Dreandara,
masih kau seperti yang biasa…
Pemandangan itu selalu sama bagiku. Rambutmu panjang
ikal halus. Bersinar kecokelatan, apabila terik mentari menyorotinya. Namun tak
seterang binar matamu, yang mengerjap setiap melihat kedatanganku. Masih
rambutmu, menembar aroma lembut ketika terkibas melewatiku, membingkai oval
pualam. Di sana aku temukan sepasang katup merah muda yang melengkung ke atas
pada tak sembarang lelaki. Termasuk aku.
Di dapur rumahmu kerap kita bersua. Kamu sudah pulang
dari sekolah. Mengganti pakaianmu dengan terusan berwarna lembut. Tak banyak
kegiatanmu selain menjadi siswi pandai dan rajin serta sekretaris OSIS yang
berdedikasi. Dan kadang aku sengaja bolos latihan hanya untuk minta makan.
Jemarimu panjang dan lentik, gemulai menguntai benang rajut, juga piawai
meracik bahan hingga menyaji hidangan penggelitik lidah. Kadang pula kita
mengisi sofa ruang tengah, pada ujung satu dan ujung lainnya. Sementara kamu
minum teh herbalmu dengan anggun, aku membaca majalah ibumu.
Bertukar kata karena perlu. Kamu tak seceriwis ibumu,
apalagi ibuku, yang mempertautkan kita sejak TK tanpa tukar cincin segala.
Tidak. Tidak ada. Mereka hanya bersahabat, itu saja. Aku tidak tahu, mengapa
aku meniru ibuku. Aku jadi selalu ingin datang ke rumahmu, melihatmu,
menemanimu. Karena kamu yang akan mendatangi gubuk reyotku jika aku tak begitu.
Siapakah aku bagimu dan siapakah kamu bagiku? Teman sepermainan sejak kecil,
kata ibumu yang periang. Tetangga jauh, kata ibuku yang sinis.
…saat ku
terpikat si dia di lampu merah…
Suatu pagi, sepedaku terhenti. Untuk menuju sekolah tinggal
belok kiri, namun lampu merah menahan lajuku di samping sepedanya. Rambut
lurusnya melampaui daun telinga yang ditembus deretan logam. Aku mengenali wajahnya
sebagaimana aku teringat pada anak kucingku, yang tak tersenyum sebagaimana
dirinya. Seperti permen. Kubalas senyumnya seraya berkata, “Cantik deh…” Kudengar
dengusnya tersipu, sehingga aku melanjutkan, “…jepitnya.” Lampu hijau. Laju
sepedaku mendahuluinya, diiringi tawaku.
…berlanjut di
sekolah.
Senja yang berkeringat, kelar meladeni kawan melempar
bola ke keranjang. Aku mengejar waktu latihan, kalau tidak aku akan terjebak di
gelanggang hingga jauh malam. Namun ketergesaan itu lenyap begitu melihatnya di
tempat parkir sepeda. Aku tergelitik untuk menggodanya lagi, anak kucingku yang
mengulum permen. Mendengar ada yang menyongsongnya dari belakang, dia berbalik.
Tersentak saat tubuhku menghalangi sebagian besar pandangannya. Defensif, dia
kembali pada kumpulan kuncinya.
Sembari menarik sepedaku, kulirik sepedanya. Tepat di
sampingku. “Sepedanya bagus, ya.”
Ujung bibirnya tertarik sedikit. “Hoh, makasih.”
Lanjutnya dengan nada tak acuh, “Sepeda kamu juga unik, kayak punya tukang
kebun.”
Aku mendengus. “Makasih, entar saya sampein ke babeh,
dia yang punya.”
Tatapannya terkesima. “Ng, eh, saya bercanda kok…”
“Beneran juga nggak apa-apa.”
Dia terlihat tak enak hati. Aku jadi geli.
“Kuncinya banyak banget,” komentarku setelah
menunggangi sepeda. Lagi-lagi dia tidak berhasil menemukan kunci yang cocok
untuk gembok sepedanya. Aku terus mengamati. Terlupakan bahwa pak pelatih
mungkin sudah menungguku dengan peluit dan beberapa lembar kertas bertabel dalam
jepitan papan jalan. “Mau dibantu?”
Aku berjongkok di hadapannya. Sayang, jeruji sepedanya
menghalangi kami. Untungnya masih tersisa ruang yang leluasa baginya untuk
menatapku. Kupamerkan padanya keterampilanku membuka kunci dengan jepit rambut
ibuku. Dia menukarnya dengan senyum berasa brownies
dan kata-kata secair punch melon buatanmu.
Dan sebuah nama. Pelatihku mengganjar keterlambatanku dengan porsi latihan tiga
kali lipat lebih berat. Tapi tak apa.
Dreandara,
masih kau tak mengira ada apa…
Beragam kata sifat yang merujuk pada keindahan raganya,
pertemuan-pertemuan kecil di tempat parkir sepeda, mengantarkannya ke tukang
tambal ban, tapi kusimpan sendiri pendar rasa saat matahari terbenam di hadapan
kami berdua. Dan kamu hanya menyesap teh herbal. Seakan segala kalimatku
tentangnya bagimu bukanlah suatu apa. Tidak ada beda dengan saat kuberitakan
kehamilan kucingku sebagai penggusah hening di antara kita. Tanggapanmu hanya,
“jadi kamu kebanyakan dispensasi sampai nggak ngenalin dia selama ini,” yang
membeo ucapanku sebelumnya.
Aku hanya menjawab, “Ya.” Jadi tak tergugah untuk berkata
lebih banyak. Kamu bangkit dari sofa, mengambil sebuah toples dari lemari di
belakang, kembali, dan menyodorkan tumpukan kue kering, “Ini kayaknya saya
kebanyakan kayu manis deh.” Aku mencomot sebuah. Menimbang-nimbang rasanya.
Melisan apa yang ingin lidah katakan. Dan petang itu kembali jadi petang yang
biasa.
…saat ku
terikat dengannya…
Di luar persahabatan ibuku dengan ibumu, aku tidak
tahu mengapa kita dapat terhubung untuk sekian lama. Kusadari bahwa kita begitu
berbeda. Dia tak sepertimu, Dreandara. Rambutmu tak selurus rambutnya. Sorot
matamu tak secemerlang sorot matanya. Polahmu tak seatraktif polahnya.
Penampilanmu tak sebebas penampilannya. Pergaulanmu tak seluas pergaulannya.
Dan segala hal lain yang kusuka darinya, kamu tak demikian. Ketertarikanmu
padaku hanya dalam mengajariku pelajaran sekolah. Atau menjadikanku penguji
dalam setiap aplikasi keterampilan PKK-mu. Kamu tak pernah seluwes dirinya. Kamu
tak sanggup kuajak tanding basket. Kamu tak mau jalan berdua saja denganku.
Kamu tak suka kugoda. Kamu tak sudi kurangkul. Kamu tak bisa kusentuh. Apalagi
berinisiatif menanyakan cara menghubungiku sewaktu-waktu.
Aku menggeleng ketika dia menanyakan nomor ponselku.
Aku tertawa ketika dia beralih pada nomor teleponku. “Mau nelpon juga nggak bakal
nyambung,” kataku. Aku tidak ingin berbohong, pun mengelak. Sebagaimana aku
ingin mengenal lebih banyak dan lebih banyak lagi darinya, maka harus ada
keadilan juga baginya. Maka aku hanya ingin menyajikannya sebuah permainan.
“Kalau mau nyari saya ya sering-sering aja ngejar saya.”
“Ngejar kamu? Kamu aja yang ngejar saya!”
“Capek kali kejar-kejaran. Mending jalan bareng.”
Aku ingin tahu rasanya memegang tangan seorang
perempuan. Yang bukan milik seseorang yang bertalian darah. Yang bukan milik
lawan saat latih tanding. Yang bukan
milik manula penyeberang jalan maupun anak kecil yang terjatuh. Yang aku kira
tak akan pernah itu menjadi milikmu, Dreandara. Sebelum tanganku sempat
menyentuhnya, ia sudah menggamit tanganku duluan.
Dreandara, tak pernahkah kamu terpikir untuk memiliki
seseorang yang spesial dalam hidupmu?
…tak sepercik
pun gerakmu yang terusik.
Ibumu cerita, bahwa kamu bangun subuh setiap hari.
Kamu tidak menunda mandi. Tubuhmu selalu wangi. Kamarmu konon selalu tertata
rapi, hingga pada setiap pernik dalam ransel sekolahmu. Kamu suka meracik, kamu
bantu pembantumu menyiapkan makan pagi. Bersama para anggota keluargamu yang
lain, kamu habiskan sarapan dengan tertib.
Lalu di sekolah, aku saksikan sendiri kamu sudah ada
di sana sebelum bel masuk berbunyi. Sejak SD bangkumu tak pernah jauh dari
papan tulis. Kamu tak pernah membiarkan PR-mu dijarah orang lain. Lebih baik
bagimu untuk mengajari mereka yang perempuan sampai mengerti, dan menghantam
para lelaki tak tahu diri. Saat guru menjalankan tugasnya, perhatianmu tak akan
meluputkan secuilpun materi. Lalu jam istirahat tiba. Kamu bercengkerama dengan
para temanmu sesama putri, namun tetap sigap menanti panggilan ekstrakulikuler
maupun organisasi.
Setelah tak ada lagi hal yang harus diurus di sekolah,
kamu lekas pulang. Tak menyengajakan diri luntang-lantung dulu, sekedar mencari
kawan untuk lanjut bersosialisasi. Mungkin tak ada hal lain yang lebih menarik
bagimu selain bereksperimen dengan bumbu dapur, bahan makanan impor,
manik-manik dari batu mulia, hingga ragam benang rajut dan pengaitnya.
Bahkan hingga tangan seorang perempuan berada dalam
genggamanku, masih begitu saja keseharianmu. Seolah tak ada sesuatu yang baru
di luar duniamu.
Dreandara,
harus sampai kapan kupamerkan? Dekatku dengan dirinya, tak buatmu tergugah…
Dia yang sering sengaja mampir ke rumahku. Katanya aku
tak usah menyembunyikan keminderanku, meski aku berusaha keras agar tak
berlagak begitu. Dia tahu aku sangat menyukai hewan. Dia tak cemburu ketika
kucingku mencium pipiku. Dia tertawa ketika aku mengajak senam kucingku. Dia
menolak ketika kutawarkan salah satu anak ayamku untuk dia bawa pulang sebagai
oleh-oleh. Seolah aku tak pernah punya teman sebelumnya, dia menyertaiku pada
waktu luang yang tak melimpah. Duniaku yang jadi miliknya. Dunianya yang jadi
milikku. Teman-temanku mengerti untuk tak mengusik ketika aku hanya
menginginkannya. Kecuali kamu, Drendara. Ketika aku menemukanmu tergugu di
teras, membelakangi rumahku. Padahal kamu tak pernah hapal jadwalku. Namun aku sudah
dapat menerka apa maksud kedatanganmu.
“Masuk?” tawarku.
Kamu menggeleng. Hanya menyodorkan sepucuk barang
dalam kepalan tangan. Mukamu tanpa ekspresi, sewaktu bilang, “Kamu bilang mau
ke rumah saya kemarin.”
Kedua ujung handuk yang mengalungi leherku tertarik.
Yang mendominasi ingatanku untuk beberapa lama hanyalah mengenai kedatangannya
yang tidak akan lama lagi. Juga segala pesona dan keriaannya. Secuil ingatan
yang lain pun terpendam entah di mana. Lanjutmu berkata, setelah aku menerima
bungkusan darimu, “Besok itu basi. Harus cepet dimakan.”
Aku termangu. Hanya sepenggal sambungan kalimatmu yang
masuk dalam ranah pendengaranku, “…daripada di rumah nggak ada yang mau makan…”
Terpikir untuk minta maaf, namun ujung roda sepedanya terlanjur menyentuh
pagar. Kamupun menoleh, mendapatkan keterpekurannya. Tersenyum. Gumamanmu,
“Lumayan, ada yang bantu ngabisin...”
…kau hanya
memalingkan wajah…
Kalian bertukar anggukan. Kamu menuju sepedamu
kembali, yang berwarna pink dengan keranjang di muka. Agak oleng, ketika kamu
menaikinya. Aku jadi ingat pada masa lalu kita, di mana ketidakmahiranmu
bersepeda membuatmu gusar. Kamu menyuruhku untuk membawa sepedamu pulang
sementara kamu sendiri jalan kaki.
Hingga kamu menghilang di balik tikungan, kamu tak
memperlihatkan wajahmu padaku, Dreandara. Hanya aku temukan sekilas, seutas
gamang pada sepasang bola matamu yang lekas teralih pada cakrawala.
Kukatakan padanya bahwa kamu adalah tetangga jauhku,
dia hanya berkata, “Manis, ya?” Dan kami makan pengananmu bersama. Memang manis
rasanya.
Apa yang kau
rasa, Dreandara?
Butuh hari-hari gamang untuk memaknai bahasa matamu,
Dreandara. Aku berusaha mengubah suatu dugaan menjadi keyakinan. Menggusah
persoalan, apakah aku tak cukup berarti
untukmu, Dreandara? Hingga kadang tak tergugah lagi peduliku untuknya.
Membuatnya jadi makin kerap bertanya, “Kamu lagi mikirin apa?” Dan “apa” lambat
laun menjadi “siapa”. Dia juga melihatnya saat itu, matamu dan mataku—saat
melihatmu. Diamku tak menjelaskan padanya, mengapa segala yang terlihat darimu
sejak aku bersamanya malah membuatku terluka. Kecuali matamu.
Tak acuhkan
sikapmu, tak peduli lisanmu…
Aku ceritakan lagi tentangnya padamu, pada suatu
kesempatan yang tak kerap. Kamu meneguk teh dalam cangkir, dengan kepala
menunduk. Tak memberi celah yang cukup bagiku untuk menyaksikan apa yang aku
cari. Dan kamu mengangkat kepalamu lagi. Suatu petang yang biasa, lagi-lagi,
dengan aku mencari yang tak biasa pada dua bola cokelat terang yang terpasang
di parasmu.
Selain pada mereka, aku tak menemukan alasan lain yang
membuatku tak kuasa mengecupnya. Selain karena kedua belah tangannya yang
mendorong tubuhku menjauh, dengan sebuah kalimat ia hembuskan dari nafas embun
paginya.
…hanya matamu
yang tak berdusta…
***
Sekarang bersama-sama kita menyaksikannya, Dreandara,
meremas mesra lengan seorang lelaki lain. Merebahkan kepalanya yang harum apel
di sana. Seolah itu bukanlah suatu pemandangan mengesankan bagimu, tubuhmu
lekas berbalik lagi. Menuju urusanmu semula sebelum jam istirahat berakhir. Ketua
OSIS membutuhkanmu. Baiklah, kulepas dirimu yang mulai mengarungi lautan
seragam putih kelabu lagi. Terima kasih karena kita telah bertemu pada
kesempatan yang tak disengaja ini. Cukuplah menjadi bukti bagimu dengan
alasan-alasan yang akan kukemukakan jika kamu bertanya. Yang mungkin tak perlu
amat, karena kamu malah memberikan sebuah tanda mata untukku.
Aku percaya, setelah ini hari-hari akan berjalan
seperti biasa lagi. Tidak mengapa, tanda mata darimu akan selalu kugenggam erat
dalam hati.
…dan matamu
tersenyum, saat ku tak lagi bersamanya…
2 Oktober 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar