Saat demonstrasi ekskul, anak-anak OSIS tampil dengan begitu
meyakinkan. Kesannya seolah-olah merekalah yang paling berkuasa di sekolah,
paling megang! OSIS di SMA akan
sangat berbeda dari OSIS di SMP, pikir Deraz. Ia merasa tertantang. Memang
seleksinya tidak mudah. Tetapi ia melalui semua tahapannya dengan bersemangat.
Ketika dalam tes wawancara ia ditanya jabatan apakah yang diinginkannya, dengan
mantap ia menjawab ingin menjadi ketua, seperti sewaktu di SMP. Ketika dalam
tes mental ia diserang beramai-ramai, semuanya dibikin tersadar bahwa ia
juaranya mengotot. Para senior memandangnya sebagai unggulan. Malah setelah
para anggota OSIS yang baru terpilih, Mitratama berkata, “Kalian tuh kompak
dari awal. Kompak kacrutnya. Tapi masak yang lolos cuma Deraz? Jadi aja kalian
juga dilolosin.”
“Wooo …!” Anak-anak bersorak.
Tentu saja Mitratama cuma bercanda.
Tetapi para senior memang menjadikan Deraz anak emas, alias yang paling banyak
diberi tugas.
Deraz terkejut ketika menyalakan
komputer di sekretariat OSIS untuk pertama kali. Pada desktop terpampang foto dirinya. Entah siapa yang mengambil foto
itu, tetapi kameranya pasti sangat bagus. Foto itu diambil dari jarak jauh
tanpa disadari Deraz dan kualitasnya tajam. Deraz sedang duduk menyamping,
beristirahat di sela latihan sepak bola. Ia mengenakan celana yang
memperlihatkan hampir seluruh pahanya, yang sebetulnya milik Dean karena pagi
itu entah di mana celana olahraganya yang biasa. Kulitnya agak terbakar karena
matahari sore itu masih panas, sedang pipinya kemerahan.
“Dibilang juga, ganti fotonya!”
suara seorang senior cowok dilatari cekikikan.
“Aw, aw, ketahuan deh!” sahut
seorang senior cewek namun nadanya tidak sungguh peduli.
“Deraz, katanya kamu seksi tapi cute kalau habis olahraga!”
Deraz tidak tahu bahwa sekretariat
OSIS merangkap sarang Deraz Fans Club. Di komputer itu ada satu folder yang
menampung foto Deraz yang diambil oleh banyak orang dalam berbagai kesempatan,
dari mulai milik pribadi sampai dokumen panitia MOS, oprec KOMBAS, dan acara-acara lainnya yang ia ikuti. Kelak Deraz
akan menemukan sendiri folder itu ketika sedang mencari arsip. Judulnya:
AHTTT—Arderaz Haekal Tampan Tiada Tara. Ukurannya hampir satu gigabita dan
isinya puluhan foto.
“Cewek-cewek OSIS pada fetish ke kamu, Raz,” kata senior cowok.
“Naon sih fetish-fetish?”
timpal senior cewek.
“Kayaknya itu sejenis kupat tahu
deh,” malah Jati yang menyahut.
Deraz tidak tahu bagaimana
menanggapi celotehan anak-anak OSIS. Yang bisa ia lakukan hanyalah berfokus
pada tugas yang diberikan oleh senior dan menyelesaikannya dengan
sebaik-baiknya, menunjukkan kemampuannya.
Kadang ia beradu mulut dengan
senior. Kadang ia membuat cewek-cewek seangkatannya menangis. Kadang ia
memperbaiki templat arsip-arsip di komputer yang tidak sesuai dengan EyD dan
KBBI serta penuh kalimat tidak efektif. Kadang ia mengubah foto dirinya di desktop menjadi gambar padang pasir,
tetapi ketika kali berikutnya ia hendak menyalakan komputer lagi, kembali
muncul foto dirinya yang lain lagi. Ia aktif memeriksa keadaan, menunjukkan
kesalahan, memberikan arahan, mencari bantuan, hingga memecahkan persoalan.
Para senior menaruh respek padanya. Yang seangkatan memendam segan padanya.
Ketika harus memilih siapa yang mendampingi Deraz dalam suatu tugas, mereka
saling tunjuk.
“Suit aja deh!”
“Suit apaan?”
“Suit ora jamu!”
“Ih, bukan, maksudnya suit jepang
atau suit lokal?!”
Mereka lalu melakukan suit.
“Dji sam suit dua tilu, Jaka
Sembung mawa palu!”
“Kamu, Jat!”
“Ah, teu kaci! Ulang deui!”
“Lama amat!” Deraz keburu kesal.
Di antara anak-anak OSIS satu angkatan, yang dekat dengan
Deraz hanya teman-temannya satu band
yang notabene satu kelas. Anak-anak yang lain bukannya tidak mencoba
mengakrabkan diri dengan Deraz. Cowok-cowok OSIS sendiri yang seangkatan dengan
Deraz punya program “kunjungan keakraban” ke rumah satu sama lain, yang pada
akhirnya menyerupai acara Room Raiders di
MTV. Tetapi Deraz memang berbeda. Ketika anak-anak pada main ke kamar salah
seorang dari mereka, menemukan DVD mencurigakan, dan menontonnya dalam senyap,
Deraz menepi ke sudut kamar dan larut dalam hasil temuannya sendiri yang berupa
tabloid Bola.
Lalu tiba giliran berkunjung ke
rumah Deraz, yang berbagi kamar berbentuk sudut siku-siku dengan Dean. Deraz
sudah memberi tahu anak-anak bahwa sisinya yang sebelah sini, yang mulai dari tempat tidur sampai meja belajar tertata
rapi, yang lemarinya berisi koleksi majalah National
Geographic Indonesia sejak nomor pertama, novel-novel tebal tentang hukum,
kloning, dan spionase, sampai deretan CD dengan nama-nama musisi yang tidak
terkenal. Kalaupun ada barang yang sangat mencolok, paling-paling sepasang
gitar—akustik dan elektrik—yang bersandar gaya di samping tempat tidur.
Anak-anak lebih ingin percaya bahwa wilayah Deraz yang sebelah sana, yang dari balik gumpalan selimut
di tempat tidur menyembul tabloid bergambar wanita berbikini. Anak-anak bahkan
memfitnah bahwa Deraz hendak memfitnah saudara kembarnya dengan menyimpan
tabloid itu di sana supaya tidak
dikira punyanya.
Ketika tahu kakek Buyut Deraz orang Jerman, serta-merta anak-anak
mengaitkan dia dengan Hitler. Mereka menemukan pasfoto Deraz dari tumpukan
formulir pendaftaran pengurus OSIS, lalu menggambar persegi panjang hitam kecil
di bawah hidungnya berikut rambut tambahan. Sayang, yang menggambar tidak tahu
proporsi sehingga mula-mula rambut tambahan itu terlihat bergaya emo dan setelah sedikit polesan menjadi
lebih menyerupai helm. Nama belakang Deraz yang berawalan huruf H ditimpa
spidol hitam sehingga yang terbaca menjadi Hitler.
Foto hasil modifikasi itu kemudian dipampang di papan komunikasi sekretariat
OSIS. Deraz cuma mengernyit mendapatinya, dan berusaha tidak ambil pusing.
Walau dalam hatinya tebersit bahwa seandainya ia menjadi Hitler, orang yang
melakukan itu akan dijebloskannya ke kamp konsentrasi.
Adakalanya Deraz kelepasan membalas ocehan anak-anak. Saat itu siang
sepulang sekolah. Seperti biasa, Deraz mampir dulu ke Griya di dekat sekolah,
menarik uang dari ATM, dan berbelanja makan siang. Ia duduk menyendiri di sisi
sekretariat OSIS, sementara anak-anak lain pada memesan soto. Selagi ia melahap
apel Washington jumbo yang sudah dicucinya dengan air Aqua, cewek-cewek
menegur, “Deraz, meni enggak
bagi-bagi ih!” Seiring dengan kebersamaan mereka di OSIS, anak-anak memang
mulai berani pada Deraz.
“Kalian kan bisa makan apa aja,” sahut Deraz jengkel. Anak-anak selalu
mencampuri urusannya, kali ini biarkanlah ia makan dengan tenang!
Cewek-cewek pada menanggapi dengan galak.
“Dikira ayam apa, segala dimakan!”
“Deraz sok Eropa!”
“Sok bule!”
“Makan aja pakai buah impor sama roti!”
“Enggak makan soto, enggak nasionalis!” Jati mulai mengompori.
“Kalian kenapa tiba-tiba jadi sok nasionalis gitu sih? Biasa juga denger
Westlife, Backstreet Boys, …” Ipong mencoba membela anak buahnya di band.
Namun yang dibela rupanya masih dapat membela dirinya sendiri. “Mungkin
kalian yang mentalnya masih inlander,” Deraz menyahut dengan culas.
Anak-anak terperanjat.
“Eh, jangan-jangan menurut Deraz, OSIS itu singkatan dari Organisasi Siswa
Inlander Selonongan, lagi,” fitnah Soraya, “dan dia masuk ke sini untuk
memengaruhi kita supaya mau kerja rodi!”
Cowok-cowok tersulut. “Whoaaa, mau ngajak Agresi Militer ketiga nih. Mana
bambu runcing kita?!”
Deraz melengos. Ia sudah malas menanggapi. Ia sudah bukan lagi anak SD
yang emosinya mudah tersulut. Apalagi di debat ia belajar bahwa perselisihan
tidak mesti diselesaikan dengan baku hantam. Ia bisa menggunakan retorika.
Namun memikirkan kata-kata untuk membalas anak-anak itu hanya akan membuang
energi dan waktu.
“Kalian teh jangan moyokin Deraz terus atuh. Watir, ari kalian.
Gitu-gitu dia juga manusia, punya rasa punya hati,” Bram menunjukkan
solidaritasnya sebagai sesama personel band
Ipong.
“Habis, gayanya udah kayak Daendels aja! Bentar lagi kita disuruh bangun
jalan, lagi.”
“Oi, oi, orangnya masih di sini, woi,” Ipong mengingatkan.
“Mungkin masalahnya ada di kalian, guys.
Kalau sama kita mah dia baik-baik aja kok,” Yoga menambahkan.
“Makanya kalian jangan suka minta-minta bekel dia. Udah punya soto, minta
apel. Kan enggak matching. Habis soto
tuh pencuci mulutnya pisang susu atau jeruk keprok,” Adip melengkapi.
“Lu kira di undangan, Dip!”
Sejak itu Deraz dan kawan-kawannya sesama personal band Ipong disebut geng boyband
atas kekompakan mereka mulai dari kelas X-1, KOMBAS, sampai OSIS.
Baru semester pertama
di SMANSON, Deraz sudah diwawancara oleh Lembaga Pers SMANSON atau LEMPERs.
Dalam daftar pertanyaan, tentu saja ada titipan cewek sejuta umat, yang dijawab
Deraz dengan raut datar, “Saya enggak pacaran.”
Reaksi orang-orang yang membaca hasil wawancara tersebut dalam majalah
sekolah, “Percuma aja ganteng, enggak bisa dipacarin.” Ada yang mengatakan
bahwa Deraz itu diam-diam homo. Ada yang berhusnuzan bahwa Deraz itu masih
polos saja. Anak-anak seangkatan di OSIS berpendapat bahwa Deraz itu tidak
punya perasaan.
“Karena dia itu cicitnya Hitler.”
“Daendels.”
“Robot alien.”
“Anak ganteng sia-sia.”
“Kalian teh jangan nge-bully Deraz terus atuh,” kadang senior yang membela Deraz ketika anak-anak seangkatan
pada beringas membicarakannya, padahal orangnya ada di ruangan, “Kasihan,
mentang-mentang tampan.”
“Dia kan enggak minta dilahirkan tampan. Hormati atuh ketampanan dia,” senior lain menimpali.
Yang bisa Deraz lakukan saat mendengar percakapan semacam ini hanyalah
berlagak bak anjing lalu ketika ada kafilah menggonggongi. Pada saat-saat
seperti ini ia menjadi tidak sabar menunggu waktu latihan kickboxing di gelanggang.
Asumsi terus berkembang. Jati berpendapat, “Sebenarnya Deraz itu sedang
berlaku adil. Dia tahu banyak cewek yang suka sama dia. Biar adil, enggak ada
yang dia pacarin. Biar enggak pada cemburuan.”
“Oooh ….”
Sebetulnya sungguh mati mereka jadi penasaran. Jangankan berpacaran,
pernahkah Deraz menaruh perasaan pada seorang cewek? Perasaan yang bukan sebal
atas ketidakbecusan, tentunya, terhadap cewek-cewek OSIS. Masak tidak pernah
sama sekali?
Sampai suatu ketika mereka sedang duduk-duduk di depan sekretariat OSIS.
Saat itu ada Dean juga, yang memang senang menongkrong dengan siapa saja di
mana saja. Di pinggir Deraz sedang serius membaca manga Monster karya Naoki Urasawa yang dibawakan Alf, sampai tidak sadar Adip
mengambil dompet yang menyembul di saku celananya. Adip membuka dompet itu dan
langsung mendapati ada foto Deraz dirangkul seorang perempuan berbusana Lolita.
“Deraz punya cewek!” serunya.
Anak-anak langsung pada heboh ingin melihat.
“Njir, geulis nya. Putih.
Rambutnya panjang. Kayaknya rada lebih jangkung daripada si Deraz, nya? Model, kitu?”
Deraz yang tersadar berusaha mengambil kembali miliknya, tetapi hanya
mendapatkan dompet. Anak-anak menghalanginya dengan sengit ketika ia berusaha
merebut foto itu, yang kemudian sampai pada Dean.
“Deraz, foto ini ada di kamu?” ucap Dean. “Kirain teh ke mana ….”
“Foto saha, eta, Yan?” tanya anak-anak
penasaran.
“Foto urang.”
Anak-anak terperanjat.
“Basa SMP diajakan cosplay jeung barudak milu festival Jejepangan,” terang
Dean.
Mereka mengamati lagi foto itu sembari membandingkan dengan Dean yang
sedang merapikan poni lemparnya dengan centil. Ketika dilihat lagi dengan
saksama, “cewek” yang merangkul itu memang wajahnya agak kelaki-lakian dan
mirip Deraz walaupun tidak sama, juga di lehernya ada tonjolan. Dean
mengacungkan dua jari sambil tersenyum lebar, sementara Deraz mendelik dengan
bibir mengatup seperti yang sedang mengejan. Foto itu diambil di SMP sebelum
Dean dan rombongannya berangkat ke festival, sedang Deraz sedang ada kegiatan
OSIS.
“Rokna kependekan di urang. Untung paha urang mulus keneh,” Dean
terus mencerocos menceritakan pengalaman tersebut.
Deraz berhasil mengambil kembali foto itu dan memasukkannya ke dompet.
Sementara itu, Adip yang belum puas ganti mencomot dompet Dean. Di dalamnya ada
banyak foto. Setelah menyisihkan foto Dean yang sedang bersama teman-temannya
atau keluarganya, ia menemukan foto seorang cewek yang sendiri. “Wuih, ada foto
ceweknya!” ia mengumumkan. Cowok-cowok lain pada melongok.
“Cewek beneran ini mah kayaknya.”
“Asli, geulis pisan.”
“Tapi kayak yang jadul, yah?”
“Foto saha, eta, Yan?” tanya anak-anak
penasaran.
Dean mengambil foto itu. “Ibu urang.”
Anak-anak mengernyit.
“Eh, urang nemu foto hiji deui!”
“Ningali, ningali ….”
Cewek yang satu ini jauh lebih cantik. Wajahnya seperti bule. Matanya
besar berseri, bulu matanya lentik, hidungnya mancung, bibirnya sedikit terbuka
mengulas senyum menawan, dagunya lancip, dan rambutnya lurus tidak hitam amat
dihiasi pita. Namun foto itu sepertinya berusia lebih tua. Jika foto sebelumnya
berwarna namun bernuansa sepia, foto
yang satu ini hitam putih.
“Foto saha, eta, Yan?” tanya anak-anak
penasaran.
Dean menengok. “Nona Anna,” ucapnya, dengan senyum seorang pemuda yang
siap mengajak gadis dalam foto itu kawin lari kapan saja.
Seketika Nona Anna menjelma hidup dalam benak mereka, dengan gaun panjang,
sarung tangan sutra, topi lebar berpita, dan payung besar berenda.
Nona Anna … Nona Anna ….
Engkau membuat semua pria
Tertarik lagi terpesona
Padamu, padamu ….[1]
Ia berlenggak-lenggok dan mengedipkan mata pada mereka.
“Jangan bilang …” ujar Ipong, yang sengaja tidak dituntaskannya, karena
Dean telah melanjutkan, “Sayang, geus jadi
nini urang,” sembari mengambil foto
itu dengan jari tengah dan telunjuk.
Anak-anak memandangi si kembar bergantian. Yang satu menyimpan foto ibu
dan neneknya ketika muda, yang lain menyimpan foto saudara kembarnya yang
didandani serupa perempuan.
“Eh, Yan, Deraz pernah ngeceng cewek enggak sih?” karena kalau ditanyakan
langsung pada orangnya yang masih ada di situ tentu dijawab dengan gelengan.
“Cewek tulen, maksudnya.”
“Hehe … enggak tahu atuh,” jawab
Dean terus terang. Yang ia tahu cuma memang ada beberapa cewek yang pernah
nekat menembak Deraz dalam tahun-tahun belakangan ini, tetapi tidak ada satu
pun yang ditanggapi. Semua cokelat perolehannya pada hari valentine Deraz
berikan pada Dean.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar