Besok ada ulangan. Malam Deraz duduk di meja belajar dengan
fotokopi catatan Zahra terserak di hadapannya. Entah sudah berapa lama ia memandangi
tulisan Zahra seakan-akan sedang memandangi foto gadis itu. Ekor huruf “a” yang
digurat Zahra mengingatkan Deraz pada lentik bulu matanya. Huruf “u” yang tidak
lengkung amat tanpa ekor itu menyerupai keluk dagunya. Huruf “o” merekah bak
mulutnya yang hendak bersuara.
Deraz berdesah. Fokus, Deraz.
Fokus.
Padahal tidak setiap hari ia
bertemu Zahra karena dispensasi. Tetapi catatan ini dibawanya ke mana-mana dan
dibacanya kapan pun sempat. Padahal cuma kata-kata, tetapi kenapa yang tampak
di mata malah wajahnya?
Apakah ini …?
Adakah anak lain di kelas yang
catatannya seindah ini?
Fokus, Deraz. Fokus.
Bukannya kamu ingin memperbaiki
nilai-nilaimu yang anjlok pada semester kemarin? Bukannya kamu ingin lolos
sampai ke WSDC? Bukannya ada setimbun program kerja OSIS yang menanti sepanjang
setahun ke depan? Bukannya kamu ada “misi khusus” dengan DKM? Bukannya kamu
sudah menyatakan di majalah sekolah bahwa kamu tidak pacaran?
Lagian, pacaran? Nein, no, tidak.
Bunda yang panutannya saja katanya
tidak pernah pacaran. Deraz mendengar itu dari Ayah ketika sedang menegur Zara.
Zara yang sudah SMP gemar menelepon pacarnya sampai lama. “Kayak Bunda tuh
enggak pernah pacaran. Belajar terus sampai ke luar negeri,” kata Ayah.
“Padahal yang ngejar banyak, tapi semua dijudesin.” Deraz tahu bahwa Ayah dan
Bunda berteman sejak kecil. Memang itu tidak bisa dijadikan landasan bahwa Ayah
mengetahui segala detail tentang Bunda, tetapi saat ini Deraz ingin memercayai
perkataan tersebut.
Deraz tidak bisa menghabiskan waktu
berjam-jam untuk bertukar SMS, bertelepon, jalan-jalan, dan membicarakan
hal-hal yang tidak berfaedah. Waktu sebanyak itu sangat signifikan bila dipakai
untuk meningkatkan diri: membaca, melatih skill
sepak bola atau pelafalan bahasa Inggris, menghafalkan kata-kata benda dalam
bahasa Jerman berikut partikelnya, dan sebagainya. Bukankah dengan gajinya
sebagai dokter bedah yang puluhan ribu Euro/USD/AUD per bulan ia ingin sudah
sudah punya rumah dan mobil sendiri sebelum usia tiga puluh lima tahun?
Bukankah rumahnya akan memuat kamar pribadi, kamar mandi yang luas dengan jacuzzi, dapur berperabot lengkap,
kulkas besar, garasi yang memuat Chrysler dan Ferrari, serta kebun berisi aneka
tanaman buah, bunga, dan sayur? Bukankah untuk memperoleh semua itu ia harus
berfokus?
Ia ingin berprestasi dulu
sebanyak-banyaknya, setinggi-tingginya, memapankan cerahnya masa depan, baru
berpikir soal … dating dan … mating? Bukannya tingkah orang
berpacaran itu sangat ridiculous?
Malah Deraz risi melihat pasangan yang berpegangan tangan atau berangkulan di
depan publik. Can’t they get a room?
Belum lagi ketika mereka marahan, lalu make
a scene di pinggir jalan seperti yang sedang shooting sinetron.
Kalau butuh hiburan, ia bisa
berolahraga, mengulik gitar, membaca novel John Grisham atau Michael Crichton
yang selama ini cuma jadi pajangan di lemari, membuat roti atau salad yang
lezat untuk dilahap sendiri, melihat-lihat perabot di situs IKEA, atau main The
Sims sekalian merancang rumah masa depannya itu. Kalau butuh teman, ia tinggal
mengunjungi Ipong di rumahnya lalu mengobrol tentang apa saja sambil
mendengarkan koleksi kasetnya atau bermain futsal bersama anak-anak band. Kalau butuh perempuan, ia akan
mencarinya nanti ketika sudah memiliki segalanya dan benar-benar siap berbagi
hidup dengan orang lain. Banyak pilihan.
Besoknya ketika di kelas, Deraz sempat tidak sadar memandangi
Zahra. Sebetulnya ia hanya berfokus pada lekuk bibir gadis itu, yang entah
kenapa pagi ini terlihat begitu merah padahal sepertinya tanpa polesan apa-apa.
Gumaman heran Zahra yang mendapati bahwa dirinya tengah diamati menyadarkan
Deraz. Deraz segera melengos. Ia mengedarkan pandang ke seluruh kelas. Semua
perempuan duduk dengan sesama perempuan. Semua laki-laki duduk dengan sesama
laki-laki. Cuma mereka pasangan yang berlawanan jenis. Apakah ini …?
Tinggal satu bangku di deretan
paling belakang yang kosong. Tetapi Deraz tidak mau duduk sendiri di sana.
Memangnya ia apa? Orang buangan?
Padahal sebelumnya Deraz yang
sengaja mengangkat wajah Zahra. Tetapi kini tiap kali Zahra mengangkat wajah
dan mengarahkannya pada Deraz, yang kebetulan sedang mengamatinya, Deraz
melengos. Zahra juga mungkin heran karena Deraz tidak lagi getol menanyakan
pelajaran. Ketika ada bagian yang tidak ia mengerti, Deraz memilih untuk
menanyakannya langsung pada guru, atau siapalah, asal bukan Zahra. Tiap kali
jam istirahat, alih-alih makan di bangku sembari membaca koran seperti biasa,
Deraz malah beranjak membawa perbekalannya itu ke sisi sekretariat OSIS. Yang
masih berlangsung hanya SMS Deraz pada Zahra menanyakan kabar di kelas tiap
kali masa dispensasinya hendak berakhir.
“Ehm, Deraz, udah siap buat
ulangan?” sempat Zahra yang menegur Deraz lebih dulu dengan nadanya yang
canggung.
Deraz yang sedang membaca buku
pelajaran cuma menoleh sedikit, tanpa benar-benar melihat Zahra. “Udah.” Lalu
ia kembali memasang tampang yang menunjukkan bahwa dirinya tidak ingin
diganggu. Ia juga tidak lagi mengeluarkan fotokopi catatan Zahra di kelas,
seakan-akan tidak lagi membutuhkannya.
Walau di rumah fotokopi itu
dipandanginya tiap sebentar.
Deraz mencoba mendaftar kekurangan
Zahra. Ada banyak sebetulnya. Gadis itu tidak selalu enak dilihat. Misalnya
saat Dean datang ke kelas untuk minta bantuan Deraz mengerjakan PR, Zahra akan
cemberut maksimal.
Saking maksimal, sampai-sampai
Deraz ingin mencubit pipinya untuk memaksanya tersenyum.
Lubang hidungnya segitiga.
Tetapi, apalah artinya lubang
hidung yang segitiga jika itu merupakan bagian dari kesempurnaan? Malah, jika
lubang hidungnya bulat sempurna, apakah Zahra akan menjadi Zahra yang melekat
di benak Deraz kini? Boleh jadi lubang hidung yang bulat sempurna itu malah
akan merusakkan kesempurnaan yang telah ada.
Selain itu, Zahra pemalu dan
pendiam. Apa yang bisa diharapkan dari orang seperti itu?
Tetapi, malu-malunya itu
menggemaskan. Diamnya itu menantang.
Fokus, Deraz. Fokus.
Zahra juga sepertinya tidak aktif
di ekskul mana pun. Apa yang bisa diharapkan dari orang seperti itu?
Tetapi mungkin saja di rumahnya ia
suka memasak kue, menanam bunga, dan merajut sweter seperti Oma Buyut. Ya, ia
terlihat seperti gadis yang semacam itu. Yang duduk anggun di tengah kehangatan
rumah, alih-alih wira-wiri di sekolah keringatan sembari teriak-teriak.
Deraz mempertimbangkan untuk pindah
ke bangku paling belakang.
Tetapi, ia lalu membayangkan bahwa
ketika duduk di sana puncak kepala Zahra masih dapat terlihat dari tempatnya.
Malah kemungkinan Zahra tidak akan menyadari jika ia terus memerhatikannya. Ia
hanya perlu berharap Zahra menoleh lebih sering sehingga terlihat wajahnya
barang sebagian saja. Bahkan sekalipun Deraz mengusulkan pergiliran bangku, di
mana pun ia duduk, selama masih sekelas, matanya akan secara otomatis berlabuh
pada bagian wajah atau tubuh gadis itu tanpa ia sadari.
Tidak bisakah ia mendapatkan
perempuan yang lebih baik? Nanti, tetapi. Bukan sekarang. Namun tidak terbayang
olehnya perempuan yang lebih baik itu seperti apa, tidak sedetail rumah masa
depannya. Mungkin nanti akan terbayang. Menggantikan bayangan si dia yang terus
membayang-bayangi kini.
Deraz merasa kesal dan malu akan
perasaan asing ini. Tiap kali tidak sengaja berpandangan dengan Zahra, ia mulai
menampakkan rasa frustrasi. Bukan dengan marah-marah. Tidak mungkinlah. Ia diam
saja, namun rautnya kentara.
Zahra tidak berani menegur Deraz
lagi, walaupun biasanya juga jarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar