Rabu, 08 Januari 2014

Kerja

Tapi kerja belum usai!

Ia gurat sekutip puisi Chairil Anwar itu di sticky note, lalu menempelnya di layar komputer. Lalu mengembuskan napas.

Seraut wajah terbit di atas kepalanya. “Prim, buat lokakarya tanggal 23 itu tolong bikin daftar tamu undangannya ya. Sekalian urus juga tempat acara sama kateringnya. Seminggu!”

Kembali ia longok catatannya yang berisi daftar pekerjaan hingga tigabulanan ke depan. Sepagian itu ia sudah mengurutkannya berdasarkan besar-kecil, mendesak-tidak mendesak, berat-ringan… Tangannya yang menjepit pulpen berputar-putar di atas kertas sebelum menyempilkan beberapa kalimat di sebelah kiri.

Sekali lagi namanya dipanggil. Iapun menyeret langkah ke ruang rapat. Duduk di samping pak bos yang sedang presentasi; memastikan proyektor supaya baik jalannya.

Jam duabelas tiba. Habiskan duapuluh menit lebih lama di kafetaria. Kembali ke meja. Hingga dua jam ke depan berganti-ganti ditatapnya jam, jendela, dan kolega. Agenda tigabulanan terlupa. Lewat jam tiga satu per satu meja di ruangan ditinggal penghuninya. Ada juga yang sudah lowong sejak jam istirahat.

Paling enak jadi pegawai kantoran. Tiap bulan terima duit gajian[1]. Di komuter penggalan lirik tembang dangdut jaipongan itu terngiang-ngiang dalam kepala. Dua kali sehari. Sepuluh kali sepekan. Empatpuluh kali sebulan. Empat ratus delapanpuluh kali setahun. Serupa sembahyang. Mengingatkannya pada tujuan kenapa ia diciptakan. Orang bilang hidup itu untuk kerja.

Tapi mungkin juga karena ia kelewat polos untuk berwirausaha. Terlampau lembam untuk mempekerjakan diri sendiri. Dan terlalu miskin untuk menanam saham.

Salah. Kerja itu untuk hidup. Bukan hanya tiap bulan terima duit gajian, tapi kaupun anak berbakti dan kandidat mantu idaman.

Ia tiba di rumah bersamaan dengan ibunya yang baru membeli sebungkus pindang di warung. Demi Omeng. Kucing yang tahu-tahu melesat entah dari mana dan menggesek-gesekkan tubuh ke betis ibunya. “Belum makan ya? Kasihan…” Lalu ibunya menggoreng pindang itu, mencomot satu dan membaurkannya dengan nasi. Omeng makan dengan lahap. Lalu menjilat-jilat tubuhnya. Naik ke pangkuan ibunya. Bergelung dan mendengkur. Dielus-elus. “Kamu teh meuni lucu...” Ibunya rela bertahan lebih lama di depan TV hanya karena tidak tega membangunkan kucing itu. Malam, ia dengar nyanyian birahi kucing itu di atap. Ia menikmatinya seperti ia meresapi balada biduan yang patah hati. Erangan pilu berganti geraman satu ditimpa geraman lain. Sekiranya ia juga di sana, akan ia teriaki mereka. “Gelut! Gelut! Gelut!” Inginnya terkabul. Grudak gruduk grudak gruduk. Kunci pintu diputar. Ibunya keluar untuk melerai.

Subuh, ibunya menampar-nampar betisnya. Begitulah sejak ia SD.

Di komuter: Paling enak jadi pegawai kantoran. Tiap bulan terima duit gajian. Anak berbakti. Kandidat mantu idaman. Masih tigapuluhan tahun lagi menggapai tunjangan hari tua.

Agenda hari ini: Mengecek agenda pak bos; Memperbarui agendanya tigabulanan ke depan dan mengerjakan beberapa yang mendesak saja; Capcay dan es teh; Jam, jendela, dan kolega. Namun selalu ada tugas tidak ternyana. Sekali lagi namanya dipanggil. Iapun menyeret langkah, kali ini, ke ruang kepala bagian personalia.

Rikuh. Ia sapa pria yang menyambutnya dengan ramah itu. Ia duduki kursi busa berlapis kulit yang serta-merta memperdengarkan desis mengempis. Berpotensi timbulkan salah pengertian. Namun tampaknya bapak itu sudah terbiasa. Kalau memang sudah habis, ya habis sudah, pasrahnya. Ia siap mendengarkan laporan mengenai penurunan kinerjanya. “…mungkin Anda cuma perlu liburan…” Ia memang membutuhkan sedikit getaran dalam hidupnya “…jadi Anda terpilih untuk mengikuti program ini…” dan kini Tuhan menjawab pintanya. “…ini program baru…” Dengan perhatian berkalang kabut ia simak ceramah pak kepala mengenai perombakan dalam tubuh manajemen dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. “Kerjasama instansi kita dengan perusahaan penyedia layanan menjadi hewan. Anggap saja liburan. Ha ha ha!”

Ujung bibirnya berkedut. “Maaf. Bagaimana maksudnya, Pak? Menjadi hewan?”

“Betul! Ha ha ha. Zaman sekarang ini apa yang tidak mungkin? Orang bisa melakukan wisata bencana, wisata kemiskinan. Kenapa tidak dengan wisata menjadi hewan? Bukan! Bukan safari sama sekali! Ini buat orang-orang yang ingin merasakan hidup sebagai hewan.”

Bagaimanapun ia diminta mengurus segalanya sendiri. Maka siang itu, bersimpang arah dengan para ibu-ibu dari kantornya yang hendak ke mal, ia ikuti petunjuk dari kepala bagian personalia menuju kantor AnimalTransform Inc. Lokasinya di lantai empat sebuah gedung bertingkat tigabelas.

Keringat yang melengketi kulitnya tidak lagi terasa begitu ia masuki ruangan tersebut. Aroma kayu tusam rambati rongga hidungnya. Seorang petugas mempersilakannya duduk di kursi busa berlapis kain yang sama sekali tidak memperdengarkan desis mengempis, lalu menanyakan maksud kedatangannya. Saya pegawai… dari instansi… Petugas tersebut mengangguk-angguk.

Lalu sekali lagi ia dijelaskan mengenai layanan yang disediakan perusahaan tersebut namun dengan jauh lebih rinci. Teknologi mutakhir memungkinkan manusia untuk mengubah wujudnya menjadi hewan tertentu dan berkomunikasi ala mereka. Perusahaan itu telah bekerjasama dengan beberapa hewan sehingga manusia bisa menyelami kehidupan mereka selama jangka waktu tertentu. Semacam KKN kalau di perguruan tinggi. Sungguhpun demikian untuk mencegah penyalahgunaan, mereka tawarkan layanan ini tidak pada sembarang klien. Kehidupan selama menjadi hewan pun nantinya dibarengi dengan pengawasan tergantung kesepakatan. Petugas itu meyakinkan bahwa dasarnya layanan ini tidak berbahaya karena mereka telah melakukan seleksi ketat pada komunitas hewan yang akan menjadi induk semang. Keselamatan klien sedikit-banyak tergantung pada klien itu sendiri—apakah mau menyesuaikan diri dengan aturan yang berlaku di komunitas yang akan ia masuki. Karena itu ada kontrak yang mesti dibicarakan.

Pikirnya, memang aturan dalam dunia hewan sekompleks apa sih. Mestinya tidak serumit birokrasi di kantor layanan publik kan ha ha ha. Sementara petugas itu menyiapkan berkas, matanya jelalatan. Terutama pada daftar hewan yang telah bekerjasama dengan perusahaan itu. Tinggal makan, tidur, birahi, dan tempur!

Petugas itu menyodorkan selembar formulir lalu menerangkan poin-poin di dalamnya, termasuk paket-paket apa saja yang bisa diambil. Jenis hewan yang dihendaki. Jumlah waktu yang diinginkan. Untuk jumlah waktu, kantornya telah menetapkan. Untuk jenis hewan, tentu saja ia ingin jadi… kucing!

Iapun mengisi formulir. Mulai menyadari sisi terang dari menjadi manusia zaman sekarang. Zaman yang telah berkembang begitu pesat hingga memungkinkan manusia menjadi makhluk yang tidak perlu lagi berpikir. Asyik, asyik, aku akan jadi hewan. Ganti petugas itu menekuni formulir yang telah diisi. Walau sebentar saja aku akan merasakan jadi kucing! Ia sudah tidak sabar merasakan belaian lembut pada rambutnya yang lebat, dan melantunkan erangan merdu berlanjut sensasi pertarungan tengah malam.

Petugas itu mengangkat pulpen dan mencoret pilihannya. “Instansi Anda sudah menetapkan paket khusus untuk pegawainya. Jadi maaf, yang bisa kami sediakan untuk Anda hanya…”

Seminggupun berlalu sejak ia tinggalkan kantor yang dapat mencemplungkan manusia ke dunia hewan itu. Sungutnya secara otomatis bergerak-gerak ketika disentuh sungut koleganya—ya, kata itu masih berlaku di sini, di dunia hewan ini. Ia sudah dua kali bolak-balik ke sarang untuk mengosongkan perut. Kini ia sudah kembali berada dalam barisan sepanjang duapuluh meter. Seseorang telah menumpahkan gula pasir di meja makan.

“Ada ulat sekarat di petak tigabelas,” ujar kolega yang barusan bersisih jalan dengannya. Perutnya gembung entah berisi sari madu atau sari bangkai. Diulanginya laporan itu setiap sungutnya bersua sungut lain. Terdengar sampai jauh, sampai sarang.

Tidak lama kemudian mendekatlah bola merah yang tampak lengket dengan iring-iringan hitam di bawahnya. “Panen raya nih,” teguran-teguran muncul. Mereka yang ditegur hanya menyahut dengan gumaman karena mulut mereka sibuk menjepit perolehan hari itu.

Sama sekali ia tidak menduga hidupnya sebagai hewan akan lebih teratur dan padat-karya. Jauh dari sekadar makan, tidur, birahi, dan tempur. Apalagi hidup sebagai hewan ini. Ini sih bukan liburan, ini penataran! Selama beberapa hari di sini ia telah belajar banyak soal organisasi ketimbang beberapa tahun di instansinya.

Terasa perutnya diketuk-ketuk oleh sungut di belakangnya. Wujud baru memungkinkan kepalanya untuk berputar ke segala arah. Tampak pendampingnya selama menjalani kehidupan baru ini mendengus. “Untuk ukuran semut kau ini kebanyakan bengong.”

“Kerja! Kerja! Kerja!” demikian barisan itu bertempik selama capit di mulut tak mencekal beban.[]



[1] Dialihbahasakan dari lagu “Oncom Garing” – Bungsu Bandung, aslinya dalam bahasa sunda: nu paling geunah jadi pagawe kantoran, mun saban bulan nerima duit gajian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain