Di English Club, Deraz mengenal Renata. Cewek itu bertubuh
kecil dan berambut pendek keriting. Usianya sama dengan Deraz. Tetapi Renata
satu tingkat di atasnya. Renata andalan sekolah untuk lomba debat dan pidato,
baik berbahasa Indonesia maupun berbahasa Inggris.
Deraz tertarik untuk mengikuti
lomba-lomba seperti Renata. Bahasa Inggris Deraz relatif paling lancar
dibandingkan dengan anak-anak baru lainnya di English Club. Ditambah keaktifan
dan keberaniannya, ia lolos seleksi untuk mewakili sekolah dalam mengikuti
lomba. Namun memang berbicara dalam jangka waktu tertentu di depan banyak orang
secara terstruktur tidak semudah mengegolkan bola. Ketika latihan, rasanya
mending. Tetapi dalam lomba yang sebenarnya, ketika melihat para pesaing yang
tampak percaya diri, Deraz merasa sangat tegang. Ia mulai berbekal saputangan
Opa Buyut di saku celana seragamnya. Saputangan itu berguna untuk mengelap
keringatnya yang banyak menitik saat ia gugup.
Apalagi, begitu lomba usai, tanpa
tedeng aling-aling Renata mencecarnya.
“Don’t look at your note too often!”
“You moved your hands like you were dancing!”
“Don’t speak another language while you are nervous!”
“You spoke like your bladder was bursting!”
Awalnya Deraz kaget ketika
dikata-katai begitu oleh Renata. Rasanya ia ingin menonjok mulut cewek itu.
Tetapi yang dikatakan cewek itu memang benar. Deraz bertambah kaget karena
ternyata Renata merekam penampilannya dengan handycam. Entahkah itu lomba debat atau pidato, Renata selalu
membawa handycam dan meminta teman
atau guru pembina merekamkan penampilannya. Ketika ia sendiri sedang tidak
tampil, ia merekam penampilan orang lain.
Tiap selesai lomba, Renata suka
mengajak Deraz ke McDonald’s atau KFC. “It’s
my guilty pleasure,” aku Renata sembari melahap ayam goreng.
Saat itu Deraz sedang mencoba menu
yang sama. Rasanya enak juga.
“They fry this with black oil.”
“Black oil?”
“I mean, waste cooking oil.
Minyak jelantah, yang udah dipakai berkali-kali sampai hitam.”
Deraz menyeringai. Ia jadi merasa
mual dan tidak ingin meneruskan makan.
Renata tertawa. “Enggak tahu, deng.
But it’s definitely junk food. I am glad
I don’t have to participate in speech competition every single day.”
“Yeah, I would definitely die by dehydration,” sahut Deraz,
mengingat keringatnya yang terkuras saat lomba tidak kalah banyak daripada
ketika ia bermain bola.
Sembari mengudap, mereka membahas
lomba yang baru lalu dengan melihat hasil rekaman di handycam, baik penampilan mereka sendiri maupun penampilan orang
lain, sampai sedetail-detailnya.
Renata senang sekali mengoreksi
pengucapan bahasa Inggris Deraz yang masih sering keliru.
“Di-tur-min, not de-ter-main!”
“I know!”
“Then why did you still mispronounce it?!”
“I was too nervous!”
Mereka bisa menghabiskan waktu
hanya untuk mengulang-ulang cara yang benar dalam mengucapkan suatu kata serta
memberi tekanan pada tiap-tiap sukunya. Agaknya Renata berambisi sekali untuk
bisa mengucapkan bahasa Inggris sesempurna penutur asli. Deraz ketularan.
Ketika Deraz sudah dibelikan kamus
elektronik Alfalink oleh Bunda, ganti ia yang menunjukkan pada Renata
kesalahannya.
“Eks-pur-tiz, not eks-per-tais!” ucap Deraz sembari menyalakan kamusnya. Lalu
terdengar suara dari alat itu mengucapkan kata tersebut dengan
sebenar-benarnya.
“Fine, you’re right!” sahut Renata sembari melipat lengan dan
memutar mata.
Renata juga suka mengajak Deraz
untuk berlatih di rumahnya. Ia punya abang yang langganan juara debat. Ketika
abangnya ada di rumah, ia meminta bantuannya untuk melatih mereka. Kalaupun
abang Renata tidak ada, Deraz suka memerhatikan benda-benda yang dipajang di
ruang tamu rumah itu. Keluarga Renata pengumpul trofi seperti Ayah dan Bunda.
Sembari menemani Deraz melihat-lihat, Renata berkata, “My dream is to participate in WSDC.”
“What’s that?”
“World Schools Debating Championship. My brother just participated in
WSDC in Singapore.” Renata menunjuk foto abangnya berfoto bersama para
delegasi Indonesia lain. “And then I want
to be an ambassador or a minister.”
“Cool.”
“What’s your dream?”
Deraz termenung. Ia teringat pada
Bunda, yang membawanya pada Opa Andre dan Opa Buyut. “A doctor,” akhirnya ia berucap.
“I want to study medicine in Germany
and be a doctor,” ulangnya mantap.
“You can join WHO.”
“Huh?”
“World Health Organization? United
Nations? Dream big.” Renata tersenyum.
“Right,” sahut Deraz, walau belum hendak memutuskan. Ia belum pernah
berpikir sampai sejauh itu. Ia jadi ingin merancang cita-citanya sedetail
mungkin sedari sekarang.
Renata jadi tahu bahwa Deraz juga
punya guilty pleasure ketika anjing
pomeranian peliharaannya keluar. Awalnya anjing itu bersikap galak pada Deraz.
Kontan Renata menyuruh Pam-pam masuk. Namun, seiring dengan kerapnya kedatangan
Deraz ke rumah, Pam-pam menjadi jinak. Ketika Deraz masuk ke ruang tamu, anjing
itu menyambut dan berputar-putar di dekat kakinya. Deraz tidak tahan ingin
menyentuh Pam-pam. Tetapi ia sudah tahu bahwa kalau menyentuh anjing, ia harus
mencucinya tujuh kali yang salah satunya dengan tanah. Walau begitu, terlihat
jelas oleh Renata sikap Deraz yang takut-takut tetapi mau ketika berhadapan
dengan Pam-pam. Malah Deraz pernah sekali kelepasan membelai anjing itu.
Setelahnya Renata heran melihat Deraz mengorek-ngorek tanah di halaman.
Renata juga berterus terang pada
Deraz bahwa makanan di rumahnya bercampur dengan babi. Kalau Deraz mau, ia bisa
membeli makanan dari penjual keliling. Deraz pun mafhum untuk membawa bekal
sendiri ketika mengunjungi rumah Renata.
Deraz tidak mengerti sebabnya
anjing dan babi senajis itu. Rumah Renata sendiri tampak bersih dan rapi. Deraz
terus memikirkan, kalau jadi kuliah di Jerman nanti dan berkesempatan untuk mengunjungi
Bruno lagi, bagaimanakah ia mesti memperlakukan anjing itu? Ia rindu memeluk
Bruno, tetapi konsekuensinya mungkin ia harus mandi lumpur. Bagaimanapun,
sepeninggal Pak Karman, Deraz ingin terus mengamalkan ajarannya. Seakan-akan
dengan begitu ia menjaga Pak Karman tetap hidup dalam kesehariannya. Ketika
azan terdengar, ia meminta izin pada Renata untuk salat dulu di masjid
terdekat. Renata sendiri religius. Tiap sebelum lomba, ia mengajak untuk berdoa
dulu menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Deraz mengangkat kedua belah
tangannya sedang Renata mengaitkan buku-buku jemarinya. Mereka sama-sama
menunduk dan memejamkan mata.
Ketika tahun ajaran berganti,
Renata memberi tahu Deraz bahwa abangnya tidak bisa melatih mereka lagi. “He’s in Germany now. He’s got accepted by
AFS.” Renata mengajak Deraz masuk ke ruang keluarga dan menyalakan
komputer. Ia membuka kotak surel dan memperlihatkan foto-foto kiriman abangnya.
Salah satu foto menampakkan abang Renata berlatarkan jembatan yang bentuknya
menyerupai gelombang putih. Di bawah jembatan itu mengalir Sungai Rhine. Deraz
ingat pernah dibawa ke tempat itu ketika mengunjungi kerabat Opa Buyut,
bertahun-tahun yang lampau.
“What’s AFS?”
“It’s a student exchange program in high school. I consider to join, too.”
High school? Kalau begitu, ia tidak harus
menunggu sampai kuliah untuk bisa kembali ke Jerman. Ia bisa kembali lebih
cepat untuk menemui Bruno!
“I can’t wait to be in high school,” gumam Deraz. Ia seakan-akan
mendengar Bruno menggonggong di kejauhan, menunggunya datang. Jarak mereka
terbentang begitu jauh. Namun, seiring dengan berlalunya waktu, jarak itu mulai
mendekat. Deraz menghitung-hitung. Dalam empat tahun, Bruno akan berada di
pelukannya lagi. Walaupun ia harus mandi lumpur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar