Rabu, 06 Januari 2021

1. MAMA

Mama adalah orang yang paling Risky sayangi. Pagi-pagi saat Mama mau berangkat kerja, Risky kecil menangis. Ia meronta-ronta sambil dibopong Simbok di teras rumah, sementara Mama dadah-dadah padanya dan menjauh. Setelah Mama pergi, Simbok mencubiti Risky sampai anak itu diam. "Cah lanang ojo gembeng!" tukas Simbok gemas. Anak laki-laki jangan cengeng.

Ketika malam, Risky menanti kepulangan Mama. Berkali-kali ia menghampiri jendela, menyibak sedikit gorden, dan mengintip ke jalan. Padahal ketika Mama pulang pasti ada suaranya. Simbok terus mengingatkan Risky agar segera tidur, besok sekolah. Kadang Risky menurut karena keburu mengantuk. Lalu tahu-tahu saja kecupan Mama membangunkannya. Mama sudah pulang! Setelah bersih-bersih, Mama akan menemaninya di tempat tidur dan memeluknya sampai Risky terlelap.

Berkali-kali Risky berpesan, "Ma, pulangnya jangan malam-malam."

Mama berjanji, "Mama usahakan, ya, Nak."

Lalu Mama pulang larut seperti biasanya. Risky cemberut, menahan tangis berjam-jam sejak waktu yang semestinya Mama sudah di rumah. Tapi ciuman Mama selalu menghilangkan kekesalannya. Apalagi setelah Mama memeluknya.

Mama Risky wanita karier yang sibuk. Malah kadang profesinya tidak mengenal hari libur. Risky pernah diajak melihat-lihat hotel megah tempat Mama bekerja. Mama pun selalu tampil trendi dari ubun-ubun sampai jempol kaki. Risky akrab dengan aroma hairspray dan parfumnya yang samar-samar tapi membekas, ketak-ketok sepatunya, serta tungkai kaki yang mulus, padat, dan kencang menjulur dari balik rok mini. Mama adalah yang tercantik di dunia!

Tapi itu dulu.

Mama yang sekarang berdaster kusut, berbau minyak tanah, dan berambut lepek awut-awutan, yang sebelum tidur tidak lagi mencium dan memeluknya, tapi membentak-bentak karena ia belum juga cuci piring, yang sekarang sedang memukulinya dengan gulungan koran sambil berteriak-teriak betapa ia anak yang mengecewakan, di depan adik laki-lakinya semata wayang yang baru beberapa bulan lalu merayakan usia tiga tahun.

Berbulan-bulan sudah Risky mengalami neraka ini, sejak Mama memecat setiap pembantu lalu berhenti kerja untuk mengurus sendiri rumah dan segala isinya.

"Daripada enggak becus di rumah, kerja di luar lagi aja sana!"

"Seumur Mama tuh udah susah cari kerja! Kamu malah nyia-nyiain masa muda!"

"Persetan."

"Dibilangin selalu ngelawan. Durhaka!"

"Memang aku bukan anak Mama, aku anak Simbok!"

"Bisa-bisanya kamu bilang gitu?! Heh, kamu tahu kenapa dinamai Risky?!"

"Karena malas nyari nama."

"Karena Mama hampir mati waktu ngelahirin kamu, tahu, enggak?!"

"Siapa yang minta dilahirin. Salah sendiri!"

"Kamu tuh enggak tahu bersyukur, ya! Kurang ajar kamu!"

"Siapa dulu dong ibunya!"

Berbulan-bulan sudah semacam itulah percakapan mereka sehari-hari, tontonan Adek yang kadang jadi menangis kadang cuma melongo.

.

Sewaktu Risky masih SD, Papa tahu-tahu saja pergi ke Jepang. Beberapa lama, tinggal Risky, Simbok, dan Mama di rumah. Hingga Mama memutuskan, "Kita ikut Papa ke Jepang, ya." Mama berhenti kerja, memulangkan Simbok ke kampungnya, lalu terbang bersama Risky ke tempat Papa melanjutkan studi. Tentunya Risky juga melanjutkan sekolah di sana. Tapi Mama tidak bisa melanjutkan pekerjaannya. Mama menjadi ibu rumah tangga, melakukan pekerjaan-pekerjaan Simbok. Setelah beberapa waktu, Risky mengetahui bahwa Mama tidak suka jadi Simbok.

Risky berharap sepulang sekolah ia akan disambut dengan sukacita, lalu peluk dan cium, seperti ia pada Mama sepulang kerja dulu. Tapi, yang tampak malah wajah masam dan lesu. Ciumannya pun cuma cium punggung tangan Mama yang berbau amis, lalu Mama menyuruhnya makan masakan yang lebih amis lagi.

Mama berdalih masakan Jepang berbeda dari masakan Indonesia. Bahan-bahan yang biasa mereka konsumsi tidak banyak tersedia; kalaupun ada, harganya sangat mahal. Mereka harus menyesuaikan lidah dengan cita rasa baru.

Tapi, setelah bertahun-tahun tinggal di negara itu, dari berbagai pengalaman makan di luar rumah, Risky mengenal masakan Jepang yang enak itu bagaimana dan mulai terbiasa dengan cita rasanya; ia mengetahui bahwa Mama memang tidak berbakat lagi tidak menyukai masak-memasak.

Tapi, berkat cubitan Simbok sepanjang masa kecilnya, Risky terbiasa makan teratur dalam porsi besar. Simbok mungkin bukan koki terbaik sedunia, dan kini standar Risky anjlok. Betapapun ganjilnya masakan Mama--entah terlalu matang atau masih mentah, kebanyakan bumbu atau hambar sama sekali--Risky dan juga Papa tidak memprotes. Asal masih bisa dikunyah dan ditelan. Kalau Mama memancing pendapat mereka, Risky biasanya menggumam tidak jelas setelah terlebih dahulu mengisi mulutnya banyak-banyak sampai pipinya gembung, sedangkan Papa menjawab, "Mengenyangkan," dengan ekspresi netral. Kali lainnya Mama bertanya lagi, setelah berusaha berimprovisasi, tanggapan dari Risky dan Papa pun begitu lagi dengan sedikit variasi.

Apartemen yang mereka tinggali sangat sempit dan barangnya sedikit, sehingga beres-beres dan bersih-bersih tidak makan waktu lama. Hiburan Mama paling-paling TV dan bacaan. Tapi, walaupun pelajaran bahasa Jepangnya maju terus, Mama tetap kesulitan mengikuti. Ketika bertemu tetangga yang orang Jepang, pada awalnya Mama girang. Ini kesempatan mempraktikkan bahasa baru, berkenalan, menjalin pertemanan sebagai strategi bertahan di negeri orang. Tapi, setelah "Ohaiyo gozaimasu" atau "Konnichiwa" atau "Konbanwa"--tergantung waktu bertemunya--serta "Ii tenki nee" kalau cuacanya memang sedang bagus, yang disampaikan secara ramah-ramahnya tapi dijawab dengan serikuh-rikuhnya, yang disapa malah segera mengacir masuk lagi ke rumahnya. Hanya kalau kedatangan penjual keliling, penyebar agama, atau petugas NHK, Mama tidak berminat mempraktikkan bahasa Jepang sama sekali.

Rute ke tempat belanja sehari-hari wajib dihafal. Tapi kadang-kadang Mama tergoda untuk menyimpang, menjelajahi daerah sekitar. Lagi pula, suntuk di rumah saja mengerjakan itu melulu. Berbekal kamus dan buku percakapan bahasa Jepang, Mama pun bertualang. Sorenya, Risky yang baru pulang sekolah tidak bisa masuk apato karena kunci pintunya dibawa Mama. Risky mengetuk-ngetuk pintu, memencet bel, memanggil-manggil, "Ma, bukain, Ma," dan merenungkan kesalahan apa yang diperbuatnya sampai Mama tidak mau membukakan. Risky duduk menunggu di depan pintu sampai Papa pulang. Lalu keduanya panik mencari Mama, yang di tempat lain sedang panik juga karena payahnya membaca petunjuk jalan dan orang-orang yang dicegatnya pun pada tidak memahami ucapannya. Akhirnya ada pejalan yang mengantarkan Mama ke kantor polisi. Untung Mama selalu membawa alamat di dompet. Seorang polisi mengantar Mama pulang.

Setelah kejadian itu nyaris terulang, dan dompetnya kecopetan--tapi untunglah kali ini sudah hafal alamat rumah--Mama kapok jalan-jalan sendiri. Tiap ada hari libur, Mama berusaha menyeret Risky dan Papa keluar rumah. "Mumpung masih di sini!" Mama geregetan karena keduanya tampak enggan setelah pada hari-hari biasa sibuk menimba ilmu seharian di tempat belajar masing-masing. Risky dan Papa hanya ingin bersantai-santai di rumah pada akhir pekan. Barulah ketika liburnya panjang, atau ada hanami, momiji, dan matsuri, mereka rela didorong-dorong keluar. Keduanya sama-sama tidak nyaman dengan keramaian. Ingin menyepi, tapi menjauh sebentar saja bisa-bisa Mama hilang lagi.

Padahal dulu pergi jalan-jalan bersama Mama selalu menyenangkan. Tiap ada hari libur, Mama suka mengajak Risky putar-putar Blok M, beli mainan di Hoya, lihat-lihat bacaan di toko buku, makan di restoran. Tidak pakai kesasar segala karena Mama menguasai rute transportasi umum di Jakarta, kadang-kadang mereka naik taksi, dan bila Papa turut serta mereka menggunakan mobil pribadi.

Di Jepang, Risky tidak bisa minta apa-apa lagi pada Mama. Alasannya mulai dari, "Kita di sini cuma sementara. Jangan kebanyakan barang ah!", atau, "Barang di sini tuh mahal-mahal!", sampai, "Mama tuh di sini udah enggak kerja! Enggak ada duit! Minta sama Papa!" Dan Risky pun terbungkam. Ia tidak berani mendekati Papa. Sewaktu mereka sekeluarga berbelanja--yang tidak sesering bersama Mama dulu di Jakarta--dan itu juga kalau Papa menanyakan, "Iki mau beli apa?" barulah Risky memberanikan diri menunjuk barang yang diinginkannya.

Bahkan sekadar dukungan moral pun, Risky tidak lagi bisa mengharapkannya pada Mama. Pernah ia bilang, "Ma, enggak mau sekolah. Anaknya jahat-jahat." Sebelumnya, di Indonesia, Risky didekati teman-temannya karena punya banyak bacaan dan mainan. Hampir tiap minggu, atau paling lama tiap bulan, ada saja barang baru yang dipamerkan. (Walau karena itu juga kadang-kadang Risky berkelahi dan kehilangan "teman".) Di Jepang, ganti Risky yang tidak punya apa-apa, hanya bisa mengamati dan menguping apa yang sedang ramai dibicarakan anak-anak di sekitarnya. Tidak ada yang mengacuhkannya. Bila ia terlalu dekat, mereka serempak terdiam, menjauh, atau bubar sama sekali.

Apalagi kemudian Papa menyuruh Risky bawa bekal makan siang sendiri, buatan Mama yang ala kadarnya dan sama sekali tidak menggugah selera dibandingkan dengan menu yang disajikan di sekolah. Dan lalu ada yang diam-diam mengambil kotak bekalnya dan menyembunyikannya. Pada waktu lainnya, anak-anak jail itu memasukkan serangga ke kotak bekalnya.

Setelah beberapa lama, Risky mulai memahami dirinya sebagai seorang gaijin. Mereka menyangka dirinya berasal dari Cina, Korea, atau Vietnam, karena matanya yang sipit dan kulitnya yang kuning tapi bahasa Jepangnya buruk. Mereka mengatai dia "bodoh", "lamban", dan "malas". Bagaimana tidak bodoh, lamban, dan malas? Mereka sudah berbahasa Jepang dari kecilnya, sedang ia mesti belajar semuanya dari nol dalam waktu singkat untuk menyusul mereka. Padahal sewaktu di Indonesia, Risky termasuk anak yang cepat menangkap pelajaran dan selalu mendapat nilai bagus.

Risky ingin mengeluhkan semua itu kepada Mama, berharap akan dipeluk, dihibur dan disemangati, dikuatkan. Tapi baru keluar sedikit saja, kata Mama, "Laki-laki kok sensitif. Kamu aja yang enggak bisa bergaul!"

Risky tidak lagi bicara kepada Mama, kecuali bila ditegur terlebih dahulu. Itu pun dia jawab seperlunya saja. Ia tidak lagi melihat dirinya sebagai anak kesayangan Mama, tapi sekadar hiburan pelepas lelah sepulang kerja.

Setelah kembali ke Indonesia, bukan berarti hubungan mereka kembali seperti sedia kala. Mama segera disibukkan oleh berbagai hal lain: hamil Adek, pindahan ke Bandung, mencari pembantu untuk mendampingi Simbok yang dipekerjakan lagi meski sudah terlalu tua, dan ia sendiri pun kembali bekerja di luar rumah dari pagi sampai sore. Risky sudah tidak lagi menunggui Mama pulang kerja, jangankan menyambutnya dengan sukacita. Ia bukan lagi anak manis yang gemar menyetor nilai-nilai bagus. Ia tidak lagi akan tinggal diam ketika dicela atau dipukul. Tubuhnya sudah lebih besar daripada kedua orang tuanya.

Mama--dan Papa--baru benar-benar memerhatikan Risky setelah ada panggilan dari sekolah. Interaksi mereka kerap kali berupa pertengkaran. Kata-kata Mama semakin menyakitkan, dan kerap kali diiringi tamparan. Walau berani melawan kata-kata Mama dengan tak kalah tajam, Risky tidak sampai hati membalas dengan tangan. Betapapun Mama menantangnya, dan betapa ingin sebetulnya Risky menonjok bahkan mencekik wanita itu, ia masih sanggup menahan diri dan alih-alih meninggalkan pertarungan dan mengamuk sendiri di kamar.

.

Kali ini, masalahnya adalah sikap cuek Risky saat mendapati namanya tidak ada dalam daftar peserta yang lulus UMPTN. Seandainya Risky menampakkan kekecewaan, apalagi kalau dari bulan-bulan sebelumnya menunjukkan upaya belajar yang keras, Mama tentu agak lunak. Tapi, memang sudah bertahun-tahun ini Risky melalaikan pelajarannya. Bulan-bulan menjelang UMPTN, bukannya berkutat dengan buku-buku latihan soal, ia malah asyik main dengan adiknya, menonton TV, baca komik, melamun sambil merokok di kamarnya, apalah, kalau tidak keluyuran entah ke mana di luar sana--pastinya bukan ke tempat bimbingan belajar!

Mama sudah tidak tahu lagi bagaimana mesti mengatur Risky. Begitu Papa pulang sore itu, Mama menyambutnya dengan luapan kekesalan.

Malamnya, Papa mengajak mereka makan bersama-sama satu meja, sekalian membicarakan tentang rencana Risky. Ketika Papa menanyakannya, Risky hanya mengedikkan bahu tanpa acuh sambil menghindari tatapan kedua orang tuanya. Mama kembali meledak. Risky membalas dengan menggebrakkan meja. Sendok dan garpu terpelanting, kuah sup bercipratan, dan Adek yang kaget pun menangis. Maksud baik-baik Papa malah seperti mengipasi bara pembakaran sate. Ia memanggil-manggil Risky, namun anak itu keburu membanting pintu kamarnya.

.

Berhari-hari Risky mengunci diri dalam kamar. Mama dan Papa menggedor-gedor pintu kamarnya sambil berteriak-teriak, Adek merengek-rengek ingin main ingin digambari. Tapi Risky bergeming, pura-pura sudah mati. Ia melarikan diri dalam bacaan, gambar, gim, dan musik, menutup diri dari kemungkinan akan masa depan. Ia keluar kamar hanya pada tengah malam sampai dini hari, ketika dipikirnya semua sedang pada terlelap. Ia mengambil makanan dan minuman, ke kamar mandi.

Sampai suatu malam, kegaduhan itu terjadi lagi. "Kamu enggak pernah ikut mendidik dia!" teriak Mama. Papa balas berteriak, namun telinga Risky sudah tertutup oleh gemuruh napas dan gejolak dalam dadanya sendiri.

Bila bertambah panas, Papa memukul Mama. Semakin panas lagi, Mama melawan dengan melemparkan barang-barang ke arah Papa. Panasnya rumah pun bagai neraka. Risky kecil akan melarikan diri ke kamar Simbok yang pintunya tak pernah dikunci. Ia merangkak ke samping Simbok, lalu meringkuk membelakanginya. Simbok yang terbangun pun mengusap-usap punggung Risky sampai anak itu tenang dan tertidur. Sementara itu, tetangga depan mengintip dari balik gorden jendela rumahnya seakan-akan ada suatu pemandangan yang akan tertangkap; tetangga kanan-kiri menempelkan telinga ke tembok. Semua mengumpulkan bahan gosip esok hari.

Mama dan Papa hampir-hampir sudah tidak pernah berantem lagi sejak sewaktu mereka tinggal di Jepang. Awalnya memang masih ada letupan-letupan, yang pada satu titik tak terelakkan lagi menjadi ledakan. Tapi, tetangga di Jepang tidak ada yang hendak menggosipkan rumah tangga warga asing. Alih-alih, mereka menelepon polisi. Sejak itu, bila melihat Papa menggelar futon di ruang tengah, tahulah Risky sedang ada masalah di antara kedua orang tuanya.

Sekarang, tangisan Adek menandingi percekcokan. Namun masih ada teriakan orang tuanya, masih ada piring dipecahkan. Setiap orang seperti dalam perlombaan saja siapa paling kencang bersuara. Risky ingin berpartisipasi dengan menendangi pintu sekeras-kerasnya seakan-akan dapat menaklukkan semuanya dan memungkasi pertandingan.

Alih-alih, ia meraih ransel dan memasukkan barang-barang: dompet, Walkman, beberapa kaset favorit, beberapa buku komik, robot Gundam rakitan pertamanya.

Simbok sudah tiada. Tiada lagi tempat pelarian. Ia lari dari rumah saja sekalian.

Tangisan Adek melengking semakin nyaring. Risky resah. Masakkah tidak ada yang mendiamkannya? Selain itu, yang terdengar hanya timpalan gertak sesekali. Dan ia akan meninggalkan adiknya sendirian di tengah-tengah kedua orang itu?

Pelan-pelan ia memutar kunci, lalu menarik gagang pintu hingga membuka sedikit. Ia mengintip. Adek berada di seberang kamarnya. Piring melayang di atas kepala anak itu. Mirip adegan perang yang pernah ditontonnya di TV. Seorang serdadu merayap di antara desingan peluru dan ledakan granat. Serdadu-serdadu lain berloncatan di sekitarnya, lalu ambruk tak bergerak lagi. Namun serdadu itu tak gentar. Ia maju terus. Peluh, debu, darah mengilatkan kulit dan mengusamkan baju. Yang melintas dalam benaknya hanya bergerak, bergerak, bergerak!, sampai titik darah penghabisan.

Risky menutup pintu. Adiknya terdiam begitu didudukkan di tempat tidur, tinggal terisak. Risky mengempaskan diri di sebelah anak itu, mengembuskan napas. Setelah tenang, ia menatap adiknya yang masih tersengguk-sengguk sedikit. Risky beringsut ke kepala tempat tidur, menepuk-nepuk permukaan di sampingnya. Adiknya merangkak mendekat.

Risky mengambil sembarang komik di nakas. Ia memperlihatkan gambar di halaman pertama pada adiknya: Doraemon sedang berakrobat di atas bola.

Risky membuka salah satu cerita. Dalam volume pelan, ia membacakan kata-kata dalam balon suara: diparau-paraukan bila itu Doraemon, manja kalau Nobita, genit seperti Shizuka, sengau dan cempreng ala Suneo, dan pura-pura Batak untuk Jaian. Adek mulai terkekeh-kekeh kecil. Ketimbang melihat gambar, matanya lebih banyak memerhatikan ekspresi wajah Risky. Mereka larut dalam cerita, sama sekali tidak menghiraukan apa pun yang terjadi di luar sana.

Lama-lama kepala Adek tertunduk, matanya mengatup. Tapi begitu Risky berhenti bersuara, cepat-cepat anak itu menegakkan kepala. Matanya membuka lebar-lebar, tangannya menyibak halaman selanjutnya agar dibacakan.

Adek benar-benar tidak kuat lagi.

Risky lanjut membaca komik tanpa bersuara. Ia tiba pada cerita berjudul "Hari Kelahiranku".

Nobita mengeluh malas dan bosan belajar. Ketika hendak bermain, ia dimarahi habis-habisan oleh kedua orang tuanya. Nobita ragu apakah ia benar-benar anak kandung mereka.

Doraemon mengajak Nobita menaiki mesin waktu ke hari ia dilahirkan.

Di rumahnya pada masa itu, Nobita bertemu ayahnya yang tentu saja tidak mengenali dia. Ia dan Doraemon mengikuti ayahnya ke rumah sakit. Di sana, Ibu Nobita baru saja pulih dari melahirkan. Ayah dan Ibu Nobita berbincang, tentang nama anak mereka, masa depannya, harapan-harapan mereka padanya. Betapa banyak yang mereka bebankan pada Nobita sehingga ia termenung.

Nobita dan Doraemon kembali ke masa kini. Nobita belajar hingga larut malam, sampai kedua orang tuanya khawatir.

Pintu membuka. Mama telah berganti pakaian, berdandan sekadarnya, merapikan rambut, dan wangi. Mama menepuk kaki Adek. "Dek, bangun, Dek."

Risky menepis tangan Mama. "Jangan bawa-bawa Adek."

Mama tak acuh. "Dek ...!"

Adek terbangun linglung.

"Kasihan, lagi tidur." Risky menarik badan adiknya yang hampir masuk ke pelukan Mama. "Pergi aja sendiri!"

"Enggak ada yang ngurus Adek!"

"Biasanya juga enggak becus!"

"Kamu jangan cuma ngata-ngatain Mama, ya! Kamu sendiri enggak pernah bantu-bantu Mama!"

Adek menangis lagi.

Papa muncul di pintu. Ia menghampiri dan menyentuh lengan Mama. "Mau ke mana?"

Risky mengambil kesempatan untuk merebut adiknya.

Mama mendecak dan menampik tangan Papa.

"Kita bicarakan lagi," kata Papa.

"Alah! Akhirnya sama saja!"

"Jangan terbawa emosi!"

"Kamu enggak pernah mau dengar!"

Sebelum kecipratan lagi, Risky menghalau keduanya sampai ke luar kamar. "Berantem jangan di sini!" Lalu cepat-cepat ia mengunci pintu.

"Risky! Risky!" Gedoran.

Risky mondar-mandir dalam kamarnya, sampai memerhatikan adiknya tersengguk-sengguk. Ia duduk di samping anak itu. "Tidur, tidur," katanya pelan. Adiknya menggulung diri. Risky pun rebah, bersedekap sembari memandangi langit-langit yang cecak pun tak mau tampak. Perdebatan terdengar sayup-sayup namun sudah tak sesengit sebelumnya.

Berangsur-angsur keduanya terlelap.

.

Pada hari libur mereka sekeluarga bertamasya ke Ciater. Risky cuma bercelana pendek menerjunkan diri ke kolam air hangat. Di pinggir kolam adiknya takut-takut mencelupkan sebelah kaki. Risky menenggelamkan diri hingga tinggal separuh kepalanya yang timbul di permukaan, berpura-pura menjadi buaya. Pelan-pelan ia mendekati adiknya, lalu menerkam dan membawa masuk anak itu ke air. Adiknya menjerit dan meronta tapi lalu celingukan dalam dekapan Risky. Cuma sebagian bawah badannya yang masuk ke air.

"Lepas, ya, lepas, ya," goda Risky.

"Jangan! Jangan!" adiknya berontak sembari merangkuli pundak Risky erat-erat.

Risky hendak berpura-pura melepaskan kedua lengannya, tatkala menyadari bahwa ia tidak sedang berada di Ciater tapi kamarnya sendiri--kasurnya.

"ADEEEK ...!"

Kontan ia meloncat ke lantai, menjejak-jejakkan kaki sembari melepaskan kausnya yang basah dan mencampakkannya ke pintu.

"MA! MAMA!"

Pintu dibuka. Sunyi senyap. Terang benderang oleh sinar yang menyorot dari sebelah luar jendela. Gorden-gorden sudah pada ditarik ke tepi.

Kembali ke kamar, adiknya terduduk kebingungan. Risky menyentak lengan anak itu. Tertatih-tatih adiknya diseret ke kamar mandi. Semua pakaian dilucuti dan Risky mengempaskan bergayung-gayung air dingin ke badan anak itu. Adiknya mengkeret, terbatuk-batuk dan megap-megap. Diiringi gerutuan, Risky menggosok-gosokkan sabun ke sekujur tubuh adiknya yang cuma bisa merengek. Lalu ia banjur lagi adiknya tanpa ampun. Tepat ketika Risky membungkus adiknya dalam handuk, Mama membuka pintu depan. Tangan Mama mengangkat beberapa kantung plastik penuh belanjaan. Melihat ibunya, Risky mendorong adiknya ke luar kamar mandi. Lalu ia menutup pintu dan membersihkan badannya sendiri.

"Kenapa, Ki?" tegur Mama.

"Si Adek ngompol!" teriak Risky di sela guyuran air. Lalu, dibukanya pintu, "MA! HANDUK!"

Setelah berpakaian dan melemparkan segala kain yang kebasahan dan bau pesing ke keranjang di samping pintu kamar mandi, "MA, KASURNYA GIMANA?!"

"Dijemur aja sekalian!"

Mereka lalu menggotong kasur itu ke tempat jemuran di loteng. Setelah menggosok-gosok bagian yang diompoli dengan air dan deterjen serta menyiraminya berkali-kali, Risky masih gusar. Ia enggan menghabiskan sisa hari dalam ruangan yang masih beraroma pesing samar-samar, apalagi kalau pintunya ditutup--biarpun ia sendiri pernah kencing dalam botol ketika kemarin-kemarin tengah mengurung diri sementara keluarganya masih beraktivitas di luar kamarnya. Kalau pintunya dibuka, tentu Mama dan si Adek akan lebih mengganggunya.

Beranjak siang, Risky menggendong ransel yang hendak dibawanya kabur semalam.

"Ke mana, Ki?"

Risky menjawabnya dengan membanting pintu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain