Sabtu, 18 Januari 2014

Calon Potensial

“Kamu enggak perlu ngelakuin ini, Rey,” cetus Afi.

“Enggak apa-apa,” senyum Rey pada perempuan di sampingnya. “Kalau Afi bisa dapat calon suami potensial kan Om Yudi juga ikut senang.”

Bibir Afi balas melebar. Berkat papanya Afi, Rey mendapat pekerjaan di perusahaan yang ia idam-idamkan. Minggu depan tetangganya sejak kecil itu akan berangkat ke Jakarta untuk menjalani masa pelatihan.

Lagipula mereka sudah melaju dengan mobil yang Rey pinjam dari ayahnya. Sebentar kemudian kendaraan itu terantuk lagi. Satu dari sekian rayap yang merangkak di Jalan Suci pada Sabtu jelang siang.

Setelah tigaperempat jam meniti aspal sepanjang satu kilometer, mobil tersebut memasuki area parkir yang sudah padat kendaraan, di gedung yang dulunya dikelola PT Pos Indonesia namun kini telah berganti nama. Afi biarkan Rey saja yang mengisi buku tamu, lagipula ia tidak kenal sama sekali dengan kedua mempelai.

Rey bilang ini akan menjadi pernikahan sekaligus reuni SMA. SMA negeri yang cukup bonafide. Satu lulusannya kini menjabat walikota. Rey menekankan fakta tersebut seakan tiap lulusan dari bekas sekolahnya itu potensial untuk dijadikan partner mengarungi hidup hingga akhir masa.

Usai menyalami pengantin, Rey menggiring Afi ke sekumpulan lelaki yang tengah mengobrol. Sebetulnya sudah sedari mengantri ke pelaminan tadi, Rey dan teman-temannya itu bertukar tegur-sapa dari jauh. Segera Afi tenggelam dalam keriuhan khas lelaki, hingga Rey mendorong punggungnya.

“Kenalin nih. Afi.”

“Udah dapet pacar baru lagi lo.” Si teman menyambung dengan tawa.

Tawa Rey tidak kalah berderai. Belum lama ini Afi menemaninya ke NAV dalam rangka melantun tembang (kalau bukan meratap) “Someone Like You” dari Adele sebanyak 23 kali—jumlah bulan yang dijalani Rey bersama pacarnya sebelum si pacar memutuskan untuk menerima pinangan lelaki lain yang “lebih potensial” (kalau bukan “lebih mapan secara finansial dan emosional”). Afi sempat menyelipkan “Tenda Biru” dari Desi Ratnasari ke daftar lagu. Alih-alih menghargai selera humor Afi, Rey malah menghajarnya dengan bermililiter-mililiter cairan dari hidung dan mata di lengan baju. “Teman gue ini, bray.”

Rey mengenalkan Afi pada yang lain-lainnya di lingkaran itu. Sementara mereka berlima larut dalam obrolan, Afi mundur. Ia menyelinap di antara tamu-tamu lain hingga mencapai stan es krim. Ia ambil segelas, lalu beringsut ke pinggir. Ia pandang keramaian sementara segumpal demi segumpal es krim melumer di lidahnya, menebar sensasi dingin. Getarannya merembet ke sekujur tubuh. Afi tengah menghabiskan gelas kedua ketika tepukan berlabuh di bahunya.

“Hoi. Dicariin.” Rey merengut. Mendapati isi genggaman Afi, ia berlalu lagi. Sebentar kemudian ia kembali dengan penganan yang sama. Dengan sendok Afi menggaruk-garuk sisa es krim yang mencair di dasar gelas. Stroberi berbaur vanila. “Gimana temen-temen aku tadi. Oke kan?”

“Lumayan sih. Tapi…”

“Acung itu lulusan IPDN. Liat aja, ototnya gede. Calon pejabat negara tuh. Tenteram besok kamu jadi istri PNS. Cuman dulu pas SMA dia sempat ikut aliran fanatik apa gitu, jadinya dahinya item-item gitu. Tapi kayaknya sekarang udah biasa aja lagi.

“Kalau Gema dari Prasmul, Fi. Sebelum SMA di pesantren terus, dia. Sama babenya emang disiapin buat jadi entrepreneur alim gitu dari kecil. Jaminan dunia-akhiratlah. Motornya CBR, Fi. Bisa ngegayalah entar kamu sama dia mah, hahaha.

“Yang pakai behel si Bobi. Juragan sawit, Fi. Kerjanya jauh sih di Dumai. Tapi tiap berapa bulan sekali balik sini kok. Ya kudu kuat LDR sih. Tapi aku yakin kamu bisa, Fi. Baik lagi orangnya. Hobinya masak. Pokoknya empat sehat lima sempurnalah sama dia mah.

“Nah si Iman tuh yang ganteng itu loh. Tadi sempet lirik-lirik kan… hehehe… Ngaku! Ingat enggak dulu pas SMA ada majalah Grey? Dia pernah jadi modelnya. Finalis mojang-jajaka Bandung barat juga, dia. Tapi tadi katanya sih udah punya pacar.”

Rey tersentak ketika mendapati semangkuk pempek di tangan Afi. Kapan ambilnya?! Matanya menerobos kerumunan, melacak seberapa jauh stan pempek dari tempat mereka berpijak kini.

“Rey,” ujar Afi, “sebenarnya aku tuh enggak sreg sama cowok yang aku belum kenal dekat. Aku tuh sukanya sama yang udah akrab…”

“Iya kan. Kalau enggak kenal mana bisa akrab. Makanya tadi aku kenalin kalian. Kamunya malah kabur.”

“Aku malu.”

“Kamu mah malu terus. Kapan dapetnya?”

“Daripada kamu, malu-maluin.”

“Yang penting tuh kenal dulu. Kali aja ada yang nyantol sama kamu, Fi. Kalau udah tahu sama tahu kan gampang. Seterusnya aku bisa bantuin. Eh, itu si Riza. Ke sana yuk.”

Yang dimaksud Rey adalah lelaki berkulit gelap, bertubuh kekar, berambut cepak, dengan mata sebulat mata ikan dan senyum sedatar garis khatulistiwa. “Orangnya kayak gimana?” ucap Afi.

“Riza itu, Fi, dulunya atlet renang. Sekarang lagi ambil spesialis di kedokteran UNPAD apa ya? Aku enggak gitu dekat sih sama dia. Tapi enak diajak ngobrol kok orangnya. Yuk.” Namun tampaknya kapal selam dalam lautan cuka lebih menarik minat Afi ketimbang atlet renang yang dokter spesialis. Rey majukan sedikit bibir bawah, lalu kembali matanya berpendar. “Eh, itu si Sony. Atau kamu sukanya tipe si Sony? Dia juga pendiam orangnya, Fi. Menang terus olimpiade. Tapi aku enggak ngikutin lagi kabarnya di ITB. Dengar-dengar sih dia malah mangkir jadi wartawan majalah apa gitu. Kerenlah. Aku pernah baca tulisannya sekali, enggak ngerti.”

Kuping Afi tidak sungguh-sungguh terpasang. Perhatiannya tersita pada gerakan seorang perempuan beberapa meter di depan mereka. Timbul tenggelam di antara kepala orang-orang. Wajahnya semringah. Tangannya dadah-dadah. Ke arah Rey seakan-akan lelaki itu melihatnya juga. Perempuan itu makin dekat. Dekat. “Hei, Rey!”

“Rosi! Apa kabar?”

Kedua orang itu pun mengobrol. Satu orang lagi bergabung—lelaki berkacamata dengan senyum rikuh. Rosi melambai lagi entah pada siapa lalu minggat. Rey mengenalkan Afi pada Arul, Arul pada Afi. Sekilas Afi membaca tatapan Rey, lalu berpaling dan menyimak obrolan dua lelaki itu. Arul memang tampak simpatik. Tidak seperti teman-teman Rey lainnya yang asyik dalam nostalgia mereka saja, yang kali ini tidak meluputkan Afi walau hanya berupa lirikan. Hingga pembicaraan terseret ke arah pekerjaan. Rey merangkul bahu lelaki itu. “Antam nih. Juragan tambang.”

“Gede dong gajinya,” cetus Afi.

“Standar aja kok.” Arul tersenyum. Lalu pergi.

“Emang gede kan di Antam?” tanya kali ini ditujukan pada Rey.

“Mukanya jangan jutek dong.”

“Kalau mau reuni sama teman-teman kamu sok aja. Aku tungguin sambil cari makan lagi.”

“Jangan gitulah.”

“Kalau Rosi gimana?”

“Rosi… Jajannya banyak. Suka tekor gue. Enak sih dekat-dekat dia. Wangi. Tapi kalau dipeluk enggak enak, Fi. Lemaknya enggak ada. Lagian baru nikah juga kemarin.”

“Kalau yang batik biru itu kenal enggak?”

“Runi itu… Manis sih orangnya. Tapi otaku gitu. Kalau ngomong suka ada bahasa jepangnya, kan gue enggak ngerti. Sebetulnya enggak apa-apa sih belajar bahasa lain dikit-dikit. Cuman daripada dia mending si Ayu. Lesung pipinya itu, ih, gemes deh. Tuh yang bajunya merah. Dulu kita tuh hobi hunting DVD-nya Warkop di Kota Kembang. Tapi dia enggak bisa sama gue katanya, soalnya teman dia, si Nanu, senang juga sama gue. Cuman enggak bening ah. Enggak tahu mana Nanu, kayaknya enggak datang.”

Afi terus menunjuk-nunjuk sementara Rey celingukan mencari yang dimaksud.

“Itu Eka. Cantik ya. Kembangnya SMA gue tuh. Tapi pacarnya oon gitu. Cowok-cowok SMA gue pada berkabung ramai-ramai gitulah pas mereka jadian. Sekarang sih katanya mereka udah pisah. Si Eka udah tunangan sama orang Deplu atau gimana, stafnya menteri gitulah. Ica? Imut sih. Cuman kayaknya kurang suka perawatan gitu ah. Banyak bulunya, geli gue. Sasya? Enggak ah. Jerawatan. Fani… baik sih orangnya, suka bagi-bagi bekal pas istirahat. Tapi kasihan kalau sebelahan sama gue jadinya kayak angka sepuluh, hehe. Ani? Pacaran terus sama Arif dia mah. Lagian bukan tipe gue. Yang baju hijau? Enggak kenal gue. Tapi bening gitu ih hihihi, entar ah gue tanya sama si Bobi, kali aja kenal. Cariin lagi yang bening-bening, Fi.”

“Kalau Aoi Sora gimana?”

“Siapa?”

“Kapan itu pas aku pinjam laptop kamu…”

“Oh…! Hahahahahaha…”

“Nong Poy.”

Rey merenggut pelan lengan baju Afi. “Ayo kita fokus cari cowok buat kamu. Jangan di sini terus. Yang ngumpul di pinggir tuh cuman mbah-mbah sama anak kecil.”

“YOONAA?”

Afi bergeming. Ditatapnya Rey dalam-dalam. “Kalau aku? Menurut kamu gimana? Cocok enggak dijadiin pacar?”

Dengung dari arah panggung di samping pelaminan.

“Pacar—“

“PARA TAMU UNDANGAN DARI GRUP—“

Afi berdecak. Jelas-jelas Rey tidak akan dengar pacar siapa yang Afi maksud. Padahal hanya lelaki itu yang, tiap mendengar suaranya di luar rumah, selalu membuat Afi mengintip jendela—berharap dapat melihat sosok yang selalu akrab di hati sejak TK, SD, SMP, SMA… Tapi rupanya proksimitas saja tidak berarti.

“Tenang, Afi. Makanya hari ini kita cari cowok yang potensial buat kamu. Nanti malam masih ada satu undangan lagi kok.”

“Aku kurang cantik ya?”

Bagaimanapun ia menghindari mentari, memang sudah takdirnya berkulit sawo matang. Bagaimanapun ia mengoleskan krim perawatan wajah tiap malam, jerawat tetap tak tertaklukkan terutama saat datang tamu bulanan. Bagaimanapun ia mengatur asupan untuk perutnya, tubuhnya tetap tidak proporsional dengan lemak menggunduk di satu bagian dan tulang menonjol di bagian lain. Bagaimanapun ia mencukur rambut-rambut halus di sekujur tubuhnya, malah akan tumbuh lagi dengan lebih gondrong. Dan sama sekali ia tidak punya lesung pipi! Kenapa para lelaki seakan tidak bisa menerima kenyataan kalau tubuh kebanyakan perempuan tidak seindah bintang-bintang video X1, X2, dan X3?!

“Kurang kenal cowok,” pungkas Rey dengan kalem. Diseretnya Afi ke tengah keramaian.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain