Mama adalah orang yang paling Risky
sayangi. Pagi-pagi saat Mama mau berangkat kerja, Risky kecil menangis. Ia
meronta-ronta sambil dibopong Simbok di teras rumah, sementara Mama dadah-dadah
padanya dan menjauh. Setelah Mama pergi, Simbok mencubiti Risky sampai anak itu
diam. "Cah lanang ojo gembeng!" tukas Simbok gemas. Anak
laki-laki jangan cengeng.
Ketika malam, Risky menanti kepulangan
Mama. Berkali-kali ia menghampiri jendela, menyibak sedikit gorden, dan
mengintip ke jalan. Padahal ketika Mama pulang pasti ada suaranya. Simbok terus
mengingatkan Risky agar segera tidur, besok sekolah. Kadang Risky menurut
karena keburu mengantuk. Lalu tahu-tahu saja kecupan Mama membangunkannya. Mama
sudah pulang! Setelah bersih-bersih, Mama akan menemaninya di tempat tidur dan
memeluknya sampai Risky terlelap.
Berkali-kali Risky berpesan, "Ma,
pulangnya jangan malam-malam."
Mama berjanji, "Mama usahakan, ya,
Nak."
Lalu Mama pulang larut seperti biasanya.
Risky cemberut, menahan tangis berjam-jam sejak waktu yang semestinya Mama
sudah di rumah. Tapi ciuman Mama selalu menghilangkan kekesalannya. Apalagi
setelah Mama memeluknya.
Mama Risky wanita karier yang sibuk.
Malah kadang profesinya tidak mengenal hari libur. Risky pernah diajak
melihat-lihat hotel megah tempat Mama bekerja. Mama pun selalu tampil trendi
dari ubun-ubun sampai jempol kaki. Risky akrab dengan aroma hairspray dan
parfumnya yang samar-samar tapi membekas, ketak-ketok sepatunya, serta tungkai
kaki yang mulus, padat, dan kencang menjulur dari balik rok mini. Mama adalah
yang tercantik di dunia!
Tapi itu dulu.
Mama yang sekarang berdaster kusut,
berbau minyak tanah, dan berambut lepek awut-awutan, yang sebelum tidur tidak
lagi mencium dan memeluknya, tapi membentak-bentak karena ia belum juga cuci
piring, yang sekarang sedang memukulinya dengan gulungan koran sambil
berteriak-teriak betapa ia anak yang mengecewakan, di depan adik laki-lakinya
semata wayang yang baru beberapa bulan lalu merayakan usia tiga tahun.
Berbulan-bulan sudah Risky mengalami
neraka ini, sejak Mama memecat setiap pembantu lalu berhenti kerja untuk
mengurus sendiri rumah dan segala isinya.
"Daripada enggak becus di rumah,
kerja di luar lagi aja sana!"
"Seumur Mama tuh udah susah cari
kerja! Kamu malah nyia-nyiain masa muda!"
"Persetan."
"Dibilangin selalu ngelawan.
Durhaka!"
"Memang aku bukan anak Mama, aku
anak Simbok!"
"Bisa-bisanya kamu bilang gitu?!
Heh, kamu tahu kenapa dinamai Risky?!"
"Karena malas nyari nama."
"Karena Mama hampir mati waktu
ngelahirin kamu, tahu, enggak?!"
"Siapa yang minta dilahirin. Salah
sendiri!"
"Kamu tuh enggak tahu bersyukur,
ya! Kurang ajar kamu!"
"Siapa dulu dong ibunya!"
Berbulan-bulan sudah semacam itulah
percakapan mereka sehari-hari, tontonan Adek yang kadang jadi menangis kadang
cuma melongo.
.
Sewaktu Risky masih SD, Papa tahu-tahu
saja pergi ke Jepang. Beberapa lama, tinggal Risky, Simbok, dan Mama di rumah.
Hingga Mama memutuskan, "Kita ikut Papa ke Jepang, ya." Mama berhenti
kerja, memulangkan Simbok ke kampungnya, lalu terbang bersama Risky ke tempat
Papa melanjutkan studi. Tentunya Risky juga melanjutkan sekolah di sana. Tapi
Mama tidak bisa melanjutkan pekerjaannya. Mama menjadi ibu rumah tangga,
melakukan pekerjaan-pekerjaan Simbok. Setelah beberapa waktu, Risky mengetahui bahwa
Mama tidak suka jadi Simbok.
Risky berharap sepulang sekolah ia akan
disambut dengan sukacita, lalu peluk dan cium, seperti ia pada Mama sepulang
kerja dulu. Tapi, yang tampak malah wajah masam dan lesu. Ciumannya pun cuma
cium punggung tangan Mama yang berbau amis, lalu Mama menyuruhnya makan masakan
yang lebih amis lagi.
Mama berdalih masakan Jepang berbeda
dari masakan Indonesia. Bahan-bahan yang biasa mereka konsumsi tidak banyak
tersedia; kalaupun ada, harganya sangat mahal. Mereka harus menyesuaikan lidah
dengan cita rasa baru.
Tapi, setelah bertahun-tahun tinggal di
negara itu, dari berbagai pengalaman makan di luar rumah, Risky mengenal
masakan Jepang yang enak itu bagaimana dan mulai terbiasa dengan cita rasanya;
ia mengetahui bahwa Mama memang tidak berbakat lagi tidak menyukai
masak-memasak.
Tapi, berkat cubitan Simbok sepanjang
masa kecilnya, Risky terbiasa makan teratur dalam porsi besar. Simbok mungkin
bukan koki terbaik sedunia, dan kini standar Risky anjlok. Betapapun ganjilnya
masakan Mama--entah terlalu matang atau masih mentah, kebanyakan bumbu atau
hambar sama sekali--Risky dan juga Papa tidak memprotes. Asal masih bisa
dikunyah dan ditelan. Kalau Mama memancing pendapat mereka, Risky biasanya
menggumam tidak jelas setelah terlebih dahulu mengisi mulutnya banyak-banyak
sampai pipinya gembung, sedangkan Papa menjawab, "Mengenyangkan,"
dengan ekspresi netral. Kali lainnya Mama bertanya lagi, setelah berusaha
berimprovisasi, tanggapan dari Risky dan Papa pun begitu lagi dengan sedikit
variasi.
Apartemen yang mereka tinggali sangat
sempit dan barangnya sedikit, sehingga beres-beres dan bersih-bersih tidak
makan waktu lama. Hiburan Mama paling-paling TV dan bacaan. Tapi, walaupun
pelajaran bahasa Jepangnya maju terus, Mama tetap kesulitan mengikuti. Ketika
bertemu tetangga yang orang Jepang, pada awalnya Mama girang. Ini kesempatan
mempraktikkan bahasa baru, berkenalan, menjalin pertemanan sebagai strategi
bertahan di negeri orang. Tapi, setelah "Ohaiyo gozaimasu"
atau "Konnichiwa" atau "Konbanwa"--tergantung
waktu bertemunya--serta "Ii tenki nee" kalau cuacanya memang
sedang bagus, yang disampaikan secara ramah-ramahnya tapi dijawab dengan
serikuh-rikuhnya, yang disapa malah segera mengacir masuk lagi ke rumahnya.
Hanya kalau kedatangan penjual keliling, penyebar agama, atau petugas NHK, Mama
tidak berminat mempraktikkan bahasa Jepang sama sekali.
Rute ke tempat belanja sehari-hari wajib
dihafal. Tapi kadang-kadang Mama tergoda untuk menyimpang, menjelajahi daerah
sekitar. Lagi pula, suntuk di rumah saja mengerjakan itu melulu. Berbekal kamus
dan buku percakapan bahasa Jepang, Mama pun bertualang. Sorenya, Risky yang
baru pulang sekolah tidak bisa masuk apato karena kunci
pintunya dibawa Mama. Risky mengetuk-ngetuk pintu, memencet bel, memanggil-manggil,
"Ma, bukain, Ma," dan merenungkan kesalahan apa yang diperbuatnya
sampai Mama tidak mau membukakan. Risky duduk menunggu di depan pintu sampai
Papa pulang. Lalu keduanya panik mencari Mama, yang di tempat lain sedang panik
juga karena payahnya membaca petunjuk jalan dan orang-orang yang dicegatnya pun
pada tidak memahami ucapannya. Akhirnya ada pejalan yang mengantarkan Mama ke
kantor polisi. Untung Mama selalu membawa alamat di dompet. Seorang polisi
mengantar Mama pulang.
Setelah kejadian itu nyaris terulang,
dan dompetnya kecopetan--tapi untunglah kali ini sudah hafal alamat rumah--Mama
kapok jalan-jalan sendiri. Tiap ada hari libur, Mama berusaha menyeret Risky
dan Papa keluar rumah. "Mumpung masih di sini!" Mama geregetan karena
keduanya tampak enggan setelah pada hari-hari biasa sibuk menimba ilmu seharian
di tempat belajar masing-masing. Risky dan Papa hanya ingin bersantai-santai di
rumah pada akhir pekan. Barulah ketika liburnya panjang, atau ada hanami,
momiji, dan matsuri, mereka rela didorong-dorong keluar.
Keduanya sama-sama tidak nyaman dengan keramaian. Ingin menyepi, tapi menjauh
sebentar saja bisa-bisa Mama hilang lagi.
Padahal dulu pergi jalan-jalan bersama
Mama selalu menyenangkan. Tiap ada hari libur, Mama suka mengajak Risky
putar-putar Blok M, beli mainan di Hoya, lihat-lihat bacaan di toko buku, makan
di restoran. Tidak pakai kesasar segala karena Mama menguasai rute transportasi
umum di Jakarta, kadang-kadang mereka naik taksi, dan bila Papa turut serta
mereka menggunakan mobil pribadi.
Di Jepang, Risky tidak bisa minta
apa-apa lagi pada Mama. Alasannya mulai dari, "Kita di sini cuma
sementara. Jangan kebanyakan barang ah!", atau, "Barang di sini tuh
mahal-mahal!", sampai, "Mama tuh di sini udah enggak kerja! Enggak
ada duit! Minta sama Papa!" Dan Risky pun terbungkam. Ia tidak berani
mendekati Papa. Sewaktu mereka sekeluarga berbelanja--yang tidak sesering
bersama Mama dulu di Jakarta--dan itu juga kalau Papa menanyakan, "Iki mau
beli apa?" barulah Risky memberanikan diri menunjuk barang yang
diinginkannya.
Bahkan sekadar dukungan moral pun, Risky
tidak lagi bisa mengharapkannya pada Mama. Pernah ia bilang, "Ma, enggak
mau sekolah. Anaknya jahat-jahat." Sebelumnya, di Indonesia, Risky
didekati teman-temannya karena punya banyak bacaan dan mainan. Hampir tiap
minggu, atau paling lama tiap bulan, ada saja barang baru yang dipamerkan.
(Walau karena itu juga kadang-kadang Risky berkelahi dan kehilangan
"teman".) Di Jepang, ganti Risky yang tidak punya apa-apa, hanya bisa
mengamati dan menguping apa yang sedang ramai dibicarakan anak-anak di
sekitarnya. Tidak ada yang mengacuhkannya. Bila ia terlalu dekat, mereka
serempak terdiam, menjauh, atau bubar sama sekali.
Apalagi kemudian Papa menyuruh Risky
bawa bekal makan siang sendiri, buatan Mama yang ala kadarnya dan sama sekali
tidak menggugah selera dibandingkan dengan menu yang disajikan di sekolah. Dan
lalu ada yang diam-diam mengambil kotak bekalnya dan menyembunyikannya. Pada
waktu lainnya, anak-anak jail itu memasukkan serangga ke kotak bekalnya.
Setelah beberapa lama, Risky mulai
memahami dirinya sebagai seorang gaijin. Mereka menyangka dirinya
berasal dari Cina, Korea, atau Vietnam, karena matanya yang sipit dan kulitnya
yang kuning tapi bahasa Jepangnya buruk. Mereka mengatai dia "bodoh",
"lamban", dan "malas". Bagaimana tidak bodoh, lamban, dan
malas? Mereka sudah berbahasa Jepang dari kecilnya, sedang ia mesti belajar
semuanya dari nol dalam waktu singkat untuk menyusul mereka. Padahal sewaktu di
Indonesia, Risky termasuk anak yang cepat menangkap pelajaran dan selalu
mendapat nilai bagus.
Risky ingin mengeluhkan semua itu kepada
Mama, berharap akan dipeluk, dihibur dan disemangati, dikuatkan. Tapi baru
keluar sedikit saja, kata Mama, "Laki-laki kok sensitif. Kamu aja yang
enggak bisa bergaul!"
Risky tidak lagi bicara kepada Mama,
kecuali bila ditegur terlebih dahulu. Itu pun dia jawab seperlunya saja. Ia
tidak lagi melihat dirinya sebagai anak kesayangan Mama, tapi sekadar hiburan
pelepas lelah sepulang kerja.
Setelah kembali ke Indonesia, bukan
berarti hubungan mereka kembali seperti sedia kala. Mama segera disibukkan oleh
berbagai hal lain: hamil Adek, pindahan ke Bandung, mencari pembantu untuk
mendampingi Simbok yang dipekerjakan lagi meski sudah terlalu tua, dan ia sendiri
pun kembali bekerja di luar rumah dari pagi sampai sore. Risky sudah tidak lagi
menunggui Mama pulang kerja, jangankan menyambutnya dengan sukacita. Ia bukan
lagi anak manis yang gemar menyetor nilai-nilai bagus. Ia tidak lagi akan
tinggal diam ketika dicela atau dipukul. Tubuhnya sudah lebih besar daripada
kedua orang tuanya.
Mama--dan Papa--baru benar-benar
memerhatikan Risky setelah ada panggilan dari sekolah. Interaksi mereka kerap
kali berupa pertengkaran. Kata-kata Mama semakin menyakitkan, dan kerap kali
diiringi tamparan. Walau berani melawan kata-kata Mama dengan tak kalah tajam,
Risky tidak sampai hati membalas dengan tangan. Betapapun Mama menantangnya,
dan betapa ingin sebetulnya Risky menonjok bahkan mencekik wanita itu, ia masih
sanggup menahan diri dan alih-alih meninggalkan pertarungan dan mengamuk
sendiri di kamar.
.
Kali ini, masalahnya adalah sikap cuek
Risky saat mendapati namanya tidak ada dalam daftar peserta yang lulus UMPTN.
Seandainya Risky menampakkan kekecewaan, apalagi kalau dari bulan-bulan
sebelumnya menunjukkan upaya belajar yang keras, Mama tentu agak lunak. Tapi,
memang sudah bertahun-tahun ini Risky melalaikan pelajarannya. Bulan-bulan
menjelang UMPTN, bukannya berkutat dengan buku-buku latihan soal, ia malah
asyik main dengan adiknya, menonton TV, baca komik, melamun sambil merokok di
kamarnya, apalah, kalau tidak keluyuran entah ke mana di luar sana--pastinya
bukan ke tempat bimbingan belajar!
Mama sudah tidak tahu lagi bagaimana
mesti mengatur Risky. Begitu Papa pulang sore itu, Mama menyambutnya dengan
luapan kekesalan.
Malamnya, Papa mengajak mereka makan
bersama-sama satu meja, sekalian membicarakan tentang rencana Risky. Ketika
Papa menanyakannya, Risky hanya mengedikkan bahu tanpa acuh sambil menghindari
tatapan kedua orang tuanya. Mama kembali meledak. Risky membalas dengan
menggebrakkan meja. Sendok dan garpu terpelanting, kuah sup bercipratan, dan
Adek yang kaget pun menangis. Maksud baik-baik Papa malah seperti mengipasi
bara pembakaran sate. Ia memanggil-manggil Risky, namun anak itu keburu
membanting pintu kamarnya.
.
Berhari-hari Risky mengunci diri dalam
kamar. Mama dan Papa menggedor-gedor pintu kamarnya sambil berteriak-teriak,
Adek merengek-rengek ingin main ingin digambari. Tapi Risky bergeming,
pura-pura sudah mati. Ia melarikan diri dalam bacaan, gambar, gim, dan musik,
menutup diri dari kemungkinan akan masa depan. Ia keluar kamar hanya pada
tengah malam sampai dini hari, ketika dipikirnya semua sedang pada terlelap. Ia
mengambil makanan dan minuman, ke kamar mandi.
Sampai suatu malam, kegaduhan itu
terjadi lagi. "Kamu enggak pernah ikut mendidik dia!" teriak Mama.
Papa balas berteriak, namun telinga Risky sudah tertutup oleh gemuruh napas dan
gejolak dalam dadanya sendiri.
Bila bertambah panas, Papa memukul Mama.
Semakin panas lagi, Mama melawan dengan melemparkan barang-barang ke arah Papa.
Panasnya rumah pun bagai neraka. Risky kecil akan melarikan diri ke kamar
Simbok yang pintunya tak pernah dikunci. Ia merangkak ke samping Simbok, lalu
meringkuk membelakanginya. Simbok yang terbangun pun mengusap-usap punggung
Risky sampai anak itu tenang dan tertidur. Sementara itu, tetangga depan
mengintip dari balik gorden jendela rumahnya seakan-akan ada suatu pemandangan
yang akan tertangkap; tetangga kanan-kiri menempelkan telinga ke tembok. Semua
mengumpulkan bahan gosip esok hari.
Mama dan Papa hampir-hampir sudah tidak
pernah berantem lagi sejak sewaktu mereka tinggal di Jepang. Awalnya memang
masih ada letupan-letupan, yang pada satu titik tak terelakkan lagi menjadi
ledakan. Tapi, tetangga di Jepang tidak ada yang hendak menggosipkan rumah
tangga warga asing. Alih-alih, mereka menelepon polisi. Sejak itu, bila melihat
Papa menggelar futon di ruang tengah, tahulah Risky sedang ada
masalah di antara kedua orang tuanya.
Sekarang, tangisan Adek menandingi
percekcokan. Namun masih ada teriakan orang tuanya, masih ada piring
dipecahkan. Setiap orang seperti dalam perlombaan saja siapa paling kencang
bersuara. Risky ingin berpartisipasi dengan menendangi pintu sekeras-kerasnya
seakan-akan dapat menaklukkan semuanya dan memungkasi pertandingan.
Alih-alih, ia meraih ransel dan
memasukkan barang-barang: dompet, Walkman, beberapa kaset favorit, beberapa
buku komik, robot Gundam rakitan pertamanya.
Simbok sudah tiada. Tiada lagi tempat
pelarian. Ia lari dari rumah saja sekalian.
Tangisan Adek melengking semakin
nyaring. Risky resah. Masakkah tidak ada yang mendiamkannya? Selain itu, yang
terdengar hanya timpalan gertak sesekali. Dan ia akan meninggalkan adiknya
sendirian di tengah-tengah kedua orang itu?
Pelan-pelan ia memutar kunci, lalu
menarik gagang pintu hingga membuka sedikit. Ia mengintip. Adek berada di
seberang kamarnya. Piring melayang di atas kepala anak itu. Mirip adegan perang
yang pernah ditontonnya di TV. Seorang serdadu merayap di antara desingan
peluru dan ledakan granat. Serdadu-serdadu lain berloncatan di sekitarnya, lalu
ambruk tak bergerak lagi. Namun serdadu itu tak gentar. Ia maju terus. Peluh,
debu, darah mengilatkan kulit dan mengusamkan baju. Yang melintas dalam
benaknya hanya bergerak, bergerak, bergerak!, sampai titik darah penghabisan.
Risky menutup pintu. Adiknya terdiam
begitu didudukkan di tempat tidur, tinggal terisak. Risky mengempaskan diri di
sebelah anak itu, mengembuskan napas. Setelah tenang, ia menatap adiknya yang
masih tersengguk-sengguk sedikit. Risky beringsut ke kepala tempat tidur,
menepuk-nepuk permukaan di sampingnya. Adiknya merangkak mendekat.
Risky mengambil sembarang komik di
nakas. Ia memperlihatkan gambar di halaman pertama pada adiknya: Doraemon
sedang berakrobat di atas bola.
Risky membuka salah satu cerita. Dalam
volume pelan, ia membacakan kata-kata dalam balon suara: diparau-paraukan bila
itu Doraemon, manja kalau Nobita, genit seperti Shizuka, sengau dan cempreng ala
Suneo, dan pura-pura Batak untuk Jaian. Adek mulai terkekeh-kekeh kecil.
Ketimbang melihat gambar, matanya lebih banyak memerhatikan ekspresi wajah
Risky. Mereka larut dalam cerita, sama sekali tidak menghiraukan apa pun yang
terjadi di luar sana.
Lama-lama kepala Adek tertunduk, matanya
mengatup. Tapi begitu Risky berhenti bersuara, cepat-cepat anak itu menegakkan
kepala. Matanya membuka lebar-lebar, tangannya menyibak halaman selanjutnya
agar dibacakan.
Adek benar-benar tidak kuat lagi.
Risky lanjut membaca komik tanpa
bersuara. Ia tiba pada cerita berjudul "Hari Kelahiranku".
Nobita mengeluh malas dan bosan belajar.
Ketika hendak bermain, ia dimarahi habis-habisan oleh kedua orang tuanya.
Nobita ragu apakah ia benar-benar anak kandung mereka.
Doraemon mengajak Nobita menaiki mesin
waktu ke hari ia dilahirkan.
Di rumahnya pada masa itu, Nobita
bertemu ayahnya yang tentu saja tidak mengenali dia. Ia dan Doraemon mengikuti
ayahnya ke rumah sakit. Di sana, Ibu Nobita baru saja pulih dari melahirkan.
Ayah dan Ibu Nobita berbincang, tentang nama anak mereka, masa depannya,
harapan-harapan mereka padanya. Betapa banyak yang mereka bebankan pada Nobita
sehingga ia termenung.
Nobita dan Doraemon kembali ke masa
kini. Nobita belajar hingga larut malam, sampai kedua orang tuanya khawatir.
Pintu membuka. Mama telah berganti
pakaian, berdandan sekadarnya, merapikan rambut, dan wangi. Mama menepuk kaki
Adek. "Dek, bangun, Dek."
Risky menepis tangan Mama. "Jangan
bawa-bawa Adek."
Mama tak acuh. "Dek ...!"
Adek terbangun linglung.
"Kasihan, lagi tidur." Risky
menarik badan adiknya yang hampir masuk ke pelukan Mama. "Pergi aja
sendiri!"
"Enggak ada yang ngurus Adek!"
"Biasanya juga enggak becus!"
"Kamu jangan cuma ngata-ngatain
Mama, ya! Kamu sendiri enggak pernah bantu-bantu Mama!"
Adek menangis lagi.
Papa muncul di pintu. Ia menghampiri dan
menyentuh lengan Mama. "Mau ke mana?"
Risky mengambil kesempatan untuk merebut
adiknya.
Mama mendecak dan menampik tangan Papa.
"Kita bicarakan lagi," kata
Papa.
"Alah! Akhirnya sama saja!"
"Jangan terbawa emosi!"
"Kamu enggak pernah mau
dengar!"
Sebelum kecipratan lagi, Risky menghalau
keduanya sampai ke luar kamar. "Berantem jangan di sini!" Lalu
cepat-cepat ia mengunci pintu.
"Risky! Risky!" Gedoran.
Risky mondar-mandir dalam kamarnya,
sampai memerhatikan adiknya tersengguk-sengguk. Ia duduk di samping anak itu.
"Tidur, tidur," katanya pelan. Adiknya menggulung diri. Risky pun
rebah, bersedekap sembari memandangi langit-langit yang cecak pun tak mau
tampak. Perdebatan terdengar sayup-sayup namun sudah tak sesengit sebelumnya.
Berangsur-angsur keduanya terlelap.
.
Pada hari libur mereka sekeluarga
bertamasya ke Ciater. Risky cuma bercelana pendek menerjunkan diri ke kolam air
hangat. Di pinggir kolam adiknya takut-takut mencelupkan sebelah kaki. Risky
menenggelamkan diri hingga tinggal separuh kepalanya yang timbul di permukaan,
berpura-pura menjadi buaya. Pelan-pelan ia mendekati adiknya, lalu menerkam dan
membawa masuk anak itu ke air. Adiknya menjerit dan meronta tapi lalu celingukan
dalam dekapan Risky. Cuma sebagian bawah badannya yang masuk ke air.
"Lepas, ya, lepas, ya," goda
Risky.
"Jangan! Jangan!" adiknya
berontak sembari merangkuli pundak Risky erat-erat.
Risky hendak berpura-pura melepaskan
kedua lengannya, tatkala menyadari bahwa ia tidak sedang berada di Ciater tapi
kamarnya sendiri--kasurnya.
"ADEEEK ...!"
Kontan ia meloncat ke lantai,
menjejak-jejakkan kaki sembari melepaskan kausnya yang basah dan
mencampakkannya ke pintu.
"MA! MAMA!"
Pintu dibuka. Sunyi senyap. Terang
benderang oleh sinar yang menyorot dari sebelah luar jendela. Gorden-gorden
sudah pada ditarik ke tepi.
Kembali ke kamar, adiknya terduduk
kebingungan. Risky menyentak lengan anak itu. Tertatih-tatih adiknya diseret ke
kamar mandi. Semua pakaian dilucuti dan Risky mengempaskan bergayung-gayung air
dingin ke badan anak itu. Adiknya mengkeret, terbatuk-batuk dan megap-megap.
Diiringi gerutuan, Risky menggosok-gosokkan sabun ke sekujur tubuh adiknya yang
cuma bisa merengek. Lalu ia banjur lagi adiknya tanpa ampun. Tepat ketika Risky
membungkus adiknya dalam handuk, Mama membuka pintu depan. Tangan Mama
mengangkat beberapa kantung plastik penuh belanjaan. Melihat ibunya, Risky
mendorong adiknya ke luar kamar mandi. Lalu ia menutup pintu dan membersihkan
badannya sendiri.
"Kenapa, Ki?" tegur Mama.
"Si Adek ngompol!" teriak
Risky di sela guyuran air. Lalu, dibukanya pintu, "MA! HANDUK!"
Setelah berpakaian dan melemparkan
segala kain yang kebasahan dan bau pesing ke keranjang di samping pintu kamar
mandi, "MA, KASURNYA GIMANA?!"
"Dijemur aja sekalian!"
Mereka lalu menggotong kasur itu ke
tempat jemuran di loteng. Setelah menggosok-gosok bagian yang diompoli dengan
air dan deterjen serta menyiraminya berkali-kali, Risky masih gusar. Ia enggan
menghabiskan sisa hari dalam ruangan yang masih beraroma pesing samar-samar,
apalagi kalau pintunya ditutup--biarpun ia sendiri pernah kencing dalam botol
ketika kemarin-kemarin tengah mengurung diri sementara keluarganya masih
beraktivitas di luar kamarnya. Kalau pintunya dibuka, tentu Mama dan si Adek
akan lebih mengganggunya.
Beranjak siang, Risky menggendong ransel
yang hendak dibawanya kabur semalam.
"Ke mana, Ki?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar