Selasa, 22 Oktober 2019

Bukan Sekadar Pameran Aurat, Melainkan Pemahaman Ekonomi

Buat cowok-cowok, trailer film ini mestilah sangat mengundang. Enggak heran pada siang itu, di Ciwalk XXI, saya melihat ada beberapa cowok yang datang sendirian--sementara penonton lain paling tidak datang berdua. Yang mengherankan, ada beberapa orang yang tampaknya satu keluarga: ayah, ibu, dan anak lelaki yang sudah remaja--ibunya berjilbab panjang pula. Menonton bersama kekasih pun sebenarnya berpotensi bikin risi. Adapun saya datang karena diajak teman yang lagi perlu hiburan setelah mengalami suatu peristiwa enggak mengenakkan menyangkut kewanitaan.

Gambar dari Geek.com.
Bagaimanapun juga, film ini lebih daripada sekadar pameran aurat. Lagian, kita punya Lembaga Sensor Indonesia. Jadi, sudah mah dilabeli "untuk 21 tahun ke atas", ada beberapa bagian yang disensor pula. Sebagian penonton mungkin kecewa, buat saya sih hore alhamdulillah. Fu fu fu.

Saya tidak begitu merekomendasikan film ini. Ketimbang adegan-adegannya yang sexy, lebih karena saya mendapati penonton cewek di kanan-kiri saya pada ketiduran. Maksud saya, film ini mungkin enggak rame amat. Pemandangan-pemandangannya yang seronok pun sepertinya enggak dimaksudkan untuk menjadikan film ini semiporno atau semacamnya, tapi sekadar menampilkan keadaan dalam dunia yang diceritakan demikianlah adanya.

Misalnya saja, ada adegan ketika para penari erotis ini saling curhat di ruang dandan. Walau tugasnya merangsang pria-pria untuk menghamburkan duitnya secara sensual, bukan berarti mereka gila seks. Mereka pekerja biasa yang banting bodi tulang enam hari seminggu, dengan upah yang dipotong sana-sini, dan pulang-pulang dalam keadaan tak bertenaga.

Bagaimanapun juga, ada bagian menyentuh serta pelajaran yang saya dapatkan dari film ini.

Awas bocoran.

Jalan cerita film ini secara cukup mendetail bisa dibaca di Wikipedia. Singkatnya, film ini bercerita tentang sekelompok penari-tiang/penghibur-malam/semacamnya yang memperdayai lelaki-lelaki kaya untuk mencari nafkah. Tokoh sentralnya sebut saja Dorothy dan Ramona. Masing-masing adalah keturunan Asia dan Latin, yang di Amerika Serikat sana--latar cerita ini--bisa dibilang merupakan minoritas atau ras yang terpinggirkan. Bukan hanya itu, mereka juga sama-sama ibu tunggal dari satu anak perempuan. Ramona merupakan ketua kelompok ini, sedang Dorothy--katakanlah--wakilnya.

"Keibuan adalah gangguan jiwa," begitulah kata Ramona berkali-kali. Maksudnya, mungkin, kalau sudah menjadi ibu, perempuan bisa melakukan apa saja agar ia dan anaknya dapat bertahan hidup. Ucapannya itu seolah-olah untuk menjustifikasi gagasannya mengerjai pria-pria pencari hiburan dengan cara berisiko. Yang menarik adalah, bertentangan dengan slogan tersebut, diceritakan bahwa ibu Dorothy justru kabur setelah menitipkan anaknya di tempat sang kakek-nenek. Mungkin ibu Dorothy hanya berusaha untuk menghindari "gangguan jiwa". Untung Dorothy tidak hendak meniru ibunya dan mau berbuat apa saja demi putrinya, termasuk menyerah kepada polisi.

Bagian yang menyentuh saya dalam film ini, yang mungkin bisa dikatakan sebagai titik balik ke babak selanjutnya, adalah ketika kelompok usaha mikro (?) mereka mulai keterlaluan. Mereka tidak hanya menyasar pria-pria kaya yang busuk, tapi juga pria baik-baik bernasib nahas--sebut saja Doug. Doug baru saja ditimpa kemalangan bertubi-tubi: rumahnya terbakar, bercerai dengan istri dan putra satu-satunya .... Kelompok mereka mendekati Doug, mengambil uang perusahaannya, dan meninggalkan dia begitu saja. Dorothy menjadi tidak tega ketika dengan memelas Doug menelepon dia. Tapi rupanya Ramona tidak berbelas kasih.

Saya menangkap bahwa film ini adalah perjuangan tentang orang-orang kecil yang dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Mereka hanya ingin bisa bertahan hidup tanpa bergantung kepada orang lain. Tapi ketika orang kecil mulai saling memakan, merugikan sesamanya, perjuangan itu tidak lagi manusiawi. Tidak ada lagi simpati. Mereka yang masih punya hati nurani akan terguncang. Saya kira itulah yang dirasakan Dorothy dengan Doug. Ramona, yang pada awalnya seperti punya tujuan baik untuk memberdayakan sesamanya, menjadi rakus dan tak pandang bulu. Kepercayaan Dorothy pada Ramona pun runtuh.

Ramona punya pembelaan, tentu saja. Dia bilang, dunia ini pada umumnya tak ubahnya seperti kehidupan di klub telanjang yang mereka lakoni itu. Mereka memberi kesenangan kepada pria-pria, mempermainkan nafsu mereka, dan sebagai imbalannya mereka dapat mengambil sebanyak-banyaknya dari para lelaki itu. Ini sekadar soal "give" and "take"; begitulah dunia berjalan.

Kalau boleh mengembangkan perumpamaan yang diutarakan Ramona tersebut, jangan-jangan itu merupakan sindiran terhadap laku konsumtif manusia pada umumnya. Kita tak ubahnya pria-pria korban nafsu itu, yang dilenakan oleh bujuk rayu keindahan media, iklan, pinjaman online, dan sebagainya, sehingga rela menukarkan yang kita punya dengan berbagai tawaran itu tanpa peduli jumlah yang kita keluarkan. 

Dan, seperti para pria korban The Hustlers, harga diri menahan kita dari mengaku dan mengadu. Lagian kita tak punya bukti selain aib yang kita sadari sendiri, yang tak mungkin kita paparkan kepada orang-orang lain malah sebisa mungkin kita tutupi. Mungkin, hanya orang-orang seperti Doug--yang sudah tidak punya apa-apa, tidak tahu mesti berbuat apa lagi, terdorong oleh keputusasaan--yang dapat menyuarakan persoalan ini kendati pada awalnya berkali-kali diabaikan.

Hal lain yang menyentil adalah diulang-ulangnya dialog tentang keinginan Dorothy dan Ramona untuk menjadi mandiri, tidak bergantung kepada orang lain. Padahal cerita film ini menunjukkan betapa untuk mencapai tujuan tersebut mereka saling menunjang baik secara emosional maupun finansial. Mereka menjadi saling terikat sehingga menganggap satu sama lain sebagai saudari. 

Menurut saya, ini pesan bagus untuk mempertanyakan arti "kemandirian" itu sendiri. Rupanya, untuk menjadi "mandiri" sekalipun, kita perlu bahu-membahu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain