Kerajinan Deraz selama SMP membuahkan hasil. Nilai UN-nya
tidak saja mencukupi untuk masuk ke SMA negeri, tetapi juga ke SMA negeri nomor
satu di Kota Bandung. Deraz bisa saja menyusul Renata ke SMA tersebut, atau ke
SMA lain di Jawa Tengah dengan pendidikan semimiliter seperti tujuan beberapa
temannya. Tetapi ia merasa ingin bersama lagi dengan Dean, untuk terakhir kali.
Deraz telah membayangkan
cita-citanya secara agak mendetail. Setelah berkuliah kedokteran di Jerman, ia
berencana untuk meneruskan pendidikan tinggi dan bekerja di luar negeri dengan
gaji puluhan ribu Euro/USD/AUD per bulan. Ia mungkin tidak akan kembali ke
Indonesia, kecuali untuk keperluan keluarga, kalau sangat mendesak.
Bercita-citalah setinggi langit. Kalaupun gagal, kau akan terjatuh di antara bintang-bintang.
Ia berusaha mencamkan kata-kata mutiara itu.
Nilai UN Dean juga besar, tetapi
tidak mencukupi untuk masuk ke SMA negeri nomor satu di Kota Bandung. Selama
UN, ia duduk berdekatan dengan Deraz di bagian belakang kelas dan saudaranya
itu tahu untuk menepikan lembar jawaban. Tentu saja Ayah dan Bunda berharap
Dean juga bisa masuk ke SMA negeri favorit. Pilihan nomor satu yang
memungkinkan yaitu SMA Negeri Selonongan, atau biasa disebut SMANSON. Tetapi di
situs Penerimaan Siswa Baru, nilai UN Dean berada di urutan buncit dalam daftar peserta yang
memasukkan berkas ke SMANSON, sehingga ia bisa sewaktu-waktu terlempar ke
pilihan dua.
Setelah penantian yang
menggelisahkan, pada hari terakhir pendaftaran, Deraz yakin bahwa Dean bisa
masuk ke SMANSON juga. Ia sudah mantap dengan SMA tersebut walau Ayah dan Bunda
menyuruhnya untuk mempertimbangkan masuk ke SMA yang lebih baik. Mereka sendiri
sudah pasrah untuk Dean.
“Aku sih SMA mana aja enggak
masalah,” kata Dean santai.
Masa pendaftaran berlalu. Dean
berada di nomor terakhir dalam daftar peserta yang lolos ke SMANSON.
“Alhamdulillah ….” Ayah tampak
benar-benar penuh syukur. Ada harapan setelah ini Dean dapat melanjutkan ke
perguruan tinggi negeri. Sementara itu Dean membayangkan di SMA akan punya motor
sendiri sehingga bisa meluaskan daerah mainnya
Sejak hari pertama menjejakkan kaki di SMA, Deraz sudah
menarik perhatian. Yang pertama, tentu saja karena fisiknya yang jangkung dan
terang. Yang kedua, sebagian orang baik sesama SIMBA—Siswa/i SMANSON Baru—maupun kakak
kelas—sudah mengenal dia karena pernah satu sekolah, satu tempat kursus,
ataupun lewat desas-desus dan baru kali itu melihat dia secara langsung. Yang
ketiga, karena keaktifannya sebagai ketua gugus satu hingga pada hari terakhir
MOS ia dinobatkan sebagai SIMBA terbaik.
Karena semua itu pula, sejak hari
pertama MOS, panitia terutama Satuan Kedisiplinan atau SADIS mengincar Deraz.
Mereka mencecar Deraz dengan berbagai tuduhan: sok kegantengan lah, mau tebar
pesona lah, berlagak artis lah, dan seterusnya.
Kalau seniornya teteh-teteh, Deraz
mudah menghadapinya. Biasanya cewek tidak kuat ditatap Deraz lama-lama. Tanpa
perlu sengaja menebar pesona, pesona Deraz sudah tercecer dengan sendirinya.
Dasar potongan artis.
Kalau seniornya akang-akang, barulah
Deraz mesti adu saraf. Adu otot juga Deraz berani apalagi rata-rata cowok di
sekolah lebih pendek daripada dia, kecuali Dean yang walaupun kerempeng dan
pucat tetapi sedikit lebih jangkung.
Dean sendiri kerap kali menjadi
sasaran SADIS karena dikira Deraz—di samping kesalahannya sendiri karena suka
mengobrol tanpa kenal situasi. Apalagi untuk keperluan MOS rambut Dean
dipangkas sependek-pendeknya sementara rambut Deraz sendiri memang selalu
bermodel cepak. Bagi yang baru pertama kali melihat si kembar, keduanya tampak
agak serupa.
Pada hari pertama Deraz di kelas
X-1, langsung ada anak yang menodong untuk menjadi teman sebangkunya. Deraz
bahkan tidak pernah melihat anak itu sebelumnya. Tingginya hanya sedada Deraz.
Anak itu memanggilnya seakan-akan mereka sudah kenal lama.
“Hei, lu Deraz, kan? Gue sebangku
sama lu, ya! Gue Ipong!” Anak itu mengulurkan tangan. Suaranya mengingatkan
Deraz pada teman-temannya sewaktu di SD, atau anak-anak SD pada umumnya.
Deraz menjabat tangan Ipong sembari
melirik nama di dada seragamnya. Jaka Budiman Wicaksana. Kok bisa?
Ipong sangat ceriwis. Dengan segera
mereka menjadi akrab. Rupanya SMP Ipong berada di dekat tempat kursus bahasa
Inggris Deraz.
“Lu mau ikut ekskul apa aja, Raz?”
tanya Ipong.
“Mmm …. Sepak bola,” pastinya,
“Debat,” ia juga mengincar WSDC, “OSIS.”
“Wah, gue juga tertarik sama OSIS.
Waktu SMP gue di OSIS.”
“Saya juga.”
Dengan segera mereka menjadi akrab
dengan anak-anak lain yang duduk di sekitar mereka. Adip satu SMP dengan Ipong,
sedang Yoga dan Bram dulu bersekolah di SMP negeri di sebelah SMP Adip dan
Ipong. Selain sama-sama tertarik pada OSIS, mereka juga pada belajar instrumen
tetapi belum pernah bergabung dengan band.
Mereka rata-rata belajar musik karena ayah mereka menginginkannya.
“Babe urang fans berat Ginger Baker. Urang
geu teu nyaho da eta saha,” kata Adip.
“Kalau ayah saya sukanya flute,” ujar Yoga.
Keduanya dipanggikan guru privat
oleh ayah masing-masing.
“Gue diajarin gitar sama kibor
langsung sama bokap gue,” sahut Ipong. Ayahnya sendiri punya band yang aktif membawakan lagu-lagu
Koes Plus dan kadang meramaikan acara pernikahan.
“Urang mah pas senggang we
gigitaran sorangan, bari ningalian majalah,”
ucap Bram.
“Saya kursus gitar di depan SMP,
sama main di ekskul,” suara Deraz.
“Eh, kita bikin band aja, yuk! Kita ikutan oprec KOMBAS!” ajak Ipong bersemangat.
KOMBAS itu Komunitas Band SMANSON. Yang lain terdiam memikirkan lalu bergumam
mengiyakan. “Hayuk atuh kita mulai
latihan. Di deket sini ada studio da!”
Ipong benar-benar sudah memikirkan segalanya. Lagu yang hendak dimainkan untuk oprec pun ia yang pilih.
“Tapi gimana, saya kan mainnya flute. Di lagu itu enggak ada flute-nya,” kata Yoga.
“Lu sementara jadi additional player aja. Kita ajarin lu
gitar atau kibor sesuai keperluan. Baru lain kali kita cari lagu yang flute juga bisa masuk,” putus Ipong.
“Oh, ya, suara lu juga kayaknya cocok buat backing
vocal.”
Sekolah. Sepak bola. Debat. OSIS. Kickboxing. Kursus bahasa Inggris program
English for Teenagers sudah selesai
dan Deraz sudah memutuskan untuk menggantinya dengan kursus bahasa Jerman. Ia
sudah mengikuti tes penempatan dan masuk ke level A2. Kemampuannya berbahasa
Jerman mulai berkarat karena semakin jarang dipraktikkan. Sudah lama ia tidak
sempat menulis jurnal lagi. Kursus gitarnya masih berjalan, tetapi sekarang
Deraz mempertimbangkan untuk menggantinya dengan latihan band. Deraz sudah dibelikan PDA seperti milik Bunda untuk mengatur
jadwalnya yang semakin padat, targetnya yang semakin banyak. Ia juga memasang reminder supaya tidak lupa memantau
papan pengumuman, kalau-kalau informasi tentang AFS sudah ada.
Deraz biasanya memainkan musik
klasik atau lagu-lagu yang easy-going
sesuai dengan ajaran guru lesnya atau pembina di ekskul Akustik Club. Tetapi
lagu The Cranberries pilihan Ipong genrenya heavy
rock. Anak-anak lain juga merasa kewalahan membawakan suasana lagu
tersebut, apalagi Yoga yang biasanya hanya memegang flute. Tetapi mereka merasa tidak enak pada Ipong yang semangatnya
seperti yang hendak diajak main ke Dunia Fantasi. Apalagi ketika mereka
mendengar Ipong menyanyi untuk kali pertama. Adip saja masih terpukau, walau ia
tahu bahwa sejak SMP Ipong aktif di ekskul Vocal Group.
“Eh, kita mau pakai nama apa nih,
buat daftar oprec KOMBAS?” tanya
Ipong pada anak-anak ketika hendak mendaftarkan band mereka.
Yang lain berpandangan dengan
bingung. Cewek-cewek di sekitar mereka yang mengenal Ipong pada mengusulkan.
“Ipong dan F4!”
“Ipong and The Bodyguards!”
“Sst!” Ipong menyuruh diam. “Apa
dong?”
“Ipong Band,” kata Adip.
“Jelek amat!” sahut Ipong.
“Nama kamu sendiri, Pong.”
“The Ipongs,” usul Yoga.
“Kita semua adalah Ipong-ipong yang
…” Bram terdiam memikirkan, “mau ikut oprec
KOMBAS.”
“Jadi apa nih?” tanya panitia.
Ipong menggaruk-garuk kepalanya geregetan. “Sementara gue tulis band Ipong dulu aja kali, ya, sambil
kalian memikirkan. Next!”
Namun karena setiap anak punya
kesibukan masing-masing, persoalan itu terlupakan hingga waktunya pertunjukan oprec KOMBAS.
“Masih belum ada nama?” tanya
panitia.
“Kita masih boleh tetap main, kan?”
sahut Ipong. Sebenarnya ia punya banyak alternatif nama, tetapi para
personelnya tidak kunjung dapat memutuskan.
“Ya udah.”
Band mereka lalu menggebrak panggung kecil-kecilan itu dengan
lagu “Promises” dari The Cranberries. Suara Ipong mengalun dengan bening
sekaligus menggelegar, dan ia dapat menirukan cengkok Dolores O’Riordan dengan
aduhai. Belum lagi gayanya yang seolah-olah sudah profesional menghadapi jutaan
penonton. Sementara itu, di belakangnya Adip, Bram, Deraz, dan Yoga
menyesuaikan dengan penuh perjuangan. Belum sampai pertengahan lagu, para
senior KOMBAS sudah bertepuk tangan dengan riuh didukung para penonton lain.
Yang tadinya tidak menonton pun menjadi penasaran untuk mendekat dan
menyaksikan. Sebagian dari mereka cewek-cewek yang ketika mendapati Deraz di
panggung tidak beranjak lagi ke mana-mana sampai lagu selesai. Sepanjang lagu
mereka mengarahkan ponsel ke panggung. Seusai lagu, anak-anak di panggung
ngos-ngosan tetapi sambutan dari penonton yang mendadak membeludak sangat
memuaskan.
Penggemar Deraz bertambah-tambah.
Padahal sepanjang lagu ia menunduk saja memerhatikan permainan gitarnya dengan
serius lagi tegang, dan sama sekali tidak menyumbang sebagai backing vocal.
Ipong tahu ini pasti terjadi. Ia
mengingatkan Deraz untuk tidak tersenyum banyak-banyak.
“Kenapa?” Padahal sejak SMP Deraz
berusaha untuk menjadi orang yang ramah dan memperbanyak sedekah.
“Cewek-cewek pada ke-GR-an.”
Lain kali ketika Deraz mendapati
ada cewek-cewek yang melirik kepadanya, ia melengos saja tanpa membalas senyum
mereka. Tetapi ketika ia menoleh lagi, cewek-cewek itu malah terlihat asyik
berbisik-bisik sambil terus memerhatikannya. Malah pada waktu dan tempat lain
ketika ia bersin dan mengeluarkan saputangan Opa Buyut dari saku celana
seragamnya untuk menyeka hidung, ada saja cewek-cewek yang melihat padanya.
I can’t wait to be in high school, Deraz ingat pernah berpikir demikian. Now this is high school. Berahi berceceran di mana-mana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar