Sejak hari pertama menjejakkan kaki di sekolah, Deraz sudah
menarik perhatian. Bukan saja karena ia calon siswa baru.
“Dean, itu siapa?” tanya anak-anak
ketika Dean tiba di sekolah. Mereka melihat Deraz yang berbaju bebas digandeng
Bunda ke ruang kepala sekolah. Deraz tampak menyerupai Dean. Keduanya bertubuh
sama jangkung, berkulit sama putih, dan berambut sama kecokelatan. Hanya saja
rambut Deraz seperti rumput, sedang rambut Dean bak serutan kayu.
“Itu saudara kembar aku,” kata
Dean.
“Hah, kamu punya saudara kembar?!”
Tentu saja Deraz tidak langsung
bersekolah hari itu. Ayah dan Bunda menjelaskan pada kepala sekolah bahwa
selama ini Deraz dibesarkan oleh Oma-Opa Buyutnya di Jerman dan baru kali ini
berada di Indonesia. Sebelumnya ia lahir dan tinggal di Amerika Serikat karena
saat itu Bunda masih menyelesaikan studi di sana. Deraz lalu diwawancara dan
dites. Hasilnya, Deraz dianggap mampu mengikuti kelas yang sama dengan Dean.
Kembarannya tersebut sudah bersekolah di SD itu sejak awal kelas satu.
Keesokan paginya, Dean menarik
tangan Deraz ke kelas. Anak-anak langsung menyambut keduanya dan mengajak Deraz
berkenalan. Teringat ketika dulu mereka berkenalan dengan Dean di kelas satu.
Dean selalu tersenyum lebar. Celotehannya yang bercampur antara bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris menggelikan, tetapi Dean ikut tertawa ketika
mereka menertawakannya. Anak-anak langsung merasa nyaman dengan Dean. Deraz
lain sama sekali. Ia menyambut uluran tangan anak-anak tanpa tersenyum dan
terlihat malas menyebut namanya sendiri.
“Putra, aku sebangku dulu, ya, sama
Deraz,” kata Dean pada teman sebangkunya.
“Tapi kamu yang pindah, ya!” sahut
Putra.
“Oke!” ujar Dean sambil
mencari-cari bangku yang kosong dan menemukan tempat tepat di depan meja guru.
“Deraz, kamu di deket dinding, ya.”
Deraz menurut saja. Ia juga
mengikuti ketika setelah bel berbunyi tiba-tiba ada yang mengomando, “Siap,
beri salam!”
Anak-anak serempak berdiri tegak.
“Selamat pagi, Pak Guru!” ucap mereka kompak.
Seorang bapak-bapak berseragam yang
masuk menjawab salam. Lalu ia meletakkan buku-buku pada meja di depan meja
Deraz dan Dean. Ia kaget mendapati Dean duduk tepat di hadapannya. “Oh, Dean
nemenin saudaranya, ya.”
“Iya, Pak,” ujar Dean ceria.
“Nah, Deraz, mau memperkenalkan
diri di depan kelas?”
Dean menoleh pada Deraz dan
memberikan senyuman mendukung. Ia lalu beranjak dari bangku untuk memberi jalan
pada saudaranya.
Deraz berdiri di depan kelas dan
memandang anak-anak yang menatapnya. Bukankah mereka sudah pada mengajaknya
berkenalan tadi? Dengan gugup ia mengulang menyebutkan namanya, nama
lengkapnya. Setelah itu, ia tidak tahu lagi yang mesti dikatakan. Pak Guru
memancing dengan meminta Deraz menceritakan tentang tempat asalnya, hobinya,
dan sebagainya. Deraz berusaha mencerna setiap kata yang diucapkan Pak Guru. Ia
berusaha menjawab setiap permintaan Pak Guru, tetapi tiap sebentar ia harus
berhenti untuk mencari kata-kata dalam bahasa Indonesia. Sesekali ia kelepasan
mengeluarkan kata dalam bahasa Jerman. Ia memerhatikan anak-anak saling
berbisik. Tertangkap olehnya, “Ngomongnya aneh, ya.” Deraz terdiam dan
menunduk.
“Ada lagi, Deraz?”
Deraz menggeleng. Pak Guru
menyuruhnya duduk.
Bahkan ketika pelajaran sudah
dimulai, Deraz merasakan mata anak-anak terus terarah padanya. Ia tidak bisa
berkonsentrasi pada perkataan Pak Guru. Dean malah lempar-lemparan kertas
dengan teman-teman di belakangnya, berhenti sebentar ketika Pak Guru menegur,
lalu meneruskan perbuatannya. Deraz membuka-buka buku pelajaran, memerhatikan
yang dituliskan Pak Guru pada papan tulis, tetapi tidak ada yang masuk ke
kepalanya. Ada begitu banyak kata dalam bahasa Indonesia yang tidak ia
mengerti. Padahal biasanya ia menyukai Matematika. Sewaktu tinggal di rumah Opa
Buyut, tiga kali seminggu ia mendatangi tetangga yang pensiunan Guru Matematika
untuk minta pelajaran. Malah ketika bukan hari Matematika, Deraz mengerjakan PR
yang diberikan dengan rajin. Kini ia harus berbagi guru dengan banyak anak lain
yang pada berisik.
Ketika jam istirahat, anak-anak
kembali merubung bangku Dean dan Deraz.
“Deraz, kamu ngomong lagi dong,”
pinta anak-anak.
Dean menoleh pada Deraz, namun
kembarannya menggeleng.
“Atuhlah, Deraz ….”
“Deraz, kamu bener punya anjing?”
“Tapi kan anjing najis, Deraz?”
“Deraz, kamu Islam bukan?”
“Deraz, kamu bisa bahasa Jerman, atuh?”
“Deraz, kenapa kamu suka ngelihatin
burung?”
“Deraz, Dean pipisnya berdiri,
enggak?”
Pertanyaan anak-anak banyak sekali.
Dean berusaha menjawab untuk Deraz dengan gurauan serta gayanya yang
asal-asalan, tetapi anak-anak menampiknya. “Jangan kamu yang jawab atuh, Dean!”
“Eh, Deraz, kamu belum jalan-jalan
keliling sekolah, kan?!” ucap Dean tiba-tiba.
Bahkan ketika Dean mengajaknya
berkeliling sekolah, Deraz mendapati mata-mata melirik padanya. Kenapa ada
banyak sekali orang di sini? Di mana-mana orang. Ketika dalam perjalanan antara
rumah dan sekolah tadi pun di mana-mana rumah, di mana-mana bangunan, di
mana-mana mobil.
Guru pada mata pelajaran setelah
istirahat sangat memerhatikan Deraz.
“Ayo, Deraz, dikeluarkan buku dan
alat tulisnya.”
“Udah dicatat, Deraz?”
“Deraz ngikutin dulu aja, ya.”
“Deraz mengerti?”
“Deraz, mau coba baca teks di
halaman dua tujuh?”
Deraz mengerutkan kening menyoroti
kata demi kata yang ada pada buku pelajaran Basa Sunda. Hampir semua kata asing
baginya.
Pelajaran jadi terasa lebih lambat.
Anak-anak harus menunggu Deraz mengeluarkan buku dan alat tulisnya. Mereka
harus menunggu Deraz selesai mencatat. Mereka harus menunggu Bu Guru yang
menunggu apakah Deraz akan mengangguk atau menggeleng. Mereka harus menunggu
Deraz menyelesaikan membaca satu paragraf dengan susah payah. Meski begitu,
yang terakhir menjadi hiburan tersendiri bagi anak-anak. Mereka mengikik tiap
kali Deraz bertemu huruf “ē” atau “eu”, sementara Bu Guru dengan sabar
membetulkannya.
Saat pergantian pelajaran,
terdengar anak-anak menirukan kata-kata yang tadi keliru Deraz ucapkan. Dean
tersenyum mendengarnya dan heran melihat raut Deraz yang masam.
Pelajaran berikutnya yaitu Agama
Islam. Ketika guru masuk, anak-anak serempak mengucapkan, “Assalamualaikum
warahmatullah wabarakatuh!” yang baru kali itu Deraz dengar. Di akhir
pelajaran, anak-anak bergiliran menyetor hafalan juz Amma pada guru. Dean
menyimak temannya yang sedang melatih hafalan, sementara kepala Deraz berputar
melihat bacaan dalam bahasa Arab yang hurufnya melingkar-lingkar.
Ada saja anak yang usil menegur,
“Deraz, kamu udah hapal sampai surat apa?”
“Saya tidak tahu,” ujar Deraz
pasrah.
“Deraz, kamu enggak hapal surat
apa-apa?”
Bertambah anak-anak yang menatapnya
dengan heran.
“Deraz, kamu Islam bukan sih?”
Uh, apa sih dari tadi Islam-islam?
Surat yang ia tahu cuma surat yang ia kirimkan pada sahabat pena serta
keluarganya di Indonesia, dulu sewaktu ia tinggal bersama Oma-Opa Buyut.
“Dean, Deraz Islam bukan sih?”
“Deraz mah Islam kayak aku,” terang
Dean.
Ketika di rumah saat makan malam Ayah dan Bunda menanyakan
hari pertama Deraz di sekolah. Deraz masih melanjutkan aksi bisunya, sehingga
Dean yang bercerita. Ayah dan Bunda mendengarkan Dean dengan raut serius.
“Enggak apa-apa, ini kan baru hari
pertama,” kata Ayah.
Ini baru hari pertama.
Bunda menambahkan, “Nanti Bunda
carikan guru ngaji, ya.”
“Sementara ajarin dulu sok sama Dede.” Ayah menoleh pada Zara,
adik Deraz dan Dean.
“Iya, Ayah!” gadis berambut lurus
sebahu itu mengangguk dengan semangat.
Setelah makan malam, Zara
menghampiri Deraz sambil mendekap buku Iqro’
jilid pertama. “Kak Deraz, aku ajarin Iqro’,
yuk!”
Deraz menatap adiknya yang baru
duduk di kelas dua SD itu. Anak sekecil itu mau mengajari dia? “Nanti saja,”
Deraz melengos.
Ketika tengah malam, Deraz terbangun dari tidurnya hendak ke
kamar mandi. Dalam kegelapan ia melihat cahaya menyorot dari celah pintu kamar
Ayah dan Bunda yang terbuka sedikit. Ia mendekat hingga dapat menangkap dengan
cukup jelas,
“Sementara di sekolah internasional
aja. SMP baru dimasukkan ke sekolah negeri,” suara Bunda.
“Lama-lama juga terbiasa. Lihat
Dean sama Zara. Mending dari sekarang diajar berbaur. Makin gede, makin susah,”
tanggap Ayah.
“Tapi Deraz kan lain, Ayah.”
“Sekolah internasional itu—“
Deraz berbalik ke kamar mandi. Ia ingin segera tidur lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar