Begitu Senin sepulang sekolah tiba, waktunya rapat mingguan
OSIS. Beberapa menit sebelum pukul setengah dua, Ipong masuk ke sekretariat
dengan menggebu-gebu. “Eh, udah pada kumpul, kan, semua? Mulai aja sekarang,
yuk!” Sebagian besar pengurus OSIS memang sudah pada berada di dalam
sekretariat atau di luarnya. “Gue ada pengumuman penting!”
“Si Deraz belum ada, Pong.”
Biasanya rapat justru baru dimulai
atas ajakan (atau desakan) Deraz, entah formasi sudah lengkap atau belum. Ia
punya julukan lain lagi: Mister On Time.
“Si Deraz lagi ada tugas negara!”
Tadi Ipong memergoki Deraz sedang berjalan bersama Zahra ke gerbang. Atau malah
bisa jadi ke tempat yang lebih jauh daripada itu. “Alf, gue mulai, ya!” Ipong
berdiri di depan papan tulis. Anak-anak yang sudah pada duduk mengarahkan
perhatian padanya. Alf juga, yang sebelumnya menghadap layar komputer. Ipong
cekikikan sendiri sembari mengeluarkan dompet dari saku celana. Lalu ia
mengacungkan sebaris foto. “Lihat, kemarin gue sama Alf ketemu sama siapa!”
“Lah, terus lu sendiri sama si Alf
ngapain?” tanya Jati seraya mengikuti anak-anak lain berdiri dan mengerubungi
sebaris foto itu.
“Itu siapa, Pong, yang jilbaban?”
gumam anak-anak.
“Ceweknya Deraz!”
Anak-anak terbelalak.
“Beneran?!”
“Tuh, si Alf juga saksinya!” Ipong
menuding Alf, satu-satunya anak yang tetap duduk.
Alf yang bersidekap berujar, “Belum
terkonfirmasi. Namun dari gelagat yang bersangkutan, jiga nu heu euh.”
“Lu bayangin aja deh, guys, Deraz makan tahu gejrot! Terus
lumpia basah! Disuapin lagi!”
“Seriusan?!”
“Terus gandengan tangan pas
nyebrang.”
“Bener kitu, Alf?”
Alf mengangguk-angguk.
“Lah, terus lu sendiri sama Alf
ngapain, Pong?” Jati masih penasaran.
“Gue sama Alf tuh tadinya mau jalan
bareng si Rieka juga, ke BIP. Tapi terus si Rieka ngebatalin, mau nge-date sama si Dendeng. IYA, KAN, RIEKA?”
Ipong berteriak pada Rieka yang sudah menarik diri dari kerumunan.
Rieka cuma menjawab dengan raut
masam.
“Terus jadinya lu nge-date sama si Alf dong,” simpul Jati.
“Eh, lu jangan mengalihkan fokus
deh. Kayak Deraz jalan berdua sama cewek enggak cukup aneh aja,” balas Ipong.
“Aneh sih,” Gilang
mengangguk-angguk, “kayaknya. Da gue
mah memang enggak pernah lihat. Tapi mungkin aja sebenarnya di luar sekolah
Deraz memang hobi jalan sama cewek. Kita kan enggak tahu.” Ia mulai
berspekulasi.
“Enggak!” tegas Ipong. “Deraz tuh
pas weekend kalau enggak ada acara
cuman di rumah aja. Baca-baca NGI sambil dengerin jaz sama minum cokelat Belgia
atau jus brokoli, tergantung cuaca!”
“Lu kok tahu sih, Pong?”
“Tahu dong! Eh, lu jangan ngalihin
fokus dong!”
Seketika itu juga Deraz masuk dan
terkejut mendapati anak-anak sedang berkerumun di tengah ruangan. Apakah rapat
sudah dimulai tanpa dirinya? Deraz melirik arloji G-Shock di tangan kirinya. Ia
hanya terlambat dua menit. Tumben anak-anak mulai tepat waktu tanpa dirinya.
“Deraz, si Ipong mencoba memfitnah
lu. Katanya lu udah punya cewek,” ungkap Jati.
Gilang menjumput foto dari tangan
Ipong lalu menodongkannya pada Deraz. “Lu harus jelasin foto ini, Raz.”
Deraz menatap foto itu sebentar,
namun malah melanjutkan langkah tanpa respons apa-apa. Ia mencari posisi yang
strategis di karpet lalu duduk. “Ayo, kita mulai rapatnya.”
“Anjir, tiis pisan, anjir!” komentar anak-anak.
Mereka pada duduk mengikuti Deraz.
Foto dikembalikan pada Ipong. Namun Gilang terus memerhatikan Deraz. Ketika
rapat hendak dimulai oleh Alf, tiba-tiba ia menyela, “Eh, lihat, si Deraz wajahnya
merah.” Serentak anak-anak menoleh pada Deraz. Deraz diam saja.
“Lu kenapa, Raz? Habis lari?” tegur
Gilang.
“Enggak,” ucap Deraz pelan.
“Habis nganterin si Zahra ke
gerbang, gue bilang juga,” kata Ipong, walaupun ia belum bilang.
“Ayo, kita mulai rapatnya. Keburu
asar,” tegas Deraz lagi.
Namun anak-anak bergeming.
“Mana foto tadi, Pong?” Gilang
mengarahkan tangannya pada Ipong, yang dengan sigap mengeluarkan dompetnya
lagi. Ketika foto sudah di tangannya, Gilang kembali menodongkan foto itu pada
Deraz. “Rapat enggak akan dimulai sampai kamu menjelaskan foto ini.”
“Eh, enak aja, lu. Gue ketuanya di
sini, woi,” tegur Alf, namun tidak ada yang menggubris.
“Apa yang mesti dijelaskan?” sahut
Deraz.
“Cewek dalam foto ini, yang kata
Ipong cewek kamu.”
“Dia Zahra, anak XI IPA 9,” terang
Deraz. “Kami sekelas.”
“Kamu ngapain sama dia?”
“Cari buku di Gramedia.”
“Oh.”
“Lah, terus lu sama Alf ngapain,
Pong?” Jati kembali menoleh pada Ipong.
“Kan tadi udah gue jelasin!” Ipong
geregetan.
“Terus kenapa muka kamu merah ngelihat
foto ini?” selidik Gilang lagi.
“Di luar tadi panas,” jawab Deraz.
“Masuk akal.” Gilang
manggut-manggut.
“Udah, kan? Ayo, mulai rapatnya,
yuk!” ajak Alf.
Alf membuka rapat. Setelah rapat
berjalan beberapa menit, Soraya mengacung. Alf mempersilakan Soraya untuk
mengutarakan pendapat.
“Ada yang masih mengganjal, Alf.
Kita masih belum mengklarifikasi,” ucap Soraya dengan nada serius, “apakah
benar Deraz makan tahu gejrot dan lumpia basah disuapin, udah gitu gandengan
tangan—“
Seketika anak-anak bersorak sembari
mengalihkan perhatian pada Deraz.
“Itu di luar konteks topik rapat
kita hari ini,” Alf mengingatkan, tetapi tidak ada yang menggubris.
“Beneran, Raz?!” Wajah-wajah penuh
penasaran menyerbu Deraz.
“Mmm,” Deraz bergumam.
“Anjir, Deraz, muka lu merah lagi!”
“Tong jaim lah, Raz!”
“Kita mengerti kok. Semua orang
pernah mengalami.”
Deraz menatap Alf, meminta
Mitratama kembali mengarahkan rapat. Namun yang ditatap malah menyentuhkan
telapak tangan ke dadanya sendiri. “My
deepest condolescence for you, Bro,” matanya berbicara disertai senyum
simpati.
Walaupun Deraz menegaskan bahwa itu urusannya pribadi dan
memberi pidato tentang pentingnya efektivitas serta efisiensi waktu rapat,
anak-anak malah teryakinkan bahwa memang ada sesuatu di antara dua insan itu.
Mereka mulai menyindir Deraz. “Mau ngajak si bunga apel ke mana weekend ini?” Ketika sedang pada
bersantai-santai di sekretariat OSIS dan ada Deraz di sekitar, mereka mengambil
gitar dan galon kosong lalu menyanyi beramai-ramai, “Lihat kebunku, penuh
dengan bunga …. Mawar, melati, semuanya indah!” Mereka mengarang, “Kemarin urang minjem catatannya si Deraz.
Halamannya penuh gambar bunga, anjir!” Seperti biasa, Deraz menanggapi setiap
ledekan anak-anak OSIS dengan raut datar tanpa kata, namun sekarang disertai
pipi merah jambu, yang terperhatikan oleh mereka.
Malah, sebagai pemimpin yang
berperhatian, Alf punya pemberian khusus untuk Deraz. Karena ia juga otaku, maka tidak afdal jika dirinya
tidak pernah mencoba-coba menggambar manga
walaupun levelnya tidak kunjung beranjak dari pemula. Ia menempelkan manga karyanya di papan komunikasi
sekretariat OSIS. Panjangnya hanya satu halaman HVS. Isinya berupa panel-panel
berukuran.
Pada panel pertama, tampak sebentuk
jarum pentul dengan muka-tangan-kaki serta rambut rancung yang semestinya Deraz
menyongsong dalam keceriaan dengan balon suaranya berisi: “Deaaan …!”
Pada panel kedua, tampak sebentuk
jarum pentul lain dengan beberapa anggota tubuh, namun yang satu ini berponi
lempar, menyambut sosok yang semestinya Deraz itu dengan tidak kalah ceria.
“Deraz …!” isi balon suaranya.
Pada panel ketiga, kedua sosok
serupa jarum pentul hidup itu berhadapan. Deraz berkata, “Aku jatuh cinta!”
Dean membalas, “Selamat, ya!”
Pada panel keempat, kedua sosok
kembar beda rambut itu berpegangan kedua tangan sembari berputar-putar dan
melompat-lompat.
Pada panel kelima, muncul
bunga-bunga dilatari kedua sosok yang masih berputar-putar namun jaraknya
menjadi jauh itu.
Pada panel keenam, rupanya mereka
sedang berada di padang bunga.
Pada panel ketujuh, kedua sosok itu
semakin kecil sementara di sudut kanan atas terdapat matahari dengan muka bayi.
Adip terbahak sembari
menunjuk-nunjuk gambar itu. Deraz mengernyit, lalu menjambret gambar itu dari
papan, menggumalkannya, dan melemparkannya ke tempat sampah. Ulah siapa lagi
ini?! batinnya geram. Padahal di pojok kanan bawah gambar itu terdapat tanda tangan
Alf. With love.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar