Sebenarnya yang menjadi bulan-bulanan di OSIS bukan melulu
Deraz. Ada juga Ipong dan Soraya, yang suka meledek satu sama lain.
“Leader boyband lu!” ledek Soraya pada Ipong.
“Ketua geng AADC!” balas Ipong pada
Soraya, yang memang punya kumpulan sendiri di OSIS, terdiri dari cewek-cewek
seperti dirinya.
“Dasar bos mafia!” Soraya menyindir
badan Ipong yang mungil, dibandingkan dengan cowok-cowok lain di band yang pada tinggi tegap.
Yang ditanggapi Ipong ketika Soraya
jauh, “Oi, Dian Sastro! Yang rambutnya panjang, lurus, seksi, bahenol ….”
Soraya berbalik, “Siapa? Gue?”
“… KW 3!”
Cowok-cowok di sekitar Ipong pada
tergelak.
Bukan hanya Ipong, cowok-cowok OSIS
lain juga senang menggoda Soraya, yang biasa dipanggil Aya. Mereka suka
memanggil Soraya dari jauh.
“Ya, Aya!”
“Naon sih?”
“Aya-aya wae!”
“Hahahaha ….”
Pada kesempatan lain,
“Aya, kamu jangan kawin dan
beranak-pinak, ya?”
“Enak aja lu, ngelarang-larang.”
“Soalnya kalau entar lu jadi
ibu-ibu, lu jadi Bu Aya.”
Tawa cowok-cowok membahana.
Kali lainnya,
“Soraya! Soraya Haque!”
“Apa sih?” Soraya berbalik dengan
sebal.
“Haque sepatu!”
“Enggak lucu!”
Selalu ada kor tawa cowok-cowok di
latar.
Selain OSIS, Soraya juga aktif di
ekskul dance, yang menambah bahan
olokan para cowok.
“Ya, lu anak MODAR-SON, ya?”
“DANSON! Dance SMANSON!”
“Iya kan, Modern Dance SMANSON?”
“Ah, terserah!”
“Pantes lu gordes,” atau gorowok desa,
istilah yang disematkan pada cewek bersuara cempreng lagi nyaring.
“Dance gue mah enggak pakai teriak-teriak. Itu cheerleaders kali!”
“Tetep aja lu gordes.”
“Ya, lu tahu enggak, Deraz tuh rate-nya sepuluh, tapi kalau nyanyi,
jadi enam. Kalau Ipong, rate-nya
enam, tapi kalau nyanyi, jadi manusia enam juta dolar. Kalau lu, dari jauh sih
delapan, dari deket sepuluh, tapi kalau bersuara, jadi minus delapan belas!”
“Hahahaha ….”
“Kamu mah muji teh meni enggak ikhlas ih!”
Walau bukan hanya Deraz yang
menjadi sasaran perundungan, tetap saja pada akhirnya semua dikaitkan dengan
dirinya.
Awalnya yaitu ketika Deraz mulai
bersepeda ke sekolah. Ipong suka menebeng Deraz dengan duduk di rangka bagian
atas sepedanya. Pemandangan itu begitu lucu bagi anak-anak karena perbedaan
ukuran badan keduanya yang sangat kentara. Mereka mulai menyebut keduanya Papa
Deraz dan Dek Ipong. Begitu Ipong turun dari sepeda hendak memasuki sekretariat
OSIS, anak-anak menyalaminya dengan menempelkan punggung tangan mereka pada
dahi anak itu. “Eh, Dek Ipong, udah gede, ya. Habis diajak jalan-jalan ke mana
sama Papa Deraz?”
“Hah?” awalnya Ipong bingung dan
kaget.
Kepada Deraz mereka bersikap
biasa-biasa saja. Kepada Ipong mereka terus meledek dengan gencar.
“Deraz waktu SD badannya udah kayak
anak SMA. Lu udah SMA kok badannya masih kayak anak SD?”
“Lu tuh kayak ABG nanggung, tahu
enggak, Pong. Udah ABG, nanggung lagi!”
“Dek Ipong, mamanya ke mana? Kok
enggak pernah kelihatan?”
Namun Ipong luwes saja menanggapi
olokan anak-anak. Malah kadang ia terbawa oleh peran.
“Mama gue hilang, lenyap ditelan
bumi.”
“Enggak tahu, tanya aja papa gue.”
“Berisik lu, Mbah!”
“Heh, heh, ngajak berantem lu, ya!”
Gilang yang dikatai si “Mbah” menghampiri Ipong. Namun ia berbalik lagi.
“Enggak tega gue, berantem sama anak kecil.”
“Hei, gue bilangin papa gue lu,
ya!” Ipong menunjuk-nunjuk dengan galak.
“Papanya serem, njir, yang punya
Anyer-Panarukan! Entar enggak bisa mudik lu!” kompor Jati.
“Diem lu, Pakde!”
Dalam usaha menyingkap sisi
misterius Deraz sekaligus mencarikan mama untuk Ipong, anak-anak mengajak
Soraya yang kebetulan ada di sekitar mereka untuk bermain Truth and Dare. Ketika Soraya kena, anak-anak memaksanya untuk
menerima Dare. “Tembak tuh si Dare Ass! Si Bujur Berani!”
“Tapi kan gue udah punya cowok!
Anak ITB!”
“Ih, si Aya pacaran sama om-om!”
“Dia masih tingkat satu, tahu! Baru
masuk kemarin! Anak SMANSON juga, OSIS, si Kang Ivan! Ivan Nugraha!”
“Enggak mau tahu. Tetep aja om-om.
Pacaran tuh sama yang sesuai umur! Sama Deraz, misalnya.”
“Ayo, Ya, tembak, Ya.”
“Percobaan aja ini mah, Ya. Sugan Deraz daekeun ka maneh. Mun heu euh
kan kita bisa cariin dia cewek yang tipenya kayak kamu.”
“Aya! Aya! Aya!” Para cowok
bertepuk tangan memberi dukungan.
Sembari berdesah, Soraya maju
menghampiri Deraz yang sedang mengobrol dengan Yoga.
“Raz, lu mau jadi cowok gue,
enggak?”
Deraz melirik Soraya sepintas, lalu,
“Enggak,” matanya kembali pada Yoga.
Soraya berbalik seraya mengacungkan
kedua jari tengahnya. Satu untuk Deraz, satu untuk cowok-cowok yang
menertawainya.
Puncaknya ketika anak-anak OSIS
hendak melakukan survei ke Situ Lembang untuk suatu acara. Sabtu pagi mereka
berkumpul di pelataran sekolah. Kebanyakan membawa motor. Kepala sekolah yang
kebetulan lewat menyapa, “OSIS apa geng motor ini teh?”
“Geng OSIS momotoran, Pak!” sahut
anak-anak kompak.
Setelah memarkirkan sepedanya,
Deraz menghampiri kumpulan. Ia hendak menebeng mobil Yoga.
“Enggak pakai sepeda, Raz?” tanya
anak-anak bercanda.
“Enggak,” jawab Deraz serius.
“Kamu enggak bawa motor aja ke
sekolah, Raz?” tanya seorang anak.
“Belum ada KTP.”
“Si Deraz mah taat peraturan, ya,”
bisik anak-anak. “Padahal nembak we.”
“Jangankan nembak SIM, nembak cewek
aja wallahualam.”
Lalu berangkatlah mereka
beramai-ramai. Dari tempat parkir, mereka harus menembus hutan untuk mencapai
barak yang dituju.
Setelah memasuki hutan cukup dalam,
tiba-tiba Deraz merasakan panggilan alam. Ia menyesal tadi pagi mengiyakan
ketika Bunda menawarinya teh herbal, yang ternyata enak sehingga diminumnya
bercangkir-cangkir. Deraz lalu menyimpang mencari tempat tersembunyi.
Ketika kembali ke jalan setapak,
Deraz hanya mendapati Soraya yang sedang duduk di batu. Dari nada bicaranya,
sepertinya cewek itu sedang menelepon pacarnya.
Ketika Deraz melewatinya, Soraya
tersadar bahwa tidak ada siapa-siapa lagi di belakang. Sontak ia berdiri dan
menyudahi percakapan. Ia mengikuti Deraz hingga jalan yang mereka susuri
bercabang. Deraz mengambil jalan ke kanan. Soraya mengikuti saja karena percaya
cowok lebih andal dalam menentukan arah, biasanya. Tetapi lalu mereka menemui
palang. Deraz berdecak. Alih-alih berbalik ke arah semula, ia menembus semak-semak
di sebelah kiri.
“Lu yakin, Raz?” tegur Soraya.
Deraz tidak menjawab, sehingga mau tidak mau Soraya mengekor.
Sementara itu, anak-anak yang sudah
sampai di barak menyadari bahwa rombongan mereka tidak lengkap. “Si Deraz sama
si Aya ke mana?” Mereka mencoba menghubungi keduanya lewat telepon. Nada
sambung masih berjalan ketika tiba-tiba Deraz dan Soraya muncul dari
semak-semak.
Sejak itu, mereka dinobatkan
sebagai suami-istri.
“Itu suami kamu, Ya,” kata
anak-anak ketika Deraz memasuki sekretariat OSIS.
“Harus berapa kali sih gue bilang
kalau gue udah punya cowok?!”
“Lah, terus ngapain lu sama dia
kemarin di semak-semak?”
“Kita tuh nyasar!”
“Aaah …. Nyasar apa menyasarkan
diri?”
“Nyesel lu, Ya, kalau menampik
Deraz. Lihat deh entar kalau dia udah jadi panglima tempur geng motor,” kata
Jati.
“Cita-cita Deraz kan jadi presiden
AS pertama yang WNI. Di kamarnya aja banyak novel Tom Clancy,” sambung Gilang.
“Anak ITB mah cetek.”
“Ngarang lu!”
Imajinasi anak-anak semakin
berkembang.
“Ya, kemarin gue lihat Deraz
ngerokok di warung Dunhill,” ujar Gilang.
“Habis itu nyuri mangga, terus
rurujakan sama anak-anak geng motor, Ya,” timpal Jati.
“Terus ngerampok Alfamart, Ya,
ngambil wiski buat nemenin ngegaple,” lanjut Gilang.
“Lihat deh entar, si Deraz masuk
matanya merah habis begadang,” pungkas Jati.
Memang setelah itu Deraz memasuki
sekretariat OSIS dengan mata merah diiringi Ipong. Deraz menyalakan komputer
lalu mengganti foto dirinya yang baru pada desktop
dengan gambar padang pasir.
“Deraz habis begadang, ya?” Soraya
mencoba beramah-tamah.
“Iya,” sahut Deraz, yang teredam
oleh sorakan anak-anak.
“Kerokin dong, Ya! Jadilah istri
berbakti!”
Ipong yang baru duduk ditegur.
“Hei, Pong, mama lu udah ketemu nih!”
“Cuih, enggak sudi gue punya mama
gembong AADC!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar