Deraz membeli bola plastik di warung dekat rumah. Di halaman
belakang ia melatih gerakan-gerakan yang diajarkan Pak Guru. Ia juga menirukan
gaya bermain orang-orang yang dilihatnya, bukan hanya anak-anak di sekolah
tetapi juga para pemain profesional di televisi. Tiap kali melihat Ayah
menonton pertandingan sepak bola di televisi, Deraz ikut duduk di sampingnya
dan mengamati.
Dinding halaman belakang kotor
jadinya karena menjadi sasaran tendangan Deraz. Ayah tidak menegur, tetapi
malah menanam tumbuhan yang lama-lama akan merambat menutupi dinding itu.
Ketika mengunjungi toko buku lagi,
Deraz minta dibelikan buku berjudul Sepak
Bola: Langkah-langkah Menuju Sukses. Buku itu berukuran besar dan agak
tebal. Di dalamnya ada lebih dari seratus teknik bermain sepak bola, mulai dari
mengoper dan menerima bola hingga mengatur tim. Melalui buku itu, Deraz belajar
bahwa di samping kemampuan individu kerja sama tim juga penting. Pantas saja
pada kesempatan yang lalu timnya terlihat kurang senang padanya padahal ia yang
mencetak semua gol.
Deraz berusaha untuk terus
menghafal wajah dan nama anak-anak sekelasnya, terutama yang laki-laki. Meski begitu,
ketika ada lagi kesempatan bermain bola di ujung pelajaran Olahraga, hal-hal
yang Deraz baca di buku masih sulit ia praktikkan. Begitu bola sudah di kaki,
ia lupa segala-galanya. Ia dapat membawa bola dengan tangkas, serta menghindari
lawan dengan lincah. Ia baru mengoper ketika ada yang mengingatkan. Malah
kemudian ia mengabaikan panggilan itu.
Anak-anak yang satu tim dengan
Deraz malah membalas. Padahal Deraz sudah hafal wajah dan menyebut nama mereka
ketika minta operan. Tetapi mereka lebih memilih untuk mengoper pada anak yang
lain atau, ketika keadaan terjepit, menendang bola ke luar lapangan daripada
memberikannya pada Deraz.
Lama-lama Deraz bosan berlatih sendirian. Ia mengajak Dean
dan Zara serta pada suatu sore, ketika bukan jadwal belajar mengaji bersama Pak
Karman. Zara senang akhirnya Deraz yang mengajaknya beraktivitas bersama. Dean
agak malas karena ia selalu punya kegiatan lain yang mengasyikkan, dan bermain
bola bukan salah satu di antaranya.
Mereka berdiri membentuk segitiga
dengan jarak yang cukup jauh di antara satu sama lain. Deraz memandang Dean dan
Zara bergiliran. Ia memilih Dean lebih dulu, yang berada di seberang kirinya.
Ia memberi tendangan pelan pada Dean. Bola bergulir dan terantuk berhenti di
ujung kaki Dean. Dean mengangkat sebelah kaki dan mengayunkannya ke arah bola.
Tetapi alih-alih mengenai bola, Dean malah berputar dan terduduk ke rumput.
“Dean tuh koordinasi badannya
jelek,” Zara mengutip Ayah. “Main bola ketendang. Naik sepeda masuk got.
Berenang kejedot tembok. Olahraganya cuma jalan-jalan keluyuran seharian.”
Terkenang oleh Deraz ketika
beberapa waktu lalu Ayah mengajak mereka ke kolam renang. Ayah berdiri di
pinggir kolam sedang Deraz di belakangnya menghangatkan diri dengan handuk.
Dean berada tepat di seberang Ayah, baru start dengan gaya katak. Melihat Dean
mulai membelok, Ayah meneriaki, “Yang lurus, Dean!” Dean mengangkat kepala
sekalian mengambil napas. Ia celingukan mencari Ayah, lalu mengarahkan badannya
ke sana. Tidak sampai lama kemudian, Dean kembali menyimpang ke arah lain. Ayah
berdecak. Tetapi ia membiarkan Dean terus berenang sampai mencapai tepi kolam.
Begitu dapat meraih tembok pembatas, Dean langsung menyembulkan kepala
mencari-cari Ayah yang ternyata berada di seberang. Rupanya ia kembali ke titik
start.
“Kamu mah berenang teh meni
zig-zag, kayak dikejar babi hutan aja!” komentar Ayah.
“Hehehe.”
Dean sudah berdiri lagi. Ia
mengembalikan bola pada Deraz dengan cara melemparnya menggunakan kedua tangan.
Bola jatuh beberapa meter di depan kaki Deraz. Deraz menggiring bola itu
kembali ke tempatnya berdiri semula. Ia belum menyerah. Ia memberikan tendangan
lagi pada Dean, yang malah menghindar sehingga bola mengenai tembok.
Ketika Dean hendak mengembalikan
lagi bola itu dengan kedua tangan, Deraz menahan, “Pakai kaki dong.”
“Oke.” Dean pun menurunkan bola itu
di depan kakinya.
Kali ini kaki Dean berhasil
mengenai bola. Tetapi bola itu sudah berhenti sebelum sampai pada Deraz.
Deraz mengambil bola itu, tentu
saja dengan kaki. Begitu kembali di tempatnya semula, Deraz melirik Zara.
Adiknya terlihat tidak sabar untuk menerima bola. Gadis itu juga tampak lebih
kuat. Sewaktu di kolam renang, Ayah menyuruh Zara memamerkan semua gaya yang
sudah dikuasainya sementara Deraz sendiri baru hendak belajar satu gaya.
Deraz pun melancarkan tendangan
keras pada Zara. Tetapi rupanya ia menendang terlalu keras dan mengenai muka
adiknya. Seketika Zara menangis sambil berjongkok. Dean langsung mendekati,
ikut berjongkok di dekat adiknya sambil memeluk. “Cup, cup ….”
Latihan hari itu usai.
Ketika Deraz menawarkan untuk berlatih lagi pada kesempatan
lain, Dean dan Zara mengiyakan walau tampak segan. Mereka menempati posisi yang
sama di halaman belakang seperti pada kesempatan lalu. Deraz yang memegang bola
memandang Dean dan Zara bergantian, lalu memutuskan, “Zara dulu.”
Baru saja Deraz hendak mengayunkan
kaki, Zara menjengit. Akhirnya ia memberikan tendangan pelan.
Belum lama latihan berlangsung,
terdengar anak-anak TPQ yang membolos menyamperi Dean.
“Aku main dulu, ya!” Dean meloncat
ke dalam rumah tanpa beban.
Deraz meneruskan berlatih bersama
Zara, tetapi tidak seru.
Anak-anak yang suka bermain bola di lapangan depan kelas
Deraz saat jam istirahat itu rupanya dari kelas enam. Deraz mulai mengamati
permainan dari jarak dekat, sehingga bisa mengenali wajah bahkan nama mereka,
kalau bisa. Setiap salah seorang dari mereka menyebut nama ketika hendak
mengoper atau sesuatunya, Deraz memerhatikan anak yang dimaksud. Sementara itu,
ia terus giat berlatih sendiri di halaman belakang rumah.
Terdengar bel tanda dimulainya jam
istirahat. Sebagian anak lelaki kelas enam menyerbu lapangan. Baru saja mereka
hendak membagi tim, seorang anak mendekati mereka.
“Saya mau ikut main,” kata anak
itu.
Badannya tidak kalah besar daripada
mereka. Tetapi jelas ia bukan bagian dari mereka.
“Kamu kelas berapa?” tanya salah
seorang anak kelas enam.
“Kelas empat.”
“Kelas empat mah mainnya di situ,”
ujar mereka sembari menunjuk ke lorong dekat salah satu sudut lapangan. Tampak
beberapa anak kelas empat sedang balapan umang-umang.
“Kenapa kelas empat tidak boleh
main dengan kelas enam?” cara bicaranya juga aneh.
Anak-anak kelas enam berpandangan
mencari alasan.
“Jumlah kita udah genap,” akhirnya
mereka menemukan jawaban.
Deraz pun mundur. Tetapi ia tetap
mengawasi mereka dari pinggir lapangan. Setiap hari.
Kesempatan itu tiba ketika salah
seorang dari mereka sedang absen karena mengikuti kejuaraan karate. Anak-anak
kelas enam melirik Deraz yang duduk sendiri di pinggir lapangan.
“Kamu mau main?”
Deraz segera berdiri. “Mau, Kak!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar