Pada tahun ajaran baru Deraz mendapatkan kelas XI IPA 9. Pada
hari pertama kegiatan belajar mengajar efektif ia terlambat datang ke sekolah.
Ban sepedanya gembos dalam perjalanan pergi, sehingga ia baru masuk pada
pelajaran kedua. Saat itu semua bangku di kelas sudah ditempati, kecuali satu
di paling depan tepat di hadapan meja guru serta di paling belakang. Deraz
otomatis menempati bangku paling depan.
Dua bulan pertama di kelas XI
sangat penuh kesibukan.
Seiring dengan berlalunya MOS dan
menjelangnya pergantian kepengurusan OSIS, banyak laporan pertanggungjawaban
yang harus dibuat. Deraz juga harus mulai menyiapkan rancangan program kerja
untuk Bidang I.
Selain itu, sama-sama ada
penyisihan untuk sepak bola dan debat.
Tim sepak bola SMANSON mengikuti
Piala Coca Cola walau harus bertanding di Jakarta, dan Deraz termasuk ke
jajaran pemain inti.
Sementara itu, ada seleksi debat
tingkat regional. Tahun lalu Deraz gagal lolos ke tingkat nasional, sehingga
tahun ini ia mesti mengulang tahapan seleksi dan sangat bertekad untuk berhasil
menembusnya bahkan sampai ke tingkat dunia.
Ketika Deraz mengurus MOS, Renata
terbang ke Wales untuk mengikuti WSDC. Sebelum Renata berangkat, mereka masih
sempat bertemu. “Promise me, next year is
your turn,” kata Renata pada Deraz.
“I promise,” kata Deraz sungguh-sungguh. “God willing.”
Maka hari-hari Deraz pun dipenuhi
oleh bekerja, bekerja, bekerja, dan latihan, latihan, latihan, serta
dispensasi, dispensasi, dispensasi. Adakalanya jadwal latihan debat bentrok
dengan rapat OSIS, atau latihan sepak bola berbarengan dengan kursus bahasa
Jerman. Kalau itu terjadi, Deraz mesti memilih yang satu dan menambal yang lain
dengan bekerja, belajar, atau berlatih sendiri kapan pun ia sempat untuk
mengejar ketinggalan. Itulah gunanya punya PDA dan Deraz biasanya berhasil
mengikuti jadwal yang ditetapkannya sendiri. Ia penuh semangat untuk mencapai
semuanya. Ia juga enteng saja menolak ajakan teman-temannya untuk begini begitu
atau ke sana kemari jika waktu mereka tidak sesuai dengan agendanya. Waktu
kosong pasti ada nanti, teman bisa dicari—ada begitu banyak orang di dunia ini.
Di samping itu, AFS masih
membuatnya ketar-ketir. Deraz merasa optimistis telah menjalani tahapan seleksi
yang sudah-sudah dengan sebaik-baiknya.
Untuk tes pengetahuan umum, ia
membaca koran, majalah, dan RPUL kapan pun sempat.
Untuk pertunjukan bakat, ia meminta
bimbingan Ipong karena hendak membawakan lagu dengan gitar diiringi nyanyian.
Ipong menyanggupi permintaan itu dengan sebaik-baiknya, malah disertai dukungan
mental. “Lu tuh kalau debat aja lantang, koar-koar, tapi kalau nyanyi kayak
Chiki yang kelamaan dibuka, udah gitu ketumpahan cakue!” Ipong tahu saja Deraz
jijik dengan cakue.
Ketika wawancara, dengan mantap
Deraz menjawab negara tujuannya adalah Jerman. Kalau bukan Jerman, Austria atau
Swis.
"Lo, itu kan negara berbahasa
Jerman semua?" tanya kakak pewawancara.
"Saya ingin menyempurnakan
bahasa Jerman saya. Cita-cita saya ingin menjadi Habibie di bidang kedokteran.
Selepas SMA saya akan kuliah di sana. Oleh karena itu saya ingin mengenalnya
dari sekarang supaya bisa mempersiapkan diri lebih baik dalam studi," jelas
Deraz dengan tegas.
"Kamu enggak ingin melihat
tempat yang lain dulu sebelum tinggal di Jerman atau sekitarnya?"
"Saya orang yang fokus."
Kakak pewawancara manggut-manggut.
"Kamu tahu di negara-negara Amerika Latin juga ada koloni berbahasa
Jerman. Kalau misalnya kamu dapatnya di negara sana, gimana? Kan di sana juga
kamu tetap bisa mempraktikkan bahasa Jerman kamu."
"Memang. Saya menyerahkan
keputusan akhir pada pihak AFS. Tapi prioritas saya tetap.”
Namun masih ada seleksi tahap
nasional dan internasional. Sehabis WSDC, Renata akan berangkat ke Brasil lewat
program AFS. Kalau Renata dan abangnya saja bisa mendapatkan kedua kesempatan
itu, kenapa Deraz tidak?
Tentu saja Deraz tidak lupa berdoa
tiap habis salat.
Ya Allah, izinkanlah Deraz bertemu
Bruno lagi, walau untuk terakhir kali.
Ia pernah membaca artikel tentang
anjing gembala Jerman yang menyatakan bahwa rentang hidup makhluk itu hanya
sembilan sampai tiga belas tahun. Jika ia meninggalkan Bruno ketika usianya
tiga tahun, maka sekarang anjing itu sudah sepuluh tahun. Jika ia berhasil
lolos seluruh seleksi AFS, mendapatkan Jerman, dan berangkat tahun depan,
berarti Bruno akan berusia sebelas tahun.
Mungkinkah Bruno masih hidup?
Belum lagi kursus bahasa Jerman dan
latihan band.
Oh, sibuknya, Deraz sibuk sekali.
Karena itu penting bagi Deraz untuk
mengenal teman sebangkunya, yang ternyata perempuan berjilbab. Tetapi gadis itu
menunduk terus, seakan-akan tidak mau melihat Deraz. Suaranya saja lirih. Yang
penting Deraz punya nomor ponselnya, supaya tidak ketinggalan informasi di
kelas.
“Nama kamu?”
“Zahra.”
“Zahra,” ulang Deraz. Namanya
seperti adik Deraz. Mudah-mudahan untuk seterusnya tidak tertukar. “Eh,
kayaknya kamu … familiar deh.”
“Maksudnya?”
“Mungkin kita pernah ketemu di mana
gitu.”
“Kita kan satu sekolah.”
“Bukan, maksudnya ….”
“Kita satu gugus.”
“Oh, kamu gugus satu juga?”
“Iya.”
Gadis itu tersipu tiap kali
bersuara.
“Oh, iya, ya.”
Deraz teringat bahwa sepertinya ia
memang pernah melihat Zahra berada di sekitarnya selama MOS. Gadis itu selalu
menunduk. Kalaupun wajahnya terlihat, ia tampak murung, seakan-akan menyesali
kejatuhan Nabi Adam dari surga. Kadang juga wajah itu kebingungan, seolah-olah
ia sendiri yang baru dilempar ke dunia jahanam.
Ketika Dean mampir ke XI IPA 9 saat
jam istirahat, barulah Deraz menyadari bahwa Zahra sekelas dengan saudaranya
itu sewaktu di X-7. Kadang Deraz menghampiri Dean ke sana. Malah sepertinya
Dean pernah sebangku dengan Zahra. Ketika mendapati kali ini Deraz yang
sebangku dengan Zahra, Dean semringah.“Wah, perfect
couple!”
Ia duduk di meja di samping meja
Deraz. Sembari mengunyah sebagian roti Deraz, ia mencerocos, “Kamu beruntung,
Yaz, sebangku sama Zahra. Dia itu cewek paling pintar dan rajin sedunia! Kalau
ada PR, nanya aja sama dia, Yaz. Belajar bareng, gitu.” Lalu ia membentangkan
buku pelajaran dan buku tulisnya di hadapan Deraz. “PR Akuntansi pertama nih.
Kamu ngerti, kan? Hitung-hitungan, da.”
Deraz mengernyit membaca soal-soal
di buku pelajaran. Ia menoleh pada Zahra dan kaget mendapati gadis itu cemberut
maksimal.
“Kamu mah enggak berubah, Dean,”
ucap Zahra penuh benci.
“Kelas XI pelajarannya makin
susah!” sahut Dean ceria.
Baru kali ini Deraz sebangku dengan
perempuan. Rasanya canggung. Zahra sama sekali tidak ceriwis seperti Ipong.
Apalagi ketika cuma mereka berdua di kelas. Tiap jam istirahat, Deraz ingin
makan bekalnya dulu sambil membaca The
Jakarta Post. Rupanya gadis itu juga tidak ke mana-mana.
“Kamu enggak jajan?” tegur Deraz.
Gadis itu menggeleng seraya
tersipu.
Setelah menghabiskan bekalnya,
Deraz keluar dari kelas sampai jam istirahat berakhir.
Tiap kali waktu dispensasi akan
berakhir dan esoknya Deraz harus masuk sekolah lagi, ia menanyakan kabar di
kelas pada Zahra: PR, tugas kelompok, ulangan, dan kemajuan pelajaran.
Ia suka meminjam PR Zahra untuk dibandingkan
dengan punyanya. Kerap kali Zahra mengetahui pemecahan soal-soal yang sulit dan
menjelaskannya kepada Deraz.
“Wah, kamu pintar, ya,” puji Deraz.
Zahra tersipu. “Nanya ke kakak
kok.”
Tidak hanya itu. Catatan Zahra juga
super lengkap dan rapi, komplementer yang sempurna bagi buku pelajaran. Malah
Zahra suka membuat rangkuman sendiri yang ditulisnya dengan pulpen atau spidol
warna-warni dan dihiasi dengan Stabilo atau stiker-stiker kecil nan lucu pada
lembaran kertas HVS atau folio. Jika ada yang salah tulis, ia menggunakan correction tape alih-alih correction pen supaya lebih rapi. Bahkan
kertasnya pun berwarna-warni. Lembaran kertas itu dilipat dan disisipkannya
pada buku catatan pelajaran yang bersangkutan. Belum lagi jika itu pelajaran
eksakta. Zahra membuat kumpulan soal beserta cara pemecahannya sampai sedetail
mungkin.
“Wah banget,” Deraz kehabisan kata.
“Biar aku sendiri ngerti sama
semangat belajarnya,” kata Zahra.
“Pinjam semuanya, ya. Mau
difotokopi.”
Belum lagi ketika ada ulangan.
Ketika masih ada waktu sebelum ulangan, mereka menyempatkan diri untuk membahas
bagian-bagian yang sulit. Malah kadang Zahra mengajukan pertanyaan seperti yang
hendak menguji hafalan atau pemahaman Deraz. Tentu saja Deraz membalasnya.
Ketika Deraz mendapat nilai ulangan yang lebih besar daripada Zahra, ia
tersenyum puas sedang gadis itu memandangnya dengan menyipitkan mata
seakan-seakan tidak terima. Ketika yang terjadi sebaliknya, Deraz terus-terusan
membandingkan jawabannya dengan milik Zahra memikirkan kesalahannya sedang
gadis itu tersipu kegelian.
Deraz merasa senyum Zahra
menyeretnya ke masa silam, ketika ia masih dapat menemani Oma Buyut menyirami
bunga di kebun. Ada satu bunga yang sangat Deraz sukai, yang menurutnya
menyerupai bintang. Warnanya putih, putiknya kuning, dan harumnya menyamankan.
Deraz suka membelai-belai kelopak bunga itu dari pangkal ke ujung.
“Oma, ini bunga apa namanya?”
Oma Buyut menoleh. “Oh, itu bunga
lili.”
Deraz menghirup aroma bunga itu
lagi.
“Deraz suka? Boleh petik. Nanti
taruh di jambangan.”
“Terima kasih, Oma.”
“Sama-sama, Deraz.” Oma Buyut
tersenyum.
Oma Buyut lalu membantu Deraz
mengambil beberapa tangkai bunga itu. Setelah ditata di jambangan, Deraz
menaruh bunga itu pada bufet di seberang tempat tidurnya. Saat malam, ia memandangi
bunga itu sembari tercium samar-samar wanginya. Sampai ia terlelap dan terlena
oleh mimpi. Ketika ia membuka mata saat pagi, bunga itu yang pertama-tama
tampak dalam pandangannya.
Tiap kali Zahra menunduk, yang
sering sekali terjadi, Deraz mengangkat dagu gadis itu dengan pensil, pulpen, gulungan The Jakarta Post, atau apa pun yang kebetulan dipegangnya.
“Kalau bicara, lihat orangnya.
Kalau enggak nyaman lihat mata, kamu bisa lihat kening, hidung, atau dagu.
Pokoknya lihat lawan bicara kamu,” mendadak Deraz jadi pakar etiket di depan
Zahra.
Padahal ia hanya ingin melihat
senyum itu lagi.
Dan lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar