Bermain dengan anak-anak kelas enam sangat menantang Deraz.
Tidak seperti ketika bermain dengan anak-anak sebayanya, kali ini ia harus tahu
diri. Ia tidak bisa serta-merta mengajukan diri untuk menjadi yang pertama menendang
bola. Anak-anak yang satu tim dengan dirinya pun belum percaya padanya,
sehingga ia tidak kebagian bola. Lawan sangat lihai mempermainkan dia, sehingga
sangat sulit mengambil bola dari mereka.
Kesempatan Deraz hanya datang
ketika lawan mengoper bola. Ia harus cepat-cepat menangkap bola itu sebelum
sampai ke kaki anak lain. Ia ingin menunjukkan kemampuannya menendang bola
langsung ke gawang seperti yang pertama-tama. Tetapi entah kenapa dalam situasi
kali ini ia merasa grogi sehingga tendangannya meleset.
Ketika datang lagi kesempatan Deraz
untuk memotong umpan, lawan segera mengincar dengan sangat gesit. Mereka tidak
segan-segan menjegal untuk merampas bola hingga Deraz terjatuh.
Deraz tidak bisa mengeluh. Ketika
mengamati pertandingan bola di televisi, ia mengamati bahwa para pemainnya juga
acap kali bermain keras. Adakalanya mereka sampai bertengkar dengan wasit untuk
menentukan apakah itu pelanggaran atau bukan.
Ketika si juara karate kembali
masuk sekolah, Deraz tersisih lagi ke pinggir lapangan. Tetapi ia terus
mengamati. Pengalaman bermain langsung dengan anak-anak itu di lapangan telah
memberinya sudut pandang baru. Kalau ingin diakui, ia harus bermain dengan cara
mereka. Di halaman belakang rumah pun ia mulai melatih gerakan kaki, arah badan,
dan lirikan mata, sembari membayangkan di hadapannya ada lawan tangguh yang
hendak ia kecoh.
Deraz baru bisa bermain lagi dengan
anak-anak kelas enam ketika ada salah seorang di antara mereka yang absen.
Tidak seperti sebelumnya, kali ini Deraz mulai diberikan operan. Mereka sudah
tahu namanya. Tetapi, begitu bola berada di kaki Deraz, dengan segera seorang
anak mendesaknya. Deraz berusaha mempertahankan bola, tetapi anak itu menyikut
rusuknya keras-keras. Deraz pun oleng, dan anak itu mengacir dengan bola. Bel
tanda berakhirnya jam istirahat berbunyi. Permainan otomatis disudahi.
Anak kelas enam yang sakit itu
tidak masuk sampai berhari-hari, katanya kena DBD. Selama itu pula Deraz boleh
ikut bermain bersama anak-anak kelas enam. Tetapi anak yang sama selalu
berhasil merebut bola dari Deraz dengan kasar. Selain disikut, tulang kering
Deraz ditendang, mukanya ditutup-tutupi, kakinya dikait. Deraz memerhatikan
bahwa anak tersebut berbuat sekasar itu hanya padanya. Apa karena ia kelas
empat?
“Kamu mainnya kasar!” Deraz tidak
tahan lagi. Ia menunjuk anak itu sehabis lututnya dibuat lecet hingga berdarah.
“Kalau enggak kuat enggak usah ikut
main!” ledek anak itu sembari maju menantang.
“Tapi kamu curang! Kamu tidak boleh
main kasar begitu!”
“Kamu yang cemen!”
Deraz belum tahu arti kata “cemen”,
tetapi sepertinya itu buruk. Hampir saja ia beradu fisik dengan anak itu,
tetapi anak-anak lain menengahi.
“Kalian mah ganggu permainan aja.
Kalau mau gelut, di tempat lain!”
“Ayo!” tantang anak itu berani.
“Ayo!” Deraz terpancing.
Beberapa anak kelas empat mengamati
kejadian itu dari pinggir lapangan.
“Dean, itu si Deraz mau kelahi
lagi.”
Dean juga memerhatikan semua itu
dengan wajah keruh. “Ah, udah, biarin ajalah!” ucapnya.
“Jangan gitu ari kamu!” sahut teman-temannya, yang padahal biasa mengompori
perkelahian Deraz dengan Putra.
Sementara itu si anak kelas enam
membawa Deraz ke sisi sekolah yang sepi. Di sekitar mereka terdapat tumpukan
pasir dan bahan-bahan bangunan lain yang terbengkalai.
“Ayo!” tantang anak itu lagi pada
Deraz, yang baru menyadari bahwa lawannya ternyata si juara karate. Karena
Deraz tidak kunjung memulai, anak itu menyulut, “Hooo, kelas empat aja belagu!”
Umpannya berhasil. Selanjutnya
mudah saja bagi anak itu mempraktikkan jurus-jurus yang ia kuasai sementara
Deraz membabi buta. Tetapi tiap kali ia berhasil menjatuhkan Deraz, lawannya
itu segera bangkit lagi dan menyerang sekuat tenaga.
Sementara itu beberapa anak mulai
bermunculan tidak jauh dari mereka. Dean didorong kawan-kawannya. “Pisahin atuh, Dean! Jangan diem aja!”
Dean menggeram. Ia maju juga
menyerbu kedua anak yang sedang sengit itu. Ia maju berkali-kali, karena selalu
terpental oleh tonjokan Deraz atau tendangan si juara karate.
Perkelahian baru terhenti ketika
datang Pak Satpam dan penjaga sekolah memisahkan kedua anak bertubuh besar itu.
Keduanya masih meronta-ronta bahkan ketika sudah dipegangi orang dewasa. Bel
tanda berakhirnya jam istirahat berbunyi. “Tuh, udah waktunya masuk ke kelas
lagi!” bujuk Pak Satpam.
“Kita lanjut pulang sekolah!” seru
Deraz belum puas.
Si juara karate melepaskan diri
dari cekalan penjaga sekolah hendak menyerbu Deraz, tetapi berhasil ditangkap
lagi dan diseret menuju kelasnya.
Anak-anak kelas empat mengikuti
Deraz yang dipegangi Pak Satpam. Belum sampai di kelas, seorang anak tidak
sengaja menoleh pada Dean dan memandangnya ngeri. “Dean, kamu berdarah.” Hampir
seluruh bagian lengan kanan seragam Dean berwarna merah. Kainnya juga koyak.
“Oh, pantas dari tadi nyut-nyutan,”
sahut Dean baru memerhatikan.
“Astagfirullah!” ucap Pak Satpam
melihat itu. “Ayo ke UKS sekarang juga!” Ia melepas Deraz dan ganti memegangi
Dean. Anak-anak kompak ikut berbalik arah. “Eh, jangan ikutan semuanya! Balik
ke kelas!”
Deraz termasuk yang ikut ke ruang
UKS.
Guru yang hari itu bertugas menjaga
ruang UKS mengamati luka Dean. “Tadi kena apa, kok sampai kayak gini?” tanyanya
khawatir.
“Tadi ada yang berantem, Bu. Terus
anak ini kena. Kejadiannya di samping sekolah, yang banyak berangkalnya.
Mungkin ada belingnya,” terang Pak Satpam.
“Waduh, bahaya itu. Dean, kamu
berantem?” Bu Guru kaget.
“Enggak, Bu. Tadi Dean cuma mau
misahin aja, terus jatuh.”
“Parah ini lukanya, harus dijahit,”
gumam Bu Guru sembari memeriksa.
Dean yang tadinya bersikap tenang
mendadak berwajah pucat. “Enggak apa-apa. Diplester aja, Bu.”
“Pak Satpam, tolong carikan mobil,
ya.”
“Iya, Bu.” Pak Satpam memelesat.
“Jangan dijahit, Bu,” kata Dean
ketakutan. “Udah enggak apa-apa kok. Enggak sakit.”
“Enggak, enggak. Mau dilihat dokter
aja, biar enggak infeksi. Biar enggak tambah sakit.” Bu Guru mulai membalut
luka Dean dengan perban.
Sebentar kemudian, Pak Satpam sudah
muncul kembali di pintu. “Mobilnya sudah siap, Bu!”
“Ayo, Dean.” Bu Guru menarik Dean
berdiri dari kursi. Anak-anak mengikuti mereka menuju pintu. “Kalian kembali ke
kelas aja,” kata Bu Guru.
“Saya ikut, Bu!” tegas Deraz.
“Ya udah, kamu aja yang ikut. Bawa
sekalian tas Dean.”
Deraz langsung berlari ke kelas
mengambil tas mereka berdua. Dengan cepat Deraz menjelaskan pada guru yang
sudah memulai pelajaran di kelas bahwa Dean kecelakaan dan ia mau ikut
mengantarnya ke rumah sakit. Lalu ia berlari lagi ke pelataran sekolah tempat
mobil sudah menunggu.
Di perjalanan, Dean terus-terusan
membujuk Bu Guru sambil sesekali melihat lengannya yang dibalut perban tebal.
“Enggak akan dijahit, kan, Bu? Udah enggak sakit, kok.”
“Enggak. Mau diperiksa dokter aja,”
Bu Guru mengulang-ulang.
“Bener, ya, Bu?”
Mobil berhenti di depan pintu UGD.
Setelah duduk sebentar di ruang tunggu, perawat mendekati mereka. Dean lalu
dibawa ke salah satu tempat tidur di sebuah ruangan besar. Langkah Deraz
terhenti begitu tirai ditarik menutupi saudara kembarnya. Seorang lelaki yang
mengenakan jas putih masuk ke balik tirai. Deraz menanti dengan dada berdebar.
Sebentar kemudian terdengar
teriakan Dean: “Ayah! Ayah! Ayaaah …! Enggak mau! Enggak mau! Enggak mauuu …!”
“Tolong dipegangi kakinya,” suara
lelaki.
“Enggak mauuu …! Ayaaah …!”
“Kepalanya juga.”
Deraz merasa tegang sekaligus
menggigil. Seakan-akan ia sendiri yang berada di balik tirai itu menghadapi hal
mengerikan apa pun yang dapat membuatnya sehisteris itu. Dengan lemas ia
kembali duduk di ruang tunggu.
Akhirnya Bu Guru keluar dari ruang
tindakan. Ia menawari Deraz untuk menengok Dean. Tetapi Deraz menggeleng. Ia
bahkan baru menyadari bahwa Dean sudah tidak menjerit-jerit lagi.
“Ibu tinggal dulu, ya, mau laporan
ke sekolah.”
“Iya, Bu.”
Ketika kembali, Bu Guru berkata,
“Nanti ayahnya mau jemput ke sini.”
Ayah baru datang ketika siang
berseragam kantornya. Ia langsung masuk ke ruang tindakan setelah berbincang
sebentar dengan Bu Guru. Beberapa lama Ayah di dalam, lalu keluar dengan
menggandeng Dean. Di lengan Dean ada plester panjang, dan semua lecetnya sudah
diobati. “Yuk, Deraz,” kata Ayah begitu mereka melewatinya. Deraz segera
bangkit menyusul. Ia menggendong dua ransel, masing-masing di depan dan di
belakang tubuhnya.
Sementara Ayah membuka kunci pintu
mobil, Dean memamerkan plester pada lengannya yang baru dijahit pada Deraz.
Sembari tersenyum, ia menggerak-gerakkan lengannya itu seakan-akan ingin
menunjukkan bahwa tidak ada masalah. Wajahnya sama sekali tidak menampakkan
tanda-tanda sehabis menangis. “Jangan digitu-gituin, jahitannya masih basah,”
tegur Ayah.
Di perjalanan mengantar Deraz dan
Dean pulang, Ayah bertanya, “Dean tadi misahin yang berantem? Kok bisa sampai
gitu lukanya?”
“Iya, Ayah, tadi Dean jatuh-jatuh,”
sahut Dean.
“Lah, yang berantemnya sendiri
gimana? Luka-luka juga, enggak?”
Deraz menunduk.
“Enggak tahu, Yah,” kata Dean.
“Kok enggak tahu?!”
“Dean aja yang ke rumah sakit.”
“Misahin yang berantem boleh,
bagus. Tapi Dean kan suka oleng. Mending panggil Pak Satpam atau guru aja,”
ujar Ayah.
“Iya, tadi juga akhirnya dipisahin
sama Pak Satpam, Ayah.”
Deraz juga tidak berani melirik ke
mana pun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar