Tapi
kerja belum usai!
Ia gurat sekutip puisi Chairil Anwar itu di sticky note, lalu menempelnya di layar
komputer. Lalu mengembuskan napas.
Seraut wajah terbit di atas kepalanya. “Prim, buat lokakarya
tanggal 23 itu tolong bikin daftar tamu undangannya ya. Sekalian urus juga
tempat acara sama kateringnya. Seminggu!”
Kembali ia longok catatannya yang berisi daftar pekerjaan
hingga tigabulanan ke depan. Sepagian itu ia sudah mengurutkannya berdasarkan
besar-kecil, mendesak-tidak mendesak, berat-ringan… Tangannya yang menjepit
pulpen berputar-putar di atas kertas sebelum menyempilkan beberapa kalimat di
sebelah kiri.
Sekali lagi namanya dipanggil. Iapun menyeret langkah ke
ruang rapat. Duduk di samping pak bos yang sedang presentasi; memastikan
proyektor supaya baik jalannya.
Jam duabelas tiba. Habiskan duapuluh menit lebih lama di
kafetaria. Kembali ke meja. Hingga dua jam ke depan berganti-ganti ditatapnya
jam, jendela, dan kolega. Agenda tigabulanan terlupa. Lewat jam tiga satu per
satu meja di ruangan ditinggal penghuninya. Ada juga yang sudah lowong sejak
jam istirahat.
Paling
enak jadi pegawai kantoran. Tiap bulan terima duit gajian[1]. Di
komuter penggalan lirik tembang dangdut jaipongan itu terngiang-ngiang dalam
kepala. Dua kali sehari. Sepuluh kali sepekan. Empatpuluh kali sebulan. Empat
ratus delapanpuluh kali setahun. Serupa sembahyang. Mengingatkannya pada tujuan
kenapa ia diciptakan. Orang bilang hidup itu untuk kerja.
Tapi mungkin juga karena ia kelewat polos untuk berwirausaha.
Terlampau lembam untuk mempekerjakan diri sendiri. Dan terlalu miskin untuk
menanam saham.
Salah.
Kerja itu untuk hidup. Bukan hanya tiap bulan terima duit
gajian, tapi kaupun anak berbakti dan
kandidat mantu idaman.
Ia tiba di rumah bersamaan dengan ibunya yang baru membeli
sebungkus pindang di warung. Demi Omeng. Kucing yang tahu-tahu melesat entah
dari mana dan menggesek-gesekkan tubuh ke betis ibunya. “Belum makan ya?
Kasihan…” Lalu ibunya menggoreng pindang itu, mencomot satu dan membaurkannya
dengan nasi. Omeng makan dengan lahap. Lalu menjilat-jilat tubuhnya. Naik ke
pangkuan ibunya. Bergelung dan mendengkur. Dielus-elus. “Kamu teh meuni lucu...” Ibunya rela bertahan
lebih lama di depan TV hanya karena tidak tega membangunkan kucing itu. Malam,
ia dengar nyanyian birahi kucing itu di atap. Ia menikmatinya seperti ia
meresapi balada biduan yang patah hati. Erangan pilu berganti geraman satu
ditimpa geraman lain. Sekiranya ia juga di sana, akan ia teriaki mereka.
“Gelut! Gelut! Gelut!” Inginnya terkabul. Grudak gruduk grudak gruduk. Kunci
pintu diputar. Ibunya keluar untuk melerai.
Subuh, ibunya menampar-nampar betisnya. Begitulah sejak ia
SD.
Di komuter: Paling enak
jadi pegawai kantoran. Tiap bulan terima duit gajian. Anak berbakti.
Kandidat mantu idaman. Masih tigapuluhan tahun lagi menggapai tunjangan hari
tua.
Agenda hari ini: Mengecek agenda pak bos; Memperbarui
agendanya tigabulanan ke depan dan mengerjakan beberapa yang mendesak saja; Capcay dan es teh; Jam, jendela,
dan kolega. Namun selalu ada tugas tidak ternyana. Sekali lagi namanya
dipanggil. Iapun menyeret langkah, kali ini, ke ruang kepala bagian personalia.
Rikuh. Ia sapa pria yang menyambutnya dengan ramah itu. Ia
duduki kursi busa berlapis kulit yang serta-merta memperdengarkan desis
mengempis. Berpotensi timbulkan salah pengertian. Namun tampaknya bapak itu
sudah terbiasa. Kalau memang sudah habis,
ya habis sudah, pasrahnya. Ia siap mendengarkan laporan mengenai penurunan
kinerjanya. “…mungkin Anda cuma perlu liburan…” Ia memang membutuhkan sedikit
getaran dalam hidupnya “…jadi Anda terpilih untuk mengikuti program ini…” dan
kini Tuhan menjawab pintanya. “…ini program baru…” Dengan perhatian berkalang
kabut ia simak ceramah pak kepala mengenai perombakan dalam tubuh manajemen dan
peningkatan kualitas sumber daya manusia. “Kerjasama instansi kita dengan
perusahaan penyedia layanan menjadi hewan. Anggap saja liburan. Ha ha ha!”
Ujung bibirnya berkedut. “Maaf. Bagaimana maksudnya, Pak? Menjadi
hewan?”
“Betul! Ha ha ha. Zaman sekarang ini apa yang tidak mungkin?
Orang bisa melakukan wisata bencana, wisata kemiskinan. Kenapa tidak dengan
wisata menjadi hewan? Bukan! Bukan safari sama sekali! Ini buat orang-orang
yang ingin merasakan hidup sebagai hewan.”
Bagaimanapun ia diminta mengurus segalanya sendiri. Maka
siang itu, bersimpang arah dengan para ibu-ibu dari kantornya yang hendak ke mal,
ia ikuti petunjuk dari kepala bagian personalia menuju kantor AnimalTransform
Inc. Lokasinya di lantai empat sebuah gedung bertingkat tigabelas.
Keringat yang melengketi kulitnya tidak lagi terasa begitu ia
masuki ruangan tersebut. Aroma kayu tusam rambati rongga hidungnya. Seorang
petugas mempersilakannya duduk di kursi busa berlapis kain yang sama sekali tidak
memperdengarkan desis mengempis, lalu menanyakan maksud kedatangannya. Saya pegawai… dari instansi… Petugas
tersebut mengangguk-angguk.
Lalu sekali lagi ia dijelaskan mengenai layanan yang
disediakan perusahaan tersebut namun dengan jauh lebih rinci. Teknologi
mutakhir memungkinkan manusia untuk mengubah wujudnya menjadi hewan tertentu
dan berkomunikasi ala mereka. Perusahaan itu telah bekerjasama dengan beberapa
hewan sehingga manusia bisa menyelami kehidupan mereka selama jangka waktu
tertentu. Semacam KKN kalau di perguruan tinggi. Sungguhpun demikian untuk
mencegah penyalahgunaan, mereka tawarkan layanan ini tidak pada sembarang
klien. Kehidupan selama menjadi hewan pun nantinya dibarengi dengan pengawasan
tergantung kesepakatan. Petugas itu meyakinkan bahwa dasarnya layanan ini tidak
berbahaya karena mereka telah melakukan seleksi ketat pada komunitas hewan yang
akan menjadi induk semang. Keselamatan klien sedikit-banyak tergantung pada
klien itu sendiri—apakah mau menyesuaikan diri dengan aturan yang berlaku di
komunitas yang akan ia masuki. Karena itu ada kontrak yang mesti dibicarakan.
Pikirnya, memang aturan
dalam dunia hewan sekompleks apa sih. Mestinya tidak serumit birokrasi di kantor
layanan publik kan ha ha ha. Sementara petugas itu menyiapkan berkas,
matanya jelalatan. Terutama pada daftar hewan yang telah bekerjasama dengan
perusahaan itu. Tinggal makan, tidur,
birahi, dan tempur!
Petugas itu menyodorkan selembar formulir lalu menerangkan
poin-poin di dalamnya, termasuk paket-paket apa saja yang bisa diambil. Jenis
hewan yang dihendaki. Jumlah waktu yang diinginkan. Untuk jumlah waktu, kantornya
telah menetapkan. Untuk jenis hewan, tentu saja ia ingin jadi… kucing!
Iapun mengisi formulir. Mulai menyadari sisi terang dari menjadi
manusia zaman sekarang. Zaman yang telah berkembang begitu pesat hingga
memungkinkan manusia menjadi makhluk yang tidak perlu lagi berpikir. Asyik, asyik, aku akan jadi hewan. Ganti
petugas itu menekuni formulir yang telah diisi. Walau sebentar saja aku akan merasakan jadi kucing! Ia sudah tidak
sabar merasakan belaian lembut pada rambutnya yang lebat, dan melantunkan
erangan merdu berlanjut sensasi pertarungan tengah malam.
Petugas itu mengangkat pulpen dan mencoret pilihannya.
“Instansi Anda sudah menetapkan paket khusus untuk pegawainya. Jadi maaf, yang
bisa kami sediakan untuk Anda hanya…”
Seminggupun berlalu sejak ia tinggalkan kantor yang dapat mencemplungkan
manusia ke dunia hewan itu. Sungutnya secara otomatis bergerak-gerak ketika
disentuh sungut koleganya—ya, kata itu masih berlaku di sini, di dunia hewan ini. Ia sudah dua kali bolak-balik
ke sarang untuk mengosongkan perut. Kini ia sudah kembali berada dalam barisan
sepanjang duapuluh meter. Seseorang telah menumpahkan gula pasir di meja makan.
“Ada ulat sekarat di petak tigabelas,” ujar kolega yang
barusan bersisih jalan dengannya. Perutnya gembung entah berisi sari madu atau
sari bangkai. Diulanginya laporan itu setiap sungutnya bersua sungut lain.
Terdengar sampai jauh, sampai sarang.
Tidak lama kemudian mendekatlah bola merah yang tampak
lengket dengan iring-iringan hitam di bawahnya. “Panen raya nih,”
teguran-teguran muncul. Mereka yang ditegur hanya menyahut dengan gumaman karena
mulut mereka sibuk menjepit perolehan hari itu.
Sama sekali ia tidak menduga hidupnya sebagai hewan akan
lebih teratur dan padat-karya. Jauh dari sekadar makan, tidur, birahi, dan tempur. Apalagi hidup sebagai hewan ini. Ini sih bukan liburan, ini penataran! Selama beberapa hari di sini ia
telah belajar banyak soal organisasi ketimbang beberapa tahun di instansinya.
Terasa perutnya diketuk-ketuk oleh sungut di belakangnya.
Wujud baru memungkinkan kepalanya untuk berputar ke segala arah. Tampak pendampingnya
selama menjalani kehidupan baru ini mendengus. “Untuk ukuran semut kau ini
kebanyakan bengong.”
“Kerja! Kerja! Kerja!” demikian barisan itu bertempik selama capit
di mulut tak mencekal beban.[]
[1] Dialihbahasakan dari
lagu “Oncom Garing” – Bungsu Bandung, aslinya dalam bahasa sunda: nu paling geunah jadi
pagawe kantoran, mun saban bulan nerima duit
gajian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar