Mungkin Deraz perlu meminta maaf pada Zahra karena telah
menghindarinya. Mungkin Deraz perlu menegaskan bahwa sebenarnya di antara
mereka tidak ada masalah. Hanya perasaan Deraz sedang tidak enak akhir-akhir
ini sehingga tampak ke permukaan. Tetapi Deraz tidak perlu menjabarkan perasaan
apakah itu. Deraz akan menyampaikannya pada Zahra sepulang sekolah di lahan
belakang yang ditumbuhi banyak ilalang, walau berisiko kena gigitan Aedes aegypti.
Deraz tidak sabar mengajak Zahra ke
lapangan DBD. Namun pagi-pagi gadis itu punya kebiasaan baru menghampiri bangku
temannya yang akhwat DKM. Setelah bel tanda dimulainya pelajaran berbunyi,
barulah Zahra duduk di bangkunya di samping Deraz. Kalau saat jam istirahat,
biasanya gadis itu keburu diajak akhwat-akhwat DKM ke masjid.
Maka Deraz mendapat kesempatan itu
ketika pergantian pelajaran. Uh, ini tidak kalah menegangkan daripada ketika
hendak maju ke podium debat. Setiap gerakan Zahra memasukkan buku ke ransel dan
mengeluarkan buku yang lain lagi terasa begitu lambat. Keburu guru pelajaran
berikutnya datang.
Nah, sekarang posisi Zahra sudah
bersiap dengan buku cetak dan buku tulis pelajaran berikutnya di meja. Ketika
Deraz melirik Zahra, gadis itu juga melirik padanya. Deraz merasa tersetrum.
Gadis itu menundukkan pandang lagi.
“Zahra—“
“Anu—“
“Kamu dulu.”
“Deraz aja.”
Deraz memerhatikan Zahra yang
menunduk dalam-dalam. Mendadak buyar yang hendak dikatakannya. Malah kemudian
Deraz bersin. Serta-merta ia mengeluarkan saputangan Opa Buyut dari saku celana
seragamnya.
“Yarhamukallah.”
“Hah?” gumam Deraz seraya mengusap
hidungnya dengan saputangan.
“Yarhamukallah.”
Zahra tersenyum dan tersipu.
Deraz terkesima.
“Yahdikumullah,” ucapnya pelan.
Sementara Deraz tak berkutik oleh
debaran di dadanya, guru pelajaran berikutnya masuk. Sepanjang pelajaran ia
sungguh penasaran pada yang hendak dikatakan Zahra tadi. Namun saat jam
istirahat, gadis itu keburu diajak keluar oleh akhwat-akhwat DKM. Walau begitu,
ketika Deraz memberi jalan ke luar bagi Zahra yang bangkunya di samping
dinding, gadis itu sempat memberi senyum tipis padanya.
Deraz duduk di bangkunya, mengudap
bekal sembari meresapi bahwa Zahra telah bersikap seperti semula. Itu artinya
ia tidak perlu mengajak gadis itu ke lahan belakang sepulang sekolah dan
menyampaikan apa pun.
Yeah.
Ketika menyadari bahwa tidak ada orang
di kelas selain dirinya, Deraz memiringkan badan hingga matanya sejajar dengan
kolong bangku Zahra. Hanya ada notes kecil dengan pulpen. Setelah mengedarkan
pandang untuk memastikan tidak ada orang yang bakal melihat, ia menyeret notes
itu keluar dari kolong dan menyibak halaman demi halaman dengan jarinya. Isinya
hanya catatan tentang PR, tugas kelompok, atau ulangan.
Pidato T^T
Deraz sempat menangkap itu sebelum
mengembalikan notes Zahra ke kolong. Ia juga penasaran apakah gerangan yang mengembalikan
sikap Zahra ke semula. Sepanjang sisa jam istirahat itu Deraz duduk saja di
kelas membaca koran. Memang tidak sedang ada pertemuan mendesak apa pun saat
itu, entahkah OSIS, ekskul, atau selainnya. Deraz menunggu Zahra kembali ke
kelas. Ketika Zahra sudah kembali di kelas, Deraz menunggu sampai ia selesai
dengan teman-temannya akhwat DKM. Baru ketika menjelang berakhirnya jam
istirahat Deraz sempat bertanya kepada Zahra.
“Kamu mau ngomong apa tadi?”
“Mmm ... enggak jadi.” Zahra
menggeleng.
“Apa sih?” desak Deraz.
Zahra terus menggeleng.
“Jadi penasaran, tahu.”
“Enggak penting, da,” Zahra tersipu.
“Ya, tapi apa?”
Karena didesak terus, Zahra malah
balik bertanya, “Kalau Deraz mau ngomong apa tadi?”
“Mmm …” Deraz jadi berdebar lagi.
“Enggak jadi.”
“Ih ….”
Deraz tersengal geli.
“Apa?”
“Enggak penting.”
“Ih, kamu juga kayak gitu.”
Zahra mesem yang sangat indah
sekali.
Maka keadaan menjadi seperti semula. Oh, malah lebih baik
lagi. Deraz merasa semakin akrab dengan Zahra. Ketika hasil ulangan dibagikan,
ia suka berebut kertas dengan Zahra untuk melihat nilainya lebih dulu.
“Kenapa kamu bisa dapat segitu?”
Seperti semula, Deraz berlagak tidak terima ketika nilai Zahra lebih besar
daripada miliknya.
“Kenapa enggak boleh?”
“Enggak apa-apa sih. Tapi kan nanti
saya yang ranking satu.”
Zahra terperangah.
“Kamu waktu kelas X ranking berapa?” tanya Deraz lagi.
“Semester satu ranking dua, semester dua ranking
tiga.”
“Bagus. Biar saya yang ranking satunya.”
“Kenapa sih kamu ngebet banget
pengin jadi ranking satu?”
“Memang kamu enggak?”
Zahra terdiam.
“Dream big,” kata Deraz lagi.
Tetapi walaupun Deraz berbual ingin
mendapat ranking satu, ia kerap kali
ketiduran di kelas. Duduk tepat di hadapan meja guru rupanya tidak membuat
lebih awas. Tentu saja Deraz menyadari masalah ini. Sewaktu di kelas X,
aktivitas Deraz tidak kalah padat daripada sekarang. Ia juga sering kali
kekurangan tidur, tetapi masih dapat terjaga sepanjang pelajaran. Ada beberapa
asumsi yang terpikir oleh Deraz.
Yang pertama, menurut feng shui lokasi XI IPA 9 ini lebih
cocok untuk kamar tidur ketimbang ruang belajar. Memang Deraz suka membaca
artikel-artikel feng shui sembari
merancang rumah masa depannya di The Sims.
Yang kedua, sewaktu di X-1 ada Yoga
yang aktif bertanya pada guru sehingga menyulut Deraz supaya tidak kalah dari
anak itu. Secara tidak langsung, Yoga memotivasi Deraz untuk selalu terjaga dan
berkonsentrasi.
Yang ketiga, sepertinya karena
Zahra.
Zahra mulai berani membangunkan
Deraz ketika tertidur. Ia akan menyenggol Deraz dengan notes atau apa pun
hingga yang bersangkutan membuka mata.
“Deraz suka ketiduran,” kata Zahra
suatu kali.
“Iya. Bangunin, ya, kalau entar
ketiduran lagi.” Sehabis mengatakan itu, Deraz menopang sebagian wajahnya
dengan tangan. Ia menyembunyikan senyum malu karena menyadari bahwa Zahra
memerhatikannya.
“Kamu tahu enggak kenapa saya suka
ketiduran?” kata Deraz lagi.
“Kenapa?”
Sebetulnya Deraz ingin menjawab,
“Soalnya kalau di dekat kamu rasanya sejuk, bawaannya jadi ngantuk,” tetapi
malu. Bahkan dengan berpikiran seperti itu saja ia merasakan wajahnya memanas.
Jadi ia hanya mengatakan, “Karena ngantuk.”
“Ya iyalah.”
Tetapi itu membuat Zahra terkikih.
Ih, gingsulnya lucu.
Tetapi Zahra masih kerap berbicara
sambil menunduk-nunduk. Deraz jadi gatal untuk mengangkat dagunya. Dengan
perantara, tentu saja. Sempat ia kelepasan, “Kamu jangan suka nunduk-nunduk.
Sayang, senyumnya enggak kelihatan.”
Dibilangi begitu, Zahra malah
menutup mukanya dengan kedua belah tangan. Sembari menoleh pada Deraz,
pelan-pelan Zahra menurunkan tangannya hingga yang tampak hanya mata. Sekarang
malah Deraz jadi gatal untuk membuka tangan itu dengan tangannya sendiri.
Tetapi ia malah menepuk pelan kepala Zahra dengan gulungan koran lalu melengos
karena wajahnya memanas.
Ia kini tidak hanya suka menyentuh
dagu Zahra supaya tidak menunduk terus. Ia juga gemar menowel pipi gadis
itu—dengan perantara tentu saja—tanpa tujuan apa pun selain iseng belaka.
Biasanya Zahra akan menyuarakan gumaman kesal. Tetapi ia sepertinya tidak
kesal-kesal amat karena ada senyumnya sekilas.
Eh, iya, kan? Ada senyumnya, kan?
Zahra jadi merengek, “Jangan suka
kayak gitu atuh. Kamu mah kayak Arale
aja.”
“Arale?”
“Deraz enggak tahu?”
“Apa sih itu?”
“Cari tahu aja sendiri.”
“Apa sih?”
Deraz mendesak terus sampai Zahra
memberi petunjuk, “Kartun di tivi.”
Kalaupun Deraz menonton televisi,
itu tayangan sepak bola, atau pertandingan tinju, atau BBC Knowledge, atau
Discovery Channel, atau National Geographic Channel.
“Memang kenapa Arale itu?”
“Cari tahu sendiri,” Zahra
bersikeras.
Deraz mengalah. Ia menanyakannya
pada cowok-cowok OSIS yang sedang menongkrong di sekretariat.
“Dr. Slump? Wajah besar?” tanggap anak-anak.
Wajah Deraz semakin berkerut.
“Kartun. Kartun Jepang,” jelas
mereka.
“Oh.” Lalu apa hubungannya dengan
Deraz mencolek Zahra? “Tentang apa?”
“Ada penemu bikin robot namanya
Arale,” jelas Yoga.
“Terus ada alien bujurnya di kepala
tea geuningan. Lubang hidungnya teh di atas bujur. Jadi mun hitut langsung kaambu,” tambah Adip.
Tidak seorang pun menyebut soal
Arale menemukan tahi di jalan, yang lalu dicolek-coleknya dengan ranting. Lalu
tahi itu dapat berbicara.
Deraz bertambah-tambah mengernyit.
“Tah, si Odong-odong nu ngoleksi kartun Jepang mah,” ujar
Jati. “Arafuru!” panggilnya pada Alf. “Omae
wa mou shindeiru nani watashi wa kura-kura ninja daihatsu honda moshi-moshi!”
“Ngomong naon ari sia?” tanggap Alf, yang terganggu dari keasyikannya
menonton School Rumble di komputer
sembari melahap cimol.
“Urang ngomong basa maneh.”
“Basa naon, anjir?”
“Maneh boga Arale, teu?”
“Enggak ada, euy. Nonton we di tivi.”
“Aya keneh kitu?” sambut Jati.
“Ini si Deraz pengin nonton ceunah,” sambung Gilang. “Cariin atuh, Alf, VCD-na, biar si Deraz bisa nonton di sini. Ah, kamu mah dasar ketua
OSIS payah, mengecewakan, ngoleksi anime
teh meni teu lengkap.”
“Heu, teu baleg sia jadi ketua OSIS teh,” kompor Jati.
“Naha urang?” Alf menoleh.
“Ketua OSIS bandar JAV!” timpal yang lain.
“Eh, ssst, jangan bilang-bilang!”
“Udah, lupain aja,” Deraz menutup
percakapan. Ia sendiri lupa bahwa anak-anak OSIS kadang tidak bisa diandalkan.
Ketika hendak kembali ke kelas,
Deraz melewati papan pengumuman dan membaca tentang pendaftaran Olimpiade Sains
Nasional. Ia memberitahukan informasi itu kepada Zahra.
“Kamu kan pinter. Ikutan aja.”
“Kamu mau?”
“Pengin sih.”
“Ikut olimpiade apa, ya?”
“Saya mau ikut Biologi,” kata
Deraz. Seketika itu juga terlintas ide di kepalanya. “Ke Gramedia yuk, cari
buku latihan soal.”
“Kenapa enggak ke Palasari aja?”
“Gramedia aja.”
Deraz lebih nyaman dengan toko buku
besar ber-AC berapa pun harga bukunya. Lagi pula, ini kesempatan jalan-jalan
bersama Zahra. Masak cuma ke toko buku? Memangnya di sekitar Palasari ada apa?
Setelah dari Gramedia di Jalan Merdeka kan mereka bisa melanjutkan ke Bandung
Indah Plaza atau ke taman balai kota.
“Mau?” Tentu saja Deraz tidak
membeberkannya. “Sabtu besok?”
“Mmm …. Ya udah.”
Deraz tidak sabar menantikan hari
itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar