Deraz mendekati Bunda yang sedang duduk di ruang tengah.
Bunda tampak sibuk mengerjakan sesuatu dengan laptopnya.
“Bu,” panggil Deraz.
“Ya, sayang,” Bunda menoleh.
“Saya ingin pulang.”
Bunda tercengang. Ia menyuruh Deraz
duduk di sampingnya.
“Pulang ke mana? Rumah Deraz kan di
sini.”
Sesaat Deraz diam, lalu berkata,
“Anjing saya.”
“Anjing?” Bunda teringat sewaktu
mereka meninggalkan rumah Opa Buyut. Ada seekor anjing herder mengejar mobil
yang mereka tumpangi. Di jok belakang Deraz berlutut menghadap ke kaca. Ia
terus memandangi anjing itu hingga tidak terlihat lagi.
“Ada apa?” Ayah masuk ke ruang
tengah dan duduk di kursi dekat mereka.
“Deraz ingat sama anjingnya,” kata
Bunda.
“Kasih makan aja itu kucing di
luar. Kan ada banyak. Nanti juga datang ke sini terus,” ujar Ayah.
“Kucing di luar mah jelek-jelek,
Ayah,” tiba-tiba Zara menimbrung. “Aku penginnya kucing persia.”
“Barang-barang saya,” tambah Deraz
kemudian. Ia ingat pada buku-buku kesayangannya, teropongnya, alamat para
sahabat penanya, jurnal-jurnalnya.
“Barang-barang apa? Beli di sini
saja yang baru,” kata Bunda. “Deraz mau apa? Nanti dibelikan.”
“Kapan kita ke sana lagi?” tanya
Deraz.
“Kapan-kapan,” sahut Ayah.
Deraz kembali ke kamar. Ia menulis
surat seperti dulu ia menulis surat untuk keluarganya di Indonesia juga para
sahabat penanya. Tetapi kali ini ia menujukannya untuk Olga, Günther, bahkan
Bruno meskipun ia tahu anjing itu tidak akan dapat membacanya. Dalam surat
untuk Olga, ia meminta wanita itu supaya membacakan suratnya untuk Bruno.
Setelah selesai, Deraz menyerahkan
surat-surat itu pada Bunda. Tentu saja Bunda bertanya-tanya kepada siapa saja
Deraz hendak mengirimkannya.
“Kirim saja,” kata Deraz.
“Iya, nanti Bunda kirimkan,” Bunda
mengalah.
Deraz terus menanyakan surat-surat
itu hingga Bunda benar-benar mengirimkannya.
Deraz juga terus menanyakan kapan,
kapan, dan kapan. Ia berterus terang ingin membawa Bruno kemari. Ayah terkesiap
mendengarnya. “Di sini enggak boleh pelihara anjing,” kata Ayah.
“Kenapa?” Ia ingat anak-anak di
kelas mengatakan bahwa anjing itu “najis”.
“Najis” itu apa?
“Kotor,” sambung Ayah.
Tetapi Bruno tidak kotor. Deraz
suka memandikan Bruno bersama Olga minimal seminggu sekali, bahkan membersihkan
giginya dengan sikat.
“Kucing aja,” kata Ayah.
“Jadi beli kucing persia, Yah?”
tanya Zara.
“Tamagotchi kamu aja jarang dikasih
makan,” sahut Ayah.
“Ah, Ayah, da enggak beneran itu mah, enggak rame,” Zara merajuk.
“Sok itu Kak Deraz diajarin Tamagotchi,” suruh Ayah.
Deraz mulai menyadari bahwa kapan-kapan itu berarti tidak akan
pernah. Orang tuanya tidak akan pernah membawanya kembali ke sana. Bunda bahkan
tidak kunjung sempat membawanya berziarah ke kubur Oma Buyut. Padahal sewaktu
di pesawat Bunda bilang, “Nanti di Indonesia Deraz bisa nengok makam Oma Buyut
kapan aja.” Tetapi ternyata Oma Buyut dikuburkan di pemakaman keluarga di luar
kota, yang berjarak dua-tiga jam dengan mobil. Ketika diingatkan, Bunda selalu
berkata, “Nanti, ya, belum ada waktu.”
Ketika Dean tidak ada di kamar,
Deraz menarik kopernya ke luar dari bawah tempat tidur. Ke dalam koper itu ia
menambahkan setiap lembar uang jajannya. Tumbuh angan-angan Deraz bahwa suatu
saat jumlah uang itu akan mencukupi untuk dibelikan tiket pesawat ke Jerman. Ia
akan kembali tinggal di rumah Opa Buyut di kaki bukit, dan hidup bahagia
bersama Bruno untuk selama-lamanya.
Tetapi Dean mulai mengambili uang
jajannya.
“Yah, Deraz, uang jajan aku habis.
Pinjem dulu dong,” kata Dean dengan bibir berlepotan saus cakue. Deraz
menampakkan keengganannya, tetapi Dean terus membujuk. “Sayang tahu uangnya
kalau enggak pernah dijajanin.”
Huh, jangan bilang kalau uang itu
juga akan menangis karena tidak dihabiskan!
Dean tidak bilang begitu. Tetapi
melihat paras Dean yang kelaparan padahal baru melahap empat bungkus cakue,
Deraz merasa tidak tega. Ia pun memberi sebagian uangnya pada Dean, yang segera
disambut dengan sorak gembira.
Kebiasaan itu berlanjut sampai di
rumah. Tampaknya Dean diam-diam menghitung uang jajan Deraz. Deraz tidak pernah
jajan dan cuma memberikan sebagian uangnya pada Dean. Itu artinya masih ada
sebagian lain uang Deraz.
Ketika emang bakso lewat di depan
rumah, Dean berlari pada Deraz. Saat itu hanya ada mereka berdua, Zara, dan Bik
Odah—pembantu yang tidak ikut tinggal di rumah itu. Zara sudah belajar untuk
mempertahankan sisa uangnya mati-matian jika diminta Dean, sedang Dean sudah
diberi tahu Bunda berkali-kali untuk tidak meminta jajan pada Bik Odah.
“Deraz, aku mau beli bakso. Uang
kamu masih ada, kan?”
Deraz diam saja. Tentu saja Deraz
tidak mau memberikan uangnya, tetapi Dean memasang wajah yang mengingatkan dia
pada Bruno ketika sedang lucu-lucunya. Deraz menggeram. “Berapa?!” Dean
tersenyum lebar dan menyebutkan jumlah uang yang ia perlukan. Deraz menyuruh
Dean keluar dari kamar dulu dan menutup pintu. Sembari mengeluarkan koper,
Deraz terus mengawasi pintu untuk memastikan Dean tidak membukanya dan
mengintip.
Kejadian itu berulang lagi, lagi
dan lagi. Malah entah bagaimana akhirnya Dean tahu bahwa Deraz menyimpan
uangnya dalam koper di bawah tempat tidur. Ia bahkan meminta Deraz untuk
membukakan kunci koper itu.
“Use your own money!” Deraz geregetan.
“Tapi emang baksonya udah nungguin
…!” rengek Dean sambil menjejak-jejakkan kaki.
“Nooo …!”
“Please ….”
Terlambat. Deraz sudah telanjur
melihat wajah memelas Bruno kecil pada Dean.
“Berapa!?”
Dean menyebutkan jumlah uang dengan
jari-jarinya.
“Kamu keluar dulu!”
Dean menurut dengan senyum
semringah.
Sementara Dean menikmati semangkuk
bakso, Deraz menekuk lutut di samping kopernya. Kalau begini terus, kapan
uangnya akan cukup untuk membeli tiket?
Ketika berdiri, dari jendela ia
melihat sepeda Dean terparkir di teras belakang. Ia belum pernah melihat Dean
menggunakan barang itu, tetapi dalam perjalanan pergi-pulang sekolah kadang ia
mendapati ada orang yang mengendarainya.
Tetap saja ia membutuhkan kendaraan
lain untuk menyeberang dari pulau ke pulau, jika ia hendak bersepeda sampai ke
Jerman. Mungkinkah harga tiket feri lebih murah daripada pesawat? Ia
mengingat-ingat globe di perpustakaan Opa Buyut. Opa Buyut pernah menunjukkan
pada Deraz bahwa mereka tinggal di satu titik di daratan Eurasia yang sangat
luas, sementara keluarganya tinggal di pulau kecil bernama Jawa yang letaknya
di bawah globe. Antara Eurasia dan Jawa terdapat pulau yang sedikit lebih besar
bernama Sumatra. Feri itu kapal untuk menyeberang laut dalam jarak pendek,
seperti yang pernah dinaikinya sewaktu Opa-Oma Buyut mengajaknya berjalan-jalan
ke Laut Baltik. Jadi untuk menyeberang langsung dari Jawa ke Eurasia sepertinya
terlalu jauh jika menggunakan feri. Maka dari Jawa Deraz bisa menyeberang dulu
ke Sumatra dengan feri, kemudian dari ujung Sumatra ke Eurasia menaiki feri
lagi. Selebihnya Deraz bisa mengendarai sepeda. Deraz tertegun oleh idenya
sendiri.
Tetapi perasaan mendorongnya untuk
keluar dari kamar. Sambil menggiring sepeda itu ke luar rumah, Deraz berkata
pada Dean, “Saya pinjam sepeda kamu!” seakan-akan dengan itu mereka impas.
“Oke!” sahut Dean. Sejak Ayah
mencopot roda pengaman dari sepeda itu sehingga jumlahnya tinggal dua, Dean
tidak tertarik lagi menaikinya.
Di luar matahari terik. Tetapi
tekad Deraz telah tumbuh untuk menjajal ide meninggalkan rumah barunya
sendirian.
Zara memerhatikan Deraz dari
jendela ruang tamu. Deraz menaiki sepeda lalu mencoba mengayuhnya. Tetapi, baru
sebentar sepeda itu berjalan, kaki Deraz sudah menjejak aspal lagi karena
nyaris jatuh. Setelah beberapa lama mengamati, Zara menyimpulkan bahwa Deraz
belum bisa mengendarai sepeda.
Zara berlari ke teras belakang
mengambil sepedanya sendiri, yang sudah roda dua tentu saja. Di luar Deraz
belum bisa jauh dari rumah. Zara segera mengayuh sepedanya menyusul. “Kak
Deraz, aku ajarin sepeda, yuk!” serunya dengan semangat.
Deraz menoleh. Hah, adik kecilnya
itu lagi hendak mengajari!
“Bisa sendiri!” sahut Deraz
mengayuh lagi sepeda Dean, sembari mengarah ke selokan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar