Ketika Deraz membuka mata, ia melihat Oma Buyut membuka
jendela. Oma Buyut tersenyum ke arahnya dan menyapa. Salakan Bruno terdengar.
Deraz melompat dari tempat tidur, memeluk Oma Buyut dan menghirup aromanya.
Lalu ia melongok ke luar jendela. Bruno melompat-lompat dan menyalak,
“Deraz, bangun!”
Kenapa Bruno suaranya Dean?
Deraz terduduk. Oh, iya, Oma Buyut
sudah tidak ada.
Alih-alih salakan Bruno, yang
terdengar guyuran air di kamar mandi, Dean menanyakan seragamnya, dan Ayah
terbatuk-batuk.
Ketika Bunda menyajikan sepiring
roti panggang dan telur rebus untuknya, entah kenapa Deraz mengharapkan Olga.
Padahal Bunda lebih wangi, lebih ramping, lebih cantik.
Keluar dari rumah, semuanya kotak
dan berwarna-warni. Deraz memandangi tajuk pepohonan yang ditembus jalinan
kawat telepon. Di kejauhan tampak siluet pegunungan, tetapi butuh berapa lama
berjalan kaki ke sana? Tidak mungkin jarak itu dapat ditempuh dalam satu-dua
jam saja, seperti ke bukit di belakang rumah Opa Buyut. Di sepanjang jalan pun
tidak ada orang yang dikenalnya, walaupun hanya satu. Tidak ada Günther untuk
didadahi.
Berkas-berkas cahaya matahari
merembes ke kelas melalui kaca-kaca jendela. Pada waktu seperti ini saat musim
semi atau musim panas, Opa Buyut akan berkata, “Ini hari yang bagus untuk ke
bukit!”
Kadang mereka tidak sampai ke bukit
sebab di sepanjang jalan ada terlalu banyak hal menarik.
“Oh, lihat, mein Junge, apa ini?” Opa Buyut menemukan seekor serangga besar
dengan sepasang tanduk. Deraz takjub melihatnya. Opa Buyut menaruh serangga itu
di punggung tangan Deraz yang takut-takut. Kaki serangga itu menggelitiki
kulitnya. Tanduk serangga itu bergerak naik-turun. Deraz terpesona. Opa Buyut
lalu mengembalikan serangga itu ke batang tempat ia menemukannya tadi.
Bel istirahat berbunyi. Dengan kaki
bergoyang-goyang, Dean memutar tubuh mengawasi teman-temannya di belakang.
Teman-temannya pada mengacungkan mobil-mobilan di tangan masing-masing. “Dean,
kamu bawa enggak?”
“Ah!” seru Dean. Ia berbalik dan
menyibak ranselnya. Diserahkannya sebuah mobil-mobilan untuk Deraz. “Ini buat
kamu!” Lalu ia mengambil satu lagi mobil-mobilan dari dalam ransel untuk
dirinya. “Ayo!” ajak Dean keluar kelas, mengikuti teman-temannya.
Mereka mencari ruang yang cukup
leluasa di luar kelas di dalam kompleks sekolah itu. Sekarang Deraz tahu
mobil-mobilan itu disebut Tamiya. Anak-anak antusias bermain balapan benda itu.
Deraz menepi dan bersandar pada tiang. Matanya berlabuh pada pot bunga yang
berjajar di depan deretan kelas. Bunga apakah itu namanya?
Keluar dari hutan, lautan bunga
menghampar. Bruno berlari mendahului. Deraz mengejarnya. Tumbuhan yang
tinggi-tinggi menggelitiki kaki tidak menghalangi tekadnya untuk menyusul
Bruno. Tetapi Bruno seperti terbang. Deraz yang ngos-ngosan berbalik arah menuju
Opa Buyut.
Tahu-tahu Bruno sudah di depannya
lagi. Anjing itu masih sempat-sempatnya menggonggong sembari menoleh ke
belakang, seakan-akan meledeknya. Ia mengibas-ngibaskan ekor begitu Deraz
sampai di dekat Opa Buyut yang tengah berjongkok. Deraz melompat ke punggung Bruno, hendak menunggangi
anjing itu. Tetapi mereka malah bergulat sampai perkataan Opa Buyut menarik
perhatian Deraz, “Hoho, padahal Oma tidak perlu repot-repot menanam ini di
rumah. Di sini juga banyak,” kata Opa Buyut. Di dekatnya serumpun bunga dengan
kelopak putih mengitari lingkaran kuning.
“Apa itu, Opa?”
“Chamomile. Nanti minta Oma bikinkan ini jadi kue.”
Bruno mengendus-endus bunga itu.
Deraz ikut-ikutan. “Hm, ada wanginya!”
Menjelang siang, mereka kembali ke
rumah. Tetapi, di tengah jalan, tiba-tiba Opa Buyut menyuruh Deraz berhenti. Ia
menempelkan jari telunjuknya ke bibir, lalu mendongak berputar. “Dengar itu?”
Opa Buyut berbisik, lalu mengangkat teropong. Opa Buyut memberi Deraz isyarat
untuk mendekat, lalu berjongkok sambil tetap mengarahkan teropongnya pada
sasaran. Pelan-pelan ia memberikan teropong pada Deraz. “Di atas pohon yang
tajuknya paling tinggi itu.”
Deraz menganga sementara matanya
menangkap sosok yang dimaksud Opa Buyut. “Burung apa itu, Opa?” bisiknya
“Nanti kita lihat di ensiklopedia.”
“Ah, burungnya loncat!”
Deraz mencari-cari ke mana perginya
burung itu dengan tetap menempelkan teropong pada matanya. Lalu ia terpeleset.
Opa Buyut tertawa sambil membantu
Deraz berdiri. Ia mengeluarkan saputangan dari saku celananya. Sambil
berjongkok, ia membersihkan tanah dari lengan dan kaki Deraz. “Nah, sudah
bersih. Ayo kita pulang.”
“Deraz, mau coba baca paragraf
dua?”
Deraz menoleh pada buku pelajaran.
Dean telah membukakan halaman yang dimaksud. Deraz membaca keras-keras. Bertambah
kata-kata baru yang keliru ia ucapkan. Bertambah bahan omongan anak-anak. Ia
bisa mendengar di belakang punggungnya, anak-anak meniru dan mengikik.
Opa Buyut juga suka menyuruhnya
membaca keras-keras, tetapi tidak di depan banyak orang begini. Di perpustakaan
rumah itu biasanya hanya ada mereka berdua. Ia duduk di pangkuan Opa Buyut,
sementara sebuah ensiklopedia besar penuh ilustrasi berwarna membentang pada
meja di hadapan mereka. “Nah, ini burung yang kita lihat tadi,” kata Opa Buyut.
“Coba dibaca apa namanya.” Deraz membaca nama dalam bahasa Latin itu, lalu
keterangannya dalam bahasa Inggris. Pembacaannya tertatih-tatih diselingi suara
Opa Buyut yang memperbaiki. Opa Buyut lalu menjelaskan ulang tentang burung itu
dalam bahasa yang lebih mudah dimengerti oleh Deraz.
Kemudian masuklah Oma Buyut. Ia
membawakan baki berisi minuman dan roti buatannya sendiri. “Belajar terus,”
tegur Oma Buyut.
“Oma, tadi kami melihat banyak chamomile liar. Opa bilang Oma tidak
perlu repot-repot menanam itu di rumah,” lapor Deraz.
Opa Buyut terbahak-bahak. “Dasar
anak ini.”
Oma Buyut tersenyum saja. Ia duduk
di sofa. Deraz menyusulnya, lalu duduk dalam rangkulannya. “Coba cerita sama
Oma, tadi bertemu apa saja.”
Sembari menunggu jemputan berangkat
dari sekolah, Deraz mengamati Dean dan temannya yang sedang bermain di pinggir
mobil. Keduanya saling menepukkan tangan yang ditempeli kartu. Pada tiap-tiap
kartu terdapat gambar hewan kartun yang bentuknya aneh. Kartu itu lalu jatuh ke
tanah. Jika salah satu kartu menampakkan gambar hewan, maka si pemilik kartu
itu dinyatakan menang dan memperoleh kartu milik lawannya. Jika kedua kartu
sama-sama menampakkan gambar hewan atau tidak sama sekali, maka masing-masing
pemiliknya mendapat kedudukan seri. Aneh.
“Ah! Pikachu aku yang menang! Aku
mau Charmander kamu dong. Aku udah punya banyak Jigglypuff,” ujar Dean.
“Ih, Charmander aku juga cuma
satu!” tolak temannya.
Deraz meletakkan ensiklopedia pada
punggung sofa yang bersandar ke dinding perpustakaan Opa Buyut. Ensiklopedia
itu berdiri terbuka menampakkan gambar-gambar serangga. Deraz mundur beberapa
langkah sehingga tulisan yang menerangkan nama-nama serangga itu tidak terbaca,
tetapi gambarnya tetap dapat dikenali. Deraz menunjuk satu per satu gambar
serangga itu sambil menyebutkan nama masing-masing.
Die Mücke. Die Fliege. Die Biene. Die Wespe. Der Käfer. Der Marienkäfer.
Die Motte. Der Schmetterling. Die Ameise. Der Floh. Die Kakerlake. Die Grille.
Der Wurm. Der Regenwurm. Die Spinne. Die Made. Die Raupe.
Begitu sampai di rumah, Dean
melempar ransel ke sofa ruang TV lalu membuka kap piano yang berada di
sampingnya. “Baby …!” seru Dean entah pada siapa. “Hari ini kita main apa, ya?
Ah! Aku tadi dengar lagu ini!” Dean mulai mengentakkan jemarinya pada tuts
piano dan menginjak-injak pedal.
“Dean, gandeng ih! Aku mau nonton TV habis ini!” jerit Zara keras-keras.
Tetapi Dean tidak menggubris dan terus menggoyang-goyangkan kepala mengikuti
irama. Zara yang cemberut masuk ke kamarnya sambil membanting pintu.
Oma Buyut sangat menggemari permainan
piano Opa Buyut. Opa Buyut sendiri mengajari Deraz dasar bermusik dengan
lagu-lagu sederhana. Tiap kali Deraz merasa jemu, ia menoleh ke sofa dan
mendapati Oma Buyut tersenyum menunggu permainannya. Kalau bukan karena Oma Buyut,
Deraz lebih suka bermain di luar bersama Bruno.
Zara memerhatikan sedari pulang
sekolah tadi Deraz melamun saja di teras belakang rumah. Tiba-tiba ia mendapat
ide. Ia masuk ke kamarnya. Dari rak lemari belajar ia mengeluarkan herbarium
yang pernah dikirimkan Deraz untuknya, sewaktu kakaknya itu masih tinggal
bersama Oma-Opa Buyut.
Zara menghampiri Deraz.
“Kak Deraz.”
Deraz menoleh.
Zara memperlihatkan herbarium itu
pada Deraz.
“Ajarin aku bikin herbarium, yuk,
Kak,” ujarnya penuh senyum.
Deraz menerima benda itu dan membukanya
lembar demi lembar. Teringat olehnya di mana ia mengambil daun ini dan bunga
itu. Beberapa daun diambilkan oleh Opa Buyut dari cabang yang tinggi sedang
Deraz belum dapat menggapainya. Lalu Bruno meraup daun-daun itu dari tangan
Deraz, sehingga Opa Buyut harus mengambilnya lagi. Ada pula daun yang bentuknya
mengingatkan Deraz pada tapak kaki Bruno.
Matricaria chamomilla L. Bunga-bunga kecil itu
kini tampak seperti kepala profesor tua gila. Daun-daunnya yang mengeriting
serupa rontokan bulu mata unta.
Deraz menutup koleksi itu dan
menyerahkannya kembali pada Zara. Dengan bingung Zara memandangi Deraz yang
melewatinya.
Di kamar yang ia tempati bersama
Dean, Deraz mengeluarkan koper dari bawah tempat tidurnya. Isinya cuma setumpuk
saputangan Opa, beberapa setel pakaian, serta sebuah novel anak tebal berbahasa
Jerman yang sudah kusam.
Ketika menyadari bahwa mau tidak
mau ia harus ikut Ayah dan Bunda ke Indonesia, Deraz cuma sempat mengambil
setumpuk saputangan Opa Buyut tersebut. Kopernya telah disiapkan, tetapi Bunda
hanya mengambil beberapa setel pakaian serta sebuah novel untuk bacaan Deraz di
perjalanan. Pakaian yang dibawa dari sana pun jadinya tidak pernah Deraz
kenakan karena ia malah disuruh memakai punya Dean, atau dibelikan yang baru
yang serupa dengan punya Dean.
Deraz mengambil buntel dari
saputangan Opa Buyut di sudut koper. Isinya abu kremasi Opa Buyut. Sambil
menggenggam buntel itu ke dadanya, Deraz bersandar pada sudut di antara nakas
dan dinding. Ia melanjutkan lamunannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar