Senin, 16 Desember 2019

Kasus Batan: Menang, tapi Apa Tahan?

Iwan Kurniawan, karyawan Batan yang dipecat itu, menang di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Tapi ia masih menghadapi dilema.

INILAH perjalanan karier Iwan Kurniawan, karyawan Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) yang menggugat kantornya ke PTUN karena dipecat tanpa prosedur itu. Doktor fisika nuklir eksperimental yang pertama dan satu-satunya milik Indonesia ini menang di tingkat banding. Pertengahan bulan lalu, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara membatalkan keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Alasannya, PTUN telah keliru karena memakai dasar hukum yang sudah tak berlaku. Ini berarti, pemecatan Batan atas diri Iwan dibatalkan pengadilan.

Kemenangan ini berarti banyak bagi Iwan. Ia dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi biaya selama disekolahkan ke Jepang, yang jumlahnya hampir mustahil bisa diperolehnya: lebih dari setengah miliar rupiah. Selain itu, ia juga berharap uang gaji yang telah dihentikan sejak tahun lalu bakal dibayarkan.

Tapi pihak Batan mengajukan kasasi, bahkan sudah bertekad, kalau perlu, bertarung sampai tahap peninjauan kembali (PK). Padahal, untuk sampai ke tingkat ini, setidaknya makan waktu dua tahun. Karena itu, Iwan bimbang, apa mungkin mereka bisa menerimanya kembali setelah pertarungan all-out itu. "Kasasi ini bukti mereka benar-benar menolak saya," kata Iwan.

Kepala Biro Tata Usaha dan Kepegawaian Batan, Bambang Sudjadi, menyatakan bahwa pihaknya siap menerima Iwan dengan tangan terbuka kalau memang Mahkamah Agung yang memutuskannya. Hanya saja, Bambang juga ragu apakah Iwan bisa bertahan bekerja di kantor yang sudah disakitinya itu. Soalnya, jika Iwan tidak tahan dan mengundurkan diri sebelum genap bekerja 13 tahun, ia toh harus membayar ganti rugi beasiswa ikatan dinas itu.

Bagi Iwan, jika dirinya memang sudah tak diinginkan di Batan, ia mau dipindahkan ke mana saja, asalkan ilmunya bisa dipakai. Anehnya, Batan tak rela melepaskannya. Pernah Iwan diterima di instansi pemerintah yang lain, tapi Batan mengizinkannya tanpa memberinya lolos butuh, sebuah surat tanda rela dari Batan.

Kini Iwan tak tahu mesti ke mana. Untuk menopang hidupnya sehari-hari, ia memang mengajar di sebuah universitas swasta. Tapi itu tak memuaskannya. "Capek-capek belajar, kalau cuma begini, akhirnya buat apa?" katanya. Memang dilema.



Sumber: Tempo Nomor 34 Tahun XXIII - 23 Oktober 1993



Saya ikhlas kalau diberi scanner baru.
Law of Attraction, bekerjalah ...!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain