Ada piano. Seorang gadis kecil suka menaiki piano.
Kaki-kakinya melangkah, menginjak tuts demi tuts. Kedua lengannya terentang,
membentuk lintasan yang tak imbang. Ayahnya takut pijakan gadis kecil itu
goyah, lalu terjatuh. Sayang, ayo turun. Gadis kecil itu tak mendengar. Ia
terlalu girang mendapati langkah-langkahnya mampu menghasilkan nada. Nada-nada
mengalun, tang teng tong tang. Gadis kecil itu sampai ke tepi, lalu ia kembali. Ayahnya mendekat. Ayo, Sayang. Gadis kecil itu menepis tangan ayahnya.
Ayahnya garuk-garuk kepala, jidat. Gadis kecil itu mengulangi lagi gerakan yang
sama, berlalu di depan sang ayah dengan rawan. Tapi lihat binar di
wajahnya, berpendar-pendar. Lelaki itu pun merengkuh anaknya, yang lantas meronta-ronta
begitu kaki-kakinya lepas dari pijakan. Dipukulinya pundak sang ayah. Sebentar bagai pijatan, tapi lalu Ayah kembalikan sang gadis kecil ke tempat
semula. Hati-hati, Cantik, dipeganginya tangan sang anak. Berdua mereka
melangkah. Kaki anak bersuara nada. Kaki ayah berirama tap, tap, tap. Mereka sampai
di tepi. Mereka kembali lagi. Jreng-jreng-jreng. Tap-tap-tap. Di tengah-tengah
sang gadis kecil berhenti, menghadap sang ayah sembari tangan-tangannya
memegang tangan-tangan yang besar milik Ayah.
Gadis kecil itu mengangkat salah satu tangan ayahnya, lalu berputar
melewatinya. Oh ho ho, kau ingin berdansa? Anak itu hampir oleng, namun dengan
sigap sang ayah menangkap. Kita berdansa di lantai saja. Sang anak menggeleng
kuat-kuat. Sembari memeluk pinggang anaknya, dengan kepala gadis kecil itu
bersandar di pundaknya, sang ayah menerawang ke jendela besar di belakang
piano. Tirainya terbuka, menampilkan malam berbintang. Langit yang indah, ya?
Ia menyesap harum anaknya. Sayangnya kita hanya berdua, katanya tapi dalam hati
saja. Tapi lebih merana lagi jika aku sendiri. Kau karunia terindah dalam
hidupku. Sang anak menoleh pada ayahnya. Tersenyum. Walaupun kau selalu diam. Ayahnya
juga tersenyum. Hei, ayo kita main piano sama-sama. Anak itu berhenti
tersenyum, apalagi ketika sang ayah mendorong sofa mendekat. Sofa menghadap
piano. Ayah mencopot kaos kaki dan sepatu. Punggung ayah bersandar sofa, seraya mengangkat kedua kakinya yang telanjang hingga
jemari-jemarinya menyentuh tuts. Ha ha, ia menertawakan kesulitannya. Ia coba
memainkan nada-nada. Sang anak duduk saja di atas tuts mengamati. Mungkin
begini rasanya kalau tidak punya tangan, gumam Ayah. Anak itu ikut bersandar
sofa. Kakinya tidak sampai. Punggungnya pun melorot. Dipanjang-panjangkannya
kaki hingga dapat menggapai tuts, dengan tumit, dengan jari. Ayahnya menonton
dengan girang. Ada dua pasang kaki, memainkan melodi terliar yang pernah ada.
Jreng-jreng-jreng. Trang-trang-trang. Jreng— Sang Ayah berimprovisasi dengan
suara mengaduh, duh, duh, duh. Ia mengangkat sebelah kakinya, berusaha
meluruskannya dengan tumit bertumpu kap piano. Sementara kakinya sebelah
lagi ganti beradu dengan lantai. Tinggal sang anak bermain tunggal dengan wajah
tercenung-cenung, lalu lamat-lamat melodi lenyap. Kaki sang anak menapak
udara. Beginilah akhirnya kalau kau main piano dengan kaki, Nak. Sang Ayah
mengurut-urut kaki dengan kernyitan tak putus-putus di wajahnya.[444]
gara-gara gambar ini #nulisapaansihkamu
http://anonymouslegacy.blogspot.com/2013/06/visdare-25-precarious.html |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar