Salakan Bruno lamat-lamat terdengar di kejauhan. Deraz
membuka mata. Padahal di dalam mimpinya tadi, ia baru saja hendak
berjalan-jalan dengan Opa Buyut. Opa Buyut dapat menggerak-gerakkan kakinya
lagi dengan lincah. Opa Buyut kembali menapak bumi. Opa Buyut menggandeng
tangannya dan bersama-sama mereka mendaki bukit.
Salakan Bruno kembali terdengar.
Deraz membuka jendela kamarnya dan hawa dingin segera menyambut. Berjarak
beberapa belas meter dari tempatnya berdiri, Bruno yang melihat Deraz melongok
melonjak-lonjak. Anjing itu tertahan oleh rantainya. Padahal langit belum
terang benar. Tetapi Deraz tahu bahwa tidak lama lagi salju akan semakin tipis,
warna-warni bunga mulai tampak, tubuhnya akan hangat, dan ....
“Olga, hari ini aku akan menaiki
bukit!” seru Deraz menghampiri dapur. Wanita gemuk itu sedang mengupas kentang.
Ia baru hendak membalas sapa Deraz, namun anak itu sudah berlari lagi.
Mendekati kamar Opa Buyut, Deraz
memelankan langkahnya. Pintu kamar Opa Buyut terbuka sedikit. Dulu Deraz harus
mengetuk sebelum dapat memasuki ruangan Opa Buyut. Tetapi sejak Opa Buyut harus
didampingi perawat, pintu itu tidak pernah lagi tertutup rapat.
Deraz membuka pintu itu perlahan
dan melongok. Cahaya yang mulai merambati gorden menampakkan Opa Buyut yang
berbaring. Deraz merasa segan hendak membangunkan Opa Buyut. Tetapi ketika ia
mundur, terdengar suara lirih, “Mein
Junge ....”
“Ja, Opa ....” Deraz memasuki kamar. Ia berlutut di samping tempat
tidur Opa Buyut.
Tangan Opa bergetar mencari-cari
kepalanya. Setelah sampai, kepalanya diusap. “Kamu akan ke bukit?”
Deraz merasa malu. Sepertinya ia
bersuara terlalu keras tadi. “Ja,
Opa. Kemarin-kemarin sudah cukup hangat. Hari ini pasti bagus untuk berjemur.”
“Ach so.”
Perawat masuk. “Guten Morgen, Herr Berger.” Satu lagi
wanita gemuk berpipi merah. Ia tersenyum ramah sambil membawa baki. “Ah, Deraz,
kamu sudah bangun.”
“Hari ini bagus untuk berjemur,”
ujar Deraz.
“Stimmt.” Wanita itu mengulangi perkataan Deraz dan Opa Buyut
terkekeh sementara ia dibantu duduk.
“Apa Opa bisa naik ke bukit?” tanya
Deraz.
Wanita itu menggeleng, “Nicht heute.”
Opa Buyut terkekeh lagi. “Na ja, mein Junge, Opa juga sudah tidak sabar
ke bukit lagi.”
“Tapi nanti Opa akan berjemur, lalu
besok Opa bisa berjalan-jalan ke kebun.”
Wanita itu tersenyum. Opa Buyut
menyambut, “Mudah-mudahan.”
Deraz dipanggil karena air mandinya
sudah siap. Setelah mandi, ia mengenakan celana pendek dan kemeja lalu bergegas
ke ruang makan. Segelas susu segar dan beberapa potong roti gulung sudah
menunggunya. Olga mengamati caranya makan. “Tidak perlu buru-buru. Opa juga
makan pelan-pelan.”
“Aku tahu!” balas Deraz.
Olga tertawa.
“Olga, Opa akan bisa jalan-jalan
lagi,” tambah Deraz.
“Ja, mudah-mudahan saja.”
Setelah sarapan, Deraz kembali ke
kamar Opa Buyut. Opa Buyut berdiri! Perawat gemuk membantunya mengenakan baju
hangat lalu memakaikan syal. Baik Deraz maupun perawat gemuk mengawasi Opa Buyut
yang berjalan tertatih-tatih menuju pintu. Ketika Opa Buyut mencari-cari
pegangan, Deraz segera menyambut tangannya. Perawat gemuk membawakan kursi
roda.
“Aku rasa ini kemajuan bagus,” Opa Buyut
terkekeh begitu duduk di kursi roda.
Sementara Opa Buyut menikmati
matahari, di dekatnya Deraz dan Bruno bermain lempar-tangkap bola sampai diingatkan pada
rencana menaiki bukit. “Nanti keburu siang,” kata Opa Buyut.
“Baik, Opa!” Bruno menyalak
seakan-akan menyetujui. Deraz segera masuk ke rumah. Ke dalam tas ia masukkan
buku bacaan, botol minum, teropong, dan tidak lupa—ia buru-buru lari ke kamar
Opa Buyut—selembar saputangan. “Ayo, Bruno, nanti keburu siang!” kata Deraz
pada Bruno yang masih berada di dekat Opa Buyut. Bruno segera berlari menyusul
Deraz.
“Hati-hati!” Mendengar suara Opa Buyut,
Deraz semakin bersemangat.
Deraz tidak melihat ketika sesudah
itu Opa Buyut memegangi dadanya dan menoleh pada perawat gemuk. “Sepertinya ini
waktu untuk kembali,” ucapnya agak terengah.
Mereka melewati jalan pintas menuju
bukit, yang berupa jalan setapak di belakang rumah. Salju sudah tidak tampak.
Ujung bilah rerumputan membasahi kaus kaki Deraz.
Sag mir, wo die Blumen sind
wo sind sie geblieben[1]
Deraz berdendang pelan, sambil
menyibak rerumputan dengan sebatang dahan yang baru saja ia temukan. Bruno
terengah-engah di belakang.
Menaiki punggung bukit, Deraz bisa
melihat panorama desa: petak-petak hutan, rumah-rumah yang agak berjauhan
dengan satu sama lain, dan selebihnya padang penggembalaan. Ia mencari-cari
sebuah rumah lalu melihat ada satu sosok yang bergerak ke arah kandang domba.
“Günther!” teriaknya sekencang mungkin. Ia meloncat melambai-lambai. Bruno
ikut-ikutan. “Auk! Auk!” Tentu saja Günther tidak mendengar.
Günther yang memberikan Bruno pada
Opa Buyut tiga tahun lalu. Saat itu Bruno masih kecil sekali. Bruno salah satu
anak dari sepasang anjing herder yang dimiliki Günther.
“Bruno, ayo kita balapan!” Deraz
membuang dahannya dan langsung berlari.
Bruno menggonggong mengiyakan.
Sampai di bawah pohon di puncak bukit,
Deraz tersengal-sengal merebahkan diri. Walau Bruno tidak mendahuluinya, tetapi
anjing itu masih dapat berlari berputar-putar mengelilingi Deraz seakan-akan
meledek. Bruno lalu berjalan-jalan sendirian mengitari puncak sedang Deraz
berguling mencari posisi pas untuk memandangi matahari yang masih merangkak
menuju singgasana.
Napas Deraz mulai tenang. Lama ia
memerhatikan matahari yang begitu bulatnya. Timbul dalam pikiran: apa gerangan
yang sedang dilakukan Oma Buyut? Mereka bilang Oma Buyut dikubur. Deraz
membayangkan Oma Buyut berbaring diam di bawah tanah. Oma Buyut digerogoti
cacing sampai tinggal kerangka. Apakah hidup Oma Buyut sudah sampai di situ
saja? Apakah hidup itu suatu garis lurus yang mengarah dari kelahiran menuju
kematian?
Lalu terbayang olehnya pipi Opa Buyut
yang kempot, jemarinya yang serupa ranting. Padahal sebelum ditinggal Oma Buyut beberapa
bulan lalu, Opa Buyut masih berisi.
Bruno sudah kembali dan
bertelungkup di samping Deraz. Deraz memiringkan tubuhnya ke arah Bruno.
“Bruno, mungkinkah Opa hidup selamanya?”
Bruno menatapnya polos sambil
menjulurkan lidah. Deraz memeluk kepala Bruno. Bruno lucu sekali! “Kamu tidak
akan ke mana-mana, kan, Bruno?” Bruno menjilati wajahnya. Deraz kegelian dan
melepaskan diri.
Mereka turun ketika matahari sampai
di singgasana. Ketika melewati hutan, sesekali Deraz berhenti dan mengeluarkan
teropong. Ia mendapati burung dengan paruh kuning, kepala hitam, dan perut
kemerahan. Ada juga yang paruhnya hitam, badannya putih, sedang sayapnya
kebiruan. Nanti Deraz akan mencari tahu keterangan tentang mereka di ensiklopedia.
Ia juga memetik beberapa tangkai bunga gerbera di pinggir jalan.
Setelah membersihkan diri dan makan
siang dengan bistik, kentang tumbuk, serta sayur, Deraz membuka pintu kamar Opa
Buyut perlahan-lahan. Opa Buyut sudah berbaring lagi.
Deraz meletakkan jambangan berisi
bunga gerbera pada nakas di samping tempat tidur Opa Buyut. “Opa,” panggil
Deraz hampir berbisik.
Opa menoleh perlahan-lahan.
Syukurlah.
“Kamu sudah kembali, mein Junge.”
Deraz duduk di tepi tempat tidur
Opa Buyut. “Tadi saya melihat burung. Tapi saya belum lihat di ensiklopedia,” lapor Deraz.
“Ach, gut,” ujar Opa Buyut.
Deraz lalu menceritakan setiap
detail perjalanannya ke bukit tadi bersama Bruno hingga menyadari bahwa Opa Buyut
sepertinya tertidur. Ia memegang tangan Opa Buyut. “Opa.”
“Opa di sini, mein Junge.”
“Opa mau beristirahat?”
“Opa tidak apa-apa.” Opa Buyut membuka
matanya lagi dan tersenyum.
“Opa, mau saya bacakan buku?”
“Ja.”
Deraz segera turun dari ranjang dan
berlari ke perpustakaan. Ia mengambil buku berjudul ABC Petits Contes. Buku itu berisi banyak ilustrasi berwarna yang
menarik. Ia belajar membacanya sudah sejak bertahun-tahun yang lalu. Tetapi
menurut Opa Buyut ia belum juga dapat membacanya dengan baik. Susah sekali
mengucapkan ‘r’ Perancis dengan benar.
Deraz lalu naik ke tempat tidur Opa
Buyut, duduk di sampingnya dan mulai membaca. Ia berusaha membaca buku itu
dengan sebaiknya-baiknya, seakan-akan setiap kata yang diucapkannya dengan
benar akan memperpanjang hidup Opa Buyut barang sehari atau seminggu.
Ketika Deraz akhirnya membuat
kesalahan, Opa Buyut biasanya akan menegur. Tetapi kali ini Opa Buyut diam
saja. “Opa?” panggil Deraz. Ia memegang tangan Opa Buyut. Agak dingin, tetapi
ia masih bisa merasakan denyutnya yang lemah.
Deraz meletakkan buku di kaki
ranjang lalu berbaring di sisi Opa Buyut. Ia memerhatikan dada Opa Buyut yang samar-samar terlihat naik-turun hingga ia tertidur.
Deraz terbangun beberapa jam
kemudian oleh salakan Bruno. Sepertinya ini waktunya Olga memberi Bruno makan
sore. Sembari menegakkan diri, Deraz mengejap-ngejapkan mata dan memandang
sekitarnya. Cahaya dari luar sudah meredup. Ia menoleh pada Opa Buyut yang
terlihat sama seperti sewaktu sebelum ia tidur tadi. Ia menggenggam tangan Opa Buyut.
Rasanya lebih dingin daripada sebelumnya.
“Opa?”
Ketika keluar dari kamar Opa Buyut, Deraz bertemu perawat gemuk yang membawa baki. Perawat gemuk tersenyum padanya. “Guten Tag,” sapa wanita itu ramah.
Deraz menatap mata wanita itu. Ia meneguk ludah, dan berkata tersendat, “Opa sudah tidak ada.”
[1] “Sag
mir, wo die Blumen sind” versi bahasa
Jerman dari “Where Have All The Flowers Gone?” pertama kali dibawakan oleh
Marlene Dietrich
Tidak ada komentar:
Posting Komentar