Pada awalnya Deraz masih mau ikut Dean berkumpul bersama
teman-temannya, kadang-kadang. Tetapi di rombongan Dean selalu ada Putra. Putra
yang pernah membaca sekilas jurnal Deraz melapor kepada anak-anak, “Di diary Deraz ada banyak ‘ich’-nya.”
“Ich, kamu,” tiba-tiba seorang anak mencolek temannya dengan gaya
dicentil-centilkan.
“Ich, kamu jangan gitu, ich,”
balas temannya dengan lagak serupa.
Lalu mereka beradu jari-jari sambil
menjauhkan muka, maksudnya hendak menirukan cewek-cewek yang sedang berkelahi.
Anak-anak lain pada tertawa
menyaksikannya, tetapi Deraz tidak.
“Das ist Deutsch!” tukas Deraz. “That’s
German! You have no idea about the
language I wrote! Stupid monkey!”
Anak-anak terdiam. Mereka tidak
langsung memahami yang diucapkan Deraz dalam sekali tarikan napas itu. Tetapi
mereka sudah mendapatkan pelajaran Bahasa Inggris dan tahu benar arti kata “stupid” dan “monkey”.
Putra membalas Deraz. “Maneh nu stupid!” Kedua anak itu pun
kembali bergulingan.
“Bahasa Indonesia ge teu baleg si Deraz mah,” anak-anak
lain mengompori.
Wajah Dean yang biasanya
cengar-cengir jadi meredup.
Besok-besoknya Deraz lebih memilih
untuk menyendiri di kelas, menulis jurnal atau membaca buku pelajaran. Tetapi
lama-kelamaan Deraz bosan juga. Ia berjalan ke ambang pintu kelas dan mendapati
anak-anak bermain bola. Sepertinya asyik berlari-lari, saling meneriaki,
menangkap bola dengan kaki, dan menggoceknya. Sepertinya seru menggiring bola
menuju gawang, dan dalam perjalanan itu ada banyak lawan mengadang. Hatinya
berdebar setiap kali seseorang berhasil membawa bola mendekati gawang. Hatinya
mencelus setiap kali seseorang berhasil mengambil bola itu dan menendangnya ke
arah lain. Hatinya bersorak setiap kali seseorang berhasil meloloskan bola
melewati gawang. Hatinya kecewa ketika terdengar bel tanda berakhirnya jam
istirahat sehingga permainan harus disudahi.
Tiba pelajaran Olahraga. Pak Guru
yang mengenakan topi dan berkalung sempritan menyuruh anak-anak berkumpul di
lapangan. Sebelah tangannya mengapit bola yang ukurannya sama seperti yang
biasa digunakan anak-anak bermain, tetapi bahannya beda dan tampaknya lebih
berat. “Hari ini kita akan belajar permainan bola besar. Apa saja permainan
bola besar itu, Anak-anak?”
Dean mengacungkan jari dengan
semangat. “Pak! Pak!”
“Ya, Dean?”
“Bolanya Laa-Laa, Pak!”
Anak-anak tertawa meriah.
“Kebanyakan nonton Teletubbies kamu
mah,” kata Pak Guru.
“Hehehe,” sahut Dean.
“Yang termasuk permainan bola besar
itu adalah sepak bola, bola voli, dan bola basket. Hari ini kita akan belajar
sepak bola,” lanjut Pak Guru.
“Hore …!”
“Cara menendang itu ada
bermacam-macam,” Pak Guru memulai pelajaran. “Pertama, yaitu dengan menggunakan
kaki sebelah dalam.” Pak Guru celingukan. Dulunya Pak Guru berpikir bahwa Dean
anak yang tepat untuk dijadikan peraga karena badannya yang menjulang. Tetapi
setelah beberapa kali memanggil Dean ke depan, Pak Guru kapok. Kali ini Pak
Guru mendapati bukan Dean sendiri yang badannya paling tinggi. “Hei, kamu, anak
baru, kembarannya Dean,” tunjuk Pak Guru. Deraz pun keluar dari kumpulan dan
mendekati Pak Guru di depan. Pak Guru menyuruh Deraz berdiri di depan bola,
menghadap anak-anak. Lalu mulailah ia memberi petunjuk sambil
menggerak-gerakkan anggota tubuh Deraz, mulai dari lututnya, punggungnya,
kakinya, kedua tangannya, sampai kepalanya. “Nah, sekarang cara-cara menahan
bola.” Pak Guru lalu memanggil satu anak lagi ke depan. Ia memberi jarak
sekitar lima meter antara anak itu dan Deraz berhadapan. Setelah memperbaiki
pose anak yang satunya, Pak Guru menyuruh Deraz mempraktikkan cara-cara
menendang yang sudah diajarkan tadi.
Ternyata ada lebih banyak cara
menahan bola daripada menendangnya. Deraz memerhatikan semua itu dengan
sungguh-sungguh.
“Nah, sekarang kita latihan
mengoper bola!”
Pak Guru lalu menyuruh anak-anak
berbaris berhadap-hadapan. Ia memberi petunjuk pada anak yang berdiri di ujung
paling depan. “Kamu tendang bola ini ke teman di depan kamu.” Lalu katanya pada
anak lain di hadapan anak tersebut, “Kamu tahan dulu bolanya, baru tendang lagi
ke teman yang di samping depan kamu,” sambil menunjuk anak yang dimaksud.
“Begitu seterusnya sampai ujung. Mengerti?”
“Mengerti, Pak!” sahut anak-anak.
“Sekarang nendangnya pakai kaki
bagian dalam dulu, ya!”
“Iya, Pak!”
Awalnya Pak Guru menghentikan
praktik itu tiap sebentar untuk mengingatkan anak-anak mengenai cara menendang
dan menahan bola yang benar. Tetapi berangsur-angsur temponya dipercepat.
Setelah beberapa kali mengulang latihan tersebut, Pak Guru mencoba bentuk-bentuk
latihan yang lain lagi. Pak Guru juga menerangkan bagian-bagian dalam lapangan
sepak bola yang sebenarnya beserta aturan permainannya.
“Hari ini segitu dulu. Sekarang
kita main!”
Anak-anak bersorak.
Para anak laki-laki tidak sabar
mempraktikkan ajaran Pak Guru tadi. Pak Guru lalu membagi mereka menjadi dua
tim. Deraz dan Dean mendapat tim yang sama. “Dean, kamu jadi kiper aja, ya!”
kata anak-anak tim mereka.
“Oke!” sahut Dean. Dengan santainya
ia berjalan ke gawang.
“Tim ini siapa kaptennya?” tanya
Pak Guru.
Anak-anak berdiskusi dan main
tunjuk. Sebelum mereka dapat memutuskan, Deraz mengangkat tangan.
“Ya udah, kamu, sini.” Pak Guru
menyuruh Deraz mendekat. “Siapa nama kamu teh?”
“Deraz, Pak.”
Anak-anak tercengang melihat Deraz
yang sudah berjalan ke tengah lapangan.
“Kenapa dia?”
“Kamu sih kelamaan!”
“Deraz … Dean …” gumam Pak Guru
sementara kapten kedua tim mengambil posisi berhadapan di tengah lapangan. Pak
Guru lalu mengeluarkan koin dari saku celananya. “Cara menentukan tim yang
menendang duluan yaitu dengan menggunakan koin. Siapa kepala, siapa ekor?”
“Kepala, Pak!” ucap Deraz lebih
cepat dan lebih keras daripada kapten tim satunya.
Pak Guru melempar koin sehingga
memutar ke atas. Koin jatuh ke tanah dan menampakkan kepala. Deraz memandangnya
puas.
Pak Guru mengarahkan kedua anak itu
agar berdiri dalam separuh lapangan masing-masing dan meletakkan bola tepat di
tengah-tengah lapangan. Ia lalu menepi dan meniup peluit panjang-panjang.
Serta-merta Deraz melancarkan tendangan yang langsung membobol gawang.
Anak-anak melongo.
“Satu kosong!” seru Pak Guru.
“Yeah!” Deraz girang sendiri.
Pak Guru kembali meletakkan bola di
tengah lapangan. “Tendangan selanjutnya dimulai dari tim ini,” Pak Guru
memaksudkan pada tim lawan Deraz.
Deraz segera mengambil tempat yang
strategis. Pak Guru meniup peluit. Kapten tim lawan menendang bola pada kawan
di samping belakangnya, yang lantas mengoper pada kawan lain yang sudah masuk
ke separuh lapangan milik tim Deraz. Namun Deraz berhasil menahan tendangan
itu, menggiring bola kembali ke separuh lapangan milik lawannya, berkelit dari
kaki lawan yang berusaha mencuri, dan menyepak langsung ke arah gawang.
“Dua kosong!” ujar Pak Guru.
Anak-anak melongo lagi.
Anak-anak tim lawan menyadari bahwa
mereka harus berhati-hati terhadap Deraz, sementara anak-anak tim Deraz
berpaling ke belakang, memandangi Dean yang berjongkok di tengah-tengah gawang
sambil mengupil.
Pak Guru kembali menaruh bola di
tengah lapangan. Deraz cepat-cepat mendekati karena tahu kali ini giliran
timnya yang menendang bola pertama. Tetapi Pak Guru berkata, “Sekarang kamu
oper dulu ya ke teman kamu.” Deraz pun mengedarkan pandangan dan menyadari
bahwa ia cuma mengenali Dean dan Putra. Putra anak paling gendut di kelas dan
sekarang jelas-jelas berada di tim lawan. Anak-anak selebihnya semua berwajah
sama di mata Deraz. Ia melihat seorang anak menanti beberapa meter agak di
sampingnya, di separuh lapangan milik timnya. Begitu peluit dibunyikan, ia
mengoper bola kepada anak itu, yang segera menangkap lalu menggiringnya
memasuki separuh lapangan milik tim lawan. Anak itu mengoper kepada anak lain
di sayap seberang. Bola ditangkap dan si anak lainnya itu kebingungan hendak
mengopernya ke mana. Uh, andai saja Deraz tahu namanya, ia akan memanggil anak
itu! Anak itu menendang asal saja tetapi keras sehingga bola melambung. Dengan
cepat Deraz menangkapnya. Bisa saja ia menendang langsung ke gawang seperti
sebelumnya. Tetapi dari sisi lapangan Pak Guru berteriak, “Oper, Deraz, oper!”
Beberapa anak sudah mengepung Deraz. Ia memainkan bola itu di antara kedua
kakinya supaya tidak dijambret, sementara matanya mencari-cari. Ia melihat
seorang anak dalam posisi terbuka di pinggir lapangan. Ia tendang bola ke arah
anak itu, yang segera ditangkap dan dibawa lari ke gawang yang dijaga Dean!
“Kenapa dikesi-ituin!” terdengar
keluhan, yang mestilah berasal dari tim Deraz.
Deraz buru-buru menyusul. Ia harus
merebut kembali bola itu dan membawanya ke arah yang semestinya!
Sebelum memasuki daerah penalti,
seorang anak berhasil menahan serangan itu dan mengoper bola kepada kawannya.
Tidak lama kawannya itu menguasai bola, tim lawan sudah mendesaknya. Anak itu
pun melambungkan bola yang segera ditangkap sundulan Deraz. Dari kepalanya,
bola itu turun ke lutut lalu ke kaki, dan Deraz segera membawanya ke gawang
lawan.
“Oper, Deraz, oper!” lagi-lagi
terdengar teriakan Pak Guru.
Deraz agak geram tetapi ia melihat
agak jauh dari dirinya seorang anak berlari mendahului sembari melihat ke
arahnya. Deraz pun mengoper bola kepada anak itu. Bola ditangkap dan dibawa ke
arah sebaliknya.
Sesaat Deraz kebingungan dan
seketika itulah gol menembus gawang di belakang Dean.
“Dua satu!” ujar Pak Guru.
“Deraz, kamu kalau ngoper jangan ke
tim lawan, ih!” seru seorang anak. Deraz mengamati wajah anak itu yang mestilah
satu tim dengan dirinya. Hidungnya pesek. Baiklah, Deraz akan mengoper kepada
si hidung pesek kali berikutnya.
Permainan pun berlanjut. Pertahanan
tim lawan semakin ketat dan berkali-kali Deraz diteriaki karena merebut bola
dari timnya sendiri.
“Pak! Deraz mah mainnya teu baleg!” protes anak-anak tim Deraz
tanpa memerhatikan tim lawan menjadi leluasa menguasai bola.
“Gol …!”
“Dua dua!”
Deraz menyadari kesalahannya. Ia
mengamati wajah anak-anak, berusaha membedakan mana yang tim lawan dan mana
yang timnya sendiri. Ia tahu bahwa ia harus bermain dengan hati-hati karena ada
beberapa wajah yang masih belum dapat ia tentukan: kawan atau lawan? Bola
berada di kakinya lagi. Tetapi karena terjepit dan tidak bisa menentukan
wajah-wajah yang potensial menerima operannya sebagai kawan atau lawan, Deraz
melambungkan bola itu ke luar lapangan.
Pak Guru mengambil bola lalu masuk
ke lapangan. Serta-merta Deraz mendekat. Seorang anak dari tim lawan juga
menghampiri. Deraz terus mengawasi bola. Ia ingin sekali menjadi yang pertama
menendang dan langsung memasukkan bola itu ke gawang, demi menebus
kesalahannya. Kesempatan itu tiba. Pak Guru menjatuhkan bola, dan segera kaki
Deraz menyepaknya menembus gawang lawan.
“Yeah!” seru Deraz.
“Tidak sah,” kata Pak Guru.
“Hah?”
Anak-anak tim lawan memandangi
Deraz dengan geli. Anak-anak dari timnya sendiri mengamati semua itu dengan
malas.
“Bola harus menyentuh tanah dulu
baru boleh ditendang. Yang tadi itu namanya pelanggaran,” kata Pak Guru. Ia
menangkap bola yang dilemparkan seorang anak padanya. “Ulang lagi, ya. Ingat,
bola harus menyentuh tanah dulu.”
Pak Guru bersiap menjatuhkan bola
di antara Deraz dan seorang anak lagi dari tim lawan. Begitu bola menyentuh
tanah, kaki Deraz langsung menendangnya. Seketika itu pula ia memelesat hendak
menguasai bola itu. Langkahnya yang besar-besar berkat tubuhnya yang menjulang
sangat menguntungkan. Tetapi baru saja kaki Deraz menangkap bola, Pak Guru
meniup peluit. “Setelah bola ditendang, bola harus disentuh pemain lain dulu
baru boleh kamu mainkan lagi,” terang Pak Guru.
“Hah?”
Anak-anak tim lawan terbahak.
Anak-anak tim Deraz sudah kehilangan semangat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar