Jumat, 14 Juni 2013

Pertemuanku dengan Harvey Pekar (1 dari 2)


Sebetulnya dimulai sejak aku SMA. Saat itu aku ingin menjadi semacam movie geek. Aku mulai dengan meminjam DVD teman; mendatangi keranjang berisi VCD obralan di Gramedia… dan mendapatkan VCD itu: American Splendor (2003). Saat menontonnya pertama kali, bagiku itu film yang membosankan. Aneh, karena ada efek animasi—seperti bercampur dengan komik. Aku berhenti di adegan mengantri-di-belakang-wanita-Yahudi-tua. Dan tidak pernah menontonnya lagi…

Bertahun-tahun kemudian, aku di Gramedia Jalan Sudirman, Kodya Yogyakarta, saat itu aku sudah menjadi mahasiswa di suatu PTN di Kabupaten Sleman. Di bagian novel grafis aku menemukan The Quitter (2005)—yang diterjemahkan menjadi GAMPANG MENYERAH, hei, sepertinya sangat aku sekali, lalu melihat-lihat isinya. Di kovernya tertulis: KARYA PENULIS AMERICAN SPLENDOR—aku punya filmnya! Saat itu aku belum tertarik untuk membacanya hingga tuntas, apalagi membelinya.

Lalu entah berapa lama sejak itu, aku menemukan buku yang sama di obralan, yang aku tidak ingat di mana. Harganya cukup murah, mestinya, hingga aku rela mengeluarkan uang untuk itu—uang mamaku sih. Lalu buku itu aku biarkan mendekam di rak untuk sekian lama, bersama banyak buku lainnya.

Sekarang aku sudah tidak menjadi mahasiswa. Aku terdampar di fase baru dalam hidup. Rasanya hidup baru dimulai, atau malah sudah berakhir. Aku mengumpulkan buku dengan judul semacam Buku Petunjuk Cara Melamar Pekerjaan: dan Memperoleh Bermacam-macam Perizinan, Kredit, dll. dan Mencari Kerja: Melamar, Tes dan Awal Kerja, ingin menonton ulang film Alangkah Lucunya (Negeri Ini)¸dan sepertinya ini waktu yang tepat untuk menamatkan The Quitter—yang kukira kisahnya soal mencari pekerjaan juga—sekalian American Splendor.

Aku memulai dengan The Quitter, yang dengan demikian memulai pula perkenalanku dengan Harvey Pekar. Ia seorang pria yang lahir pada tanggal 8 Oktober 1939 di Cleveland, Ohio, di mana ia akan menghabiskan seluruh hidupnya. Kedua orangtuanya Yahudi Polandia, berimigrasi ke Amerika Serikat, lalu membuka toko. Harvey kecil tidak punya teman. Kebanyakan anak di lingkungan itu berkulit hitam, sedang orangtuanya sibuk di toko. Bahkan ketika mereka sekeluarga pindah ke lingkungan Yahudi pun, Harvey tetap tidak memiliki teman akrab. Ia mengatasi kesulitan-kesulitannya dengan berkelahi, hingga ia dikenal sebagai jagoan jalanan.  

Keadaan membaik seiring dengan Harvey bertambah besar. Ia bisa mendapatkan nilai yang bagus di sekolah tanpa usaha keras, menonjol dalam olahraga, mulai mendapatkan teman, dan sudah bekerja di toko orangtuanya. Tapi hubungan Harvey dengan orangtuanya tetap renggang. Pencapaiannya tidak selalu dihargai. Sikap orangtuanya tersebut membentuk Harvey menjadi pribadi yang insecure—tidak percaya diri.

“Perasaan seperti itu sangat buruk. Kau tidak bisa membuat semua orang kagum dan kadang itu bukan salahmu… Kau tidak bisa membuat kagum orang-orang penting yang seharusnya bisa memberi dampak positif dalam hidupmu. Tapi sampai hari ini pun aku tak bisa santai menghadapi hal itu. Dan ada banyak orang yang seperti aku.” (halaman 24)

Saat SMA, Harvey mulai menyukai jazz, mengoleksi piringan hitam, dan berkorespondensi dengan seorang kritikus dari New York—Ira Gitler. Selepas SMA, ia masuk Angkatan Laut, namun keluar setelah beberapa minggu karena tidak cocok dengan pekerjaan tertentu. Ia bergonta-ganti pekerjaan lagi—ia cepat bosan dan suka bermain-main. Hingga ia memutuskan untuk kuliah. Ia sempat bekerja di New York, tapi tidak betah. Di sana ia sempat bertemu dengan Ira Gitler, yang mendorongnya untuk menulis kritik. Ia pun kembali ke Cleveland: bekerja, menulis, dan melanjutkan kuliah. Tapi kegagalannya dalam satu mata kuliah membuatnya ingin berhenti. Kembali gonta-ganti pekerjaan, tapi ia terus menulis. Akhirnya sejak tahun 1965 ia bertahan sebagai petugas arsip untuk pemerintah federal hingga pensiun.

Kisah bagaimana Harvey terkenal melalui karyanya yang berupa komik serial, American Splendor, aku dapatkan dari film bertajuk sama. Kali ini aku betah menontonnya, barangkali karena sudah mendapatkan gambaran mengenai sosok Harvey melalui The Quitter. Film autobiografis ini kukira selain bersifat semi-dokumenter juga semi-komik. Terdapat dua Harvey dalam film ini, yaitu Harvey yang diperankan oleh Paul Giamatti dan Harvey yang diperankan oleh Harvey Pekar sendiri—yang juga bertindak sebagai narator. Pun beberapa tokoh dalam kehidupan Harvey dalam film ini ditampilkan pula kedua versinya, misal istri Harvey, Joyce, yang selain diperankan oleh Hope Davis juga hadir sosok Joyce asli; dan rekan kerja Harvey, Toby, diperankan oleh Judah Friedlander dengan gestur kaku dan cara bicara yang seperti komputer (bandingkan dengan penampilannya di serial 30 Rock), lalu muncul juga sosok Toby sesungguhnya yang memang demikianlah adanya.  

Secara kronologis, kisah Harvey Pekar dalam film American Splendor merupakan kelanjutan dari kisah dalam novel grafisnya, walaupun The Quitter diproduksi belakangan. Dalam film tersebut, Harvey sudah mendapatkan pekerjaan tetap, namun masih bermasalah dengan kehidupannya. Suaranya mendadak hilang. Istri keduanya meninggalkannya. Bosan dengan pekerjaannya. Dan berbagai situasi kecil nan menyebalkan lain yang lumrah terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Sampai suatu ketika, kejadian mengantri di belakang seorang wanita Yahudi tua di suatu supermarket membuatnya benar-benar gusar.

Wake up! You’re whole life’s gettin’ eaten away by this kinda crap! What kind of existence is this? Is this all a workin’ stiff like you can expect? Ya gonna suffer in silence fer the rest a’ yer life?! Or ya gonna make a mark. Huh? Huh?

Ia meninggalkan belanjaannya, pulang, dan mulai menggambar komik mengenai kejadian tersebut, dan berbagai kejadian lain dalam kehidupannya. Ia menunjukkan hasilnya kepada seorang komikus underground yang sedang naik daun saat itu, Robert Crumb.

I’ve been thinking I could write comic book stories that were different from anything being done. …the guys who do animal comics and super-hero stuff are really limited ‘cause they gotta try to appeal to kinds. … I mean with pictures and words, it could be more of an art form. … So I tried writin’ some things about real life. Stuff the everyman’s gotta deal with. … But no idealized shit. No phony bullshit. The real thing, y’know? Ordinary life is pretty complex stuff.”


potongan dialog dalam film diambil dari sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain