Frits van Egters
ingin menyatakan sesuatu kepada orangtuanya pada malam akhir tahun. Niat itu
membuatnya tegang hingga bermimpi buruk. Dalam film De Avonden (Inggris: The
Evenings) selama 1 jam 55 menit kita akan menyaksikan bagaimana Frits
mengisi hari-harinya (dari tanggal 22 hingga 31) menjelang pelaksanaan niatnya
itu.
http://www.veerkamp.nl/webgal/pages/de%20avonden.C1.htm |
De Avonden
semula berbentuk novel. Saya tertarik menelusurinya berkat informasi berikut
dari buku
ini.
Dalam tahun 1947, hanya dua tahun sesudah berakhirnya
perang dunia, terbit sebuah roman yang sangat menarik perhatian dunia sastra
Nederland. Roman itu berjudul ‘De avonden’ dikarang oleh seorang pemuda umur 23
tahun yang bernama Simon van het Reve.
Yang menarik perhatian adalah gambaran dari sebuah keluarga Belanda dalam
tahun-tahun sesudah perang yang baru saja berlalu. Tokoh utama roman itu, Frits
van Egters, tidak cocok dengan gambaran ideal dari seorang anak muda seperti
yang dikehendaki oleh para akhli pendidik.
Frits
tidak ingin tahu bagaimana masadepannya, dia tidak membentuk suatu karier yang
mantap, ia tidak mengimpikan seorang gadis yang kelak bakal dipinangnya. Dalam
roman ini Frits, seorang pemuda yang biasanya mengikuti gerak-gerik ayahnya
dengan pandangan dingin, sedang si ayah digambarkan sebagai orang yang
berpakaian tak sepatutnya dan makan dengan cara yang tak pantas. Pembicaraan di
rumah itu bernada membosankan, segala sesuatu mencerminkan skeptisisme dan
pessimisme.
Buku ini menarik ratusan ribu pembaca, karena ia
rupanya mengungkapkan apa yang hidup di lubuk hati anak-anak muda termasa.
Banyak orang tua marah dan mengecam sikap pengarang yang menurut mereka salah.
Reve mengaku bahwa pandangan hidupnya jauh daripada optimis, tapi ia membela
filsafat hidupnya sebagai berikut: “Saya kira, bahwa kebenaran baru
terungkapkan oleh sesuatu yang runtuh. …” (halaman 35)
Ada yang bilang De Avonden merupakan versi Belanda dari The Catcher in the Rye. Barangkali sebagaimana
The Catcher in the Rye tidak penah difilmkan (konon) karena narasinya yang
khas[1], De Avonden pun sukar diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris berkat alasan senada. Agaknya popularitas De Avonden hanya merebak di kalangan yang
paham bahasa Belanda. Penulisnya bahkan termasuk writers no one reads versi tumblr
ini. Simon van het Reve sesungguhnya bernama Gerard Reve. Di Google kita
akan menemukan nama tersebut dalam artikel-artikel yang membahas isu penistaan
agama.
Bagi yang tidak
paham bahasa Belanda (seperti saya -_-) dan ingin mengetahui cerita novel
tersebut secara (rada) utuh, bukan sekadar garis besarnya, bolehlah tengok dulu
versi filmnya di Youtube. Film yang diproduksi pada tahun 1989 ini juga
berbahasa Belanda, tapi subtitle
bahasa Inggrisnya tersedia kok di Google (walau butuh usaha lebih untuk menemukan
yang pas).
Frits van Egters di
film tampak sepuluh tahun lebih tua dari usia seharusnya. Selain itu saya tidak
menyarankan film ini untuk ditonton siapapun yang tidak nyaman (dan aman)
dengan adegan-adegan yang mengumbar seksualitas. Selebihnya film ini cukup
menjawab kepenasaranan saya. Kita bisa terhibur dengan tingkah Frits yang
kekanak-kanakkan maupun interaksinya dengan sang ayah. Agaknya tidak bijak
untuk memberitahu apakah Frits berhasil mengutarakan maksudnya pada orangtuanya,
atau malah dengan lain cara; juga apa sebetulnya yang ingin Frits ungkapkan
(karena saya juga tidak yakin :P). Tapi salah satu adegan di penghujung film
bagi saya cukup menyentuh, yang menurut saya sih menunjukkan bagaimana perasaan
Frits yang sesungguhnya pada orangtuanya.
De Avonden menambah
perbendaharaan saya soal bildungsroman bernuansa
angst, di samping Welcome to the N. H. K., Norwegian Wood, The Catcher in the Rye, It’s Kind of a Funny Story, The Perks of Being Wallflower, bahkan
mungkin… Drop Out? Belum lagi jika
cerpen pun disertakan: A & P dan Araby. Dan seluruhnya menggunakan
perspektif laki-laki dengan kisaran umur 15 – 23 tahun, eh, karakter sentral
dalam Araby sepertinya berusia lebih
muda (12 tahun?) sedang khusus Drop Out
mah dirahasiakan. Khusus De Avonden,
karena seyogianya tulisan ini fokus pada judul tersebut, di mana karakter
sentralnya berusia 23 tahun, lagu “What’s
My Age Again?” dari Blink 182 amat tepat sebagai pengiring. Nobody likes you when you’re twenty three,
begitu penggalan liriknya, yang bikin saya bertanya-tanya seperti apakah usia
23 tahun bagi saya nanti. Isu yang muncul baik dari novel/film maupun lagu
tersebut adalah betapa sulitnya kita menghentikan perilaku kekanak-kanakkan di
saat kita dituntut untuk mulai bersikap dewasa. Katanya sih: tua itu pasti, dewasa itu pilihan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar