Sabtu pagi itu sejak Bandung Indah Plaza baru dibuka Alf dan
Ipong sudah menongkrong di Game Master. Mereka menjadi orang pertama yang
menginjak mesin Dance Dance Revolution hari itu. Namun, setelah beberapa lagu
permainan menjadi tidak asyik lagi. Alf dan Ipong membiarkan mesin itu diambil
alih orang lain yang sudah mengantre sejak mereka menarikan lagu kedua.
“Mana, si Rika, ceunah rek dateng?” Alf menyinggung
Sekretaris Umum OSIS. “Urang teh ka dieu gara-gara
maneh bilang si Rika rek dateng. Urang rek nge-date yeuh jeung
manehna, terus maneh jalan sorangan we. Tapi naha jadina urang kalah nge-date
jeung maneh?”
“Cuih! Kalau jadi homo juga gue
pilih-pilih kali!” balas Ipong seraya mengecek ponselnya. Ia berdecak. “Si
Rieka enggak jadi ceunah. Mau nge-date sama si Dendeng.”
Alf berdesah kecewa. Ia mengulang,
“Si Dendeng,” alias Dean sedeng.
Para cowok masih tidak habis pikir
kenapa si kembang SMANSON malah jadian dengan si Dendeng. Sewaktu Rieka masih
pacaran dengan akang pentolan Siswa Keamanan SMANSON atau SAMSON atau
SISKAMSON, mereka segan mendekati gadis itu. Sekarang, setelah Rieka punya
pacar baru yang secara pembawaan berbalikan seratus delapan puluh derajat
dibandingkan dengan pacar sebelumnya, mereka menjadi malas betulan.
“Mun si Rika jadian jeung
si Deraz, urang maklum keneh,” sambung Alf.
“Kenyataan memang kadang lebih aneh
daripada fiksi,” tanggap Ipong, sementara mengirim SMS bujukan pada Rieka agar
membatalkan acara date yang pasti
tidak penting-penting amat itu.
“Seandainya si Dean beneran cewek, maneh daek, moal?”
“Moal, njir. Kejangkungan buat urang
mah. Engke dikira mama urang, deui,” sahut Ipong seraya
memasukkan ponsel ke saku celana. “Ari
maneh kumaha? Daek moal? Si Dean
dititah operasi ganti kelamin we.”
“Geuleuh, anjir.”
Ipong cekikikan.
“Jadi fix ieu teh si Rika moal
dateng?” ujar Alf lagi.
“Fix-keun we lah. Hoream
nungguanna ge.”
“Ka mana atuh, yah? Nanggung euy
kalau pulang lagi. Baru sebentar di luar,” keluh Alf.
“Ke balkot we atuh, yuk. Urang rek nonton komunitas dance anu sok latihan di dinya.”
Alf dan Ipong beranjak dari jongkok
di sisi luar Game Master. Sembari jalan mereka terus menggunjingkan Rieka dan
pacar barunya yang ternyata satu SD.
“Kamu deket kan sama si Rika? Satu
SMP? Naon ceunah alasannana jadian jeung si Dean?” tanya Alf.
“Argh, teuing.” Ipong mengangkat bahu.
“Bogoheun ti SD, kitu?
Tapi gengsi meureun nya, jeung si
Dean. Tapi pas SMA ketemu deui jadi
menyerah.”
“Wallahualam lah pokona.” Ipong menggaruk-garuk kepala
seraya memandang ke jalan.
“Jiga pasangan lesbi, anjir,” Alf terus saja tidak habis pikir.
Di taman balai kota, alih-alih
menemukan komunitas dance yang
dimaksud Ipong, mereka malah mendapati pemandangan mengejutkan. Ipong menahan
laju Alf lalu menunjuk ke salah satu bangku yang dilatari jembatan penyeberang.
“Astagfirullah,” gumam Alf.
Mereka tertegun memandangi Deraz
yang sedang duduk berdua dengan seorang cewek berjilbab.
“Asa pernah lihat,” kata Alf.
“Anak SMANSON jigana mah,” sambung Ipong.
Dari tempat Alf dan Ipong berdiri,
tentu saja tidak terdengar yang dipercakapkan oleh Deraz dan Zahra. Deraz dan
Zahra sendiri belum lama duduk di situ sehabis dari Gramedia. Mereka baru
memesan sepiring tahu gejrot untuk masing-masing. Tentu saja Deraz memesan
makanan itu hanya karena ikut-ikutan Zahra. Untung rasanya lumayan dan
menyegarkan.
Deraz menjadi bernostalgia.
Sesekali ia menoleh ke belakang, melihat SD tempatnya pernah bersekolah. “Dulu
waktu SD suka main bola di sini,” cerita Deraz. “Terus ada om-om yang suka
ngelihatin Dean.”
“Memang om-omnya kenapa?”
“Dia suka buka ritsleting celananya
gitu kalau lihat Dean.”
“Ih!” Serta-merta Zahra menutup
kedua belah kupingnya.
Deraz mesem sembari melahap
sepotong tahu lagi. Tentu saja ia tidak menyadari bahwa tidak jauh dari situ
Alf menyodok lengan Ipong.
“Deraz makan tahu gejrot!” bisik
Alf.
“Iya, gue lihat!” Ipong balas
berbisik dengan galak, sembari mengusap-usap lengannya yang kena sodok.
Sementara itu, Zahra meletakkan
piringnya yang sudah kosong dan menyadari keberadaan penjual lumpia basah.
“Deraz, aku mau beli lumpia basah
dulu, ya. Deraz mau juga?” tawar Zahra sembari mengembalikan piring pada emang
penjual tahu gejrot, yang sedang duduk pada dingklik di dekat mereka.
Lumpia basah? Yang mirip muntahan
lalu dimasukkan ke plastik dan diaduk-aduk itu? Deraz menggeleng. Tahu gejrot
di piringnya saja belum habis, dan begitu Zahra memelesat pergi selera makannya
lenyap.
Alf dan Ipong buru-buru beringsut
ke balik tetumbuhan.
“Pong, coba si Deraz di-SMS. Lagi
apa, gitu.”
“Ah, pikeun naon.”
“Perintah dari Mitratama!” tegas
Alf.
Ipong menurut juga, karena ia
sendiri penasaran. Ia berjongkok dan mulai mengetik “Lagi di mana?” di ponsel.
SMS terkirim. Deraz menyadari ada pesan baru di ponselnya. Alf dan Ipong terkikik-kikik
mengamati ekspresi Deraz.
“Lagi di balkot,” jawab Deraz.
“Lagi apa?”
“Jalan-jalan.”
“Sama siapa?”
Zahra keburu datang membawa
sebungkus lumpia basah. Deraz memasukkan kembali ponsel ke saku celana. Zahra
mulai menikmati kudapan barunya dengan sumpit sesuap demi sesuap, sembari
sesekali meniup-niup karena masih panas. Setelah beberapa suapan, ia menawarkan
pada Deraz, “Deraz mau?”
Deraz menggeleng sembari tersenyum
sopan, berusaha menyembunyikan rasa jijik. Namun Zahra memerhatikannya.
“Kenapa?”
“Enggak.” Perhatian Deraz malah
berfokus pada bibir Zahra yang menjadi basah. Dadanya menjadi berdebar tidak
keruan. “Sebenarnya itu kayak muntahan,” Deraz bahkan tidak tahu kenapa ia
malah mengungkapkan isi hatinya. Ia menundukkan pandang.
Zahra tidak jadi memasukkan suapan
baru ke mulutnya.
“Tapi aku suka,” ia berucap.
“Oh … please deh,” sahut Deraz tanpa melirik.
“Kamu yang please deh,” balas Zahra. Ia lanjut melahap suapan lalu mengulum
ujung sumpit seakan-akan berpikir. “Cobain deh.”
“Enggak. Saya enggak mau kena
diare.” Deraz mengangkat wajah seraya menggeleng dan menatap ke arah lain.
“Enggak bakal.”
“Nanti saya keracunan.”
“Kamu mah hiperbola ih.”
Deraz tidak mesem. Ia terkejut
ketika tiba-tiba gumpalan mirip muntah itu teracung ke bibirnya.
“Cobain dulu.”
Deraz menggeleng sambil
mengangkat-angkat pundak. Dobel ogah.
Alf dan Ipong mengamati itu dengan
penuh antusias dan ketegangan, seakan-akan sedang menyaksikan pertandingan
bola. Apakah tim lawan akan berhasil mencetak gol? “Masukkin! Masukkin!
Masukkin!” Mereka mengempaskan tinju ketika bola akhirnya bersarang di gawang.
Mereka berteriak kegirangan tanpa suara dan menyelamati satu sama lain.
Deraz mengunyah gumpalan itu. Ia
bisa merasakan taoge dan telur, lalu ada semacam jelly yang kenyal lagi lembek berasa manis. Ia menelannya dengan
susah payah, tetapi senyum Zahra menjadikannya indah. Deraz berdesah ketika
semuanya berhasil melewati mulut dan memulai perjalanan menuruni kerongkongan.
“Lagi?”
“Enggak.”
Deraz mengeluarkan botol minum dari
ransel selempang Eiger miliknya, dan meneguk air banyak-banyak. Zahra lanjut
menghabiskan lumpia basah sembari memerhatikan Deraz dengan penuh tanya.
“Njir, gue enggak tahan lagi.
Samperin yuk!” kata Ipong.
“Ya, saya juga mikir kayak gitu,”
Alf mengangguk-angguk. “Terus habis itu ngapain? Saya enggak kenal sama
ceweknya.”
“Makanya itu kenalan!”
Ipong meloncat keluar dari
semak-semak, diikuti Alf. “Hei, Deraz …!” panggilnya seraya melambaikan tangan.
Serta-merta Deraz dan Zahra tampak terkejut. Ipong menghampiri mereka. Ia
mengulurkan tangan pada Zahra. “Hei, gue Ipong.”
Namun Zahra membalas dengan
mengatupkan kedua belah tangannya sembari menunduk dan tersipu. “Zahra,” ucap
gadis itu lirih.
Ipong menarik tangan lalu
mengarahkannya pada Alf yang baru tiba. “Ini Alf, ketua OSIS.”
“Hai,” ujar Alf sembari mengangkat
sebelah tangan.
“Kamu anak SMANSON juga, kan?” kata
Ipong lagi.
“Iya,” Zahra mengangguk sembari
tetap menunduk.
“Temen di ekskul apa temen
sekelas?” lanjut Ipong, sembari melirik pada Deraz juga.
“XI IPA 9,” terang Deraz.
“Oooh ….” Ipong manggut-manggut.
“Tadi gue sama Alf habis DDR-an di BIP terus mau lihat yang suka nge-dance di sini. Eh, malah ketemu kalian,”
jelasnya. “Kalian dari mana?” sambungnya, karena Deraz dan Zahra tidak segera
menjawab. Zahra menunduk terus.
“Dari Gramedia. Beli buku.” Deraz
mengangkat plastik berlogo Gramedia yang berisi buku.
Ipong manggut-manggut lagi. Setelah
itu, yang terdengar seolah-olah hanya bunyi serangga padahal banyak orang
lainnya yang beraktivitas di taman itu.
“Cuaca hari ini cerah, ya!” Alf
memecah keheningan seraya memandang ke langit dan berkacak pinggang.
Ipong ikut-ikutan mendongak. “Iya,
ya. Kayaknya sebentar lagi waktunya makan siang deh.”
“Gimana kalau kita makan bareng di
BIP?” usul Alf.
“Sebentar lagi kami mau pulang,”
ucap Deraz.
“Ah, jangan gitu dong! Masak lu
ngebiarin gue duaan sama si Alf sih? Temeninlah!” bujuk Ipong. “Memangnya lu
lagi ada acara mendesak banget, Raz?”
Deraz bergumam. “Enggak juga sih.”
Ia menoleh pada Zahra. “Kamu gimana?”
“Aku mau pulang aja,” sahut Zahra
tanpa mengangkat kepala.
“Ikutan ajalah,” ajak Alf. “Makin
banyak kan makin rame!”
“Iya, si Alf mau bayarin ceunah,” tambah Ipong.
“Habis itu kalian bayar ke urang,” timpal Alf.
“Ikut aja,” ajak Deraz pada Zahra.
“Ya udah,” sahut Zahra lirih.
Kepalanya tetap tidak terangkat.
Mereka melangkah keluar dari taman.
Di dekat jembatan penyeberangan, Zahra berujar, “Enggak naik jembatan aja?”
Cowok-cowok menoleh dan memandang jembatan itu, lalu serempak menggeleng.
Padahal arus Jalan Merdeka saat itu
cukup deras. Deraz dan Zahra berjalan di depan Alf dan Ipong. Begitu merasa
arus cukup sepi, Deraz hendak melangkah tetapi sekaligus menoleh pada Zahra.
Gadis itu tampak ragu-ragu hendak menyeberang. Serta-merta ia menggaet tangan
Zahra dan menariknya menembus arus.
Tentu saja Alf dan Ipong
menyaksikan itu. Mereka tertahan di trotoar, berpandangan.
“Foto, ari kamu, buru!” titah
Alf.
Ipong terburu-buru mengeluarkan
ponsel dari saku celana sampai benda itu nyaris tergelincir dari tangannya.
Namun Deraz dan Zahra keburu sampai di seberang. Selagi berjalan menuju
perempatan berikutnya, Zahra menegur, “Deraz, mau dipegangin terus?”
Deraz tersadar dan segera
melepaskan tangan Zahra.
Ketika Alf dan Ipong berhasil
sampai ke seberang, Deraz dan Zahra sudah berjarak sekitar satu meter antara
satu sama lain.
Selagi makan di BIP, Alf dan Ipong
berusaha mengorek lebih jauh tentang Zahra. Tetapi gadis itu melulu menunduk,
tersipu, dan bersuara lirih. Berangsur-angsur percakapan cuma diisi oleh Alf, Deraz,
dan Ipong mengenai OSIS dan sebagainya.
Keluar dari restoran, mereka
melewati photo box. Serta-merta Alf
dan Ipong mengajak Deraz dan Zahra untuk berfoto bersama. Keduanya menurut saja
diajak menjejali kotak sempit itu. Deraz masuk duluan, disusul Alf. Ipong
asalnya berada di depan Deraz, sedang Zahra di sampingnya. Tetapi kemudian
Deraz bertukar tempat dengan Alf sehingga ia berdiri di belakang Zahra. Jepret
empat kali. Bagi-bagi foto.
Setelah salat zuhur di musala,
mereka hendak berpisah di pelataran BIP. Alf dan Ipong terkejut ketika Deraz
melangkah ke jalan tanpa menggandeng Zahra lagi. Jangankan digandeng, diajak
saja tidak.
“Deraz, mau ke mana? Masak si Zahra
ditinggal gitu aja?!”
Deraz dan Zahra sama-sama memandang
Alf dan Ipong dengan heran. Bukankah mereka sudah dadah pada satu sama lain
tadi?
“Sepeda diparkir di Gramedia,” kata
Deraz.
“Kamu naik sepeda?! Terus si Zahra
gimana?”
Mereka tidak bisa membayangkan
Zahra menebeng Deraz dengan duduk di rangka bagian atas sepedanya seperti yang
biasa dilakukan Ipong. Mending jika sepeda Deraz jenis onthel dengan boncengan di belakang, walau akan terlihat janggal di
jalanan pada medio 2000-an. Tetapi sepeda Deraz sesungguhnya jenis balap
keluaran baru Polygon yang harganya sekian juta.
“Naik angkot, kan?” Deraz menuding
Zahra.
“Iya, naik angkot,” ujar Zahra
malu, tidak lupa pakai menunduk.
“Idih, meni teu romantis!”
Namun Deraz keburu melangkah lagi,
walau sempat melayangkan kernyit pada Alf dan Ipong. Zahra juga buru-buru
pamit, walau tadi sebetulnya sudah. “Eh, saya duluan, ya,” ucap gadis itu lalu
berjalan cepat-cepat ke pangkalan angkot.
Alf dan Ipong termenung.
“Rek DDR-an deui?” tawar Alf.
Ipong menurut.
“Untung si Rieka teu jadi miluan,” gumam Ipong selagi berjalan kembali ke lantai atas.
“Naon, Pong?”
“Naon?” balas Ipong seakan-akan tadi tidak berucap apa pun.
Alf jadi kehilangan minat untuk
bertanya lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar