Dalam mimpinya, bayang Opa Buyut yang berbaring diam
berganti-ganti dengan bayang Bruno yang menelungkup hingga kepalanya menempel
ke tanah. Bruno menatapnya sendu dan mengeluarkan suara yang pilu, seakan-akan
bertanya, “Kamu ke mana? Aku menunggu kamu. Kenapa kamu tidak kembali?”
Tetapi tiap kali Deraz hendak
menggapai Bruno, tangannya tidak kunjung sampai. Padahal Bruno berada dekat
sekali di depannya. Keburu Deraz terbangun.
Deraz merasakan ada aliran di sudut
matanya. Ia terduduk dan berusaha menahan desakan yang bergumul dari dadanya.
Ia mengelap mata dengan punggung tangan. Napasnya mulai sesak.
Ia turun dari tempat tidur, lalu
bersandar pada nakas. Isaknya tak tertahankan. Matanya terasa penuh. Jam di
atas nakasnya menunjukkan pukul satu dini hari. Di Jerman sekarang baru malam.
Sedang apa Bruno sekarang? Mungkinkah ia sedang seperti di dalam mimpinya itu?
Menelungkup dan bertanya-tanya ke mana Deraz pergi, kenapa tidak kunjung
kembali? Siapakah yang merawat Bruno sekarang, memberinya makan? Apakah Olga
masih bekerja di rumah itu?
“Deraz, kamu kenapa?”
Deraz melihat Dean duduk di lantai
juga, di ujung sisi tempat tidur. Sembari menahan sengguk, Deraz berpaling
supaya mukanya tidak terlihat oleh Dean. Tetapi sesekali isaknya masih meluap.
“Deraz,” panggil Dean, sembari
mendekat. “Kamu mau cerita?”
Deraz diam saja.
Dean pun memeluk Deraz. Biasanya
itu yang Dean lakukan ketika Zara menangis, lalu adiknya akan menjadi tenang.
“Cup, cup ….”
Tetapi Deraz malah meledak dan
menggebuki Dean, yang kontan mengaduh-aduh. Deraz terus menendangi Dean sambil
meracau dalam bahasa Opa Buyut, sampai saudaranya itu beringsut menjauh.
Bunda yang belum tidur dan
mendengar ada suara membuka pintu kamar si kembar. Lampu kamar menyala. Ia
mendapati Dean duduk merapat ke dinding di seberang tempat tidur Deraz sambil
memegangi kedua lutut. Sementara itu Deraz berdiri sambil mengusap mukanya
dengan kedua belah lengan bergantian.
“Kenapa ini?” tanya Ayah mengantuk.
Dean menyongsong Ayah dan menarik
bajunya. “Ayah, aku tidur sama Ayah, ya?”
“Deraz,” Bunda duduk di tempat
tidur dan meraih Deraz supaya ikut duduk. “Ada apa?”
Deraz masih belum mau berbahasa
Indonesia. Bunda memeluk dan mengusap-usap kepalanya seakan-akan mengerti yang diocehkan
Deraz. Ketika melihat bahwa kini yang berdiri di ambang pintu bukan hanya Ayah
dan Dean, melainkan juga Zara yang ikut terbangun dan keluar dari kamarnya,
Deraz menelusupkan kepalanya ke dada Bunda. Walau teredam, tangisnya bertambah
kencang.
“Tidur lagi, yuk,” Ayah menggiring
Dean dan Zara agar berbalik lalu menutup pintu.
Setelah Deraz agak tenang dan
mengangkat wajahnya lagi, barulah ganti Bunda berbicara.
“Deraz ingat, enggak, waktu dulu
dibawa sama Oma dan Opa Buyut?”
Deraz menjawab dengan sesenggukan.
“Waktu itu Bunda takut banget,
takut Deraz bakal seperti ini,” kata Bunda.
Isakan Deraz memelan. Bunda
melanjutkan, “Tapi dari kecil Deraz sudah mandiri. Deraz sudah bisa memilih mau
tinggal sama Oma dan Opa Buyut. Deraz juga enggak pernah merepotkan mereka,
selalu menurut sama mereka. Tiap Bunda telepon ke sana, selalu mereka memuji
Deraz. Katanya Deraz anak yang cerdas, kuat, dan suka membantu. Ayah dan Bunda
bangga sekali sama Deraz. Walau kadang kami khawatir, tapi ternyata Deraz bisa
menjaga diri.”
Deraz mengusap sisa air mata dengan
jari-jarinya.
“Tapi kan Oma sama Opa Buyut sudah
tua. Pada akhirnya, sudah waktunya mereka dipanggil Tuhan.”
Tuhan.
“Malah, Deraz ingat, enggak,
sewaktu Oma Buyut meninggal, Deraz enggak mau ikut pulang? Waktu itu Opa Buyut
sudah mulai sakit-sakitan. Deraz bilang, ‘Siapa nanti yang jaga Opa?’ Opa Buyut
tinggal sendiri, cuma sama pembantu. Opa Buyut juga sudah enggak kuat pergi
jauh-jauh, bahkan enggak bisa ikut nganter jenazah Oma Buyut ke Indonesia.”
Deraz diam saja, menunggu Bunda
melanjutkan.
“Dulu Deraz berani jauh dari orang
tua. Sekarang Deraz juga berani tanpa Oma dan Opa Buyut. Tanpa anjing Deraz.
Ya?”
Deraz menjawab dengan sisa isakan,
tetapi air matanya sudah habis.
Sisa malam itu Deraz tidur sambil
dipeluk Bunda. Dalam mimpinya, Bunda berubah menjadi Oma Buyut.
Deraz berpikiran untuk menulis jurnal lagi. Sewaktu tinggal
bersama Opa Buyut, sejak dapat lancar menulis, Deraz disuruh untuk menulis
jurnal setiap malam. Di dalam jurnal itu ia harus menceritakan apa saja yang
dialaminya seharian itu, mulai dari kegiatannya, nama-nama serta kata-kata yang
baru dipelajarinya, hingga isi buku yang dibacanya. Deraz tahu bahwa ketika ia
tidur, Opa Buyut membaca jurnalnya itu. Kadang Opa Buyut membubuhkan perbaikan
jika Deraz keliru mengeja suatu kata. Ketika kesehatan Opa Buyut mulai menurun,
ia tidak memeriksa jurnal Deraz lagi. Opa Buyut tidur lebih cepat daripada
Deraz. Deraz pun berhenti menulis jurnal.
Deraz sudah membeli jurnal baru,
ketika ia dan keluarganya ke toko buku beberapa waktu lalu. Warnanya merah
gelap dengan ring di tepinya. Daripada mengikuti Dean keluar kelas pada jam
istirahat, Deraz memilih untuk menulisi jurnalnya itu seolah-olah Opa Buyut
akan membacanya nanti malam.
Pada awalnya menulis jurnal terasa
sulit, sebab Deraz merasa tidak belajar apa-apa sejak berada di tempat yang
baru ini. Kalaupun ada buku-buku, bunga-bunga, burung-burung,
serangga-serangga, keberadaannya tidak memikat Deraz lagi. Seakan-akan semua
itu menarik hanya karena Opa Buyut yang menjadikannya begitu. Tidak ada pula
Oma Buyut dengan aneka kudapannya yang lezat, sehingga Deraz bisa menuliskan
bahan-bahan dan cara membuatnya di jurnal. Yang bisa ia tuliskan sekarang hanya
keluhan dan perasaan. Jika Opa Buyut benar-benar membaca jurnal ini, Deraz
tentu akan merasa malu.
Tetapi sekali waktu keluhan dan
perasaannya itu sungguh membuat Deraz larut saat menuliskannya, sampai tidak
menyadari Putra ada di dekatnya dan merebut jurnal itu.
“Deraz nulis diary!” seru Putra sambil mengacung-acungkan buku itu.
Putra masih sempat membaca sekilas
isi buku itu sebelum Deraz menonjoknya. Putra terlempar ke lemari di sudut
kelas. Tetapi ia segera bangkit dan balas menyerang Deraz. Deraz terempas ke
lantai. Bogem Putra berusaha mengenai mukanya, tetapi Deraz berhasil menyodok
perut bocah itu dengan lutut. Putra berguling ke lantai dan ganti Deraz yang
berusaha mencekik. Tetapi Putra mendorong Deraz sampai terjatuh ke samping dan
mereka pun berguling menubruk bangku-bangku. Anak-anak perempuan yang bangkunya
kena menjerit-jerit. Yang lain pada terkesima menyaksikan pergulatan itu sampai
Pak Guru masuk. “Kok enggak ada yang melerai sih?” tanpa menyadari bahwa tubuh
kedua anak yang berkelahi itu sama-sama lebih besar daripada anak-anak lainnya.
Dean yang bertubuh sama jangkung dengan Deraz cuma menonton sambil mengunyah
potongan cakue.
Pak Guru menarik punggung Putra
yang sedang berada di atas. Tetapi walau Putra sudah dipegangi Pak Guru, Deraz
tetap hendak meninjunya. Untung Pak Guru cepat-cepat membawa Putra berkelit.
Pak Guru terpojok di antara dinding dan bangku sambil mendekap Putra, sementara
Deraz di belakang punggungnya menggebu-gebu untuk mengenai sasarannya. “Tolong
ada yang narik Deraz!” perintah Pak Guru.
Tetapi tidak ada satu pun anak yang
berani.
“Deraz udah, ya. Pelajarannya mau
dimulai!” kata Pak Guru tanpa mengubah posisi. Hanya mukanya berbalik pada
Deraz. Deraz terhenti di tempatnya dengan kedua bogem terkepal. Ia mengambil
jurnalnya yang terlempar hingga di depan lemari kelas dan kembali ke bangkunya,
tetapi matanya terus terarah pada Putra.
“Ayo, semua, kembali ke bangku!”
komando Pak Guru.
Anak-anak menurut dengan ketegangan
yang berangsur memudar.
“Dia yang salah, Pak!” Deraz yang
tadinya sudah duduk tiba-tiba berdiri lagi sambil menunjuk Putra.
“Cuma bercanda atuh!” balas Putra yang kontan berdiri lagi padahal juga sudah
duduk.
Deraz hendak keluar lagi dari
bangkunya dan Putra berlagak menantang, sehingga akhirnya Pak Guru menyuruh
mereka berdua ke depan kelas. Deraz menjelaskan persoalannya dan Putra membela
diri. Menurut Putra, Deraz tidak perlu sampai semarah itu. Lengan Pak Guru
segera menahan Deraz yang hendak menyerang lagi. “Sudah, Putra, kamu minta
maaf, ya. Deraz kan baru di sini, jadi belum akrab sama candaan kamu.”
Dengan geram, Putra menyodorkan
tangan. Deraz memalingkan muka ke papan tulis.
“Ayo, Deraz, disambut. Putra sudah
minta maaf. Masak mau berdiri terus di depan sampai pulang sekolah?”
Deraz mengulurkan tangan tanpa
menoleh.
Kekesalan Deraz terbawa sampai ke rumah. Ketika memainkan
Game Watch yang dipinjamkan Zara untuknya, ia kalah lagi. “Bego lu!” seru benda
itu, yang segera dilempar Deraz jauh-jauh sampai baterainya terpelanting ke
luar. Zara menyaksikan itu dari pintu kamarnya dengan gulana. Sebelum ini
Tamagotchi miliknya yang dibanting. Game Watch dan Tamagotchi milik Dean sudah
almarhum lebih dulu karena sebab yang sama.
Ketika Ayah pulang, Zara mengadu
sambil berbisik-bisik.
“Nanti beli lagi!” kata Ayah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar