Sabtu, 02 Oktober 2010

DREANDARA


Dreandara, masih kau seperti yang biasa…

Pemandangan itu selalu sama bagiku. Rambutmu panjang ikal halus. Bersinar kecokelatan, apabila terik mentari menyorotinya. Namun tak seterang binar matamu, yang mengerjap setiap melihat kedatanganku. Masih rambutmu, menembar aroma lembut ketika terkibas melewatiku, membingkai oval pualam. Di sana aku temukan sepasang katup merah muda yang melengkung ke atas pada tak sembarang lelaki. Termasuk aku.

Di dapur rumahmu kerap kita bersua. Kamu sudah pulang dari sekolah. Mengganti pakaianmu dengan terusan berwarna lembut. Tak banyak kegiatanmu selain menjadi siswi pandai dan rajin serta sekretaris OSIS yang berdedikasi. Dan kadang aku sengaja bolos latihan hanya untuk minta makan. Jemarimu panjang dan lentik, gemulai menguntai benang rajut, juga piawai meracik bahan hingga menyaji hidangan penggelitik lidah. Kadang pula kita mengisi sofa ruang tengah, pada ujung satu dan ujung lainnya. Sementara kamu minum teh herbalmu dengan anggun, aku membaca majalah ibumu.

Bertukar kata karena perlu. Kamu tak seceriwis ibumu, apalagi ibuku, yang mempertautkan kita sejak TK tanpa tukar cincin segala. Tidak. Tidak ada. Mereka hanya bersahabat, itu saja. Aku tidak tahu, mengapa aku meniru ibuku. Aku jadi selalu ingin datang ke rumahmu, melihatmu, menemanimu. Karena kamu yang akan mendatangi gubuk reyotku jika aku tak begitu. Siapakah aku bagimu dan siapakah kamu bagiku? Teman sepermainan sejak kecil, kata ibumu yang periang. Tetangga jauh, kata ibuku yang sinis.

…saat ku terpikat si dia di lampu merah…

Suatu pagi, sepedaku terhenti. Untuk menuju sekolah tinggal belok kiri, namun lampu merah menahan lajuku di samping sepedanya. Rambut lurusnya melampaui daun telinga yang ditembus deretan logam. Aku mengenali wajahnya sebagaimana aku teringat pada anak kucingku, yang tak tersenyum sebagaimana dirinya. Seperti permen. Kubalas senyumnya seraya berkata, “Cantik deh…” Kudengar dengusnya tersipu, sehingga aku melanjutkan, “…jepitnya.” Lampu hijau. Laju sepedaku mendahuluinya, diiringi tawaku.

…berlanjut di sekolah.

Senja yang berkeringat, kelar meladeni kawan melempar bola ke keranjang. Aku mengejar waktu latihan, kalau tidak aku akan terjebak di gelanggang hingga jauh malam. Namun ketergesaan itu lenyap begitu melihatnya di tempat parkir sepeda. Aku tergelitik untuk menggodanya lagi, anak kucingku yang mengulum permen. Mendengar ada yang menyongsongnya dari belakang, dia berbalik. Tersentak saat tubuhku menghalangi sebagian besar pandangannya. Defensif, dia kembali pada kumpulan kuncinya.

Sembari menarik sepedaku, kulirik sepedanya. Tepat di sampingku. “Sepedanya bagus, ya.”

Ujung bibirnya tertarik sedikit. “Hoh, makasih.” Lanjutnya dengan nada tak acuh, “Sepeda kamu juga unik, kayak punya tukang kebun.”

Aku mendengus. “Makasih, entar saya sampein ke babeh, dia yang punya.”

Tatapannya terkesima. “Ng, eh, saya bercanda kok…”

“Beneran juga nggak apa-apa.”

Dia terlihat tak enak hati. Aku jadi geli.

“Kuncinya banyak banget,” komentarku setelah menunggangi sepeda. Lagi-lagi dia tidak berhasil menemukan kunci yang cocok untuk gembok sepedanya. Aku terus mengamati. Terlupakan bahwa pak pelatih mungkin sudah menungguku dengan peluit dan beberapa lembar kertas bertabel dalam jepitan papan jalan. “Mau dibantu?”

Aku berjongkok di hadapannya. Sayang, jeruji sepedanya menghalangi kami. Untungnya masih tersisa ruang yang leluasa baginya untuk menatapku. Kupamerkan padanya keterampilanku membuka kunci dengan jepit rambut ibuku. Dia menukarnya dengan senyum berasa brownies dan kata-kata secair punch melon buatanmu. Dan sebuah nama. Pelatihku mengganjar keterlambatanku dengan porsi latihan tiga kali lipat lebih berat. Tapi tak apa.

Dreandara, masih kau tak mengira ada apa…

Beragam kata sifat yang merujuk pada keindahan raganya, pertemuan-pertemuan kecil di tempat parkir sepeda, mengantarkannya ke tukang tambal ban, tapi kusimpan sendiri pendar rasa saat matahari terbenam di hadapan kami berdua. Dan kamu hanya menyesap teh herbal. Seakan segala kalimatku tentangnya bagimu bukanlah suatu apa. Tidak ada beda dengan saat kuberitakan kehamilan kucingku sebagai penggusah hening di antara kita. Tanggapanmu hanya, “jadi kamu kebanyakan dispensasi sampai nggak ngenalin dia selama ini,” yang membeo ucapanku sebelumnya.

Aku hanya menjawab, “Ya.” Jadi tak tergugah untuk berkata lebih banyak. Kamu bangkit dari sofa, mengambil sebuah toples dari lemari di belakang, kembali, dan menyodorkan tumpukan kue kering, “Ini kayaknya saya kebanyakan kayu manis deh.” Aku mencomot sebuah. Menimbang-nimbang rasanya. Melisan apa yang ingin lidah katakan. Dan petang itu kembali jadi petang yang biasa.

…saat ku terikat dengannya…

Di luar persahabatan ibuku dengan ibumu, aku tidak tahu mengapa kita dapat terhubung untuk sekian lama. Kusadari bahwa kita begitu berbeda. Dia tak sepertimu, Dreandara. Rambutmu tak selurus rambutnya. Sorot matamu tak secemerlang sorot matanya. Polahmu tak seatraktif polahnya. Penampilanmu tak sebebas penampilannya. Pergaulanmu tak seluas pergaulannya. Dan segala hal lain yang kusuka darinya, kamu tak demikian. Ketertarikanmu padaku hanya dalam mengajariku pelajaran sekolah. Atau menjadikanku penguji dalam setiap aplikasi keterampilan PKK-mu. Kamu tak pernah seluwes dirinya. Kamu tak sanggup kuajak tanding basket. Kamu tak mau jalan berdua saja denganku. Kamu tak suka kugoda. Kamu tak sudi kurangkul. Kamu tak bisa kusentuh. Apalagi berinisiatif menanyakan cara menghubungiku sewaktu-waktu.

Aku menggeleng ketika dia menanyakan nomor ponselku. Aku tertawa ketika dia beralih pada nomor teleponku. “Mau nelpon juga nggak bakal nyambung,” kataku. Aku tidak ingin berbohong, pun mengelak. Sebagaimana aku ingin mengenal lebih banyak dan lebih banyak lagi darinya, maka harus ada keadilan juga baginya. Maka aku hanya ingin menyajikannya sebuah permainan.

“Kalau mau nyari saya ya sering-sering aja ngejar saya.”

“Ngejar kamu? Kamu aja yang ngejar saya!”

“Capek kali kejar-kejaran. Mending jalan bareng.”

Aku ingin tahu rasanya memegang tangan seorang perempuan. Yang bukan milik seseorang yang bertalian darah. Yang bukan milik lawan saat latih tanding. Yang  bukan milik manula penyeberang jalan maupun anak kecil yang terjatuh. Yang aku kira tak akan pernah itu menjadi milikmu, Dreandara. Sebelum tanganku sempat menyentuhnya, ia sudah menggamit tanganku duluan.

Dreandara, tak pernahkah kamu terpikir untuk memiliki seseorang yang spesial dalam hidupmu?

…tak sepercik pun gerakmu yang terusik.

Ibumu cerita, bahwa kamu bangun subuh setiap hari. Kamu tidak menunda mandi. Tubuhmu selalu wangi. Kamarmu konon selalu tertata rapi, hingga pada setiap pernik dalam ransel sekolahmu. Kamu suka meracik, kamu bantu pembantumu menyiapkan makan pagi. Bersama para anggota keluargamu yang lain, kamu habiskan sarapan dengan tertib.

Lalu di sekolah, aku saksikan sendiri kamu sudah ada di sana sebelum bel masuk berbunyi. Sejak SD bangkumu tak pernah jauh dari papan tulis. Kamu tak pernah membiarkan PR-mu dijarah orang lain. Lebih baik bagimu untuk mengajari mereka yang perempuan sampai mengerti, dan menghantam para lelaki tak tahu diri. Saat guru menjalankan tugasnya, perhatianmu tak akan meluputkan secuilpun materi. Lalu jam istirahat tiba. Kamu bercengkerama dengan para temanmu sesama putri, namun tetap sigap menanti panggilan ekstrakulikuler maupun organisasi.

Setelah tak ada lagi hal yang harus diurus di sekolah, kamu lekas pulang. Tak menyengajakan diri luntang-lantung dulu, sekedar mencari kawan untuk lanjut bersosialisasi. Mungkin tak ada hal lain yang lebih menarik bagimu selain bereksperimen dengan bumbu dapur, bahan makanan impor, manik-manik dari batu mulia, hingga ragam benang rajut dan pengaitnya.

Bahkan hingga tangan seorang perempuan berada dalam genggamanku, masih begitu saja keseharianmu. Seolah tak ada sesuatu yang baru di luar duniamu.

Dreandara, harus sampai kapan kupamerkan? Dekatku dengan dirinya, tak buatmu tergugah…

Dia yang sering sengaja mampir ke rumahku. Katanya aku tak usah menyembunyikan keminderanku, meski aku berusaha keras agar tak berlagak begitu. Dia tahu aku sangat menyukai hewan. Dia tak cemburu ketika kucingku mencium pipiku. Dia tertawa ketika aku mengajak senam kucingku. Dia menolak ketika kutawarkan salah satu anak ayamku untuk dia bawa pulang sebagai oleh-oleh. Seolah aku tak pernah punya teman sebelumnya, dia menyertaiku pada waktu luang yang tak melimpah. Duniaku yang jadi miliknya. Dunianya yang jadi milikku. Teman-temanku mengerti untuk tak mengusik ketika aku hanya menginginkannya. Kecuali kamu, Drendara. Ketika aku menemukanmu tergugu di teras, membelakangi rumahku. Padahal kamu tak pernah hapal jadwalku. Namun aku sudah dapat menerka apa maksud kedatanganmu.

“Masuk?” tawarku.

Kamu menggeleng. Hanya menyodorkan sepucuk barang dalam kepalan tangan. Mukamu tanpa ekspresi, sewaktu bilang, “Kamu bilang mau ke rumah saya kemarin.”

Kedua ujung handuk yang mengalungi leherku tertarik. Yang mendominasi ingatanku untuk beberapa lama hanyalah mengenai kedatangannya yang tidak akan lama lagi. Juga segala pesona dan keriaannya. Secuil ingatan yang lain pun terpendam entah di mana. Lanjutmu berkata, setelah aku menerima bungkusan darimu, “Besok itu basi. Harus cepet dimakan.”

Aku termangu. Hanya sepenggal sambungan kalimatmu yang masuk dalam ranah pendengaranku, “…daripada di rumah nggak ada yang mau makan…” Terpikir untuk minta maaf, namun ujung roda sepedanya terlanjur menyentuh pagar. Kamupun menoleh, mendapatkan keterpekurannya. Tersenyum. Gumamanmu, “Lumayan, ada yang bantu ngabisin...”

…kau hanya memalingkan wajah…

Kalian bertukar anggukan. Kamu menuju sepedamu kembali, yang berwarna pink dengan keranjang di muka. Agak oleng, ketika kamu menaikinya. Aku jadi ingat pada masa lalu kita, di mana ketidakmahiranmu bersepeda membuatmu gusar. Kamu menyuruhku untuk membawa sepedamu pulang sementara kamu sendiri jalan kaki.

Hingga kamu menghilang di balik tikungan, kamu tak memperlihatkan wajahmu padaku, Dreandara. Hanya aku temukan sekilas, seutas gamang pada sepasang bola matamu yang lekas teralih pada cakrawala.

Kukatakan padanya bahwa kamu adalah tetangga jauhku, dia hanya berkata, “Manis, ya?” Dan kami makan pengananmu bersama. Memang manis rasanya.

Apa yang kau rasa, Dreandara?

Butuh hari-hari gamang untuk memaknai bahasa matamu, Dreandara. Aku berusaha mengubah suatu dugaan menjadi keyakinan. Menggusah persoalan, apakah aku tak cukup berarti untukmu, Dreandara? Hingga kadang tak tergugah lagi peduliku untuknya. Membuatnya jadi makin kerap bertanya, “Kamu lagi mikirin apa?” Dan “apa” lambat laun menjadi “siapa”. Dia juga melihatnya saat itu, matamu dan mataku—saat melihatmu. Diamku tak menjelaskan padanya, mengapa segala yang terlihat darimu sejak aku bersamanya malah membuatku terluka. Kecuali matamu.

Tak acuhkan sikapmu, tak peduli lisanmu…

Aku ceritakan lagi tentangnya padamu, pada suatu kesempatan yang tak kerap. Kamu meneguk teh dalam cangkir, dengan kepala menunduk. Tak memberi celah yang cukup bagiku untuk menyaksikan apa yang aku cari. Dan kamu mengangkat kepalamu lagi. Suatu petang yang biasa, lagi-lagi, dengan aku mencari yang tak biasa pada dua bola cokelat terang yang terpasang di parasmu.

Selain pada mereka, aku tak menemukan alasan lain yang membuatku tak kuasa mengecupnya. Selain karena kedua belah tangannya yang mendorong tubuhku menjauh, dengan sebuah kalimat ia hembuskan dari nafas embun paginya.

…hanya matamu yang tak berdusta…

***

Sekarang bersama-sama kita menyaksikannya, Dreandara, meremas mesra lengan seorang lelaki lain. Merebahkan kepalanya yang harum apel di sana. Seolah itu bukanlah suatu pemandangan mengesankan bagimu, tubuhmu lekas berbalik lagi. Menuju urusanmu semula sebelum jam istirahat berakhir. Ketua OSIS membutuhkanmu. Baiklah, kulepas dirimu yang mulai mengarungi lautan seragam putih kelabu lagi. Terima kasih karena kita telah bertemu pada kesempatan yang tak disengaja ini. Cukuplah menjadi bukti bagimu dengan alasan-alasan yang akan kukemukakan jika kamu bertanya. Yang mungkin tak perlu amat, karena kamu malah memberikan sebuah tanda mata untukku.

Aku percaya, setelah ini hari-hari akan berjalan seperti biasa lagi. Tidak mengapa, tanda mata darimu akan selalu kugenggam erat dalam hati.

…dan matamu tersenyum, saat ku tak lagi bersamanya…

 

2 Oktober 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain