Sejak kehadiran Pak Karman, semangat belajar Deraz kembali
tumbuh.
Ia mulai membukai Bobo, yang dilanggan Bunda untuk
anak-anak. Ia membaca majalah itu dari halaman pertama sampai halaman terakhir.
Ia mengerjakan setiap kuisnya juga setiap nomor pada rubrik “Untuk Latihan di
Rumah”, kecuali soal untuk kelas 5 dan kelas 6 karena banyak di antaranya yang
ia belum tahu cara atau jawabannya.
Ia mulai naik ke gudang di lantai
atas dan membaca buku-buku pelajaran Dean dari kelas 1 SD.
Ia mulai memerhatikan pembicaraan
anak-anak. Ia mencatat setiap kata yang tidak ia mengerti.
“Geuleuh itu apa?” tanya Deraz pada Dean suatu kali.
“Geuleuh itu … ya geuleuh.”
Padahal Dean sering menggunakannya, tetapi tidak dapat menjelaskan artinya.
“Atuh?”
“Atuh ….” Dean mengernyit. “Atuh
mah apa, ya?”
“Mah?”
Dean menggeleng sambil
menggaruk-garuk kepalanya.
Deraz menanyakan itu pada Ayah.
“Atuh, mah, teh, da, itu enggak ada artinya,” jelas Ayah.
“Why does everyone use them?” Melihat tatapan Ayah, Deraz
cepat-cepat mengulang pertanyaannya dalam bahasa Indonesia.
“Karena orang Sunda mah ngomongnya
gitu.”
Deraz membutuhkan waktu untuk
mengerti bahwa di Indonesia ada berbagai suku dengan bahasanya masing-masing.
Di Indonesia orang tidak hanya berbahasa Indonesia, tetapi juga mencampurnya
dengan bahasa lain yang sesuai dengan daerah tempat tinggalnya. Bahasa
Indonesia yang orang gunakan sehari-hari juga tidak sesuai dengan yang Deraz
baca di buku pelajaran ataupun majalah.
Ketika mendengarkan perkataan orang
lain, Deraz berusaha memilah setiap kata dan menentukan mana yang bahasa
Indonesia dan mana yang bahasa Sunda. Ia juga mencoba menghilangkan atuh, mah, teh, da, untuk mendapatkan
inti dari kalimat yang diutarakan orang. Belum lagi, beberapa orang gemar
sekali menyelipkan anjing dalam
perkataan mereka. Deraz bingung karena tidak melihat ada seekor anjing pun di
sekitar. Deraz menanyakan itu pada Ayah. Ayah malah terbahak-bahak.
“Itu juga enggak ada artinya,” kata
Ayah setelah gelaknya reda. “Orang kalau pakai anjing itu maksudnya mau ngomong kasar. Enggak baik itu. Enggak
usah ditiru.” Melihat raut Deraz yang masih kebingungan, Ayah berkata lagi,
“Deraz jangan pusing. Waktu sama Opa Buyut juga, Deraz diajarin banyak bahasa,
kan?”
Benar juga. Sewaktu baru tinggal
bersama Oma-Opa Buyut, Deraz menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Dengan Oma Buyut, ia terus menggunakan bahasa Indonesia. Lalu Opa Buyut mulai
mengajari Deraz bahasa Jerman, supaya ia bisa bercakap-cakap dengan Olga,
Günther, serta para tetangga. Dalam bahasa itu pula Opa Buyut mengajari Deraz
membaca dan menulis. Opa Buyut dan Oma Buyut sendiri sering mengobrol dalam
bahasa Belanda. Sementara itu, di perpustakaan Opa Buyut ada banyak buku cerita
anak-anak dalam bahasa Inggris dan bahasa Perancis. Dengan para sahabat
penanya, Deraz menggunakan bahasa apa pun menyesuaikan dengan bahasa mereka
dibantu oleh Opa Buyut. Semua bahasa itu
masuk begitu saja ke dalam kepala Deraz. Deraz tahu kapan harus menggunakan
tiap-tiap bahasa itu. Kenapa di sini mempelajari bahasa menjadi susah? Belum
lagi ada bahasa Arab. Walaupun Deraz semakin lancar membaca rangkaian huruf
hijaiah berkat bimbingan Pak Karman, tetapi ia tidak mengetahui sama sekali
artinya. Kata Pak Karman, yang penting sekarang Deraz bisa membacanya lebih
dulu. Mengenai artinya, nanti ketika sudah sampai di Alquran, Deraz bisa
membaca tafsir dan terjemahan.
“Kalau be-le-gug, itu apa, Ayah?”
Ayah memerhatikan Deraz memegang
catatan. Ia mengambilnya dari tangan Deraz lalu mengernyit. Beberapa kata
keliru dituliskan oleh Deraz, tetapi Ayah tidak mau repot-repot memperbaikinya.
“Ini … ini … ini …” Ayah menunjuk-nunjuk sambil mencoret dengan pensil, “… ini
semua kasar. Deraz jangan ikut-ikutan ngomong ini, ya. Kasih tahu Dean juga.”
Deraz mulai sering mengacungkan
tangan di kelas. Ketika guru memberikan pertanyaan, ia mengacung. Ketika guru
memberi kesempatan untuk bertanya, ia juga mengacung. Setibanya di rumah dari
sekolah, setelah ganti baju, makan siang, dan beristirahat sebentar sambil
membaca Bobo, ia mengerjakan PR.
Setelah makan malam, ketika Bunda duduk di ruang tengah berkutat dengan
laptopnya, Deraz bergabung untuk menanyakan soal yang sulit.
Ketika sedang sendirian di kamar,
kadang ia mengulang-ulang cara pengucapan suatu kata sebagaimana yang ia dengar
dari orang-orang. Ia mengutak-atik imbuhan, membandingkan antara penulisan dan
penggunaannya di dunia nyata. Akhiran -kan biasanya diganti dengan -in.
Bacakan—bacain. Bersihkan—bersihin. Dengarkan—dengerin. Awalan me- juga biasanya dihilangkan. Memasukkan—masukin. Menirukan—niruin. Huruf s pada awal kata kadang tidak disebutkan. Saja—aja. Sudah—udah. Belum lagi kata-kata dalam bahasa Sunda. Ia masih suka keliru
membedakan antara “eu” Sunda dan “eu” Jerman. Ia ingin berhenti menjadi bahan
omongan anak-anak.
Zara yang suka memerhatikan Deraz
berbisik-bisik pada Bunda. “Bunda, Kak Deraz ngomong sendiri!”
Bunda jadi ikut memerhatikan. “Itu
Kak Deraz lagi belajar,” kata Bunda kemudian.
Deraz juga mulai mengamati isi
ruang tengah yang berada di antara ruang tamu dan ruang TV. Sepanjang dinding
ruangan itu tertutup oleh foto, lemari, dan rak, kecuali di salah satu pojok
tempat meja memuat seperangkat komputer. Dari jajaran medali dan trofi yang terpajang
di rak, Deraz mengetahui bahwa dulu Ayah atlet balap sepeda yang sering
mengikuti tour di luar negeri. Dari
deretan buku besar dan tebal yang ada di lemari, Deraz mengetahui bahwa dulu
Bunda belajar kedokteran. Deraz mengambil salah satu buku Bunda. Beratnya tidak
kalah daripada ensiklopedia-ensiklopedia di perpustakaan Opa Buyut. Tetapi
kertasnya lebih bagus, gambar-gambarnya aneh, dan aromanya pun beda. Mungkin
itu karena buku-buku Opa Buyut berumur jauh lebih tua. Deraz mulai memerhatikan
gambar-gambar di buku Bunda. Oh, jadi seperti ini organ tubuh manusia.
Kunjungan ke rumah Oma Anna dan Opa
Andre juga mulai menarik. Oma Anna itu ibunya Bunda, anaknya Oma Buyut. Oma
Anna tampak berusia tidak jauh dari Bunda. Tetapi Opa Andre yang ayahnya Bunda
terlihat jauh lebih tua daripada istrinya, bahkan mungkin hampir setua Oma Buyut.
Tiap kali datang ke sana, Oma Anna selalu sudah menyiapkan makanan dan minuman
yang khusus dibuatnya untuk menyambut kedatangan mereka. Sementara Dean dan
Zara menemani Oma Anna menonton film India di televisi, Deraz berjalan-jalan
sendiri di rumah besar itu. Tempat yang paling menarik bagi Deraz adalah ruang
studi Opa Andre. Ruangannya luas dengan deretan lemari berisi buku-buku yang
semacam dengan milik Bunda. Dibandingkan dengan ruang studi Opa Andre, ruang
tengah rumah mereka terasa sempit dan berjejal. Opa Andre sendiri suka menyepi
di ruangan itu, membaca buku-bukunya. Deraz boleh masuk serta ikut duduk
membaca di ruangan itu, dan ia tahu diri untuk menjaga ketenangan.
“Bunda, Opa Andre itu apa pekerjaannya?” tanya Deraz suatu
kali.
“Opa Andre itu dulunya spesialis
bedah tulang,” kata Bunda.
“Oh, bedah …. Dokter, ya?”
“Iya.”
“Bunda juga dokter?” Deraz
mengingat buku-buku yang sama milik keduanya.
“Iya. Tapi sekarang Bunda jadi
pengajar dan peneliti.”
“Oh.”
Opa, sekarang Deraz punya begitu
banyak hal untuk dituliskan di jurnal!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar