Dean pulih dengan cepat, apalagi Bunda getol merawat lukanya.
Dean malah memanfaatkan keadaannya itu supaya tidak usah menulis.
“Dean, coba kerjain soal ini,” kata
Pak Guru sambil mengetuk papan tulis dengan pantat spidol.
“Tangan aku masih sakit, Pak,”
sahut Dean sambil memamerkan plester panjang di lengannya.
Pak Guru mengernyit, tetapi
akhirnya menunjuk anak lain.
Pada pelajaran lain, Bu Guru
menegur, “Dean, kok ulangannya enggak dikerjain?”
“Tangan aku masih sakit, Bu.”
“Pelan-pelan aja. Kalau enggak
dikerjain ulangannya sekarang, nanti harus susulan.”
“Susulan aja enggak apa-apa, Bu.
Tapi soalnya yang sama, ya, Bu.”
“Ya, enggak dong.”
Dean memanyunkan bibir, tetapi mau
tidak mau menulis juga walau terpatah-patah.
Deraz memendam perasaan tidak enak
pada Dean. Ia ingin berbuat sesuatu pada saudara kembarnya itu, tetapi apa?
Sepertinya Dean tidak butuh apa-apa dari dirinya.
Hingga tiba lagi pelajaran
Olahraga. Pak Guru menyisakan waktu di ujung pelajaran supaya anak-anak dapat
bermain bola. Sebenarnya anak-anak ingin menyambut kesempatan ini dengan
sukaria, tetapi mereka rikuh pada Deraz yang tahu-tahu sudah memegang bola.
“Ayo main!” ucapnya dengan nada yang membikin anak-anak mau bermain lebih
karena disuruh olehnya daripada atas keinginan sendiri. Karena Pak Guru
tahu-tahu menghilang, maka tidak semua anak lelaki maju ke lapangan. Yang tidak
mau bermain duduk-duduk saja di pinggir. Sementara itu anak-anak perempuan
mencari tempat lain untuk bermain bola dengan sesamanya.
Dean termasuk anak yang duduk-duduk
saja di pinggir.
“Kenapa kamu tidak ikut?” tegur
Deraz sementara anak-anak lain sudah pada bersiap di posisi pilihan
masing-masing.
“Enggak, aku mah di sini aja,” ujar
Dean.
“Kamu harus ikut supaya kamu pintar
main bola,” sahut Deraz.
Dengan berat, Dean mengangkat kaki.
Seperti biasa, ia menuju ke gawang. Anak yang tadinya sudah menempati gawang
pun mencari posisi sebagai bek.
Tetapi Deraz teriak lagi. “Tangan
kamu kan masih sakit! Masak mau jadi kiper?”
Dean menyeringai. Anak-anak di
dekatnya pada berbisik, “Jug lah, ambeh
gancang! Bisi keburu ganti
pelajaran.”
Tetapi sebagian anak punya pendapat
lain. “Dean kan amfibi!” kata mereka.
Mereka anak-anak yang dulu pernah
mengalami bermain bola bersama Dean sebelum memutuskan bahwa anak itu sebaiknya
tidak turun sama sekali, atau jika terpaksa menjadi kiper saja. Saat itu
sekolah sudah usai. Sembari menunggu jemputan masing-masing, mereka menyeberang
ke taman di depan sekolah untuk bermain. Baru sekali itu mereka hendak bermain
bola di sana. Biasanya mereka bermain yang lain.
Saat itu Dean masih dijemput
ayahnya, belum ikut mobil khusus bersama anak-anak lain. Ayah Dean lalu datang
dan mendapati anaknya penuh lecet dan memar. “Kamu kenapa? Ada yang mukul?
Siapa?” tanya Ayah Dean. Suaranya galak dan badannya tinggi besar seperti
raksasa.
“Habis main bola, Ayah,” kata Dean.
“Masak main bola sampai gini?”
“Tadi Dean jatuh melulu, Ayah.”
Sedikit-sedikit ia terinjak, tersandung, tersenggol, tertendang, sudah seperti
bola itu sendiri saja.
“Bener? Bukan kelahi?”
Ayah Dean menatap anak-anak yang
memandangnya takut-takut.
Untung tahu-tahu ada Om Pedo. Entah
siapa yang awalnya menyebut lelaki bertopi dan bertas selempang itu Om Pedo,
anak-anak cuma mengikuti dan tidak tahu sebabnya orang tersebut dipanggil
begitu. Mereka biasanya ditakut-takuti ketika hendak ke taman, “Awas, entar ada
Om Pedo lo.” Tetapi mereka tidak peduli. Mereka memang mendapati lelaki itu,
tetapi biasanya ia berada di kejauhan. Mereka baru meninggalkan taman ketika
menyadari bahwa Om Pedo tengah memegang sesuatu di bawah perutnya.
“Itu Om Pedo!” teriak salah seorang
anak.
Ayah Dean kontan menoleh. Om Pedo
cepat-cepat menutup ritsleting celananya dan berlari. “Hei!” teriak Ayah Dean.
Ia mengejar lelaki itu. Tetapi Om Pedo sudah keburu menyeberang dan jalan
tertutup oleh arus kendaraan. Begitu Ayah Dean kembali, ia menegaskan kepada
anak-anak, “Orang itu bahaya. Kalian jangan main di sini lagi!”
“Iya, Om.” Anak-anak mengkeret,
walau mereka tahu bahwa Om Pedo cuma beraksi ketika ada Dean.
Tetapi Deraz tidak tahu soal itu.
Ada berbagai hal tentang Dean yang Deraz belum tahu tetapi mereka tahu karena
telah menghabiskan lebih banyak waktu bersama dia. “Kalian tidak boleh menyebut
orang seperti hewan!” tandas Deraz. Sosoknya benar-benar menyerupai versi kecil
Ayah Dean, walau tubuhnya sama sekali tidak kecil. Anak-anak menjadi tidak
berkutik.
Seorang anak membisiki Dean, “Kamu
diem aja. Enggak usah ikut lari-lari.”
“Iya, tahu,” ujar Dean. Ia pun
bertukar posisi dengan anak yang tadi mau menjadi bek.
Deraz sudah menyiapkan koin.
“Kepala,” ucapnya pada kapten tim lawan.
“Iya,” sahut kapten tim lawan,
pasrah.
Deraz melempar koin seperti cara
Pak Guru. Permainan dimulai.
Seperti yang sudah diutarakan, Dean
berdiri saja di pinggir lapangan memandangi yang mondar-mandir berebutan bola.
Melihat Dean diam saja dengan kedua belah tangan masuk ke saku celana, Deraz
mengoper bola pada saudaranya. Bola meluncur pada Dean tetapi tidak ada seorang
pun yang berani mendekati. Dean menjangkau bola yang hampir ke luar lapangan
itu dengan sebelah kaki, lalu mengembalikannya pada anak-anak dengan tendangan
pelan.
Setelah beberapa kali kejadian
serupa terulang, Deraz merasa ada yang tidak beres. “Dean, kamu ke tengah!”
Anak-anak menarik napas.
“Enggak, aku mah udah enak di
sini,” kata Dean.
“Kamu harus ikut kejar bola!”
Dean berpandangan dengan
teman-temannya. Ia pun maju. “Main biasa aja,” ucapnya pelan, namun terdengar
oleh mereka.
Permainan dimulai lagi. Tiap kali
bola berada di kakinya, Deraz mencoba memberi umpan pada Dean. Ada saja lawan
yang menangkap umpan tersebut, walau berhasil diambil kembali oleh tim Deraz.
Kali ini Deraz sudah tahu untuk memberi kesempatan kepada anak-anak lain.
Tetapi Dean tidak kunjung mendapatkannya, lebih karena kepasifan anak itu
sendiri.
Suatu kali bola meluncur bebas ke
kaki Dean. Anak-anak seketika terdiam di tempatnya masing-masing. Dari sayap
seberang dekat gawang lawan, Deraz memberi isyarat sekaligus semangat kepada
Dean untuk menggiring bola itu. Kaki Dean memantul-mantul pada bola dengan
gelisah, sebelum beranjak maju. Anak-anak tim lawan tahu harus mengadang Dean,
tetapi mereka ragu-ragu tiap kali mau mendekat. Seorang anak akhirnya berhasil
mencuri bola dari Dean. Lagi pula pertahanan Dean lemah.
Deraz tidak menyerah. Ia meneriaki
Dean, tiap kali saudaranya itu mulai menepi lagi. Ia memanggil Dean, tiap kali
hendak mengoper bola pada saudaranya itu. Mau tidak mau Dean mondar-mandir.
Anak-anak pun perlahan mulai agresif padanya. Ketika bola meluncur bebas lagi
pada Dean yang sedang terbuka di salah satu sayap, anak-anak seketika menyerbu
ke arahnya. Dean menjadi panik dan buru-buru berusaha menggiring bola ke mana
pun ia bisa. Deraz merasa puas melihat kaki Dean mulai lincah membawa bola.
Dean ternyata bisa. Anak-anak itu saja yang tidak mau memberi Dean kesempatan.
Permainan mulai berlangsung lancar,
tidak lagi tersendat oleh anak-anak yang ragu menyerang Dean. Saudaranya itu
juga mulai aktif mengejar bola. Udara semakin panas.
Hingga suatu ketika Deraz mendapat
bola dan hendak mengumpan lagi kepada Dean. Tetapi ia mendapati di seberang
lapangan anak itu tengah membungkuk. Anak-anak mendekati saudaranya. “Duduk
dulu, Dean,” ada yang berkata. Terdengar batuk-batuk. Ketika Deraz menyibak
kerumuman anak-anak, Dean tengah berguling di lapangan sambil memegangi dadanya.
Mulutnya megap-megap seperti ikan yang terkapar di daratan. Napasnya berbunyi
seakan-akan ada yang menduduki dadanya itu sambil mencekik lehernya. Sontak
Deraz berkeringat dingin.
Tahu-tahu Pak Satpam masuk lagi,
ditarik seorang anak. “Aduh, kenapa lagi ini?” Ia membopong Dean dan
tergopoh-gopoh membawanya ke ruang UKS diikuti anak-anak. Deraz tentu saja
serta. Pak Satpam merebahkan Dean pada tempat tidur. Guru yang hari itu
bertugas di ruang UKS sama pula dengan yang menangani Dean ketika lengannya
sobek. Tetapi kali ini tampaknya ia sudah tahu yang mesti dilakukan. “Ambil
inhalernya!” perintah guru itu. Beberapa anak segera berlari ke luar ruangan.
Deraz sendiri terdiam di tepi
ranjang, memandangi Dean yang seperti orang mau mati. Kedua kaki Dean
bergantian melipat naik-turun, sementara kedua tangannya mencengkeram dan
mengacak-acak seprai. Dadanya kembang-kempis kepayahan mengambil udara
diselingi batuk-batuk. Wajahnya merah sampai ke leher. Seketika itu juga Deraz
mendapat perasaan bahwa ia bisa kehilangan Dean kapan saja, setelah Oma Buyut,
Opa Buyut ….
Bu Guru duduk di tepi ranjang dan
mengangkat kepala Dean ke pelukannya. Dahi Dean penuh titik keringat. Matanya
setengah terkatup. Walau dadanya masih memompa disertai bunyi seret, tetapi ia
seolah-olah sudah tidak sadar. Anak-anak muncul membawakan ransel Dean. “Aduh,
kok sama ransel-ranselnya. Coba cari di kantong depan!” Anak-anak menurut lalu
menyerahkan benda yang dimaksud kepada Bu Guru. Alat itu dimasukkan ke mulut
Dean yang terbuka. Sebentar kemudian
mata Dean menutup. Gerakan dadanya berangsur-angsur mereda. Bu Guru
mengusap-usap kepalanya.
“Udah, udah, pada balik ke kelas.
Udah ganti pelajaran, kan?”
Anak-anak menurut. Cuma Deraz yang
bergeming.
“Deraz, kamu enggak ke kelas?”
“Saya mau menemani Dean, Bu,” ucap
Deraz.
“Nanti kamu ketinggalan pelajaran.”
“Saya mau di sini saja.” Deraz
duduk di kursi dan memasang pose seakan-akan ia sudah menyatu dengan benda itu.
Tampaknya Dean tertidur. Ketika
napasnya sudah tenang dan teratur, Bu Guru mencopot inhaler dari mulutnya dan
melepas anak itu pelan-pelan. Kepala Dean terkulai lemas di bantal.
Setelah Bu Guru pergi, Deraz
mengambil inhaler Dean yang ditaruh di nakas. Ia mengamat-amati benda itu,
mencobanya, lalu meletakkannya ke tempat sebelumnya. Ia memijakkan kedua
kakinya ke bibir kursi. Sembari menyembunyikan separuh wajahnya di balik
lipatan lengan dan lutut, ia memandangi saudara kembarnya, memastikan bahwa
dada Dean masih bergerak.
Batinnya terus menyuarakan bahwa ia
tidak ingin kehilangan Dean. Tidak lagi. Biarpun Pak Karman mengatakan bahwa
Allah akan mendatangkan orang-orang baru yang sayang padanya dan tidak akan
membuatnya kesepian, tetapi, tidak, ia tidak mau kehilangan orang dekatnya
lagi. Sejak ia tinggal di sini, Deanlah yang paling dekat dengan dirinya,
menghabiskan paling banyak waktu bersama dirinya.
Tuhan ….
Tuhan Allah ….
Jangan panggil Dean ….
Bitte, please ….
Seusai pelajaran terakhir,
anak-anak pada menengok Dean ke ruang UKS. Tetapi Dean masih tidur dan mereka
tidak hendak membangunkannya.
Sampai kemudian datanglah Zara. Ia
menggoyang-goyang kaki Dean hingga kakaknya itu terbangun.
“Jemputannya udah dateng,” ujar
Zara.
Setelah duduk sebentar, Dean turun
dari tempat tidur dan keluar dari ruangan UKS. Deraz segera mengambil ransel
serta inhaler Dean, dan menyusul. Dean baru menyadari bahwa ia tidak membawa
ransel ketika sampai di mobil jemputan. Namun kemudian Deraz datang
membawakannya, setelah mengambil miliknya sendiri di kelas.
Dean bersikap seolah-olah tidak ada
kejadian luar biasa pada hari itu, sampai Zara mengungkitnya saat makan malam
bersama.
“Tadi Dean tidur di UKS,” lapor
Zara pada orang tua mereka.
“Habis di UKS enak sih,” tukas
Dean.
“Ke sekolah itu belajar, bukan buat
tidur,” kata Ayah.
Deraz menunduk saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar