Ayah menanyakan kelanjutan pelajaran Iqro’ Deraz dengan Zara. Melihat Zara memandang Deraz sedang yang
dipandang hanya melengos, Ayah tahu belum terjadi apa-apa.
“Dede ikut TPQ lagi atuh. Ajakin Kak Deraz sama Dean
sekalian,” kata Ayah.
“Anak TPQ mah baong-baong, Ayah,” alasan Zara. Anak-anak yang dimaksud itu
termasuk Dean. Tiap kali datang ke TPQ, sebentar kemudian ia sudah keluar lagi
bersama anak-anak lainnya. Lalu mereka berkeliaran sampai ke sawah,
keluar-masuk gang, dan baru kembali ketika magrib ke rumah masing-masing.
Ayah melihat jam dinding. Kurang
dari sepuluh menit lagi waktu isya.
“Deraz, ayo sini, Ayah ajarin wudu.
Dean, kamu udah hafal wudu, belum?” Ayah mengajak Deraz ke kamar mandi.
Deraz menurut saja ketika Ayah
memberinya petunjuk tentang cara mencuci tangan, berkumur, dan seterusnya
hingga membasuh kedua belah kaki. Lalu Ayah memakaikan sarung pada Deraz dan
memaksa Dean untuk ikut ke masjid.
“Aku mah salat di rumah aja, Ayah,”
kata Dean.
“Salat apaan? Ayo temenin Deraz atuh!”
Sesampai mereka di masjid, azan
berkumandang. Deraz baru mengetahui bahwa suara yang tiap beberapa kali sehari
didengarnya semenjak berada di sini itu ternyata berasal dari tempat ini. Ayah
menunjuk orang yang sedang melaksanakan salat sunah dan menyuruh Deraz
memerhatikan gerakannya. Ketika waktunya salat berjamaah, “Deraz ikut aja dulu
gerakannya, ya.”
Sesudah salat berjamaah, Deraz dan
Dean duduk di teras masjid sementara Ayah masih mengobrol di dalam bersama
bapak-bapak.
“Dean, tadi itu kita apa?” tanya
Deraz.
“Salat,” sahut Dean.
“Salat itu apa?”
Dean mengerutkan kening. “Berdoa
sama Allah.”
“Allah itu apa?”
“Allah itu tuhan.”
“Tuhan?”
“Tuhan itu … yang menciptakan
manusia,” kata Dean.
“Oh.” Deraz terdiam.
Dean berharap Deraz tidak bertanya
lagi.
“Berdoa itu … apa?”
Dean menggaruk lehernya. “Berdoa
itu …” akhirnya ia berkata, “minta sama Allah supaya … mmm … supaya masuk surga
dan enggak masuk neraka.”
Ganti Deraz yang mengerutkan
kening. “Surga … neraka …?”
“Kamu mah nanya aja ih!” ujar Dean.
Deraz jadi terdiam. Untung tidak
lama kemudian Ayah keluar dan mengajak mereka pulang.
Setelah mereka kembali di rumah,
sementara Ayah berbincang dengan Bunda, Dean memperlihatkan pada Deraz komik
siksa neraka. Komik itu sungguh penuh horor. Deraz tidak bisa tidur. Ia baru
mengetahui bahwa setelah mati orang dapat hidup lagi dan disiksa. Lalu,
bagaimana dengan Oma Buyut dan Opa Buyut? Bagaimana kehidupan mereka setelah
mati?
Sore itu Bunda sudah ada di rumah. Ia menyuruh anak-anak pada
mandi dan bersiap. “Nanti mau ada guru ngaji,” kata Bunda.
Ketika bel rumah berbunyi, Bunda
segera menyambut dan mempersilakan tamu itu masuk. Sementara keduanya
berbincang, anak-anak mengintip.
“Itu tuhan!” seru Dean sambil
berbisik.
“Bukan, ari kamu,” tegur Zara.
“Kata anak-anak TPQ, itu tuhan,
hihihi,” sahut Dean.
Penampakan tamu itu menyerupai
kakek-kakek yang ada di sampul belakang buku Iqro’. Ia mengenakan kopiah hitam, kacamata tebal, serta kemeja
batik, tetapi tanpa tongkat. Usianya mungkin sekitar enam puluhan tahun.
Namanya Pak Karman.
Sejak sore itu, Pak Karman datang ke rumah tiga kali
seminggu. Deraz dikenalkan pada huruf-huruf hijaiah, sementara Zara melanjutkan
pembacaan buku Iqro’. Pada awalnya
Dean ikut bersama mereka. Tetapi karena tidak ada yang mengawasi, kemudian ia
mangkir sama sekali. Sebelum Pak Karman datang, Dean sudah mengacir entah ke
mana. Ketika Zara mengadu sehingga Bunda menegur Dean, anak itu beralasan,
“Da aku mah udah hapal surat-surat.”
“Tapi belum lancar cara bacanya,
kan?” ujar Bunda. Entah bagaimana Dean hafal surat-surat juz Amma hanya dengan
mendengarkan bacaan teman-temannya. Dean juga berhenti les piano dengan alasan
ia sudah luwes memainkannya, padahal pembacaan not baloknya masih kacau.
Pak Karman tidak hanya menuntun
mereka membaca Iqro’, tetapi juga
mengajarkan cara salat yang benar, serta selalu menutup kunjungannya dengan
menceritakan kisah para nabi, utusan Allah Sang Pencipta Segala-galanya.
“Allah itu seperti apa?” tanya
Deraz, yang kemudian teringat pada percakapannya dengan Dean tempo hari.
“Allah itu tidak seperti apa pun
yang kita lihat,” ucap Pak Karman dengan nada lunak. “Tidak ada sesuatu pun
yang bentuknya menyerupai Allah.”
“Bagaimana kita … membayangkan
Allah?”
Zara menoleh pada Deraz. Kakaknya
itu selalu menanyakan apa pun yang tidak pernah terlintas sedikit pun di
pikirannya.
“Ketika matahari sedang
terang-terangnya, coba Deraz keluar dan melihat matahari itu. Bisa enggak Deraz
melihatnya? Nah, melihat matahari saja kita enggak sanggup, apalagi melihat
yang menciptakan matahari itu? Atau, coba Deraz lihat langit. Langit yang kita
lihat cuma yang tertangkap oleh mata kita. Padahal langit jauuuh lebih luas
daripada itu. Langit saja besarnya sedemikian, apalagi yang menciptakan?”
Deraz menganga. Ia teringat pada
globe di perpustakaan Opa Buyut. Globe itu miniatur bumi, sedang ia sendiri
tidak dapat melihat wujud asli bumi dengan mata kepalanya sendiri. Ia harus ke
luar angkasa dan berada pada jarak tertentu baru bisa melihat bumi dalam ukuran
sebesar globe. Tetapi bumi itu sendiri kecil jika dibandingkan dengan luasnya
angkasa. Ada planet-planet lainnya yang berukuran lebih besar daripada bumi.
Deraz pernah melihat gambar tentang itu di salah satu majalah lawas milik Opa Buyut.
Dan, Allah lebih besar daripada itu semua?
“Itulah sebabnya kita mengucapkan
‘Allahu akbar’ ketika salat. Allah itu Mahabesar. Tidak ada yang menyamai
kebesaran Allah. Saking besarnya, tidak dapat terlihat oleh mata kita.”
Pak Karman lalu menyuruh Deraz dan
Zara menghadapkan telapak tangan ke wajah. “Coba lihat garis-garis di tangan
Adek. Lalu dekatkan ke mata, semakin dekat ….”
Deraz menempelkan telapak tangannya
ke wajah, menariknya lagi, lalu iseng mendorong telapak tangan Zara sampai
melekat di wajah adiknya itu.
“Ih …!” Zara menyingkirkan tangan
Deraz.
Pak Karman terkekeh.
“Semakin dekat, malah tidak
terlihat, kan, garis-garis di tangan kita?” lanjut Pak Karman. “Begitu juga
Allah. Allah sangat amat dekat dengan kita, bahkan lebih dekat daripada urat
leher kita sendiri. Ketika ada keluarga kita yang meninggal dunia, kita tidak
akan merasa kesepian karena kita ingat bahwa Allah selalu ada bersama kita.
Allah itu kekal, tidak pernah mati. Dan, Allah tidak akan pernah meninggalkan
kita. Allah selalu memberi kebaikan pada kita, dengan mendatangkan orang-orang
baru yang sayang pada kita.”
Tiba-tiba saja Deraz menyadari
keberadaan adiknya, ayah-ibunya, saudara kembarnya. Kepalanya terasa penuh
sampai hendak meruap dari matanya.
“Pak … ke mana keluarga kita yang
meninggal dunia?” tanya Deraz dengan suara ditegar-tegarkan.
“Semua orang, termasuk kita yang
masih hidup ini, nanti pasti akan mati. Tetapi, sesungguhnya cuma badan luar
kita ini yang mati. Jiwa kita tetap hidup dan tinggal di alam barzakh. Nah,
kita yang masih hidup ini harus mendoakan keluarga kita yang sudah meninggal.
Kita meminta kepada Allah supaya di alam sana keluarga kita bisa hidup dengan
tenang dan Allah mengampuni dosa-dosa mereka, memberi mereka rahmat dan
pertolongan. Allah pasti mendengarkan setiap doa kita, asal kita tidak berputus
asa.”
“Bagaimana cara berdoa?”
Alih-alih jawaban dari mulutnya,
Pak Karman malah mengeluarkan saputangan dari saku celana. “Alhamdulillah,” ia
berucap untuk setiap bersin yang membersit ke saputangannya.
Zara menggoyang-goyangkan telunjuk
seolah-olah hendak mengingat sesuatu. “Yarhamukallah!” ujarnya kemudian.
“Yahdikumullah …” Pak Karman
tersenyum seraya menurunkan saputangan dari wajahnya.
Deraz terkesima. Seakan-akan Opa Buyut
memang belum mati, walau jasadnya berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar