Ketika jam istirahat tiba, Deraz bimbang. Lebih baik
mengamati permainan anak kelas enam seperti biasa, atau mengikuti Dean?
“Deraz, kamu mau ikut?” tawar Dean
sebelum meninggalkan bangku. Dean tahu belakangan ini Deraz sudah punya
aktivitas sendiri untuk mengisi jam istirahat, tetapi ia senang saja
berbasa-basi.
“Ikut,” putus Deraz.
“Oke,” sahut Dean heran.
Ketika bertemu hendak keluar lewat
pintu kelas, Putra melihat Deraz di belakang Dean.
“Kok dia ikut lagi sih?” bisik
Putra pada Dean.
“Dia pengin,” kata Dean enteng.
“Memang kenapa?” Rupanya Deraz
mendengar.
“Tumben aja,” ujar Putra. “Biasanya
main sama kelas enam.”
“Mungkin kelas enam pada takut sama
dia,” celetuk seorang anak dalam kawanan mereka.
Tetapi ketika melihat Deraz keluar
dari kelasnya, anak-anak kelas enam di lapangan memanggil.
“Hei, Deraz, ikut enggak?”
“Enggak berani dia sama kita!”
sahut si juara karate pongah. Memang sejak perkelahian dengan anak itu tempo
hari, Deraz belum bermain lagi bersama mereka.
Deraz memandang mereka dengan
tajam, tetapi cuma sepintas. Selanjutnya ia melengos dan mengikuti Dean dan
kawan-kawan. Meski begitu, Deraz menjaga jarak di belakang anak-anak itu.
Sebetulnya ia ingin menghindar dari mendengar kalau-kalau Putra atau anak lain
berkata sesuatu yang memancing emosinya. Ia tidak mau sampai berkelahi lagi dan
kembali menyakiti Dean secara tidak sengaja.
Tetapi ada saja yang tertangkap
oleh pendengarannya. Memang anak-anak itu tidak berbicara tentang dirinya.
Mereka sedang berdiri di dekat emang batagor.
“Dean, aku mau batagor lah,” ujar
Putra.
“Aku juga, Dean.”
“Aku juga!”
“Hayuk!”
“Emang, batagornya empat bungkus,
ya,” kata Dean sembari menyerahkan selembar uang dari saku kemejanya.
Deraz memerhatikan itu dan
terlintas pikiran di benaknya. Bukan sekali ini anak-anak mengatakan ingin
jajan ini atau itu, lalu Dean yang mengeluarkan uang. Sewaktu Deraz belum
memilih untuk menghabiskan jam istirahat sendirian saja atau mengamati kelas
enam, tampaknya ini juga telah terjadi berkali-kali.
Setelah tiap anak mendapat
sebungkus batagor dan menemukan tempat yang nyaman untuk menyantapnya, Deraz
menegur Dean, “Tadi kamu jajanin mereka?”
“Iya,” sahut Dean polos. “Mau?” Ia
menyodorkan bungkusan batagor miliknya, yang sudah diraup sedikit.
“Kamu suka jajanin mereka, ya?”
“Iya,” Dean tidak merasa ada yang
salah.
Teman-teman Dean mulai memandang
Deraz curiga. “Kenapa sih?”
“Kenapa kalian tidak pakai uang
sendiri?” todong Deraz.
“Ya, kalau dia mau jajanin emang
kenapa?”
“Uangnya jadi cepat habis,” tukas
Deraz. Kini ia tahu sebabnya Dean sering minta uang tambahan padanya. “Kalian
merampok Dean.”
“Udahlah, Deraz. Sok kamu mau jajan apa? Aku masih ada
sisa nih,” ucap Dean.
“Besok kalian pakai uang sendiri.
Jangan minta pada orang lain. Kalian tidak miskin, kan?” Deraz tidak peduli.
Anak-anak jadi tidak menikmati
batagor mereka lagi. Semuanya terdiam.
“Jangan-jangan, kalian jadi teman
Dean hanya karena dia suka jajanin kalian.”
“Deraz, atuhlah!” tandas Dean.
Anak-anak melirik Deraz. “Kamu
ngomong gitu buktinya apa?” balas Putra.
“Kalian yang buktikan. Kalian jadi
teman Dean, bukan karena dia suka jajanin kalian,” ulang Deraz.
Keesokan harinya pada jam
istirahat, Dean menegur Deraz seperti biasa, “Ikut?” Tetapi kali ini ia merasa
itu lebih seperti kewajiban, daripada basa-basi.
“Ya,” sahut Deraz.
Sesampai mereka di tempat jajan,
anak-anak ingat bahwa mereka harus menggunakan uang masing-masing. Bagaimanapun
Deraz mengawasi mereka. Tetapi salah seorang di antara mereka rupanya tidak
membawa uang.
“Supri, kamu enggak jajan apa-apa?”
tegur Dean.
“Uang aku ketinggalan,” kata Supri.
“Pakai uang aku dulu atuh.”
Supri serta-merta menggeleng.
“Kamu sengaja enggak bawa?” cetus
Deraz.
“Ya udah, pakai uang aku dulu aja
deh!” Putra berdecak seraya merogoh saku kemejanya. Tetapi Supri telanjur
tersinggung dan meninggalkan mereka.
Mereka lalu duduk di tempat yang
sama seperti kemarin, tetapi tidak ada yang berbicara. Mereka merasa seperti
narapidana yang sedang makan sembari diawasi sipir.
Setelah beberapa hari keadaannya
demikian, Supri tetap tidak mau bergabung lagi dengan mereka walau sudah ingat
untuk membawa uang jajan sendiri. Satu per satu anak-anak lain mengikuti jejak
Supri. Mereka bergabung dengan Supri membentuk kumpulan baru. Yang tersisa
tinggal Putra, tetapi akhirnya ia memilih untuk meninggalkan Dean juga. Ketika
jam istirahat tiba dan Dean mendekati, mengira bahwa kawanannya sudah seperti
sedia kala, mereka berkata terus terang, “Bukan karena kamu enggak boleh jajanin
kita lagi, tapi karena si itu tuh,” sembari menuding Deraz yang berdiri
memandang dari jarak beberapa meter di belakang Dean.
“Kok gitu sih?” Dean menoleh pada
Deraz, lalu pada teman-temannya lagi.
“Sori, Dean. Kamu sama dia aja.”
Anak-anak beranjak.
“Enggak, aku ikut.”
Anak-anak menggeleng.
“Jangan ikutin kita lagi, Dean. Please.”
“Baik-baik, ya, sama si itu.”
Mereka bahkan tidak sudi menyebut
nama kembarannya.
Dengan gamang, Dean berbalik arah.
“Benar, kan?” kata Deraz. “Mereka
cuma mau dijajanin kamu. Mereka juga suka omong kasar.” Deraz mengingat
catatannya yang pernah diambil, ditunjuk-tunjuk, dan dicoret-coret Ayah.
Beberapa kata dalam catatan itu yang menurut Ayah kasar diperolehnya dari kawanan
Dean. Bahasa menunjukkan kepribadian, kata Opa Buyut. Sekarang Deraz sudah
kasih tahu Dean, Ayah.
Dean diam saja. Mereka kembali
duduk di bangku. Deraz membuka Bobo yang
dibawanya ke sekolah, sementara Dean tertunduk.
“Kamu enggak main sama kelas enam
lagi?” kata Dean kemudian. Ia berpikiran bahwa kalau Deraz sibuk dengan
anak-anak kelas enam, teman-temannya akan menerimanya kembali karena tidak ada
lagi yang mengawasi.
Tetapi, mengingat perkelahian yang
terakhir, Deraz menggeleng.
Dean mengembuskan napas.
Menggoyang-goyang kaki. Kebosanan.
“Aku jajan, ya,” ia berdiri.
Deraz meletakkan majalahnya dan
ikut berdiri.
“Kamu enggak usah ikut!”
“Kenapa?”
“Kenapa kamu harus ikut?”
“Pengin aja. Kenapa kamu harus
melarang?”
“Enggak jadi deh.” Dean duduk lagi.
Beberapa anak perempuan masuk ke
kelas dengan ramai. Mereka mengambil tempat di tengah kelas dan terus
berceloteh. Dean mengamat-amati mereka. Ia menoleh pada Deraz yang tampak
serius mengerjakan teka-teki silang di Bobo,
sebelum beranjak mendekati anak-anak perempuan itu. Sebentar kemudian ia sudah
duduk di antara mereka.
Deraz menyadari bahwa Dean lenyap
dari bangkunya. Ia menengok ke belakang. Dean sedang tertawa bersama anak-anak
perempuan itu.
Salah seorang anak menariki ikal
rambut Dean. “Rambut kamu lucu deh, Dean, kayak Maria Belén.”
“Iya gitu?” Dean cengar-cengir.
“Iya. Aku sisirin boleh enggak?”
“Boleh,” sahut Dean.
“Dean, kamu teh cantik, tahu enggak?”
“Ih, si Juwi sirik!” Anak-anak lain
tertawa.
“Iya, tahu. Kulitnya putih, matanya
gede. Lentik, lagi, bulu matanya. Aku dandanin, ya. Aku pakein lipgloss, mau enggak?”
“Yang ada rasanya itu, ya?” Dean
tertarik.
“Iya. Aku sih punyanya yang rasa
leci.”
“Kayaknya enak tuh.”
“Tapi aku enggak bawa sekarang.
Besok, ya.”
“Eh, kalau gitu, besok aku bawa
pita deh,” kata anak lain.
“Ih, pasti lucu banget Dean, kayak
boneka.”
Deraz mengernyit memerhatikan Dean
dan anak-anak itu.
Keesokan harinya, anak-anak
perempuan itu benar-benar membawa apa pun yang ingin mereka cobakan pada Dean.
Mereka duduk di tempat yang sama seperti kemarin.
Deraz meringis menyaksikan Dean
mencicipi lipgloss Juwi.
“Ih, seger, ya, rasanya. Bisa
dimakan, enggak, itu?” Dean tampak benar-benar penasaran.
“Ih, ya, enggak buat dimakanlah!”
“Eh, aku bawa rasa stroberi lo.”
Anak perempuan yang berambut panjang bergelombang membuka wadahnya.
“Mau cobain,” Dean kelaparan. “Oma
aku suka masak pakai stroberi lo.”
“Dean, kepalanya jangan
gerak-gerak!” kata anak yang sedang menyisiri rambut Dean dengan sisir bulat,
sekalian membentuk ikalnya.
“Eh, iya, sori.”
“Dean, kamu teh kalau pagi-pagi rambutnya suka rapi disisir ke samping. Tapi
pas jam istirahat meni udah kocar-kacir
ke empat penjuru mata angin,” tambah anak yang menyisiri itu.
“Ih, Cyntia meni merhatiin! Cieee …!” Anak-anak perempuan bersorak.
Dean tertawa.
“Eh, udah cukup kali, ya, segini.”
Sisir diletakkan.
“Eh, aku dong yang pasangin pita
pertama,” kata Juwi sembari mengambil selembar pita. “Di sebelah mana dulu
nih?”
Sementara itu anak lainnya mulai
memerhatikan tangan Dean.
“Ih, Dean, kamu jarinya meni panjang-panjang.”
“Aku kan suka main piano,” pamer
Dean.
“Kayaknya cakep deh kalau
dikutekin.” Jemari Dean mulai diangkat dan dipegang-pegang.
“Kuteknya ada rasanya juga,
enggak?”
Deraz tidak tahan lagi. Ia melompat
dari bangkunya. Dengan langkah-langkah tegap, ia menghampiri kumpulan anak itu.
“Dean itu laki-laki! Kalian tidak boleh mendandani dia!” Deraz menatap Dean.
Uh, benar juga anak-anak perempuan itu. Dean ternyata cantik. Garis wajahnya
halus, dan dagunya lancip …. Deraz menjambret pita dari rambut Dean.
“Aw!” Dean memegangi sebelah
kepalanya. “Pelan-pelan atuh, nanti
rambut aku rontok!”
“Deannya mau kok. Kok kamu yang
resek?” protes anak-anak perempuan.
“Nanti kamu jadi perempuan
beneran!” kata Deraz pada Dean.
Mereka pada terbengong-bengong.
Dean menggeleng-geleng.
Untunglah bel berbunyi. Deraz
mencampakkan pita ke lantai, dan kembali ke bangkunya. “Ayo balik, Dean!” Ia
masih sempat menoleh.
“Lipgloss stroberinya boleh buat aku?” tanya Dean sebelum beranjak.
Anak perempuan yang ditanya
menggeleng.
Besok-besoknya, anak-anak perempuan
itu belum kapok berkumpul bersama Dean. Sesekali Deraz menoleh ke belakang.
Mereka tampak mengobrol biasa saja. Paling tidak mereka tidak lagi mencobakan
riasan apa pun pada Dean. Deraz tidak habis pikir: kenapa anak-anak pada suka
mengusili Dean dan kenapa Dean begitu polos?
Ketika jam istirahat usai, Dean
kembali ke bangkunya dengan riang. Ia mencolek Deraz. Tampak telapak tangan
Dean menyodorkan beberapa potong kue kering yang dialasi tisu. “Coba deh.”
Deraz mengambil satu. Rasanya seperti tanah liat. Nilainya tidak sampai sepersepuluh
dibandingkan dengan kue buatan Oma Buyut, huh! “Cewek-cewek suka pada bawa
bekel. Enak-enak lo!”
“Nanti kamu kena diare!”
Kening Dean berkerut. “Mmm …
enggak?”
Menjelang jam pelajaran terakhir
kulit Dean mulai berbintik-bintik merah. Tangan Dean menggaruk ke sana kemari.
Deraz menjadi khawatir. “Kenapa?”
“Kayaknya sih gara-gara makan
kepiting.”
“Memang kenapa kalau makan
kepiting?”
“Gatel-gatel.” Dean geregetan
menggosok lehernya.
“Kapan kamu makan kepiting?”
“Tadi, pas istirahat. Minta
bekelnya Rika. Habis kelihatannya enak sih.”
“Rika? Yang mana?” Deraz menoleh ke
belakang, ke tempat anak-anak perempuan itu duduk.
“Yang paling cantik,” kata Dean.
“Yang mana?” Bagi Deraz, semua anak
perempuan berwajah sama.
“Yang rambutnya panjang. Hari ini
dia pakai bando merah. Manis banget.” Dean memasukkan tangannya ke balik kerah,
mengincar punggung.
Deraz menemukan anak perempuan yang
dimaksud.
“Kamu bawa … apakah, biar gatalnya
hilang?” Deraz kasihan melihat Dean.
“Ah, entar juga hilang sendiri,”
kata Dean.
Sepulang sekolah, sementara Dean
sudah berjalan lebih dulu menuju mobil jemputan, Deraz menghampiri si bando
merah. Anak-anak perempuan itu masih berkumpul di tengah kelas.
“Kamu yang waktu istirahat tadi
kasih Dean kepiting?” todong Deraz.
Rieka menggeragap. “D—dia yang
minta,” akhirnya ia berucap.
Deraz ingat. Anak perempuan ini
yang punya lipgloss stroberi.
Parasnya paling sombong dan suaranya paling centil di antara kawanannya.
“Saya tidak suka kamu. Jangan
ganggu Dean lagi.”
“Ih, kamu jahat banget sih!”
Teman-teman Rieka segera balas menyerang Deraz. Rieka sendiri tertunduk dan
terisak.
Deraz melengos saja seraya
menggendong ranselnya, dan meninggalkan kelas.
Keesokan harinya, pada jam
istirahat Dean menghampiri kawanan barunya dengan riang. “Hai ...! Pada bawa
bekel apa nih?” Tetapi anak-anak perempuan itu menatapnya dengan judes.
“Kita jajan aja, yuk!” tukas Juwi.
“Yuk!” sahut anak-anak lainnya
kompak. Bersama-sama mereka menuju pintu.
“Ikut …!” ujar Dean sembari
mengejar anak-anak perempuan itu.
“Jangan deket-deket! Kita enggak
mau ganggu kamu lagi,” kata Juwi.
“Kalian enggak ganggu aku kok,”
Dean keheranan.
“Bilang sama saudara kamu!”
Dean duduk lagi di bangkunya dengan
lesu. Ia melipat lengannya di bibir meja kemudian menjatuhkan dahinya ke situ.
Lalu ia menggeram dan beranjak dari kursi. Deraz segera mengikuti.
“Kamu jangan ikut!” teriak Dean
kesal. “Nanti temen-temen aku pada jauhin aku!”
“Tapi mereka tidak baik.”
“Bodo amat! Cari temen sendiri,
sana! Jangan ikut-ikut aku melulu!” Dean menjejak-jejakkan kaki menjauhi Deraz.
Sesekali ia menoleh seakan-akan ingin melihat apakah Deraz mengejarnya. Namun
terpikir oleh Deraz bahwa kalau ia mengejar Dean, anak itu akan berlari kencang
dan sesak napas lagi. Deraz pun duduk kembali di bangkunya dan memikirkan
kemungkinan bagi mereka berdua untuk pindah ke sekolah yang lebih beradab.
Bunda pasti mau mendengarkan. Tetapi, bagaimana dengan Ayah yang waktu itu
berkukuh anak-anaknya di sekolah negeri?
Jam istirahat berakhir. Dean
kembali ke sisi Deraz, tetapi hanya untuk mengambil ransel.
“Putra, aku sebangku sama kamu
lagi, ya!” ucap Dean sembari menyeberang ke belakang kelas.
Deraz terkesiap.
Deraz kembali mengisi jam istirahat dengan mengamati
permainan bola anak-anak kelas enam dari pinggir lapangan. Mereka mulai
mengajaknya bermain lagi. Tetapi, perkelahian terus terjadi. Deraz sudah tidak
peduli karena tahu tidak akan ada lagi Dean yang mencoba menengahi. Ia tidak
akan menyakiti saudaranya lagi. Sementara itu ia harus mempertahankan dirinya
sendiri.
Hingga pada perkelahian kesekian,
si juara karate yang baru ditarik teman-temannya menjauh dari Deraz berkata, “Si eta mah tong diajakan deui lah! Ngajak gelut wae, anjing!”
Ada benarnya juga dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar