Deraz mengeluh sakit kepala pada Bunda. Ia duduk di samping
Bunda. Bunda meraih kepala Deraz, lalu mengusap-usapnya. “Itu karena Deraz
kurang makan …” kata Bunda lembut sementara Deraz bersandar padanya.
Tiap kali makan, Deraz hanya
mengambil sedikit yang tersaji di piringnya. Telur dadar dipotongnya secuil
saja. Potongan sosis, selada, dan irisan tomat dibersihkannya dulu dari butiran
nasi yang melekat dengan ujung sendok. Kuah sayur cuma diicipnya. Nasi pun dicobanya
hanya beberapa suap. Ia mengunyah nasi seakan-akan itu otak sapi yang belum
dimasak. Setelah itu, ia tidak mau lagi.
“Das ist Made.” Deraz menahan supaya tidak terlihat bergidik. Tetapi
tidak ada yang mengerti perkataannya. “Larve.
Fliegen. Flies.”
“No. This is rice. That’s definitely different kind of thing,” sahut
Bunda.
Ayah berdeham. “Bahasa Indonesia.”
Ucapnya pada Deraz, “Belajar makan nasi.”
“Kalau nasinya enggak dihabisin,
entar nangis lo,” kata Zara dengan mulut penuh nasi dan kaki bergoyang-goyang.
Akhirnya piring Deraz diberi tutup.
Tinggal Deraz di ruang makan bersama Bunda yang mengeluarkan isi kabinet serta
kulkas satu per satu, menawarkan apakah Deraz mau ini atau mau itu.
Ketika Deraz tidur, nasinya
benar-benar menangis.
Kenapa aku tidak dimakan?
Aku sudah susah payah tumbuh.
Lalu aku dipukul-pukul sampai lepas dari kulitku.
Itu sakit.
Kamu mau dikuliti hidup-hidup?
Setelah itu aku dibenamkan ke air.
Airnya dipanaskan sampai bergolak.
Tubuhku jadi kembung.
Lalu kamu bilang aku mirip belatung?
Memang!
Deraz terbangun dengan jantung
berdebar kencang. Ia menengok ke sisi bawah tempat tidurnya. Tadi suara itu
berasal dari situ. Ia duduk merapat ke punggung tempat tidur sambil menarik
selimut. Baru setelah napasnya agak tenang, ia merebahkan diri lagi.
Ia hendak mengangkat selimutnya
sampai ke dagu ketika mendapati ada yang bergerak di punggung tangannya. Ia
menjerit dan duduk lagi sambil mengibas-ngibaskan tangannya. Benda yang
bergerak tadi itu berwarna putih dan mungil, seperti sebutir nasi. Ia lalu
memandang punggung tangannya dengan ngeri. Tidak ada apa-apa.
Ia pun berbaring dan mengangkat
selimutnya sampai menutupi mulut. Langit-langit dipandangnya. Ia memejamkan
mata kuat-kuat ketika timbul bayangan butir-butir nasi berjatuhan dari atas
sana. Ia menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya yang meringkuk
dalam-dalam.
Tetapi lama-lama udara jadi pengap.
Ia mengangkat sedikit selimutnya sehingga ada udara segar yang masuk. Beberapa
saat kemudian ia dapat tertidur lagi.
Hingga sesuatu bergerak-gerak di
kakinya.
Deraz bangkit dan berteriak. Lalu
ia mendapati kamar yang terang-benderang dan wajah kaget Dean. Rupanya hari
sudah pagi dan Dean hendak membangunkannya.
Ketika hendak memasak nasi pagi
itu, Bunda memanggil Deraz. Diajaknya Deraz ke kotak penyimpanan beras. Bunda
mengambil sejumput, lalu mencurahkannya ke tangan Deraz. “Rice. Beras. Ini yang jadi nasi.” Bunda menyuruh Deraz mengambilkan
beras sebanyak dua cangkir lalu memasukkannya ke wadah cuci. Bunda
memperlihatkan Deraz cara mencuci beras, memberinya air, lalu menaruhnya di rice cooker dan mematangkannya dengan
mengangkat tuas.
… aku dibenamkan ke air … panas … bergolak ….
Terdengar suara menggelegak dari
dalam rice cooker itu.
Beberapa lama setelah rice cooker menandakan nasi sudah
matang, Bunda memanggil Deraz lagi. Bunda menyendok sesuap nasi yang masih
mengepul dan meniup-niupnya sebentar, lalu menyodorkannya pada mulut Deraz.
Deraz terpaksa meraupnya. Sejenak
sesuap nasi itu diam saja di mulut Deraz. Hingga Deraz merasakan tiap butirnya
menggeliat, meraba-raba lidahnya, mendaki giginya, dan berusaha mengangkat
celah bibirnya. Deraz menelan gumpalan lembek hangat itu bulat-bulat, lalu
mengembuskan napas.
“Tuh kan, bisa,” Bunda menatap
Deraz senang. “Bunda buatkan nasi goreng, ya.”
… aku dilempar-lempar di wajan dengan minyak yang berasap sampai sekujur
badanku gosong ….
Deraz menggeleng.
Di sekolah pun Deraz tidak suka jajan apa-apa. Dean sudah
membawa Deraz berkenalan dengan setiap penjual jajanan di sekolah itu. Tetapi
tidak ada satu pun jajanan yang menarik bagi Deraz. Deraz menemani saja
sementara Dean membeli jajanan untuk mereka berdua, yang kemudian dihabiskan
oleh dia sendiri.
Ketika malam, semua jajanan itu
membangun mimpi Deraz. Ia menginjak tanah becek kecokelatan yang menyerupai
potongan batagor dengan kecap dan saus kacang. Lalu di hadapannya muncul
monster hijau besar yang di sekujur tubuhnya tumbuh bisul serupa kue ape. Di
mata monster itu menggantung belek putih bulat besar yang mengingatkannya pada
cilok. Yang lebih mengerikan lagi, dari permukaan batagor itu tiba-tiba
menyembul ulat-ulat raksasa berwarna kuning keemasan yang dari mulutnya
menyemburkan cairan merah kental.
Padahal cakue mini jajanan kesukaan
Dean. Deraz memandang jijik ketika Dean melahapnya satu demi satu sembari
mengecap ujung-ujung jarinya yang berlumuran saus.
“Enak lo!” Dean sama sekali tidak
peduli pada ekspresi Deraz.
Deraz sudah melihat semua kakus
sekolah itu. Ia tidak mau makan makanan yang begitu kemudian sakit perut dan
terpaksa buang air besar di salah satu kakus itu.
Ia tidak mau banyak minum atau
nanti tahu-tahu kebelet kencing di sekolah. Tidak air putih, tidak juga susu
yang padahal sangat ia sukai selama tinggal bersama Oma Buyut dan Opa Buyut.
Dari aromanya saja susu di sini
membangkitkan mual. Ia melihat bubuk serupa tepung itu disendokkan ke dasar
gelas kemudian dikocok-kocok dengan air panas. Benarkah itu susu? Susu yang
Deraz nikmati diperah dari ambing sapi yang montok-montok saat subuh,
diantarkan Günther ke rumah Opa Buyut pagi-pagi, kemudian dimasak Olga untuk
disajikan hangat-hangat saat sarapan. Deraz mengernyit memandang susu yang
dibuat dari bubuk di hadapannya kini. Benarkah ini susu? Ia mencoba meminumnya
dan seketika itu juga ingin muntah. Ia tidak mau menyentuhnya lagi.
Bunda membelikan Deraz susu cair
dalam kotak. Rasanya tidak seburuk susu bubuk, tetapi tetap saja kalah segar
dibandingkan dengan susu sapi Günther.
Dean dan Zara jadi ikut-ikutan
ingin beralih dari susu bubuk. Mereka merengek ketika Bunda membuatkan Deraz
sarapan khusus berupa oatmeal,
kismis, kuaci, potongan pisang, dan yoghurt. Makanan apa lagi ini? Deraz
sungkan memakannya diiringi tatapan senewen Ayah serta rajukan iri Dean dan
Zara. Nasi goreng dadar bayam jadi tidak laku. Seandainya saja di hadapannya
ada sosis buatan Ute—istri Günther, itu sudah cukup.
Deraz tidak hendak memasukkan
apa-apa lagi ke mulutnya.
“Deraz, makan, ya?” bujuk Bunda. “Memangnya Deraz enggak lapar?”
Tidak sama sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar