Sebetulnya dimulai sejak aku SMA. Saat itu aku ingin menjadi
semacam movie geek. Aku mulai dengan
meminjam DVD teman; mendatangi keranjang berisi VCD obralan di Gramedia… dan
mendapatkan VCD itu: American Splendor (2003).
Saat menontonnya pertama kali, bagiku itu film yang membosankan. Aneh, karena
ada efek animasi—seperti bercampur dengan komik. Aku berhenti di adegan
mengantri-di-belakang-wanita-Yahudi-tua. Dan tidak pernah menontonnya lagi…
Bertahun-tahun kemudian, aku di Gramedia Jalan Sudirman,
Kodya Yogyakarta, saat itu aku sudah menjadi mahasiswa di suatu PTN di
Kabupaten Sleman. Di bagian novel grafis aku menemukan The Quitter (2005)—yang diterjemahkan menjadi GAMPANG MENYERAH, hei,
sepertinya sangat aku sekali, lalu melihat-lihat isinya. Di kovernya tertulis: KARYA
PENULIS AMERICAN SPLENDOR—aku punya
filmnya! Saat itu aku belum tertarik untuk membacanya hingga tuntas, apalagi
membelinya.
Lalu entah berapa lama sejak itu, aku menemukan buku yang
sama di obralan, yang aku tidak ingat di mana. Harganya cukup murah, mestinya, hingga
aku rela mengeluarkan uang untuk itu—uang mamaku sih. Lalu buku itu aku biarkan
mendekam di rak untuk sekian lama, bersama banyak buku lainnya.
Sekarang aku sudah tidak menjadi mahasiswa. Aku terdampar di
fase baru dalam hidup. Rasanya hidup baru dimulai, atau malah sudah berakhir.
Aku mengumpulkan buku dengan judul semacam Buku
Petunjuk Cara Melamar Pekerjaan: dan Memperoleh Bermacam-macam Perizinan,
Kredit, dll. dan Mencari Kerja:
Melamar, Tes dan Awal Kerja, ingin menonton ulang film Alangkah Lucunya (Negeri Ini)¸dan sepertinya ini waktu yang tepat
untuk menamatkan The Quitter—yang
kukira kisahnya soal mencari pekerjaan juga—sekalian American Splendor.
Aku memulai dengan The
Quitter, yang dengan demikian memulai pula perkenalanku dengan Harvey
Pekar. Ia seorang pria yang lahir pada tanggal 8 Oktober 1939 di Cleveland,
Ohio, di mana ia akan menghabiskan seluruh hidupnya. Kedua orangtuanya Yahudi
Polandia, berimigrasi ke Amerika Serikat, lalu membuka toko. Harvey kecil tidak
punya teman. Kebanyakan anak di lingkungan itu berkulit hitam, sedang
orangtuanya sibuk di toko. Bahkan ketika mereka sekeluarga pindah ke lingkungan
Yahudi pun, Harvey tetap tidak memiliki teman akrab. Ia mengatasi kesulitan-kesulitannya
dengan berkelahi, hingga ia dikenal sebagai jagoan jalanan.
Keadaan membaik seiring dengan Harvey bertambah besar. Ia
bisa mendapatkan nilai yang bagus di sekolah tanpa usaha keras, menonjol dalam
olahraga, mulai mendapatkan teman, dan sudah bekerja di toko orangtuanya. Tapi hubungan
Harvey dengan orangtuanya tetap renggang. Pencapaiannya tidak selalu dihargai.
Sikap orangtuanya tersebut membentuk Harvey menjadi pribadi yang insecure—tidak percaya diri.
“Perasaan seperti
itu sangat buruk. Kau tidak bisa membuat semua orang kagum dan kadang itu bukan
salahmu… Kau tidak bisa membuat kagum orang-orang penting yang seharusnya bisa
memberi dampak positif dalam hidupmu. Tapi sampai hari ini pun aku tak bisa
santai menghadapi hal itu. Dan ada banyak orang yang seperti aku.” (halaman 24)
Saat SMA, Harvey mulai menyukai jazz, mengoleksi piringan
hitam, dan berkorespondensi dengan seorang kritikus dari New York—Ira Gitler. Selepas
SMA, ia masuk Angkatan Laut, namun keluar setelah beberapa minggu karena tidak
cocok dengan pekerjaan tertentu. Ia bergonta-ganti pekerjaan lagi—ia cepat
bosan dan suka bermain-main. Hingga ia memutuskan untuk kuliah. Ia sempat bekerja
di New York, tapi tidak betah. Di sana ia sempat bertemu dengan Ira Gitler,
yang mendorongnya untuk menulis kritik. Ia pun kembali ke Cleveland: bekerja,
menulis, dan melanjutkan kuliah. Tapi kegagalannya dalam satu mata kuliah
membuatnya ingin berhenti. Kembali gonta-ganti pekerjaan, tapi ia terus
menulis. Akhirnya sejak tahun 1965 ia bertahan sebagai petugas arsip untuk
pemerintah federal hingga pensiun.
Kisah bagaimana Harvey terkenal melalui karyanya yang berupa
komik serial, American Splendor, aku
dapatkan dari film bertajuk sama. Kali ini aku betah menontonnya, barangkali
karena sudah mendapatkan gambaran mengenai sosok Harvey melalui The Quitter. Film autobiografis ini
kukira selain bersifat semi-dokumenter juga semi-komik. Terdapat dua Harvey dalam
film ini, yaitu Harvey yang diperankan oleh Paul Giamatti dan Harvey yang
diperankan oleh Harvey Pekar sendiri—yang juga bertindak sebagai narator. Pun
beberapa tokoh dalam kehidupan Harvey dalam film ini ditampilkan pula kedua
versinya, misal istri Harvey, Joyce, yang selain diperankan oleh Hope Davis juga
hadir sosok Joyce asli; dan rekan kerja Harvey, Toby, diperankan oleh Judah
Friedlander dengan gestur kaku dan cara bicara yang seperti komputer (bandingkan
dengan penampilannya di serial 30 Rock),
lalu muncul juga sosok Toby sesungguhnya yang memang demikianlah adanya.
Secara kronologis, kisah Harvey Pekar dalam film American Splendor merupakan kelanjutan
dari kisah dalam novel grafisnya, walaupun The
Quitter diproduksi belakangan. Dalam film tersebut, Harvey sudah
mendapatkan pekerjaan tetap, namun masih bermasalah dengan kehidupannya. Suaranya
mendadak hilang. Istri keduanya meninggalkannya. Bosan dengan pekerjaannya. Dan
berbagai situasi kecil nan menyebalkan lain yang lumrah terjadi dalam kehidupan
sehari-hari. Sampai suatu ketika, kejadian mengantri di belakang seorang wanita
Yahudi tua di suatu supermarket membuatnya benar-benar gusar.
“Wake up! You’re whole life’s gettin’ eaten
away by this kinda crap! What kind of existence is this? Is this all a workin’
stiff like you can expect? Ya gonna suffer in silence fer the rest a’ yer
life?! Or ya gonna make a mark. Huh? Huh?”
Ia meninggalkan belanjaannya, pulang, dan mulai menggambar
komik mengenai kejadian tersebut, dan berbagai kejadian lain dalam kehidupannya.
Ia menunjukkan hasilnya kepada seorang komikus underground yang sedang naik daun saat itu, Robert Crumb.
“I’ve been thinking I could write comic book
stories that were different from anything being done. …the guys who do animal
comics and super-hero stuff are really limited ‘cause they gotta try to appeal
to kinds. … I mean with pictures and words, it could be more of an art form. …
So I tried writin’ some things about real life. Stuff the everyman’s gotta deal
with. … But no idealized shit. No phony bullshit. The real thing, y’know?
Ordinary life is pretty complex stuff.”
potongan dialog dalam film diambil dari sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar