Pada akhir kepengurusan OSIS, Deraz kehilangan minat untuk
menjadi Mitratama. Tentu saja ia masih ingat ambisinya semula. Tetapi, setelah
hampir setahun menjalani kepengurusan, ia sudah punya bayangan. Seandainya ia
menjadi Mitratama, yang menjadi anak buahnya paling-paling mereka lagi. Ia bisa
membayangkan anak-anak itu mengancam akan menyebarkan ratusan fotonya di
internet tiap kali mereka bersilang pendapat. Bukannya ia peduli, tetapi
rasanya benar-benar sudah memuakkan. Apalagi ia sudah dilarang meneruskan klub kickboxing oleh Bunda, sejak terjadi
suatu insiden yang membikin wajahnya lebam, tulang rusuknya retak, gerahamnya
patah, dan akhirnya ia pingsan. Anak-anak klub kickboxing kadang mengadakan semacam fight club alias sparring tanpa
pengaman sekadar untuk berhura-hura, dan malam itu Deraz sedang apes atau ngoyo
setelah berhari-hari tidak tidur akibat perhelatan Bazar. Lawannya kebetulan
atlet tinju junior yang baru memenangkan medali emas.
Deraz tidak tahu apakah tanpa
latihan rutin kickboxing ia bakal
sanggup menahan diri dalam menghadapi para antelop liar itu. Ia sudah berjanji
pada dirinya sendiri untuk tidak menonjok orang di luar gelanggang.
Ketika pendaftaran bakal calon
ketua OSIS dibuka, Kang Ega yang Mitratama mengajak Deraz mengobrol.
“Kamu jadi daftar, kan? MPK dan
OSIS mendukung kamu jadi ketua.”
“Sebenarnya saya berpikiran buat
beralih ke MPK, Kang,” ungkap Deraz. “Saya mengajukan Yoga.”
Banyak yang menilai kapasitas Yoga
menandingi Deraz, hanya saja ia kalah tampan dan kurang mengotot. Tetapi ia
lebih lembut, ramah, santai, dan bukan bulan-bulanan.
“Yoga juga bagus,” Kang Ega
menyetujui. “Tapi kamu jangan ke MPK. Kamu masih dibutuhkan di OSIS.”
“Di MPK saya tetap bisa mendukung
OSIS.”
“Sebaiknya kamu mendampingi Yoga di
OSIS. Lagi pula, kita ada misi khusus. Kami rasa kamu orang yang tepat.”
“Misi khusus?” Deraz mengerutkan
kening. Apa lagi ini? “Kenapa harus saya?”
“Karena kamu punya reputasi yang
khas, Deraz. Anak-anak DKM punya respek sama kamu. Misi ini terkait dengan
mereka. Kamu entar jadi Kabid I, ya.”
Deraz masih belum mengerti.
Kang Ega angkat suara lagi. “Kamu
tahu, kan, hubungan OSIS dengan DKM tuh agak enggak akur.”
“Dengan saya, mereka baik-baik
aja.” Sebagai Sekretaris II, Deraz sering diutus oleh Sekretaris Umum, Sekretaris
I, atau Kabid I untuk berhubungan dengan anak-anak Dewan Keluarga Masjid atau DKM. Mereka selalu menyambutnya dengan ramah serta mengajaknya mengikuti
acara-acara DKM.
“Mereka baik-baik aja cuma sama
kamu, atau Yoga, pokoknya anak OSIS yang alim-alim lah, yang paling beberapa
doang. Apalagi ke kamu, Raz. Kamu suka ikut menjaga kebersihan masjid, kan?”
Deraz tercenung. Ia memang pernah
membersihkan toilet masjid tidak dalam rangka apa pun selain karena sebal ada
yang mengotorinya. Sejak masjid selesai direnovasi, Deraz memang senang
mengunjunginya, khususnya toiletnya. Karena baru jadi, toilet masjid jauh lebih
bersih dan benderang daripada toilet guru, apalagi toilet siswa, yang seperti
pintu gerbang ke dunia jin. Deraz senang karena akhirnya bisa makan dan minum
sebanyak-banyaknya di sekolah tanpa khawatir akan mulas dan beser. Malah Deraz
kadang menumpang mandi di toilet itu seusai latihan sepak bola. Karena itu, ia
tidak suka jika ada yang mengotorinya. Ia tidak suka menggunakan toilet yang
kotor, apalagi toilet favoritnya, karena itu ia membersihkannya lebih dulu.
Rupanya ada yang memergoki perbuatannya itu dan menyiarkannya.
Kang Ega melanjutkan, “Menurut anak
DKM, anak OSIS tuh rata-rata pada hedon dan bejat.”
Anak-anak DKM ada benarnya, kalau
begitu, pikir Deraz. Tidak terhitung kunjungan OSIS ke karaoke, restoran, XXI,
dan berbagai tempat hura-hura lainnya. Deraz sering kali tidak ikut acara-acara
tersebut karena punya agendanya sendiri yang padat. Mungkin itu sebabnya ia
kurang akrab dengan anak-anak lain. Peduli amat. Ia lelaki yang punya
prioritas.
Sambung Kang Ega, “Contohnya kayak
pas Bazar kemarin,” ketika mereka mengundang seorang penyanyi ibu kota yang
kerap berpenampilan terbuka, “anak-anak DKM hampir aja mau boikot acara kita.”
Deraz mengangguk-angguk. Waktu itu
ia menjadi wakil koordinator acara, jabatan terpenting untuk anak kelas X. Ia
mendengar isu tersebut, namun terlalu disibukkan oleh tugasnya sendiri sehingga
tidak mengikuti perkembangannya. Yang ia tahu si penyanyi berpenampilan cukup
tertutup malam itu. Bazar berlangsung dengan sukses, walau kebanyakan yang
datang bukan dari SMANSON.
“Sebenarnya perang dingin antara
OSIS dengan DKM ini udah berlangsung dari angkatan atas-atas. Kamu tahu, kan,
ada rumor kalau anak OSIS enggak bisa sekaligus jadi anak DKM, dan sebaliknya.
Kalaupun ada yang ngambil dua-duanya, pada akhirnya pasti ada yang dilepas
satu. Padahal kalau dengan ekskul-ekskul lain, wajar aja ada yang nyambi
ini-itu, asal bisa bagi waktu.”
Deraz bergumam mengiyakan.
“Jadi, kita pengin mulai
kepengurusan yang baru ini hubungan OSIS dengan DKM bisa diperbaiki. Apalagi
banyak anak kelas X sekarang yang gabung sama DKM. Ya, kita pengin kedua
organisasi ini bisa mendukung proker satu sama lain lah, enggak jalan
sendiri-sendiri kayak biasanya.”
“Ya, ya.” Deraz mulai paham. Selama
ini ia terlalu berfokus pada tugas-tugasnya sampai melewatkan isu seperti ini.
“Kalian kan angkatan terkompak.
Bisalah. Kita optimis kamu bisa jadi jembatan antara OSIS dan DKM.”
Deraz melihat senyum Kang Ega dan
menyadari bahwa mungkin saja ia sedang disindir. Memperbaiki hubungan antara
OSIS dan DKM dengan tabiat anak-anak yang seperti itu? Ia tahu ini tugas yang
berat, tetapi di sisi lain ia merasa tertantang. Dalam benaknya segera
berkelebat ide-ide program kerja yang sekiranya dapat melancarkan misi
tersebut.
Selain Yoga, kandidat kuat lainnya yaitu Jati, yang memang
akrab dengan kebanyakan anak OSIS dan termasuk paling vokal. Tidak ada yang
menyangka tahu-tahu muncul kandidat ketiga, yaitu Alf. Padahal ia lebih aktif
di ekskul Jejepangan daripada OSIS. Anak-anak ekskul Jejepangan mendukung Alf
untuk mencalonkan diri. Pada penghujung tahun ajaran lalu, mereka
menyelenggarakan festival Jejepangan untuk umum yang kesuksesannya menandingi
Bazar tahunan SMANSON dengan Alf sebagai ketua panitia. Tidak ada yang
menyangka juga bahwa sebagian besar anak SMANSON akan mendukung Alf menjadi
Mitratama. Ia menang tipis atas Jati dan Yoga yang mendapat perolehan suara
sama.
“Jepang menjajah kita lagi,”
bisik-bisik tim sukses Jati usai penghitungan suara. “Udah tampangnya mirip
orang Jepang, lagi.” Memang Alf berkulit putih dan bermata sipit. Tetapi ia
keturunan Palembang, dan nama lengkapnya Alfian Fikri Fajri. Selain itu, ia
berambut lurus, berbadan kurus, bertinggi sedang, dengan bekas jerawat di pipi.
Kadang ia mengenakan kacamata. “Entar kita dibakero-bakeroin, tiap pagi disuruh
membungkuk ke arah matahari terbit.”
“Kalau Yoga yang menang,
bekingannya Belanda, tahu, si Daendels.”
“Habis Belanda, terbitlah Jepang. Sejarah
berulang.”
“Kapan Indonesia bisa maju kalau
begini?”
“Nani?” tanggap Alf.
“Budi, Pak.”
“Kalau ngomongin orang, biasakan
jangan pas ada orangnya.”
“Haik! Siap, Laksamana Maeda!”
Hari itu juga Alf berdiri di depan
sekretariat OSIS dan berkata keras-keras, “Akhirnya tiba kesempatanku untuk
menyetok anime di komputer OSIS! Ha!
Ha! Ha!” sembari bergaya ala Pahlawan Bertopeng. “Jadi aku bisa nonton di
sekolah!” OSIS satu-satunya perkumpulan siswa di SMANSON yang punya sekretariat
dengan komputer sendiri.
Deraz mengamati Alf dari jauh
sambil bersidekap. Ia membatin mudah-mudahan Mitratama yang baru akan
mengenyahkan folder berisi foto-fotonya dari komputer OSIS. Bagaimanapun ukuran
sedemikian lumayan besar untuk menampung koleksi anime.
Alf bersabda, “Hei, anak-anak
buahku, kalian harus sering nonton dorama,
karena sesungguhnya drama Jepang itu mengandung banyak pesan moral terutama
tentang kerja sama tim!”
“Kalau drama Korea gimana, Alf?”
tanya seorang cewek.
“Drama Korea? Bukannya cuma cinta
segi empat dan cewek-cewek plastik? Ha! Ha! Ha! Iie!” Alf mengibas-ngibaskan tangan.
“Alf, request ikeh ikeh kimochi
lah!” ujar cowok-cowok.
Dengan Alf dilantik sebagai
Mitratama, Deraz menjadi Kabid I seperti yang sudah direncanakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar