Judul : Lolita
Pengarang : Vladimir Nabokov
Penerjemah : Anton Kurnia
Penerbit : Serambi, 2009
Humbert Humbert bicara mengenai sebuah obat tidur racikan seseorang,
…tapi hanya untuk seniman hebat yang tak bisa tidur, yang harus mati selama beberapa jam untuk bisa hidup selama berabad-abad… (hal. 165)
dan menutup pengakuannya dengan,
Namun, selagi darah masih berdenyut melalui tanganku yang menulis, aku masih bisa berbicara kepadamu dari sini ke Alaska. … Ada yang harus memilih di antara dia dan H. H. serta ada yang ingin H. H. hidup paling tidak dua bulan lebih lama agar dia membuatmu hidup abadi dalam pikiran generasi selanjutnya. Aku memikirkan banteng dan malaikat, rahasia zat warna tahan lama, soneta profetik, dan perlindungan seni. Dan, hanya inilah keabadian yang bisa kubagi bersamamu, Lolita-ku. (hal. 525)
Beberapa hari sebelum saya mengutip kata-kata di atas, saya membaca sebuah blog yang mengatakan, “kalau kamu ingin setelah mati tidak ada yang tersisa, tidak usah menulis saja.”
Bagi mereka yang menyelami dunia sastra, Lolita identik dengan pedofilia—sedemikian berpengaruhnya novel yang akhirnya bisa saya tamatkan ini. Ak-hir-nya. Saya mampu menamatkannya karena memaksakan diri, antara lain dengan mengangkat prinsip: buku yang sudah terlanjur dibaca dari awal harus terus dibaca sampai akhir.
Bab pengantar seakan memberi wanti-wanti akan ditemukannya nuansa “cabul” dalam novel ini. Ya, saya menemukannya—menurut nilai-nilai dalam konstruksi pikiran saya. Bagaimana Tuan Humbert begitu terobsesi dengan si kenes Dolores Haze—Lolita-nya. Deskripsinya sedemikian rupa, saya ketar-ketir membacanya. Harus selesai! Harus selesai! Sebab saya juga penasaran apa yang akan terjadi berikutnya—meski tak secara spesifik.
Saya berusaha agar tak terhanyut pada gelombang perasaan Tuan Humbert yang begitu mengharu biru. Betapa kejinya pria malang ini. Saya bisa membayangkan kepedihan yang Lolita rasa saat perlahan-lahan masa depannya dirusak oleh seorang pria yang secara hukum adalah ayahnya—mesti tidak secara biologis.
Pada mulanya Lolita menguar kesan sebagai gadis kecil dengan potensi binal. Berlembar-lembar narasi maupun dialog, yang hampir-hampir bikin saya tak ingin membuka novel ini lagi, akhirnya terlewatkan. Lolita semakin tumbuh dan ingin menentukan nasibnya sendiri—lepas dari sikap posesif Tuan Humbert. Ia berhasil melarikan diri.
Entah apa yang akan terjadi seandainya Lolita tak pernah melarikan diri. Simpati saya padanya semakin besar di nomor-nomor terakhir pada bagian dua novel. Betapa pada mulanya ia hanyalah seorang gadis kecil yang bisa jadi bermasa depan cemerlang. Hingga ia bertemu Tuan Humbert. Hingga ia mengikuti perkemahan Q.
Sedemikian tragis nasib Lolita di kemudian hari mendorong Tuan Humbert untuk balas dendam pada orang yang telah merusak Lolita. Tuan Humbert begitu mencintai Lolita, sehingga tak mungkin ia membunuh dirinya sendiri. Lalu siapa yang akhirnya Tuan Humbert bunuh?
Benar apa kata sinopsis belakang sampul, nuansa muram terasa saat saya coba memasuki kehidupan Tuan Humbert. Sayang, saya tak sampai benar menikmati sentuhan humornya. Efek panas dingin yang timbul selagi baca novel ini cukup mengganggu saya. Kendati kisahnya bergulir tragis dan berakhir dengan kalimat-kalimat mengena, saya akui juga bahwa ini memang karya yang cukup indah, saya tak bisa merekomendasikan novel ini—jika ingin benak aman dari visualisasi “macam-macam”. Menonton versi filmnya? Saya tak mau memikirkannya. Kendati pula—memang benar apa yang dikata dalam bab pengantar—novel ini menunjukkan akibat yang dapat timbul dari seseorang dengan orientasi seksual menyimpang.
sumber gambar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar