Jumat, 20 Januari 2012

(...just another story of a city-explorer)

Kali ini penjelajahan saya diwarnai oleh Juhe. Dia adalah teman sekelas saya di SMA. Dia orang penting di BEM UNPAD dan belum termotivasi untuk segera menyelesaikan skripsinya.

Semula rencana rute kami adalah Museum Geologi – Museum Pos – Taman Lansia – Masjid Istiqamah – Timbel Istiqamah – Perpustakaan Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung. Mari ikuti kebersamaan kami dan ketahuilah bahwa ada perubahan pada rencana tersebut, yeah!

Dikenali mang angkot

Saya dan Juhe janjian ketemu di sekitar Gedung Sate (di mana di sekitarnya terdapat tiga tujuan pertama kami) pukul sembilan. Karena Juhe ketinggalan bis, pun saya telat bangun, maka kami baru bersua sekitar pukul sepuluh seperempat.

tampak belakang mang angkot
Angkot pertama yang saya naiki dari dekat rumah adalah jurusan 01. Ada yang ngetem di seberang jalan, saya masuki saja. Belum ada seorang penumpang pun. Begitu saya duduk, mang angkot bertanya pada saya. Yang saya dengar secara jelas hanya kata “sekolah”. Saya menyanggah. Saya bilang saya mau jalan-jalan. Saya mau ke Jalan Supratman.

Setelah menyebut “Jalan Pahlawan”, saya ngeh kalau rupanya mang angkot ingat saya sering naik angkotnya saat saya masih SMP. Letak SMP saya kan di Jalan Pahlawan. “Meni masih inget atuh Mang, kan udah bertahun-tahun lalu,” kata saya.

“Ya iya, da sering liat.”

Hebat nian mang angkot ini. Namun setelah kami mengarungi Jembatan Kiaracondong, saya disuruh pindah ke angkot lain.

Demo Hizbut Tahrir

Saya melanjutkan perjalanan dengan menaiki angkot jurusan 09. Angkot ini berwarna cokelat dan bolak-balik Caheum – Ciwastra. Sopirnya seorang tambun putih sipit berambut lurus panjang. Begitu hendak memasuki Jalan Diponegoro, di depan Pusdai nan ramai pedagang Jumatan, angkot memutar. Setelah mendekati Gedung Sate, barulah saya tahu kalau halaman Gedung Sate tengah ramai. Dari kejauhan, saya sudah bisa mendengar ada yang berkoar, “…penguasa itu laknat!” atau kalimat lain semacam itu.

Saya langsung menyeberang jalan. Gedung Sate berseberangan dengan Gasibu. Gasibu adalah sebuah lapangan bundar besar yang biasa digunakan untuk berolahraga maupun berjualan. Biasanya Gasibu ramai pedagang saat ada event atau tiap Minggu pagi—semacam Sunday Morning di Jogja.

Para pedagang asongan, maupun orang-orang yang tak terlihat bak pedagang asongan tapi sama penasaran, duduk di tangga Gasibu. Mereka mengamati demonstrasi dari sana. Saya bergabung dengan mereka sejenak.

gedung sate. satu tusuk harganya 6 juta gulden.
Demonstrasi yang bagus menurut saya. Bukan karena isi orasinya, melainkan lebih karena ketertibannya. Polisi berjaga di kedua sisi barisan demonstran. Perempuan dan laki-laki berbaris rapi dalam dua kubu yang dipisahkan sebuah mobil pick up. Di mobil pick up itulah berdiri pria-pria berpakaian rapi. Merekalah sumber keramaian. Setelah munculnya seorang ustadz di tengah mereka, saya meninggalkan mereka. Kasihan lihat anak-anak diajak ikut demo, bukannya saat itu masih jam sekolah...

Area misterius

Tadinya saya mau mengelilingi Gasibu sekaligus bernostalgia. Waktu SD, beberapa kali guru Olahraga saya mengajak murid-muridnya ke mari. Namun area di sebelah kiri Gasibu, dari arah Gedung Sate, lebih menarik perhatian saya.

tidak jelas apa ini fungsinya
Area milik pemprov Jabar itu luasnya sekitar 1,8 atau 1,9 ha.  Sekelilingnya dipagari. Bagian tengahnya berupa danau yang dari kejauhan berwarna hijau. Tepi danau berupa lahan terbuka berisi tanah, rumput, gerombolan pohon di satu sudut, tumpukan ban di sudut lain, sampah, bangunan kecil tak jelas, dan manusia. Ada sepasang manusia yang sepertinya sedang memancing, seorang manusia yang jelas-jelas sedang mandi dan kiranya tak berpakaian sehelai pun, serta manusia-manusia lain yang tak jelas sedang ngapain. Area ini adalah sebuah misteri yang patut disyukuri karena belum tertutup bangunan.

Yang menakjubkan, setelah dicermati, solokan di pinggir area ini berisi banyak ikan kecil berwarna hitan. Konon mereka dinamai inpun.

Museum Geologi

Saya bertemu Juhe di tepat di tengah pelataran Gasibu. Beberapa minggu lalu, lengan kirinya Juhe dioperasi karena kista ganglion (benar cara menuliskannya?). Karena masih menyebabkan bengkak, Juhe menggantung lengannya.

Diiringi musik kolosal dari arah gelombang massa, kami pun menuju Museum Geologi. Bangunan tersebut berada tidak tepat di seberang Taman Lansia, tapi tepat di Jalan Diponegoro yang diteduhi pepohonan rindang di sepanjang dua ruas jalan. Setelah kami susuri sampai ujung, tidak ada satupun gerbang yang terbuka. Pintu museum pun tertutup. Kami kembali ke gerbang yang ada penjaganya. Kami berselisih jalan dengan rombongan Hizbut Tahrir yang sudah kelar dengan aksi mereka. 

Seorang penjaga tengah mengamati arus demonstran tersebut. Bertanyalah kami padanya sehingga kami mengetahui bahwa kami bisa menjumpai rangka dinosaurus di dalam museum tiap hari, kecuali hari di mana ada Jumatan. Senin hingga Kamis, museum dibuka pukul 8 – 16, sedang untuk Sabtu dan Minggu adalah pukul 8 – 14.

Museum Pos

Sepulang sekolah saat kelas 4 SD, saya dan teman suka mengunjungi Taman Lansia meski hanya bagian luarnya. Saat itu ada seorang mas-mas berambut lurus panjang yang berjualan perangko dalam kios. Sejak tempat jualan pindah ke mobil, saya tidak pernah beli perangko lagi untuk koleksi karena memang sudah tidak minat.

selamat datang dan selamat keluar!
Museum Pos terletak di samping kantor pos. Keduanya satu kompleks dengan Gedung Sate. Masih, saat dunia saya sedang dekat dengan benda-benda pos, saya rajin mengunjungi Museum Pos sepulang sekolah. Mulanya, teman-teman saya ke sana dan pulang mendapat notes. Saya juga ingin. Tapi tiap kali ke sana, saya tidak mendapatkan apa-apa. Ini adalah sebuah pelajaran.

Sekarang, yang bisa kita ambil dari museum ini adalah berbagai macam brosur atau leaflet—semacam itu, foto (asal bawa kamera), dan pelajaran bagi mereka yang berpikir.

salah satu deretan koleksi perangko
Museum ini berisi berbagai benda pos. Sebut saja, berbagai varian bis surat, atau penampung bentuk kiriman lainnya, berdasarkan zaman dan kegunaan. Pusaka zadul berupa mesin hitung, mesin ketik, alat timbang, alat cap, hingga perkembangan mode pakaian pengantar pos jelas tersedia. Ada pula deretan panjang beberapa tipe lemari untuk memamerkan koleksi perangko dari berbagai negara dan berbagai seri. O tentu ini referensi berharga bagi para kolektor.

Pada mulanya, biaya pos dikenakan pada penerima kiriman. Suatu kali seorang gadis tidak mau membayar biaya pengiriman surat dari kekasihnya dengan alasan tidak punya uang. Rupanya tanpa membuka surat, gadis tersebut sudah bisa mengetahui isi surat melalu kode-kode yang hanya bisa dipahami ia dan kekasihnya. Dinas pos pun merugi. Adalah Sir Rowland Hill yang mencetuskan gagasan mengenai perangko.

Proses pembuatan perangko melibatkan pelukis yang mula-mula menciptkan desain perangko dalam ukuran besar. Desain tersebut kemudian dimasukkan dalam mesin dan dicetak. Haha. Maklum, gambar-gambar yang menunjukkan proses pembuatan perangko sudah buram, tidak dilengkapi keterangan, bahkan nomor urut gambar sekalipun!

Selain itu, ada pula koleksi yang tidak diberi keterangan sama sekali. Pengunjung jadi tidak mengetahui apa fungsi benda-benda yang dipajang ini. Beberapa aktivitas pos, seperti serah terima kiriman, diperagakan oleh patung-patung dengan wig yang bikin muka mengernyit.

Pos pernah sangat berjaya. Pos adalah komunikasi tercanggih pada suatu masa. Saking vitalnya peran komunikasi, sekian nyawa melayang demi pembangunan Jalan Pos Raya dari Anyer sampai Panarukan. Kendaraan pos bukan hanya sepeda onthel, tapi juga kereta, speedboat, bahkan kapal khusus untuk keperluan tersebut.

the story of mas soeharto

Museum ini pun pernah sangat terkenal. Ada beberapa rak yang khusus untuk memuat kenang-kenangan dari berbagai sekolah yang pernah berkunjung ke mari. Tegal, Cirebon, Yog yakarta… semua pernah mampir dan diamati siswa-siswi dari berbagai daerah tersebut dengan tak sabar karena ingin cepat-cepat belanja ke Cihampelas.

Memaklumi pos sebagai salah satu mata rantai perkembangan komunikasi, memaklumi pula jika bentuk komunikasi ini kini tergerus oleh bentuk-bentuk lain yang lebih wew. Mungkin beberapa puluh tahun lagi akan berdiri pula Museum Facebook atau Museum Twitter. Tapi apa yang mau dimuseumkan ya? Kan semua ada dalam komputer… Oh ya, museum on line tentu saja. Cukup jemari saja yang jalan-jalan di atas kibor. Bulu-bulu hidung pun tak usah siaga menyambut debu.

Museum Pos menggunakan sistem satu pintu. Artinya, pengunjung masuk dan keluar dari pintu yang sama.

Taman Lansia

berisi dan bergizi. sizi.
Sudah pukul sebelas waktu itu. Saya sarapan hanya beberapa lembar roti. Kami sepakat makan nasi tim ayam SIZI. Saya belum pernah menemukan tenda hijau dengan tulisan yang memiliki font khas “SIZI” di kota lain jadi saya kira SIZI khas Bandung. Saya sudah mengonsumsinya sejak SD.

Nasi tim ayam ini berupa setangkup nasi dengan suir-suir cokelat ayam plus seiris telur di puncaknya. Dilengkapi semangkok kecil kuah bening berhiaskan serpihan seledri, nasi ini disajikan dalam wadah khusus. Harganya 9K rupiah. Dengan jeruk hangat seharga 5K rupiah, terasa pentingnya membawa botol minum sendiri dari rumah.

Diskusi intens saya dengan Juhe dimulai sambil makan. Hal seperti ini sejatinya menakjubkan karena melebarkan cakrawala, apalagi dengan orang seperti Juhe.

mana kotaknya?
Dan Taman Lansia adalah tempat yang bagus, sebetulnya, untuk melanjutkan diskusi. Menurut Perda Kota Bandung no. 25 tahun 2009 tentang Hutan Kota, taman ini tergolong hutan kota.Hampir seluruh permukaan taman tertutupi rimbunnya tajun. Bagian tengah taman dibelah kali berwarna putih, hijau pucat, dan sampah. Fasilitas yang tersedia di sini antara lain toilet, bangku, dan tempat sampah yang tidak selalu mudah ditemukan. Beberapa titik hamparan rumput mengundang pula untuk diduduki. Dan taman ini begitu kondusif bagi para pria yang bolos Jumatan.

kata juhe, kalau ada angin benda ini terbang
Sayangnya, kenyamanan taman ini terusik dengan kehadiran orang-orang yang mencurigakan. Memang belum tentu orang tersebut akan mengapa-apakan kita, namun penampakkannya membuat kita kadung waspada. Semoga kamu paham maksud saya.

Saya pun pernah kena. Suatu kali saya duduk sendiri. Saya merasakan seorang pria duduk di tanah di belakang saya. Lalu dia bicara mengenai fakir miskin yang tak kunjung disantuni, padahal sedang Ramadhan, dan ujungnya dia mengatakan Nabi Muhammad itu pembohong. Saya kabur.

Perpustakaan Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung

Informasi mengenai perpustakaan paguyuban ini saya dapatkan ketika saya sedang menambah bahan dari internet. Di sini konon ada sebuah laporan mengenai Babakan Siliwangi dari segi politik dan kebudayaan yang dihasilkan oleh Sanggar Olah Seni. Perpustakaan ini satu kompleks dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat yang terletak di Jalan R. E. Martadinata a.k.a. Jalan Riau, nomornya 209.

ini perpustakaannyaa...
Tidak sesuai dengan bayangan saya, perpustakaan yang dimaksud adalah ruangan berukuran sekitar 3 x 3 m atau lebih, pokoknya kotak, dalam bangunan art deco. Apa ya art deco itu? Mas penjaga ruangan ini yang bilang begitu. Dia berkulit terang, berbadan tinggi besar, dan menjawab “assalamualaikum” ketika menjawab panggilan yang masuk ke ponselnya.

Saya bilang saya mau cari laporan penelitian tentang Babakan Siliwangi. Selama dia mencari, saya dan Juhe melihat-lihat apapun yang bisa dilihat-lihat di sekitar kami. Dia tidak berhasil menemukannya. Sepertinya buku tersebut masih dipinjam. Dia malah menawarkan untuk mencatat nomor saya sehingga dia bisa memberitahu saya kalau buku tersebut sudah kembali. Sayangnya itu tak terjadi.

Saya tanya kalau-kalau ada pustaka lain tentang Baksil. Saya sebutkan juga Haryoto Kunto. Dia pun memberi saya setumpuk buku. Selain judul yang sudah saya sebut dan Wajah Bandung Tempo Doeloe, Haryoto Kunto juga menulis buku-buku lain tentang Bandung sehingga dia dijuluki kuncennya Bandung. Buku-buku Haryoto Kunto yang diberikan pada saya adalah buku mengenai Preanger (nama hotel di Jalan Tamblong, Bandung) dan bangunan-bangunan pemerintahan di Kota Bandung.

Dia menemani kami sebentar sebelum kembali ke pekerjaannya semula di komputer. Ramah lo. Sayangnya, dia kenal kami sebagai mahasiswa mana, mengapa lengan Juhe digantung begitu, dan rencana skripsi saya, tapi kami nihil informasi tentangnya. Saya sesalkan kami tidak tukaran nama, jadi dengan terpaksa di sini saya menyebutnya dengan Mas Okedeh.

Soal informasi tentang Baksil, saya mendapatkannya sedikit dari Album Bandoeng Tempo Doeloe buah karya Sudarsono Katam dan Lulus Abadi (NAVAPRESS Indonesia, Bandung, 2005). Foto terkait Baksil yang saya temukan di Semerbak Bunga di Bandung Raya buah karya Haryoto Kunto (PT Granesia, Bandung, 1986) saya temukan juga di buku bersampul hitam tersebut. Ada sepucuk villa putih di atas hamparan lembah bernama Lebak Gede—yang berarti Lembah Besar. Villa tersebut milik seorang Tionghoa pedagang beras pada tahun 1930-an. Villa bergaya art deco tersebut bernama Villa Mei Ling dan pernah beberapa kali digunakan Belanda saat kedatangan Jepang. Villa ini baru tertutup pepohonan cemara tahun 1970-an. Sebelumnya kita bisa melihatnya dengan leluasa dari kejauhan. Sekarang villa tersebut jadi Dinas Psikologi Angkatan Darat (kalau tak salah) dan terletak di tepi Jalan Ir. H. Juanda.

Dalam pengembangannya kemudian, Lembah Gede dipadati bangunan komersil dan menyisakan sepetak hutan kota yang ternyata baru ada setelah tahun 90-an. Jadi begini kronologinya.

1920-an : Belum ada satu bangunan pun
1930-an : Persawahan
1940-an : Muncul perumahan penduduk di barat
1970-an : Muncul kompleks seni dan budaya dan restoran di utara
1990-an : Mulai tertutup bangunan, terutama kompleks SABUGA dan SAROGA, lalu siapa yang menanam hutan kota? Apakah merupakan bagian dari pembangunan kompleks tersebut?

Mas Okedeh menyarankan saya ke DPKLTS. Anak-anak WALHI suka kumpul di sana. Ada perpustakaan juga. Barangkali saya bisa mendapat data sekaligus bertemu langsung pelakunya.

Sementara saya mencatat informasi tentang Baksil, dari pengarang buku yang sama—Sudarsono Katam—Juhe membaca buku tebal yang mengulas sejarah Bandung berdasarkan perangko. Judul buku itu saya lupa secara persis, saya hanya ingat kata “filatelis”. Secara kami baru dari Museum Pos dan membicarakan filateli sebelumnya, rasanya jadi sesuatu.

Setelah Mas Okedeh selesai dengan pekerjaannya, dia bergabung kembali dengan kami. Kami membicarakan pembangunan di Kota Bandung yang kerap mengingkari kebijakan yang sudah ada.

Pukul dua siang, saya dan Juhe undur diri. O tentu saja kami boleh ke mari lagi. Kamu juga. Perpustakaan ini bisa disambangi Senin – Sabtu. Senin – Jumat pukul 9 – 16 sedang Sabtu pukul 10 – 15. Wow kok beda sama informasi di internet ya. Peminjaman pustaka bisa dilakukan asal kamu anggota.

musola di kompleks ini lega beud!
Tiap Sabtu pukul sepuluh pagi, Heritage berkumpul dalam ruangan ini. Mas Okedeh mengajak kami, barangkali kami mau gabung. Mereka sedang mengerjakan pemetaan Kota Bandung, tepatnya: menyesuaikan tata ruang sekarang dengan tata ruang buatan Belanda. Tata ruang buatan Belanda sebenarnya sudah bagus sekali tapi begitulah. Tampaknya masih kurang pusat perbelanjaan di kota ini.

Tiap bulan pula ada forum terkait. Malam ini pukul tujuh di Braga Permai, forum membicarakan tentang penemuan bangunan megalithikum di Gunung Padang, Cianjur.

Cizz

versi alay dari cheese
Cizz adalah sebuah kafe mungil yang menjual cheesecake dan kawan-kawannya. Letaknya dekat dengan kantor Perhutani yang jualan madu dan ekowisata serta jasa lingkungan lainnya. Kami jalan kaki ke sana dari kompleks Disparbud.

Biarpun mungil, kafe ini tidak pernah kosong dari pembeli. Setidaknya begitulah selama saya dan Juhe di dalam sana dan sekitarnya. Menurut Juhe, yang lebih berpengalaman dengan kafe ini, kafe ini sudah ramai sejak buka. Cabangnya ada di mana-mana meski saya tahunya hanya di jalan ini saja.

Awalnya saya tidak mau beli. Ketika saya mencicipi cheesecake rasa jeruk punya Juhe, saya jadi kian tergoda untuk mencoba pengalaman baru. Akhirnya saya minta diambilkan Chocolate Mousse pada yang berwenang. Kudapan saya termasuk yang termurah, hanya 14K rupiah. Rata-rata harga cheesecake di sini adalah 17K rupiah.

dasar penggoda!
Sesuap, dua suap, pahitnya cokelat, tekstur nan lembut, kudapan ini luar biasa. Suapan-suapan berikutnya, saya eneg. Porsi ini terlalu banyak meski besarnya hanya satu cup!

Keluar dari Cizz, kami menunggu DAMRI. Dapat yang AC. 5K rupiah sampai Jatinangor. Saya hanya sampai perempatan Jalan Pelajar Pejuang jadi kondektur mengembalikan uang Juhe sebesar 2K rupiah.

1 komentar:

  1. Perpustakaan Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung www.library.bandungheritage.org

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...