“Kamu enggak perlu
ngelakuin ini, Rey,” cetus Afi.
“Enggak apa-apa,” senyum Rey pada perempuan di sampingnya.
“Kalau Afi bisa dapat calon suami potensial kan Om Yudi juga ikut senang.”
Bibir Afi balas melebar. Berkat papanya Afi, Rey mendapat
pekerjaan di perusahaan yang ia idam-idamkan. Minggu depan tetangganya sejak
kecil itu akan berangkat ke Jakarta untuk menjalani masa pelatihan.
Lagipula mereka sudah melaju dengan mobil yang Rey pinjam
dari ayahnya. Sebentar kemudian kendaraan itu terantuk lagi. Satu dari sekian
rayap yang merangkak di Jalan Suci pada Sabtu jelang siang.
Setelah tigaperempat jam meniti aspal sepanjang satu
kilometer, mobil tersebut memasuki area parkir yang sudah padat kendaraan, di
gedung yang dulunya dikelola PT Pos Indonesia namun kini telah berganti nama.
Afi biarkan Rey saja yang mengisi buku tamu, lagipula ia tidak kenal sama
sekali dengan kedua mempelai.
Rey bilang ini akan menjadi pernikahan sekaligus reuni SMA. SMA
negeri yang cukup bonafide. Satu lulusannya kini menjabat walikota. Rey
menekankan fakta tersebut seakan tiap lulusan dari bekas sekolahnya itu
potensial untuk dijadikan partner mengarungi hidup hingga akhir masa.
Usai menyalami pengantin, Rey menggiring Afi ke sekumpulan
lelaki yang tengah mengobrol. Sebetulnya sudah sedari mengantri ke pelaminan
tadi, Rey dan teman-temannya itu bertukar tegur-sapa dari jauh. Segera Afi
tenggelam dalam keriuhan khas lelaki, hingga Rey mendorong punggungnya.
“Kenalin nih. Afi.”
“Udah dapet pacar baru lagi lo.” Si teman menyambung dengan
tawa.
Tawa Rey tidak kalah berderai. Belum lama ini Afi menemaninya
ke NAV dalam rangka melantun tembang (kalau bukan meratap) “Someone Like You”
dari Adele sebanyak 23 kali—jumlah bulan yang dijalani Rey bersama pacarnya
sebelum si pacar memutuskan untuk menerima pinangan lelaki lain yang “lebih
potensial” (kalau bukan “lebih mapan secara finansial dan emosional”). Afi
sempat menyelipkan “Tenda Biru” dari Desi Ratnasari ke daftar lagu. Alih-alih
menghargai selera humor Afi, Rey malah menghajarnya dengan
bermililiter-mililiter cairan dari hidung dan mata di lengan baju. “Teman gue
ini, bray.”
Rey mengenalkan Afi pada yang lain-lainnya di lingkaran itu.
Sementara mereka berlima larut dalam obrolan, Afi mundur. Ia menyelinap di
antara tamu-tamu lain hingga mencapai stan es krim. Ia ambil segelas, lalu
beringsut ke pinggir. Ia pandang keramaian sementara segumpal demi segumpal es
krim melumer di lidahnya, menebar sensasi dingin. Getarannya merembet ke
sekujur tubuh. Afi tengah menghabiskan gelas kedua ketika tepukan berlabuh di
bahunya.
“Hoi. Dicariin.” Rey merengut. Mendapati isi genggaman Afi,
ia berlalu lagi. Sebentar kemudian ia kembali dengan penganan yang sama. Dengan
sendok Afi menggaruk-garuk sisa es krim yang mencair di dasar gelas. Stroberi
berbaur vanila. “Gimana temen-temen aku tadi. Oke kan?”
“Lumayan sih. Tapi…”
“Acung itu lulusan IPDN. Liat aja, ototnya gede. Calon
pejabat negara tuh. Tenteram besok kamu jadi istri PNS. Cuman dulu pas SMA dia
sempat ikut aliran fanatik apa gitu, jadinya dahinya item-item gitu. Tapi
kayaknya sekarang udah biasa aja lagi.
“Kalau Gema dari Prasmul, Fi. Sebelum SMA di pesantren terus,
dia. Sama babenya emang disiapin buat jadi entrepreneur alim gitu dari kecil. Jaminan
dunia-akhiratlah. Motornya CBR, Fi. Bisa ngegayalah entar kamu sama dia mah,
hahaha.
“Yang pakai behel si Bobi. Juragan sawit, Fi. Kerjanya jauh
sih di Dumai. Tapi tiap berapa bulan sekali balik sini kok. Ya kudu kuat LDR sih. Tapi aku yakin kamu bisa,
Fi. Baik lagi orangnya. Hobinya masak. Pokoknya empat sehat lima sempurnalah
sama dia mah.
“Nah si Iman tuh yang ganteng itu loh. Tadi sempet
lirik-lirik kan… hehehe… Ngaku! Ingat enggak dulu pas SMA ada majalah Grey? Dia pernah jadi modelnya. Finalis
mojang-jajaka Bandung barat juga, dia. Tapi tadi katanya sih udah punya pacar.”
Rey tersentak ketika mendapati semangkuk pempek di tangan
Afi. Kapan ambilnya?! Matanya menerobos kerumunan, melacak seberapa jauh stan
pempek dari tempat mereka berpijak kini.
“Rey,” ujar Afi, “sebenarnya aku tuh enggak sreg sama cowok
yang aku belum kenal dekat. Aku tuh sukanya sama yang udah akrab…”
“Iya kan. Kalau enggak kenal mana bisa akrab. Makanya tadi
aku kenalin kalian. Kamunya malah kabur.”
“Aku malu.”
“Kamu mah malu terus. Kapan dapetnya?”
“Daripada kamu, malu-maluin.”
“Yang penting tuh kenal dulu. Kali aja ada yang nyantol sama
kamu, Fi. Kalau udah tahu sama tahu kan gampang. Seterusnya aku bisa bantuin.
Eh, itu si Riza. Ke sana yuk.”
Yang dimaksud Rey adalah lelaki berkulit gelap, bertubuh
kekar, berambut cepak, dengan mata sebulat mata ikan dan senyum sedatar garis
khatulistiwa. “Orangnya kayak gimana?” ucap Afi.
“Riza itu, Fi, dulunya atlet renang. Sekarang lagi ambil
spesialis di kedokteran UNPAD apa ya? Aku enggak gitu dekat sih sama dia. Tapi
enak diajak ngobrol kok orangnya. Yuk.” Namun tampaknya kapal selam dalam
lautan cuka lebih menarik minat Afi ketimbang atlet renang yang dokter
spesialis. Rey majukan sedikit bibir bawah, lalu kembali matanya berpendar.
“Eh, itu si Sony. Atau kamu sukanya tipe si Sony? Dia juga pendiam orangnya,
Fi. Menang terus olimpiade. Tapi aku enggak ngikutin lagi kabarnya di ITB.
Dengar-dengar sih dia malah mangkir jadi wartawan majalah apa gitu. Kerenlah.
Aku pernah baca tulisannya sekali, enggak ngerti.”
Kuping Afi tidak sungguh-sungguh terpasang. Perhatiannya
tersita pada gerakan seorang perempuan beberapa meter di depan mereka. Timbul
tenggelam di antara kepala orang-orang. Wajahnya semringah. Tangannya
dadah-dadah. Ke arah Rey seakan-akan lelaki itu melihatnya juga. Perempuan itu
makin dekat. Dekat. “Hei, Rey!”
“Rosi! Apa kabar?”
Kedua orang itu pun mengobrol. Satu orang lagi bergabung—lelaki
berkacamata dengan senyum rikuh. Rosi melambai lagi entah pada siapa lalu
minggat. Rey mengenalkan Afi pada Arul, Arul pada Afi. Sekilas Afi membaca
tatapan Rey, lalu berpaling dan menyimak obrolan dua lelaki itu. Arul memang
tampak simpatik. Tidak seperti teman-teman Rey lainnya yang asyik dalam
nostalgia mereka saja, yang kali ini tidak meluputkan Afi walau hanya berupa
lirikan. Hingga pembicaraan terseret ke arah pekerjaan. Rey merangkul bahu
lelaki itu. “Antam nih. Juragan tambang.”
“Gede dong gajinya,” cetus Afi.
“Standar aja kok.” Arul tersenyum. Lalu pergi.
“Emang gede kan di Antam?” tanya kali ini ditujukan pada Rey.
“Mukanya jangan jutek dong.”
“Kalau mau reuni sama teman-teman kamu sok aja. Aku tungguin sambil cari makan lagi.”
“Jangan gitulah.”
“Kalau Rosi gimana?”
“Rosi… Jajannya banyak. Suka tekor gue. Enak sih dekat-dekat
dia. Wangi. Tapi kalau dipeluk enggak enak, Fi. Lemaknya enggak ada. Lagian
baru nikah juga kemarin.”
“Kalau yang batik biru itu kenal enggak?”
“Runi itu… Manis sih orangnya. Tapi otaku gitu. Kalau ngomong
suka ada bahasa jepangnya, kan gue enggak ngerti. Sebetulnya enggak apa-apa sih
belajar bahasa lain dikit-dikit. Cuman daripada dia mending si Ayu. Lesung
pipinya itu, ih, gemes deh. Tuh yang bajunya merah. Dulu kita tuh hobi hunting DVD-nya Warkop di Kota Kembang.
Tapi dia enggak bisa sama gue katanya, soalnya teman dia, si Nanu, senang juga
sama gue. Cuman enggak bening ah. Enggak tahu mana Nanu, kayaknya enggak
datang.”
Afi terus menunjuk-nunjuk sementara Rey celingukan mencari
yang dimaksud.
“Itu Eka. Cantik ya. Kembangnya SMA gue tuh. Tapi pacarnya
oon gitu. Cowok-cowok SMA gue pada berkabung ramai-ramai gitulah pas mereka
jadian. Sekarang sih katanya mereka udah pisah. Si Eka udah tunangan sama orang
Deplu atau gimana, stafnya menteri gitulah. Ica? Imut sih. Cuman kayaknya
kurang suka perawatan gitu ah. Banyak bulunya, geli gue. Sasya? Enggak ah.
Jerawatan. Fani… baik sih orangnya, suka bagi-bagi bekal pas istirahat. Tapi
kasihan kalau sebelahan sama gue jadinya kayak angka sepuluh, hehe. Ani?
Pacaran terus sama Arif dia mah. Lagian bukan tipe gue. Yang baju hijau? Enggak
kenal gue. Tapi bening gitu ih hihihi, entar ah gue tanya sama si Bobi, kali
aja kenal. Cariin lagi yang
bening-bening, Fi.”
“Kalau Aoi Sora gimana?”
“Siapa?”
“Kapan itu pas aku pinjam laptop kamu…”
“Oh…! Hahahahahaha…”
“Nong Poy.”
Rey merenggut pelan lengan baju Afi. “Ayo kita fokus cari
cowok buat kamu. Jangan di sini terus. Yang ngumpul di pinggir tuh cuman
mbah-mbah sama anak kecil.”
“YOONAA?”
Afi bergeming. Ditatapnya Rey dalam-dalam. “Kalau aku?
Menurut kamu gimana? Cocok enggak dijadiin pacar?”
Dengung dari arah panggung di samping pelaminan.
“Pacar—“
“PARA TAMU UNDANGAN DARI GRUP—“
Afi berdecak. Jelas-jelas Rey tidak akan dengar pacar siapa
yang Afi maksud. Padahal hanya lelaki itu yang, tiap mendengar suaranya di luar
rumah, selalu membuat Afi mengintip jendela—berharap dapat melihat sosok yang
selalu akrab di hati sejak TK, SD, SMP, SMA… Tapi rupanya proksimitas saja
tidak berarti.
“Tenang, Afi. Makanya hari ini kita cari cowok yang potensial
buat kamu. Nanti malam masih ada satu undangan lagi kok.”
“Aku kurang cantik ya?”
Bagaimanapun ia menghindari mentari, memang sudah takdirnya
berkulit sawo matang. Bagaimanapun ia mengoleskan krim perawatan wajah tiap malam,
jerawat tetap tak tertaklukkan terutama saat datang tamu bulanan. Bagaimanapun
ia mengatur asupan untuk perutnya, tubuhnya tetap tidak proporsional dengan
lemak menggunduk di satu bagian dan tulang menonjol di bagian lain.
Bagaimanapun ia mencukur rambut-rambut halus di sekujur tubuhnya, malah akan
tumbuh lagi dengan lebih gondrong. Dan sama sekali ia tidak punya lesung pipi!
Kenapa para lelaki seakan tidak bisa menerima kenyataan kalau tubuh kebanyakan
perempuan tidak seindah bintang-bintang video X1, X2, dan X3?!
“Kurang kenal cowok,” pungkas Rey dengan kalem. Diseretnya
Afi ke tengah keramaian.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar