegan laga sama sekali, melainkan sebuah rangkaian gerak halus. Seperti menari. Yeah, mereka menarilah, ini kan bukan arena Fight Club.
Saya ingin menonton lebih banyak pertunjukkan tari jadinya. Tidak hanya tari tradisional seperti ini, yang berhasil menggugah ketertarikan saya. Tidak heran, saya pernah lihat tayangan orang Jepang yang rela meng-Indonesia karena jatuh cinta dengan tarian Jawa. Para penari, saya mengangan-angankan diri menjadi bagian dari mereka. Anggun gemulai atau tegas beringas memikat mata. Merambatkan rasa ke dalam jiwa. Entah untuk apa. Kecintaan pada budaya, barangkali. Inilah sebentuk ekspresi yang orang-orang bela untuk lestarikan.
Kendati sudah berakrobat ria, para hewan akhirnya bertumbangan—meski tidak benar-benar kena pukulan. Seorang naga masuk menggantikan mereka. Tak pelak, kalah juga ia.
Sang Raja, dengan langkah-langkah khasnya, pun meninggalkan arena. Mata saya mengikutinya sampai jauh, sampai ia berjalan dengan langkah normal.
Dari arah lain, dua pria berpakaian punggawa menggotong tiang-tiangan berwarna kelabu. Kelihatan benar permukaannya terbuat dari gabus. “Wah, Opera van Java,” komentar Cah. Tidak hanya satu tiang-tiangan, melainkan empat—kalau tak salah.
Para tiang-tiangan ini, dikaitkan dengan adegan tadi, mengingatkan saya akan sebuah cerita yang pernah saya baca mengenai Sunan Kalijaga.
Dikisahkan, Sunan Kalijaga pergi ke hutan. Ia hendak mencari jati yang pas untuk dijadikan tiang masjid. Tidak mudah usaha pencariannya, ia menghadapi rintangan. Apakah itu berupa keroyokan dari monyet, macan, hingga naga, saya tidak ingat persis.
Yang saya bayangkan adalah rintangan berupa bagaimana memotong pohon hingga membawanya ke tempat pengolahan. Kendati kiranya saat itu ilmu Kehutanan mungkin belum ada, Sunan Kalijaga tentu tahu untuk memilih jati yang telah mencapai masak tebang. Diameter jati pada masa itu tentu masih ada yang mencapai sekitar dua meter. Tentunya saat itu chainsaw belum diciptakan, sehingga Sunan Kalijaga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membuat takik rebah dan takik balas dengan kapak. Belum lagi perkara bagaimana hendak menyarad batangan kayu sampai lokasi pembangunan masjid. Apakah hendak menggunakan tenaga manusia atau sapi—tentunya saat itu traktor juga belum diciptakan—Sunan Kalijaga perlu menimbang mana yang prestasi kerjanya lebih baik. Kata Cah, tiang kelima yang Sunan Kalijaga gunakan untuk menopang masjid yang dibangunnya tidaklah berasal dari kayu utuh, melainkan disambung. “Papan partikel ya, Cah?”
Tiang-tiang didirikan, panggung tinggi dihiasi benda-benda keemasan dan mbak-mbak berkemben, setelah semuanya tampak sebagai sepenggal situasi dari istana, Raja—kali ini sudah berpakaian lengkap—datang dengan menaiki kuda yang gagahnya bukan bohongan. Tinggi nian!
Permaisurinya menyusul turun dari tandu. Sebelumnya, para prajurit dengan bendera Jepang yang seperti habis direndam kunyit berdatangan.
Raja dan Permaisuri naik ke atas panggung untuk beberapa lama, lalu turun lagi dan pamit pada pemirsa.
Suara seorang wanita yang entah datang dari mana menutup pertunjukkan.
Datanglah yang Cah tunggu-tunggu, pawai! Di seberang jalan, di bawah tenda, para pria berpakaian loreng-loreng hijau sigap berdiri dengan alat musik masing-masing.
Para volunteer berbaju oranye mulai sibuk mengarahkan pengunjung agar tidak terlalu dekat dengan jalur pawai—menyambut barisan demi barisan rombongan yang berpartisipasi.
Jika benar mereka sudah berjalan dari alun-alun utara sejak pukul setengah tiga—atau mungkin lebih lama dari itu, belum persiapannya—tidak heran jika tersirat lelah di wajah kucel mereka. Namun ada juga yang masih tampak segar dan ceria.
Seorang om-om berkuncir dan beransel merah sesekali muncul untuk mengarahkan para peserta pawai agar lekas jalannya—terutama saat salah satu rombongan marching band dari sekolah Muhammadiyah berhenti di depan para orang penting untuk memamerkan tabuhan drum mereka.
Pemandangan di depan kami sempat terhalang ketika pasukan ABRI berderap datang. Rupanya sedari tadi kami berdiri di belakang deretan kursi untuk para istri ABRI. Mereka ribut setiap kali MC menyebut nama seseorang yang mereka kenal—pimpinan rombongan pawai, misal. Tentu saja mereka juga tidak lupa untuk berdiri. Membuat kaki saya pegal pas balik karena lama jinjit.
Saya juga jadi ingin mengambil gambar para wartawan yang memotret peserta pawai sampai guling-guling.
Ada paskibra dari berbagai SMA di Kota Jogja,
mereka yang membawakan bukti-bukti prestasi yang Kota Jogja raih,
lurah-lurah se-Kota Jogja,
para prajurit Kraton,
korps musik Puro Paku Alaman,
marching band SMP Muhammadiyah 7 (“wah, SMP-ku!” kata Cah),
Paksi Katon,
Karang Taruna se-Kota Jogja,
Tapak Suci (“dari Muhammadiyah juga!” kata Cah, dan masih banyak persembahan lagi dari Muhammadiyah!),
komunitas pesepeda onthel,
komunitas sego segawe,
Badan Lingkungan Hidup dengan berbagai atribut dari sampah,
replika KRI Diponegoro (capek nggak yah mereka yang hormat terus di atas sana?),
pameran macam-macam kendaraan polisi
—tidak bisa saya sebutkan semua, karena masih banyak lagi! Entah itu komunitas pengendara bermotor, tukang becak, maupun pemadam kebakaran.
Sekitar pukul setengah lima, kami harus angkat kaki karena Cah sudah mendapat panggilan untuk kembali ke kampus. Sudah bisa dipastikan, jalanan jadi semerawut akibat pawai.
Cah mengambil jalan memutar hingga Gedongkuning, namun tak jadi. Ada jalan lain yang lebih cepat namun relatif lowong.
Menikmati pawai, tanpa harus terjebak dalam kesemerawutan, menghindarkan kesan negatif dari sebentuk upaya turut serta memperingati HUT Jogja. Sebuah kota yang pada penghujung malam saya sadari, betapa kental ia dengan kreativitas dan seni. Betapa kaya warna. Bandungisme saya jadi menyirna.
Jogja adalah tujuan utama wisata kedua setelah Bali, di Indonesia. Tidak heran jika ia begitu semarak. Tidak hanya karena bermacam peninggalan budaya, tapi kreativitas para warganya juga memukau.
Jalur dari Taman Sari ke Pasar Ngasem contohnya, di tengah perkampungan terdapat sebidang lahan berisi reruntuhan rumah (?) yang di atasnya dihiasi berbagai rupa karya seni. Yang paling saya ingat adalah makam-makaman, dengan kayu bercat terpajang di atasnya, terbaca tulisan macam “RIP Mr. Tepo Seliro” atau “RIP Mr. Clean.”
Juga ingatlah saat Jogja Jamming Festival awal tahun lalu. Tidak salah teman-teman sekelas saya saat SMA main ke Jogja pada saat itu. Karya seni bertebaran di mana-mana! Mereka dapat puas berfoto ria!
Seharusnya saya bangga tengah menjadi bagian dari Jogja. Mencerapi setiap gairah yang diletupkan para seniman Jogja dalam kebersahajaan mereka. Ka mana wae atuh, Bandung? Kalau sudah kembali tinggal di Bandung, saya ingin buktikan bahwa Bandung tidak kalah gaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar