Terusik Muhsin dari pekerjaannya karena ringkik kuda. Begitu
lemah menggapai telinga. Ia letakkan pensilnya, mengencangkan lipatan
sarungnya, lalu mengarah ke rumah sebelah.
Rumput di halaman itu telah menjelma semak, namun langkahnya
terus menyibak. Sampailah jejaknya di satu istal kecil. Rusuk yang bertonjolan
di sisi tubuh si kuda mengilukan hati. Ia sabit rumput beberapa bilah. Cukuplah
untuk makanan Lumping sementara. Pandangnya lalu mengelilingi halaman nan
lapang. Sarat dengan rumpun rambu. Sebuah rumah berdiri megah di tengah, tampak
berhantu.
Ia hubungi Ihsan berkali-kali namun tak bersambung. Ia ketik
saja pesan: Kudamu nyaris sekarat.
Bambumu makin padat. Pagar rumahmu berkarat. Tidak juga berbalas.
Ia pun meminta tukang untuk membenahi sisa halaman sekaligus
memberi Lumping makan. Ia sendiri tuntaskan dulu pekerjaannya menggambar kartun
tentang dua bocah botak yang gemar mengoceh, “Benar! Benar! Benar!”
Mengingatkannya akan kebersamaan dengan Ihsan.
Sekilas
rupa mereka bak pinang dibelah dua. Banyak yang mengira mereka lahir dari satu
rahim. Tapi orang tak pernah sungguh tahu bagaimana mereka bermula. Dalam
asuhan panti mereka tumbuh bersahaja. Hidup rukun dalam naungan atap yang sama.
Baru kemudian ia kembali ke rumah orang yang dianggapnya
saudara itu. Mencermati halaman yang sudah tampak rapi. Tepatnya pada bambu
yang merimbun. Ia tepuk-tepuk tumbuhan itu dan merasakan kekokohannya.
Berpaling ia karena dengusan Lumping.
***
Ihsan berbadan bongsor. Banyak tamu hendak mengambilnya.
Mula-mula yang berebut Pak Pailul dan Bu Selena. Lalu kedatangan Tuan Badil
singkirkan keduanya. Tuan nan gagah dan berkarisma. Disenang-senangkannya Ihsan
hingga si bocah jatuh dalam pelukan. Ada pula Wak Irawan. Melihat Ihsan ia
berpikir: Bocah ini berpotensi besar di
masa depan! Tapi Tuan Badil kadung menggaet Ihsan. Wak Irawan pun beralih
pada Muhsin dan berpikir: Hm… Anak ini
pun tak apalah! Tak hanya Muhsin yang diangkat anak oleh Wak Irawan. Banyak
lainnya. Semua disantuni Wak Irawan. Pikirnya: Semua anakku kelak harus makmur! Memang Wak Irawan dipandang
berwibawa di lingkungannya.
Di rumah Tuan Badil keadaan berbeda. Mulut manis hanya di
muka. Setelahnya Ihsan dipaksa kerjakan segala. Dari mulai memangkas rumput di
halaman, menimba air di sumur belakang, membersihkan perabotan dan pajangan,
sampai menyiapkan makanan bahkan ketika Tuan Badil menginginkannya pada tengah
malam! Memang kemudian Tuan Badil, atas saran tetangga-tetangganya yang
kasihan, menyadari kalau Ihsan perlu disekolahkan. Tapi ia tidak hendak begitu
saja memberi bocah itu kebebasan! Baginya Ihsan hanya pemalas yang baru seabad
lagi mampu menggapai kemandirian. Maka selama itu Tuan Badil akan selalu
memberinya “bimbingan”.
Lalu datang Nyonya Jono yang mengklaim dirinya kerabat Ihsan.
“Aku bibinya!” tegas Nyonya Jono begitu injakkan kaki di peristirahatan Tuan
Badil. Tanpa sepada. Tanpa permisi. Tentu Tuan Badil tidak sudi serahkan Ihsan
begitu saja. Hanya karena nyonya itu merasa miliki hubungan darah, bukan
berarti ia paham Ihsan dengan sedalam-dalamnya. Namun masalah dengan
kolega-kolega di kantor demikian menyibukkan Tuan Badil hingga sejenak
perhatiannya berpaling dari rumah. Tahu-tahu Ihsan sudah dilarikan Nyonya Jono.
Malang Ihsan. Nyonya Jono sudah mengincarnya sejak lama.
Selama ini nyonya itu iri mengetahui bagaimana Tuan Badil memperlakukan Ihsan.
Ingin juga ia manfaatkan tenaga anak itu. Apalagi usia tua telah melemahkan
badan Nyonya Jono hingga tak sanggup kerjakan ladangnya sendiri. Maka
dipaksanya Ihsan mengangkat pacul dan membelah bumi. Menanam tetumbuhan yang si
nyonya perlukan untuk atasi ragam penyakit menahun. Tiap terbit matahari Nyonya
Jono mandori Ihsan tanpa ampun. Memacunya dengan pekikan sengau dan kasar.
“Bergerak! Bergerak! Bergerak!”
Tuan Badil jelas tidak tinggal diam saat anak-angkatnya
diculik orang. Ia kerahkan pengacara agar kasus ini diperkarakan di pengadilan.
Sementara Nyonya Jono kepayahan melawan Tuan Badil dan kroninya, Ihsan memburu
kebebasan. Ia merasa usianya telah cukup matang untuk memperjuangkan jalannya
sendiri. Tidak patut lagi disuruh begitu-begini oleh orang lain. Ia cari dukungan
dengan mengumpulkan kawan-kawan senasib sepenanggungan dalam sebuah konferensi.
Tak ternyana acara bertajuk Konferensi Anak-Adopsi itu mempertemukan kembali
sepasang saudara yang lama bercerai.
“Ihsan…!”
“Muhsin…!”
Keduanya berpelukan. Berjanji untuk senantiasa hidup
berdampingan. Bersama mereka berjuang agar bisa lepas dari cengkeraman
orangtua-angkat masing-masing. Menyadari betapa kuat tekad anak-anak muda
tersebut, dengan berat Tuan Badil relakan kepergian Ihsan walau dalam hati ia
ragukan kemandirian anak itu sampai sedikitnya seabad lagi. sementara Wak
Irawan menyertai kepergian Muhsin dengan perbekalan dan pesan: “Kelak kau
makmur itu karena perananku. Camkan itu!”
Masa lalu yang berat memacu Ihsan untuk maju. Bahkan lebih
laju dari Muhsin. Tidak lupa dibimbingnya kawan senasib sepenanggungan yang
masih tertatih-tatih memancang nasib. Darinya Muhsin belajar dan bercermin.
Lambat laun Ihsan beroleh kemapanan dan ditenggelamkan
kesibukan. Sibuk apa sesungguhnya Ihsan—Muhsin tak pasti. Hanya ia tahu Ihsan
doyan wara-wiri dan berpenampilan perlente. Kabarnya, bisnis Ihsan dengan orang
bernama Om Sam sedang moncer.
***
Ihsan tak juga kembali. Mungkin sedang bercokol di rumah
lain. Huniannya toh di mana-mana. Muhsin pun mulai menghitung-hitung. Lumping
yang dulu loyo kini sudah bugar. Muhsin merekrut orang untuk membawa Lumping ke
taman kota. Biar punggungnya diduduki bocah-bocah penasaran dengan tebusan
sejumlah uang. Muhsin pula mengumpulkan beberapa tukang untuk menebas
bambu-bambu. Batangnya diraut jadi bermacam mainan dan alat musik. Rebungnya
diolah jadi lumpia. Bahkan ia berencana untuk mengeksplorasi penganan dari
tunas bambu itu dan mendirikan restoran bertajuk Warung Rebung.
Muhsin lalu mencari-cari apa lagi yang bisa diberdayakan dari
tanah Ihsan. Sebenarnya ia penasaran dengan isi rumahnya. Maka ia bawa tukang
kunci untuk buatkan serep. Bangunan itu pun bisa ia masuki, jelajahi. Isinya
berantakan sekali! Kakinya mesti dilangkahkan hati-hati agar tidak menginjak
barang-barang yang mungkin berarti bagi yang memiliki.
Di satu ruangan ia temukan secarik kertas di sisi gitar.
Sepertinya Ihsan coba menulis lagu. Kagumnya Muhsin. Saudaranya memang
multitalenta. Ia pangku gitar lalu menerka melodi dari chord dan lirik yang tersedia. “Sayangku, sayangku. Lihat matamu
dari jauh terbitkan sayangku, sayangku…” dendangnya. Jemari
menggenjrang-genjreng senar. Beberapa lama ia berusaha sampai ia rasa pas. Lalu
ia rekam permainannya dalam format video dan mengunggahnya di Youtube.
***
Muhsin sudah lupa kalau ia pernah mempopulerkan dirinya
sendiri di internet ketika Ihsan tahu-tahu menyambangi rumahnya.
“Kau hapus video itu! Itu laguku!” Ihsan berseru.
“Hei, hei, ada apa?”
Bersama mereka akses video itu. Penontonnya ternyata sudah
menembus angka ratusan ribu!
“Kini seluruh dunia menyangka kaulah pencipta lagu itu! Dasar
penipu! Laguku ini jadi berasa kampungan kalau kau yang bawakan!” Ihsan
mencak-mencak.
“Salahmu sendiri tak apik menyimpannya!” sergah Muhsin.
“Pokoknya kau hapus video itu, maling!”
Amarah Ihsan kian menggeru begitu ia sadari perubahan pada
isi halamannya. “Mana kudaku? Mana bambuku?!”
Muhsin biarkan Ihsan ambil lagi semua. Biarpun katanya mereka
bersaudara namun Ihsan tak sudi miliknya dianggap milik bersama. Tinggal Muhsin
termangu. Disenandungkannya pelan-pelan, “Sayangku, sayangku,” bagaimanapun karangan
Ihsan itu enak sekali, “lihat hartamubazir begitu, sayangku, sayangku…” Tapi
begitu ada yang mau mengurusi, malah kena orang itu dimaki-maki.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar