Perjalanan Jogja - Bandung menggunakan kereta ekonomi Kahuripan (Kediri - Bandung) sudah saya jajaki sejak Oktober tahun lalu.
Yang melatari pengalaman pertama saya naik kereta ekonomi malam-malam sendirian adalah satu, saya ingin memulihkan hubungan dengan ibu saya yang waktu itu sedang sakit, dan dua, saya hanya punya jeda waktu sebentar (Kamis malam - Minggu) setelah UTS waktu itu. Kalau saya punya seminggu mungkin saya ikhlas saja naik kelas bisnis yang harga tiketnya bisa 4 - 5 kali lipat. Untunglah sudah ada kawan seangkatan dan sejurusan sesama orang Bandung yang sudah berpengalaman naik kereta ekonomi ke Bandung, jadi saya bisa minta saran. Katanya, "Naik Kahuripan dari Lempuyangan jam setengah sepuluh malam. Naik dari gerbong yang paling belakang."
Bukannya saya tidak pernah naik kereta ekonomi sebelumnya. Saya sudah pernah naik Pasundan (Jogja - Surabaya, lalu Surabaya - Bandung) pada tahun 2005, tapi bersama banyak kenalan dan langsung dapat tempat duduk.
Pengalaman pertama saya naik Kahuripan amat mengesankan. Mulai dari murahnya harga tiket (24.000 rupiah, belum berubah sampai sekarang), ingat akan komentar orang-orang yang telah mengalami naik kereta ekonomi (penuh berjejal, tapi bisa jadi kental nilai sosial), ketar-ketir khawatir tidak mendapat tempat duduk, hingga mendapat teman-teman baru di FB :). Tak menyangka sebelumnya pada waktu itu, saya akan terjebak dalam tawa bersama para pemuda bertipe mang-mang hingga dini hari pukul dua, dan cowok di sebelah saya ternyata maba UGM yang merupakan teman SMA-nya teman SMP saya.
Saya tidak menaiki Kahuripan lagi sampai tahun 2010. Pada tahun ini, semakin kerap saja saya bertengger di dalam kereta tersebut. Hampir setiap bulan saya pulang dengannya. Tembang Perjalanan-nya Franky & Jane pun mengiringi dalam benak. Namun untuk kembali ke Jogja, saya lebih memilih tidak naik kereta yang sama. Kutojaya lebih ramah penumpang (lebih lengkap pengalaman saya naik ini bisa dibaca di sini), kendati harus naik Pramex atau bis lagi untuk mencapai Jogja.
Dengan Kahuripan, saya pernah mengalami kecele akibat perubahan jadwal. Sebelumnya, Kahuripan berangkat dari Stasiun Lempuyangan sekitar pukul setengah sepuluh malam. Waktu itu kalau tidak salah akhir Maret, saya bermaksud pulang ke Bandung untuk ikut merayakan ulang tahun ibu saya. Saya naik Trans Jogja untuk mencapai Lempuyangan. Begitu dekat stasiun, terlihat di kejauhan, sebuah kereta baru saja berangkat. Ketika dekat dengan loket, tahulah saya bahwa kereta yang barusan adalah Kahuripan. Weks! Padahal masih sekitar jam setengah sembilan malam waktu itu! Setengah berlari, saya lekas menuju shelter Trans Jogja kembali untuk menuju Stasiun Tugu. Niat sekali saya pulang ke Bandung waktu itu, demi ibu dan janji bertemu seorang kawan. Alhamdulillah, saya berhasil mendapat sebuah bangku di kelas bisnis Lodaya, meski sempat dengar komentar orang ("ngopo e?") yang lihat saya lari-lari dari shelter ke Tugu (takut tak keburu mengejar Lodaya!). Memang bukan musim liburan waktu itu. Saya tidak bilang sama orangtua saya esok paginya. bahwa saya telah menghabiskan cepe kali seceng hanya untuk tiga hari dua malam di Bandung, ha.
Masih soal jadwal, pernah Kahuripan baru menyambangi Lempuyangan pada sekitar pukul sebelas malam. Selama hampir dua jam, kami para calon penumpang yang letih menunggu, selalu menyoraki setiap pemberitahuan kedatangan kereta apabila nama kereta yang disebut bukanlah "Kahuripan". Pengaretan yang luar biasa ini menyebabkan saya baru tiba di Stasiun Kiaracondong pada sekitar pukul setengah sepuluh pagi.
Setiap naik Kahuripan, alhamdulillah, saya selalu langsung mendapat bangku. Kecuali pada H-7 Lebaran lalu. Saya baru dapat bangku sendiri begitu sampai Banjar--sebelumnya saya berdiri, kalau bukan menduduki kardus orang! Baru sekarang, oh, aku rasakan, begitu kata Mas'ud Sidik dalam lagunya, Duda, sebenar-benarnya derita dalam menaiki kereta ekonomi. Saat kereta masih berhenti di Lempuyangan, saya sempat ragu apakah dia masih bisa memuat saya. Tapi kalau saya tidak memaksakan diri menjejalkan diri ke dalam, bisa-bisa saya ketinggalan karena kereta sudah akan berangkat lagi! Dan di dalamnya... sudah panas, mengantuk, berdiri saja susah, disenggol-senggol pedagang asongan yang tak henti berseliweran pula. Saya lihat mereka yang senasib hanya bisa bertampang pasrah. O, inilah wajah kita, wajah transportasi Indonesia! Seorang ibu bahkan gelisah karena tidak bisa meloloskan hasrat ingin pipis anaknya--karena toiletnya saja penuh barang! Ibu tersebut sempat turun sebentar dengan anaknya itu di Stasiun Kutoarjo, karena ada yang bilang kereta akan berhenti cukup lama. Seorang anaknya lagi dititipkan pada saya. Belum lama menunggu, kereta sudah bergerak lagi! Gantian saya yang panik! Tapi happy ending kok jadinya.
Pengalaman selanjutnya seakan membayar derita saya dalam pengalaman sebelumnya. Dua belas Oktober 2010 malam seakan jadi peringatan setahun perkenalan saya dengan Kahuripan. Bedanya dengan setahun lalu, sekarang ibu saya, alhamdulillah, sudah tidak sakit lagi dan saya pulang bukannya setelah UTS, melainkan di pertengahan UTS.
Saya tidak tahu apakah UTS di FKT UGM sudah pernah diselenggarakan selama dua minggu sebelumnya apa belum. Yang jelas, mau seminggu atau dua minggu bagi saya semester ini sama saja. Minggu pertama saya ujian hanya Selasa sedang minggu kedua saya ujian pada Senin, Selasa, dan Kamis. Baik Senin maupun Selasa, sama-sama ujian tiga kali. Makanya saya punya jeda waktu untuk pulang.
Ada beda, ada pula sama. Sama mengesankan, saya ingin katakan.
Di tiket, tertera bahwa Kahuripan berangkat pukul 20.20. Memang dia datang agak mengaret beberapa menit. Tapi lebih cepat dari yang saya kira. Atau mungkin setting jam di ponsel saya saja yang sedang agak bermasalah.
Begitu dengar speaker mengumandangkan pengumuman kedatangan Kahuripan, refleks saya tinggalkan mbak-mbak lulusan UIN asal Sidareja yang jadi kawan mengobrol saya. Padahal kami sudah sampai membahas soal perempuan perokok segala. Saya merasa jahat kemudian, ini bukan yang sekali pula. Pada pengalaman sebelumnya, saya berkenalan dengan siswi SMAN 4 Yogyakarta. Ada ibu dan adiknya juga. Pengalaman pertamanya naik Kahuripan, kiranya. Sudah mengobrol cukup akrab, begitu Kahuripan datang, saya lantas menjauh. Bukannya bantu membawakan barang atau apa. Hehe. Namun adalah saya dalam keyakinan bahwa orang jahat sejati tidak akan menyadari dirinya jahat. Karena saya sadar, saya berharap tidak akan mengulangi hal yang sama, insya Allah.
Tidak ingin mengulangi pengalaman sebelumnya pula (menunggu kereta di bagian tengah, di sebelah kanan jalur), saya cari aman saja. Saya menunggu di tempat yang gerbong paling belakang kereta diperkirakan akan berhenti di situ, di sebelah kiri jalur. He, tahunya keretanya jalan terus. Jadilah saya dan beberapa orang senasib mengejar-ngejar pintu. Pintu yang mana saja, yang terdekat dan tidak sedang berjalan karena bisa memberi akibat kecelakaan. Dari jendela, terlihat cukup banyak bangku yang tak terduduki. Sungguh memberi harapan.
Akhirnya, saya masuk lewat pintu paling belakang. Memang, namanya sudah jadi tabiat, kami berebut masuk melalui celah nan relatif sempit itu. Saling dorong, memaksakan diri, alhamdulillah ada yang mau mengalah. Saya merasa konyol kemudian dengan adegan tersebut, karena, Kahuripan agak lowong pada malam itu ternyata.
Saya melewati bertubi-tubi bangku yang hanya dimuati seorang-dua orang--sambil tiduran pula. Saya punya lebih banyak pilihan hendak menempati bangku yang mana. Woa. Woa. Woa. Inilah surga dunia... menurut ukuran calon penumpang kereta ekonomi. Penyesalan saya karena sudah meninggalkan kawan mengobrol tertepis oleh ketakjuban ini. Oh, pastilah kawan mengobrol saya tadi, dengan ragam bawaannya, dapat langsung pula menemukan tempat duduk. Saya jadi lebih tenang. Bahkan hingga kereta berjalan pun, tampaknya masih ada lahan untuk duduk di atas bangku.
Awalnya saya pilih tempat duduk di samping seorang lelaki berwajah cukup menyeramkan, lalu pindah ke samping mbak-mbak berjilbab, lalu pindah lagi ke bangku sebelah karena ada lahan kosong dekat jendela. Saya suka tempat duduk dekat jendela! Kendati lantainya agak licin terasa oleh alas kaki saya--oh, semoga kotor yang saya pijaki ini bukan karena muntahan yang mengering!
Dalam luapan gembira, saya membagi kesenangan akan keadaan Kahuripan yang relatif lowong ini pada kawan-kawan kampus terakhir yang saya temui. Juga pada semua yang mengenal saya di Facebook. Hurah!
Dan adalah malam itu, setelah menatap indahnya kelam malam lewat jendela, membuka-buka buku ajar Pengolahan Hasil Hutan karangan Kasmudjo, membawa kata "Rewulu" dan "Sentolo", saya menghabiskan sebagian besar waktu saya dalam Kahuripan malam itu dengan memejamkan mata dan memperbaiki posisi duduk. Ransel saya jadikan pengganti bantal, untuk jadi penopang atau dipeluk.
Demikian pun mas-mas di depan saya. Setelah membiarkan tutup botol Aqua 1,5 L-nya jatuh entah ke mana, dia pulas tidur dengan mulut mangap. Setiap kali mata saya terbuka di tengah perbaikan posisi duduk, senantiasa pemandangan itu yang saya dapatkan.
Masih gelap di luar ketika seorang bapak-bapak berambut cepak, berjenggot, berkacamata, bercelana ngatung--tipe-tipe yang seperti itulah--menggantikan seorang anak kecil yang dalam setengah perjalanan awal jadi kawan sebangku saya. Dengan teganya, bapak tersebut membangunkan saya (yang jelas-jelas sedang tidur dengan jaket menutup muka) hanya untuk mengajak mengobrol! Saya merespon dia seadanya, karena bagaimanapun kesadaran saya masih di awang-awang. Hal ini tak terjadi sekali. Sampai saya menyadari kepergian bapak tersebut. Saya menerka-nerka, apakah mungkin dia manusia jelmaan malaikat yang sengaja ingin membangunkan saya untuk solat malam. Solat malam di dalam kereta ekonomi?! Tapi dari kata-katanya yang sempat saya tangkap dalam usaha mengajak saya mengobrol, sepertinya dia hanya seorang bapak-bapak iseng.
Sekali membuka mata, tampak di luar mulai terang. Sebelum itu, saat masih gelap, silih berganti orang duduk di samping kami--saya dan mas-mas kebo--yang hampir di sepanjang jalan terlelap. Salah seorang yang paling sering mampir adalah seorang ibu-ibu berambut pendek yang berdagang makanan. Duduk di samping mas-mas, dengan baskom berisi telor, tempe, dan sebagainya di bangku seberangnya. Dari pemandangan sekilas itu (karena mata saya lekas terkatup lagi), bisa saya pahami beban berat yang harus ibu itu pikul. Begitu pun para pedangan asongan lain di hari sepi penumpang seperti ini. Saya juga dengar kata "Tasik", "Garut", "Leles", "Nggak berhenti di Cibatu", dan semacamnya disebut-sebut. Sempat juga bangku-bangku di sekitar saya terlihat penuh terisi orang.
Kali terakhir membuka mata, di sebelah kiri saya adalah deretan pemukiman padat nan kumuh yang berjalan. Hm, pemandangan di mana lagi ini kalau bukan di... ini sudah sampai Kota Bandung?! Padahal masih kesan sendu pagi selepas subuh yang tertangkap di sana.
Mas-mas di depan saya juga sudah bangun rupanya, dan dia minum air dari botol Aqua 1,5 L-nya yang tanpa tutup semalaman. Saya bertanya padanya untuk memastikan apakah saat itu memang kami sudah di Bandung. Dia mengiyakan, dengan heran mengira saya belum terbiasa dengan perjalanan ini. Dan ternyata kami sudah dekat dengan Kiaracondong!
Olala, takjub kedua saya. Kalau naik Lodaya, saya tidak akan heran ketika sampai di Stasiun Bandung menjelang pukul enam pagi. Tapi ini Kahuripan gitu loh... yang biasanya baru tiba sekitar pukul delapan pagi di Kiaracondong... Sekian kali naik Kahuripan, belum pernah dia sampai secepat ini. Mas-mas tersebut akhirnya mengerti ketakjuban saya. Dia menambahkan bahwa di luar sedang hujan. Hm, pantas juga.
Lewat pintu paling belakang lagi, saya menapakkan alas kaki pada basahnya Bandung. Kota yang membesarkan saya, yang selalu melingkupi saya dengan hawa sejuk, menyambut saya dalam naungan sendu sisa hujan, betapa manisnya!
Saya memutuskan untuk ke luar dari kawasan stasiun dengan menyusuri rel saja, ketimbang lewat pintu peron dan melalui sejuta kubangan yang dikepung rujit. Meskipun... ujung-ujungnya tetap saya harus berjalan beriringan dengan pasar, sesama pejalan kaki, pengendara motor, dan angkot dalam satu lajur jalan. Siapapun mereka yang baru pertama kali berkunjung ke Bandung karena penasaran akan keindahannya, disarankan untuk turun di Stasiun Bandung saja. Pemandangan dan suasana yang akan didapat sepertinya masih mendingan ketimbang kalau turun di Kiaracondong. Inilah wajah Kiaracondong di pagi hari:
Masih Kahuripan di sebelah kanan saya, dan "CPROT", seseorang dari dalamnya membuang suatu cairan yang menciprati kedua belah kaki saya. Saya meraba-raba kepala dan pundak, kalau-kalau kena, alhamdulillah tidak. Saya mencolek salah satu jari kaki saya yang jadi berhiaskan bercak-bercak merona. Hm, tercium seperti kopi.
Penutup yang indah bukan?
fyi: jarak dari Stasiun Kiaracondong ke rumah saya ternyata sekitar tiga per empat jam lebih jalan kaki.
Yang melatari pengalaman pertama saya naik kereta ekonomi malam-malam sendirian adalah satu, saya ingin memulihkan hubungan dengan ibu saya yang waktu itu sedang sakit, dan dua, saya hanya punya jeda waktu sebentar (Kamis malam - Minggu) setelah UTS waktu itu. Kalau saya punya seminggu mungkin saya ikhlas saja naik kelas bisnis yang harga tiketnya bisa 4 - 5 kali lipat. Untunglah sudah ada kawan seangkatan dan sejurusan sesama orang Bandung yang sudah berpengalaman naik kereta ekonomi ke Bandung, jadi saya bisa minta saran. Katanya, "Naik Kahuripan dari Lempuyangan jam setengah sepuluh malam. Naik dari gerbong yang paling belakang."
Bukannya saya tidak pernah naik kereta ekonomi sebelumnya. Saya sudah pernah naik Pasundan (Jogja - Surabaya, lalu Surabaya - Bandung) pada tahun 2005, tapi bersama banyak kenalan dan langsung dapat tempat duduk.
Pengalaman pertama saya naik Kahuripan amat mengesankan. Mulai dari murahnya harga tiket (24.000 rupiah, belum berubah sampai sekarang), ingat akan komentar orang-orang yang telah mengalami naik kereta ekonomi (penuh berjejal, tapi bisa jadi kental nilai sosial), ketar-ketir khawatir tidak mendapat tempat duduk, hingga mendapat teman-teman baru di FB :). Tak menyangka sebelumnya pada waktu itu, saya akan terjebak dalam tawa bersama para pemuda bertipe mang-mang hingga dini hari pukul dua, dan cowok di sebelah saya ternyata maba UGM yang merupakan teman SMA-nya teman SMP saya.
Saya tidak menaiki Kahuripan lagi sampai tahun 2010. Pada tahun ini, semakin kerap saja saya bertengger di dalam kereta tersebut. Hampir setiap bulan saya pulang dengannya. Tembang Perjalanan-nya Franky & Jane pun mengiringi dalam benak. Namun untuk kembali ke Jogja, saya lebih memilih tidak naik kereta yang sama. Kutojaya lebih ramah penumpang (lebih lengkap pengalaman saya naik ini bisa dibaca di sini), kendati harus naik Pramex atau bis lagi untuk mencapai Jogja.
Dengan Kahuripan, saya pernah mengalami kecele akibat perubahan jadwal. Sebelumnya, Kahuripan berangkat dari Stasiun Lempuyangan sekitar pukul setengah sepuluh malam. Waktu itu kalau tidak salah akhir Maret, saya bermaksud pulang ke Bandung untuk ikut merayakan ulang tahun ibu saya. Saya naik Trans Jogja untuk mencapai Lempuyangan. Begitu dekat stasiun, terlihat di kejauhan, sebuah kereta baru saja berangkat. Ketika dekat dengan loket, tahulah saya bahwa kereta yang barusan adalah Kahuripan. Weks! Padahal masih sekitar jam setengah sembilan malam waktu itu! Setengah berlari, saya lekas menuju shelter Trans Jogja kembali untuk menuju Stasiun Tugu. Niat sekali saya pulang ke Bandung waktu itu, demi ibu dan janji bertemu seorang kawan. Alhamdulillah, saya berhasil mendapat sebuah bangku di kelas bisnis Lodaya, meski sempat dengar komentar orang ("ngopo e?") yang lihat saya lari-lari dari shelter ke Tugu (takut tak keburu mengejar Lodaya!). Memang bukan musim liburan waktu itu. Saya tidak bilang sama orangtua saya esok paginya. bahwa saya telah menghabiskan cepe kali seceng hanya untuk tiga hari dua malam di Bandung, ha.
Masih soal jadwal, pernah Kahuripan baru menyambangi Lempuyangan pada sekitar pukul sebelas malam. Selama hampir dua jam, kami para calon penumpang yang letih menunggu, selalu menyoraki setiap pemberitahuan kedatangan kereta apabila nama kereta yang disebut bukanlah "Kahuripan". Pengaretan yang luar biasa ini menyebabkan saya baru tiba di Stasiun Kiaracondong pada sekitar pukul setengah sepuluh pagi.
Setiap naik Kahuripan, alhamdulillah, saya selalu langsung mendapat bangku. Kecuali pada H-7 Lebaran lalu. Saya baru dapat bangku sendiri begitu sampai Banjar--sebelumnya saya berdiri, kalau bukan menduduki kardus orang! Baru sekarang, oh, aku rasakan, begitu kata Mas'ud Sidik dalam lagunya, Duda, sebenar-benarnya derita dalam menaiki kereta ekonomi. Saat kereta masih berhenti di Lempuyangan, saya sempat ragu apakah dia masih bisa memuat saya. Tapi kalau saya tidak memaksakan diri menjejalkan diri ke dalam, bisa-bisa saya ketinggalan karena kereta sudah akan berangkat lagi! Dan di dalamnya... sudah panas, mengantuk, berdiri saja susah, disenggol-senggol pedagang asongan yang tak henti berseliweran pula. Saya lihat mereka yang senasib hanya bisa bertampang pasrah. O, inilah wajah kita, wajah transportasi Indonesia! Seorang ibu bahkan gelisah karena tidak bisa meloloskan hasrat ingin pipis anaknya--karena toiletnya saja penuh barang! Ibu tersebut sempat turun sebentar dengan anaknya itu di Stasiun Kutoarjo, karena ada yang bilang kereta akan berhenti cukup lama. Seorang anaknya lagi dititipkan pada saya. Belum lama menunggu, kereta sudah bergerak lagi! Gantian saya yang panik! Tapi happy ending kok jadinya.
Pengalaman selanjutnya seakan membayar derita saya dalam pengalaman sebelumnya. Dua belas Oktober 2010 malam seakan jadi peringatan setahun perkenalan saya dengan Kahuripan. Bedanya dengan setahun lalu, sekarang ibu saya, alhamdulillah, sudah tidak sakit lagi dan saya pulang bukannya setelah UTS, melainkan di pertengahan UTS.
Saya tidak tahu apakah UTS di FKT UGM sudah pernah diselenggarakan selama dua minggu sebelumnya apa belum. Yang jelas, mau seminggu atau dua minggu bagi saya semester ini sama saja. Minggu pertama saya ujian hanya Selasa sedang minggu kedua saya ujian pada Senin, Selasa, dan Kamis. Baik Senin maupun Selasa, sama-sama ujian tiga kali. Makanya saya punya jeda waktu untuk pulang.
Ada beda, ada pula sama. Sama mengesankan, saya ingin katakan.
Di tiket, tertera bahwa Kahuripan berangkat pukul 20.20. Memang dia datang agak mengaret beberapa menit. Tapi lebih cepat dari yang saya kira. Atau mungkin setting jam di ponsel saya saja yang sedang agak bermasalah.
Begitu dengar speaker mengumandangkan pengumuman kedatangan Kahuripan, refleks saya tinggalkan mbak-mbak lulusan UIN asal Sidareja yang jadi kawan mengobrol saya. Padahal kami sudah sampai membahas soal perempuan perokok segala. Saya merasa jahat kemudian, ini bukan yang sekali pula. Pada pengalaman sebelumnya, saya berkenalan dengan siswi SMAN 4 Yogyakarta. Ada ibu dan adiknya juga. Pengalaman pertamanya naik Kahuripan, kiranya. Sudah mengobrol cukup akrab, begitu Kahuripan datang, saya lantas menjauh. Bukannya bantu membawakan barang atau apa. Hehe. Namun adalah saya dalam keyakinan bahwa orang jahat sejati tidak akan menyadari dirinya jahat. Karena saya sadar, saya berharap tidak akan mengulangi hal yang sama, insya Allah.
Tidak ingin mengulangi pengalaman sebelumnya pula (menunggu kereta di bagian tengah, di sebelah kanan jalur), saya cari aman saja. Saya menunggu di tempat yang gerbong paling belakang kereta diperkirakan akan berhenti di situ, di sebelah kiri jalur. He, tahunya keretanya jalan terus. Jadilah saya dan beberapa orang senasib mengejar-ngejar pintu. Pintu yang mana saja, yang terdekat dan tidak sedang berjalan karena bisa memberi akibat kecelakaan. Dari jendela, terlihat cukup banyak bangku yang tak terduduki. Sungguh memberi harapan.
Akhirnya, saya masuk lewat pintu paling belakang. Memang, namanya sudah jadi tabiat, kami berebut masuk melalui celah nan relatif sempit itu. Saling dorong, memaksakan diri, alhamdulillah ada yang mau mengalah. Saya merasa konyol kemudian dengan adegan tersebut, karena, Kahuripan agak lowong pada malam itu ternyata.
Saya melewati bertubi-tubi bangku yang hanya dimuati seorang-dua orang--sambil tiduran pula. Saya punya lebih banyak pilihan hendak menempati bangku yang mana. Woa. Woa. Woa. Inilah surga dunia... menurut ukuran calon penumpang kereta ekonomi. Penyesalan saya karena sudah meninggalkan kawan mengobrol tertepis oleh ketakjuban ini. Oh, pastilah kawan mengobrol saya tadi, dengan ragam bawaannya, dapat langsung pula menemukan tempat duduk. Saya jadi lebih tenang. Bahkan hingga kereta berjalan pun, tampaknya masih ada lahan untuk duduk di atas bangku.
Awalnya saya pilih tempat duduk di samping seorang lelaki berwajah cukup menyeramkan, lalu pindah ke samping mbak-mbak berjilbab, lalu pindah lagi ke bangku sebelah karena ada lahan kosong dekat jendela. Saya suka tempat duduk dekat jendela! Kendati lantainya agak licin terasa oleh alas kaki saya--oh, semoga kotor yang saya pijaki ini bukan karena muntahan yang mengering!
Dalam luapan gembira, saya membagi kesenangan akan keadaan Kahuripan yang relatif lowong ini pada kawan-kawan kampus terakhir yang saya temui. Juga pada semua yang mengenal saya di Facebook. Hurah!
Dan adalah malam itu, setelah menatap indahnya kelam malam lewat jendela, membuka-buka buku ajar Pengolahan Hasil Hutan karangan Kasmudjo, membawa kata "Rewulu" dan "Sentolo", saya menghabiskan sebagian besar waktu saya dalam Kahuripan malam itu dengan memejamkan mata dan memperbaiki posisi duduk. Ransel saya jadikan pengganti bantal, untuk jadi penopang atau dipeluk.
Demikian pun mas-mas di depan saya. Setelah membiarkan tutup botol Aqua 1,5 L-nya jatuh entah ke mana, dia pulas tidur dengan mulut mangap. Setiap kali mata saya terbuka di tengah perbaikan posisi duduk, senantiasa pemandangan itu yang saya dapatkan.
Masih gelap di luar ketika seorang bapak-bapak berambut cepak, berjenggot, berkacamata, bercelana ngatung--tipe-tipe yang seperti itulah--menggantikan seorang anak kecil yang dalam setengah perjalanan awal jadi kawan sebangku saya. Dengan teganya, bapak tersebut membangunkan saya (yang jelas-jelas sedang tidur dengan jaket menutup muka) hanya untuk mengajak mengobrol! Saya merespon dia seadanya, karena bagaimanapun kesadaran saya masih di awang-awang. Hal ini tak terjadi sekali. Sampai saya menyadari kepergian bapak tersebut. Saya menerka-nerka, apakah mungkin dia manusia jelmaan malaikat yang sengaja ingin membangunkan saya untuk solat malam. Solat malam di dalam kereta ekonomi?! Tapi dari kata-katanya yang sempat saya tangkap dalam usaha mengajak saya mengobrol, sepertinya dia hanya seorang bapak-bapak iseng.
Sekali membuka mata, tampak di luar mulai terang. Sebelum itu, saat masih gelap, silih berganti orang duduk di samping kami--saya dan mas-mas kebo--yang hampir di sepanjang jalan terlelap. Salah seorang yang paling sering mampir adalah seorang ibu-ibu berambut pendek yang berdagang makanan. Duduk di samping mas-mas, dengan baskom berisi telor, tempe, dan sebagainya di bangku seberangnya. Dari pemandangan sekilas itu (karena mata saya lekas terkatup lagi), bisa saya pahami beban berat yang harus ibu itu pikul. Begitu pun para pedangan asongan lain di hari sepi penumpang seperti ini. Saya juga dengar kata "Tasik", "Garut", "Leles", "Nggak berhenti di Cibatu", dan semacamnya disebut-sebut. Sempat juga bangku-bangku di sekitar saya terlihat penuh terisi orang.
Kali terakhir membuka mata, di sebelah kiri saya adalah deretan pemukiman padat nan kumuh yang berjalan. Hm, pemandangan di mana lagi ini kalau bukan di... ini sudah sampai Kota Bandung?! Padahal masih kesan sendu pagi selepas subuh yang tertangkap di sana.
Mas-mas di depan saya juga sudah bangun rupanya, dan dia minum air dari botol Aqua 1,5 L-nya yang tanpa tutup semalaman. Saya bertanya padanya untuk memastikan apakah saat itu memang kami sudah di Bandung. Dia mengiyakan, dengan heran mengira saya belum terbiasa dengan perjalanan ini. Dan ternyata kami sudah dekat dengan Kiaracondong!
Olala, takjub kedua saya. Kalau naik Lodaya, saya tidak akan heran ketika sampai di Stasiun Bandung menjelang pukul enam pagi. Tapi ini Kahuripan gitu loh... yang biasanya baru tiba sekitar pukul delapan pagi di Kiaracondong... Sekian kali naik Kahuripan, belum pernah dia sampai secepat ini. Mas-mas tersebut akhirnya mengerti ketakjuban saya. Dia menambahkan bahwa di luar sedang hujan. Hm, pantas juga.
Lewat pintu paling belakang lagi, saya menapakkan alas kaki pada basahnya Bandung. Kota yang membesarkan saya, yang selalu melingkupi saya dengan hawa sejuk, menyambut saya dalam naungan sendu sisa hujan, betapa manisnya!
Saya memutuskan untuk ke luar dari kawasan stasiun dengan menyusuri rel saja, ketimbang lewat pintu peron dan melalui sejuta kubangan yang dikepung rujit. Meskipun... ujung-ujungnya tetap saya harus berjalan beriringan dengan pasar, sesama pejalan kaki, pengendara motor, dan angkot dalam satu lajur jalan. Siapapun mereka yang baru pertama kali berkunjung ke Bandung karena penasaran akan keindahannya, disarankan untuk turun di Stasiun Bandung saja. Pemandangan dan suasana yang akan didapat sepertinya masih mendingan ketimbang kalau turun di Kiaracondong. Inilah wajah Kiaracondong di pagi hari:
Masih Kahuripan di sebelah kanan saya, dan "CPROT", seseorang dari dalamnya membuang suatu cairan yang menciprati kedua belah kaki saya. Saya meraba-raba kepala dan pundak, kalau-kalau kena, alhamdulillah tidak. Saya mencolek salah satu jari kaki saya yang jadi berhiaskan bercak-bercak merona. Hm, tercium seperti kopi.
Penutup yang indah bukan?
fyi: jarak dari Stasiun Kiaracondong ke rumah saya ternyata sekitar tiga per empat jam lebih jalan kaki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar