Caturwulan berakhir. Nilai-nilai Deraz tidak begitu bagus,
tetapi mencukupi untuk naik kelas. Begitu juga dengan Dean. Deraz dimaklumi,
tetapi Dean dikomentari Ayah, “Dean dulu pas kelas satu asa pinter, sekarang kok jadi Nobita?” Sekarang Deraz sudah tahu
siapa itu Nobita.
Anak-anak kelas enam sudah pada
lulus, digantikan oleh anak-anak kelas lima yang sekarang menjadi anak-anak
kelas enam yang baru. Seperti anak-anak kelas enam yang sebelumnya, mereka juga
mulai mengisi lapangan saat jam istirahat untuk bermain bola. Deraz mengamati
mereka dari pinggir lapangan. Wajah-wajah baru, nama-nama baru, dan gaya
bermain pun beda lagi.
Tibalah momen tujuh belasan. Wali
Kelas mengumumkan bahwa sekolah akan mengadakan perlombaan. Ia hendak mendaftar
anak-anak yang mau ikut. Deraz segera mengacung ketika Wali Kelas menanyakan
siapa saja yang mau bergabung dengan tim sepak bola kelas. Karena duduk tepat
di depan meja guru, maka ia langsung terlihat. Beberapa anak lain juga
mengacung, tetapi sewaktu kelas empat mereka tidak sekelas dengan Deraz.
Beberapa anak laki-laki yang sekelas dengan Deraz di kelas empat batal
mengacung. Tetapi karena jumlah pendaftar kurang, Wali Kelas menunjuk mereka
untuk ikut. Mereka menerima dengan terpaksa. Deraz menghafalkan wajah mereka
semua.
Ketika ada kesempatan, Deraz
mendekati mereka satu per satu. Ia memperkenalkan diri, memastikan bahwa mereka
memang bergabung dengan tim sepak bola, lalu mengajak berlatih. Anak-anak yang
sebelumnya tidak sekelas dengan Deraz mengiyakan saja. Tetapi anak-anak yang
sudah pernah sekelas dengan Deraz menampakkan keengganan.
“Kita harus berlatih supaya
menang,” kata Deraz.
“Iya, kan semuanya kamu yang
ngegolin,” sahut mereka sinis.
”No,” sahut Deraz. “Kita kerja sama dan pakai strategi. Karim, kamu
suka nyundul jadi kamu bisa di bek. Brilian, kamu jago tekel. Kamu juga banyak
lari-lari. Kamu bagus jadi gelandang. Supri,” Deraz memandang anak itu sejenak.
Ia pernah berebut bola dengan anak itu di depan gawang lawan, padahal mereka
satu tim. “Kamu larinya cepat dan pintar menerima umpan. Kamu penyerang.”
“Kamu sendiri jadi apa?”
“Saya …” Sudah beberapa hari ini
Deraz mencoba berlatih bola lagi bersama Zara. Ia menyuruh Zara menendang bola sekuat-kuatnya
dari berbagai jarak dan sisi dengan aneka gaya, yang tentunya ia ajarkan dulu.
Sementara itu ia berusaha untuk menampik setiap tendangan dari adiknya itu
dengan teknik-teknik yang dijabarkan dalam buku Sepak Bola: Langkah-langkah Menuju Sukses. “Saya jadi penjaga
gawang.”
Anak-anak terkejut.
“Tapi nanti kalau kita lawan kelas
enam gimana? Mereka kan badannya gede-gede! Kamu jadi penyerang ajalah, enggak
apa-apa!”
Awalnya memang Deraz berpikir bahwa
menjadi kiper akan membosankan. Kerjanya hanya berdiri di depan gawang dan
mengamati pertandingan, walaupun itulah yang dilakukannya sehari-hari untuk
mengisi jam istirahat yang sendiri. Tetapi, kalau ada kesempatan, sebetulnya
Deraz ingin aktif berlarian juga. Tetapi kali ini Deraz punya tujuan lain.
Timbul dalam pikirannya bahwa dengan menjadi kiper justru ia dapat melihat
seluruh lapangan dan mengarahkan para anggota timnya. Lagi pula semakin ia
mempelajari teknik-teknik menjadi kiper di buku, semakin ia penasaran ingin
mencobanya. Kiper juga ternyata harus menguasai tendangan jauh.
“Yang penting kita berlatih dulu
supaya tahu kekuatan masing-masing,” tegas Deraz.
Selanjutnya mereka berkumpul untuk
menentukan tempat dan waktu latihan. Anak-anak merasa tergugah oleh keseriusan
Deraz. Sewaktu di kelas empat, pada lomba sepak bola tujuh belasan mereka
bermain asal saja. Saat itu kesempatan pertama mereka bermain bola di lapangan,
di luar pelajaran Olahraga. Tetapi kini Deraz hendak mengarahkan mereka
seolah-olah ia tahu segalanya. Ia bahkan sudah membelikan mereka bola untuk
latihan.
Awalnya mereka bersepakat untuk
berlatih pada jam istirahat. Lapangan tengah jelas-jelas tidak bisa digunakan
karena sudah dikuasai anak-anak kelas enam yang baru. Mereka bergerak ke sisi
sekolah tempat berangkal bertebaran, tetapi diusir penjaga sekolah yang tidak
ingin ada kecelakaan lagi di situ. Mereka pindah ke pelataran sekolah yang
sekaligus tempat parkir mobil guru, lalu dihalau oleh Pak Satpam karena
khawatir akan ada kaca yang pecah kena lemparan bola.
“Gimana kalau pulang sekolah aja?
Lapangan tengah mungkin kosong,” usul Supri.
“Tapi saya sudah dijemput mobil
jemputan,” kata Deraz.
“Naik angkot ajalah!”
“Angkot?”
Rupanya semua anak di kelompok itu
sudah pada naik kendaraan umum sendiri untuk pulang, kecuali Deraz. Ia bahkan
baru tahu soal angkot.
“Kamu juga naik angkot atuh!” dorong anak-anak.
Sepulang sekolah, Deraz menghampiri
sopir jemputan.
“Pak, saya mau pulang naik angkot.
Saya mau latihan sepak bola dulu.”
Pak Sopir mengerutkan kening.
“Memangnya tahu naik angkot apa?”
“Mmm …” Deraz kebingungan. Ketika
melihat kendaraan hijau tua dengan pintu samping yang terbuka dan berisi banyak
orang hendak melewati sekolah, ia menunjuk, “Yang itu.”
“Itu mah angkotnya ke Ledeng. Rumah
kamu kan di Kawaluyaan.”
Ledeng? Apa itu? Di mana itu?
“Bilang dulu sama orang tuanya.
Saya enggak mau tanggung jawab kalau nanti adiknya sampai hilang.”
Deraz menghampiri anak-anak dengan
mangkel. “Tidak bisa hari ini. Saya tidak tahu naik angkot apa ke rumah.”
“Rumah kamu di mana?”
“Kawaluyaan.”
“Gampang itu mah. Entar bareng aja
sama saya naik angkot ijo muda. Tapi saya turun duluan, soalnya rumah saya di
Reog. Nanti kamu bilang aja ke sopirnya minta diturunin di Kawaluyaan.”
Deraz menyampaikan itu kepada Pak
Sopir. Tetapi orang itu tetap menggeleng. “Pokoknya saya enggak mau tanggung
jawab apa-apa kalau adiknya sampai kesasar. Pulang sekarang aja. Anak-anak lain
udah pada naik.”
“Kalian latihan dulu saja. Saya
harus bilang dulu sama orang tua,” kata Deraz akhirnya kepada anak-anak.
“Tapi tujuh belasan kan bentar
lagi. Kalau enggak latihan dari sekarang, gimana?”
“Tidak apa-apa. Saya menyusul
besok,” putus Deraz.
“Gimana sih, kan kamu yang ngajakin
latihan?” kata Supri.
“Enggak apa-apa kali. Deraz kan
udah jago mainnya. Emang kita yang butuh latihan.” Karim menepuk bahu Supri.
“Maksud saya bukan begitu.”
Pak Sopir memanggil Deraz dari
kejauhan. Mobil jemputan hendak berangkat.
“Besok, ya.”
Setelahnya Deraz merasa malu pada
anak-anak. Mereka sudah pada berani menaiki kendaraan umum sendiri dengan
risiko hilang atau tersasar, sementara ia masih menumpang mobil jemputan. Ia
tidak sabar menyampaikan ini pada Ayah dan Bunda.
Ketika kesempatan itu tiba, Ayah
menjawab, “Ya, nanti kalau ada waktu, Ayah ajarin.”
“Tidak bisa. Saya harus latihan
sepak bola sepulang sekolah besok. Tujuh belasan sebentar lagi.”
Ayah mengusap-usap kepala, tampak
berpikir-pikir. “Besok ada latihan, lagi …” gumamnya kepada diri sendiri. Lalu
ia melontar pertanyaan, “Dean atau Dede, besok ada yang mau nungguin Deraz
latihan terus nganter ke tempat Ayah? Masih hapal kan jalannya? Deket kok.”
Zara mengerang. “Aku males nunggu
….”
Tiba-tiba Bunda menceletuk, “Besok
bukannya ngaji sama Pak Karman?”
Deraz sampai lupa!
“Iya, besok kan ngaji sama Pak
Karman, jadi aku enggak bisa,” imbuh Zara.
“Deraz enggak ngaji?” tanya Bunda.
Deraz menunduk. Situasi ini
benar-benar sulit. Ia mengangkat kepala. “Tapi saya sudah janji sama anak-anak.
Sekali ini saja. Setelah tujuh belasan, saya tidak akan absen mengaji lagi.”
“Zara, tolong bilangin atuh ke Pak Karman,” sahut Bunda.
“Iya, Bun!”
“Kalau gitu, Dean temenin Deraz.
Kamu mah tara ngaji, kan?” kata Ayah.
Zara selalu melapor apa pun kepada Ayah dan Bunda.
“Tiba-tiba Dean jadi pengin ngaji,
Ayah,” ujar Dean. Walaupun kini mereka kembali sekelas, tetapi Dean masih
memilih untuk duduk sebangku dengan anak lain.
Ayah berdecak. “Besok kamu nemenin
Deraz latihan, ya. Habis itu anterin Deraz ke kantor Ayah. Sambil nemenin kamu
sambil ngerjain PR. Daripada kalau di rumah, main terus. Kalau gitu, Dede besok
bilang juga ke Pak Us-us, Dean sama Deraz enggak ikut dulu soalnya mau sama
Ayah.”
“Iya, Ayah!”
“Loh, tapi besok juga jadwal Ayah
latihan, kan?” ujar Bunda.
“Iya. Makanya itu anak-anak bakal
sampai malam.”
“Dean, Deraz, besok sambil nunggu
Ayah, sambil ngerjain PR, ya. Sambil belajar juga kalau ada ulangan,” kata
Bunda.
Hanya Deraz yang mengiyakan.
Malam itu Deraz menulis surat
kepada Pak Karman. Isinya permintaan maaf bahwa ia belum bisa mengaji dulu
karena akan berlatih sepak bola untuk tujuh belasan. Ia menitipkan surat itu
kepada Zara, sebelum adiknya itu masuk ke kamar hendak tidur.
Sepulang sekolah keesokan harinya,
lapangan tengah ternyata digunakan untuk latihan marching band.
“Kalau gini, paling-paling kita
latihan di taman,” kata anak-anak. Deraz menurut saja. Dean juga.
Begitu mereka sampai di taman, Dean
menegur Deraz, “Kamu bawa Bobo?”
Setelah mendapatkan Bobo, Dean duduk
di dekat bangunan yang menyerupai kurungan ayam raksasa di tengah taman. Deraz
dan kawan-kawannya mencari tempat yang lapang untuk berlatih. Meski begitu,
sesekali latihan terganggu oleh orang yang lewat. Mereka juga tidak bisa
menendang dengan leluasa karena khawatir mengenai orang atau sesuatunya.
Ketika sedang asyik-asyiknya
bermain, tiba-tiba salah seorang di antara mereka terhenti. Ia memandang ke
arah Dean. Kawannya mendekati dan ikut memerhatikan. Anak-anak yang lain pun
pada berhenti, termasuk Deraz. “Ada apa?” tanyanya menghampiri anak-anak yang
berkumpul melihat ke arah yang sama.
“Itu,” seorang anak menunjuk sambil
berkata agak berbisik. Telunjuk anak itu tidak mengarah pada Dean yang sedang
anteng membaca Bobo, tetapi ke
beberapa meter di samping agak belakangnya. Agak tersembunyi oleh kurungan ayam
raksasa, ada seorang lelaki mengenakan topi melihat pada Dean. “Lihat
tangannya!” Walaupun berusaha menutupi dengan tas selempangnya, tetapi dari
sisi Deraz dan anak-anak perbuatannya itu terlihat cukup jelas.
Deraz menyeringai. “Orang itu
sedang apa?”
“Itu Om Pedo!” terang seorang anak
sambil berbisik juga, walau sama-sama tidak mengerti yang sebenarnya dilakukan
orang itu.
Deraz mengambil bola, berdiri di
depan anak-anak, lalu menendangnya sekuat tenaga. Bola itu tepat mengenai muka
Om Pedo, yang seketika terhuyung-huyung ke belakang.
Anak-anak tercengang.
“Wah, kalau gitu kamu emang cocok
jadi kiper. Kamu bisa langsung nendang ke gawang lawan dari gawang kita.”
“Kita lihat saja,” sahut Deraz,
sebelum meneriaki Dean supaya pindah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar