Sore itu ketika sedang belajar mengaji bersama Pak Karman,
Zara meminta izin ke kamar mandi. Sementara Zara meninggalkan ruang tamu, Pak
Karman menegur Deraz. “Dek Deraz, lagi ada masalahkah?”
Deraz menunduk seraya menggeleng.
Zara kembali dan pelajaran
diteruskan.
Seusai pelajaran, Deraz mengantar
Pak Karman sampai ke pagar. Sementara memandangi kepergian pria itu, wajahnya
semakin muram. Ia keluar dan mengikuti Pak Karman.
Pak Karman rupanya mendengar
langkah Deraz. Ia berbalik dan tersenyum pada Deraz yang serta-merta terhenti.
Menyadari bahwa Pak Karman menunggunya, Deraz melanjutkan langkahnya.
“Ada apa?” tanya Pak Karman lembut.
“Saya punya masalah,” aku Deraz.
Pak Karman menunjuk ke arahnya
berjalan tadi. “Kita duduk di masjid saja, yuk.”
Mereka duduk di selasar masjid.
Mulailah Deraz menceritakan tentang keusilan anak-anak hingga Dean yang
menjauhinya.
“Dek Deraz,” sahut Pak Karman
kemudian, “sudah tahu cerita tentang Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wassalam?”
Deraz ingat pernah membacanya di
buku Pelajaran Agama Islam. Tetapi, apa yang hendak Pak Karman sampaikan?
“Dek Deraz tahu kan Nabi itu
seorang yatim piatu? Beliau lalu diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthalib. Saat itu
usia kakeknya sudah delapan puluh tahun atau lebih, sedang usia Nabi sendiri
baru delapan tahun.”
Hah, Deraz juga baru berusia
delapan tahun ketika Opa Buyut meninggal! Saat itu Opa Buyut juga berusia
delapan puluhan tahun, malah hampir sembilan puluh tahun.
Pak Karman lalu menceritakan kisah
Nabi, mulai dari masa kecilnya hingga ketika ia menerima wahyu.
“Ketika Nabi hendak menyampaikan
wahyu, beliau mendapat banyak sekali tentangan dari orang-orang di sekitarnya.
Beliau ditertawakan, diinjak-injak, diludahi, dilempari batu dan kotoran.
Bahkan ada yang sampai ingin membunuh Nabi. Tetapi beliau menghadapi semua itu
dengan lemah lembut dan kesabaran. Nabi bahkan memohon kepada Allah supaya
mengampuni orang-orang yang telah berbuat jahat kepadanya itu.”
Pak Karman mengisahkan
riwayat-riwayat tersebut dengan terperinci. Deraz termenung. Tidak terbayangkan
olehnya menanggapi anak-anak jahil itu dengan cara Nabi. Tetapi, bukankah pada
akhirnya Nabi berhasil diterima oleh lingkungannya, membangun masyarakat Islam,
dan bahkan menyebarkan agama itu ke berbagai penjuru dunia? Waktu yang
dibutuhkan Nabi pun tidak sebentar. Dua puluh tiga tahun! Deraz bahkan belum
hidup selama itu. Ia baru beberapa bulan tinggal di sini, menghadapi semua
perlakuan itu.
“Kalau Deraz, apa yang Deraz lakukan
kalau ada yang menghinakan begitu?” tanya Pak Karman.
“Saya pukul,” ucap Deraz terus
terang, tetapi pelan.
“Tahukah Deraz, siapakah orang yang
kuat itu menurut Nabi?”
“Siapa, Pak?”
“Orang yang kuat itu bukan orang
yang jago berkelahi, tetapi yang dapat mengendalikan marahnya.”
“Tapi mereka yang kasar duluan,
Pak.”
“Justru itu. Ketika Deraz bisa
membalas perbuatan kasar mereka dengan cara yang halus, sesungguhnya Deraz yang
lebih kuat daripada mereka.”
“Jadi, saya harus apa kalau
anak-anak berbuat jahil lagi?”
“Balaslah perbuatan mereka dengan
kebaikan. Kalau Deraz ingin menegur mereka, sampaikanlah dengan nada dan
kata-kata yang baik, sambil tersenyum kepada mereka. Senyum itu sedekah. Ketika
Deraz tersenyum kepada kawan, kepada orang tua, kepada siapa saja, Deraz akan
mendapat kebaikan di akhirat kelak, insya Allah.”
Deraz langsung teringat pada Dean,
yang selalu ramah dan riang kepada kawan-kawannya. Biarpun mereka kadang
mengatainya bedegul, gorocok, dan kata-kata lainnya dalam
bahasa Sunda yang tidak enak didengar, bahkan amfibi, tetapi Dean tersenyum saja, seakan-akan semua itu tidak ada
artinya. Anak-anak pun jadi tidak menganggap itu penting lagi. Deraz jadi
bertanya-tanya bagaimanakah saat-saat awal Dean berada di tempat ini, ketika
baru pindah dari Amerika Serikat? Tentu pada waktu itu Dean belum sefasih
sekarang dalam berbahasa Indonesia dengan logat Sunda. Apakah dulu anak-anak
juga meledek cara bicaranya? Apakah dulu Dean juga tidak mengerti ketika
anak-anak membicarakan kartun di televisi?
Tidak terasa langit mulai gelap.
Lampu-lampu masjid dinyalakan. Takmir bersiap-siap mengumandangkan azan magrib.
“Dek Deraz mau ikut salat di sini?”
tawar Pak Karman.
“Iya, Pak.”
Setelah berwudu, Pak Karman dan
Deraz duduk di saf depan. Sebelum ikamah, Pak Karman berkata, “Dek Deraz,
biasakanlah setelah salat menceritakan segala masalah Adek sama Allah, dan
meminta supaya Allah memudahkan Adek dalam segala persoalan.”
“Iya, Pak.”
Setelah salat berjamaah, Deraz
memerhatikan Pak Karman mengangkat kedua belah tangannya seakan-akan meminta
sesuatu dari atas sana. Deraz memandang langit-langit. Lalu ia ikut mengangkat
kedua belah tangannya dan memejamkan mata.
“Ya Allah, di mana pun Oma Buyut
dan Opa Buyut berada, semoga mereka baik-baik saja. Semoga Deraz dapat bertemu
dengan mereka lagi, Ya Allah. Deraz kangen mereka. Oh, ya, Bruno juga. Ya
Allah, tolong jaga Bruno, ya. Semoga dia juga baik-baik saja. Amin,” ucap Deraz
dalam hati.
Deraz melihat Pak Karman
mengusapkan kedua belah tangan pada wajahnya. Deraz mengikuti.
Malam itu berlangsung seperti biasanya. Setelah makan malam,
Deraz bergabung bersama Bunda di ruang tengah untuk mengerjakan PR, sementara
Dean, Zara, dan Ayah lebih suka berkumpul di ruang televisi. Selesai
mengerjakan PR, Deraz hendak kembali ke ruangannya. Ia melihat Bunda masih
mengetik di laptop sambil sesekali membuka buku-buku tebal di sekitarnya.
“Bu …. Apa Bunda tidur?”
“Bunda tidur nanti, sayang.” Bunda
menoleh pada Deraz dan tersenyum.
Dean, Zara, dan Ayah masih asyik
bercanda di depan televisi.
Deraz menggosok gigi dan mengganti
bajunya dengan piama. Setelah menggelapkan kamar, ia masuk ke balik selimut.
Tetapi sesungguhnya ia belum mengantuk. Pada saat-saat seperti ini, ia mencoba
merasakan keberadaan Allah seperti yang dikatakan Pak Karman.
Allah selalu ada bersama kita.
Apakah Allah itu saking besarnya,
saking dekatnya, sehingga tidak terasakan keberadaannya?
Deraz begitu ingin merasakan
keberadaan Allah sekarang.
“Ayo, ah, tidur sekarang. Nanti
susah lagi bangunnya,” suara Ayah.
Tidak lama kemudian, Dean masuk ke
kamar. Deraz menunggu sampai kira-kira Dean sudah berbaring nyaman di balik
selimut, baru turun dari tempat tidurnya.
“Dean,” panggilnya.
“Hm?” Dean berbalik.
“Saya janji tidak akan marah-marah
lagi,” ucap Deraz.
“Oh,” sahut Dean. “Oke.”
“Kamu mau duduk sebangku lagi
dengan saya?”
“Mmm …” Dean bergumam lama.
Deraz menunggu tanpa bergerak.
“Kamu harus minta maaf sama
temen-temen,” ujar Dean akhirnya.
Deraz mengerutkan dahi. “Kenapa
harus?”
“Ya udah kalau enggak mau.” Dean
kembali memunggungi Deraz.
Deraz kembali ke tempat tidurnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar