Aku Hanya Tidak Ingin Menulis
으로
"Aku
hanya tidak ingin menulis," kataku padamu ketika kamu bertanya kenapa aku
berhenti merangkai kata-kata.
"Lalu
kamu ingin apa?" ada sinar di matamu yang mengatakan aku akan mati jika
tidak menulis, meski aku sudah punya satu rumah, satu mobil, dan uang di bank
yang tak akan habis seumur hidupku yang aku dapat dari menulis.
"Aku
ingin seperti teman-temanku yang lain, berpacaran, bekerja mencari uang, lalu
menikah dan punya anak."
Dulu
saat mereka pergi bersama pacarnya di hari minggu, aku malah mengurung diri di
perpustakaan yang pengap dengan aroma harum buku, meniti setiap kata yang tercetak
di kertas. Saat teman-temanku bekerja mencari uang, aku malah berusaha
menghidupkan kata-kata dalam sebentuk paragraf dalam kamar tak tersentuh
sosiawan. Sekarang teman-temanku telah menikah, sebagian sudah punya anak, aku
malah terjebak di rumah mewah bersamamu, perempuan yang satu tahun lebih dewasa
dariku dan selalu merawatku.
"Kapan
kamu berhubungan lagi dengan mereka?"
Sejenak
aku ingat, aku tidak pernah lagi kontak dengan teman-temanku setelah lulus SMA.
Saat itu pun aku mengurung diri di sebuah kosan dan mulai melakukan eksperimen
menghidupkan kata-kata. Lalu tanpa sengaja, tulisanku ditemukan olehmu, seorang
mahasiswi baru semester empat yang pindah ke ruang sebelah sebulan sebelumnya.
Kemudian kamu berinisiatif mengirimkan tulisan-tulisanku ke media cetak dan
penerbit, sehingga royalti yang aku dapat bisa kembali menyokong kehidupanku
yang hampir disentuh tangan malaikat maut. Sekarang tangan tak kasat mata dan
tak tahu datangnya itu, terasa sangat jauh dariku, begitu pun dengan Tuhan.
Aku
masih ingat saat pertama kali aku keluar dari sarangku, setelah lama berkubang
dalam ruang operasi kata. Saat itu aku pergi untuk mengucapkan selamat atas
kelulusanmu, mengambil fotomu ketika rektor memindahkan tali yang terpasang di
topi togamu. Lalu kamu membawaku ke sebuah rumah mewah yang hanya bertetangga
dengan dedaunan, batang pohon, dan hewan kecil yang biasanya berbunyi saat
malam mulai memekat.
"Ini
hasil tulisan-tulisanmu selama ini," katamu dengan wajah ceria, lebih
ceria dari pada saat kamu wisuda. Lalu kamu membawaku ke setiap sudut rumah,
memilihkan kamar di lantai dua yang mewah, sementara kamu memilih kamar yang
lebih kecil di bawah.
"Kamu
tahu, banyak yang menunggu seri novelmu," nadamu yang mengandung kekesalan
membuatku terdampar lagi ke masa kini, masa di mana aku hanya tidak ingin
menulis. "Coba pikirkan betapa besarnya harapan mereka untuk kembali
membaca tulisan-tulisanmu," tanganmu yang menyentuh seprai tempat tidur
mengenggam erat.
"Aku
tidak peduli," aku hanya menulis untuk kesenanganku sendiri, meski aku
pernah hampir mati karenanya, dan saat itu kamu menolongku kan? Sekarang saat
aku ingin berhenti menulis karena bosan, kamu menuduhku melakukan kejahatan.
Memenggal harapan banyak orang?
"Kamu
bilang tadi ingin pacaran," kamu angkat lagi hal ihwal yang menjerumus ke
arah perilaku kebinatangan itu, selayaknya perempuan yang selalu membahas hal
yang sama dan tidak pernah bosan melakukannya. Tetapi apakah kamu lupa, aku
laki-laki, yang menganggap hal itu sudah selesai di awal pembicaraan.
"Kita pacaran saja, itu mudah."
"Tetapi
pacaran itu butuh cinta, seperti yang dikatakan teman-temanku."
"Cinta?"
kamu menggunakan nada cemooh saat mengatakan kata itu, seakan kata itu sangat
menjijikkan saat dikatakan oleh seorang laki-laki. "Kamu tahu, saat pria
bilang cinta pada seorang wanita, itu bisa diartikan dia ingin bercinta dengan
wanita itu. Sementara saat wanita bilang cinta pada pria, artinya wanita itu
memang ingin dicintai oleh pria itu."
Kamu
tidak menatapku saat mengatakan itu, membuatku berpikir kalimatmu itu hasil
dari kehidupanmu yang tidak pernah aku tahu.
"Apakah
kamu ingin bercinta denganku?" kamu katakan itu saat matamu kembali
padaku, memberikan tantangan pada lawan jenismu.
"Tidak,"
bahkan berpikir pun tidak meski kita punyaku banyak waktu dan kesempatan untuk
itu dari lima tahun lalu, saat dirimu sepenuhnya mendedikasikan tenaga dan
pikiranmu untuk mengurusku.
Kamu
perlahan berdiri, lalu melangkah ke depanku, membuatku harus memindahkan berat
tubuh dari jendela kaca ke telapak kaki. Kamu menatapku beberapa saat sebelum
akhirnya merentangkan tanganmu, lalu merengkuh tubuhku yang kurus ke dalam
pelukanmu.
Aku
hanya terdiam saat tanganmu semakin erat memelukku, embusan lembut nafasmu
mendarat di bahuku, dan membiarkan tubuh hangatmu menggairahkan darahku yang
hampir beku. Aku akan membiarkanmu melakukan apa pun padaku, asal kamu mengerti
bahwa aku hanya tidak ingin menulis.
"Aku
mencintaimu," katamu dengan suara lembut. Lalu perlahan kamu mengendurkan
tanganmu, mengerakkan kepalamu ke belakang hingga aku bisa melihat matamu yang
berkaca-kaca, pipi yang merah merona, serta bibir yang bergetar. "Aku
mencintaimu."
Kemudian
aku teringat dengan mata itu, mata yang selalu terlihat saat kamu menyiapkan
makanan untukku, mata yang melihatku saat aku berpapasan denganmu, mata yang
selalu berada di kursi duduk saat aku menulis, mata yang selalu perlihatkan
saat menyuruhku tidur karena sudah larut malam, mata yang selalu terlihat
olehku, mata yang selalu menatapku.
"Aku
jatuh cinta padamu saat pertama kali aku membaca tulisanmu. Semakin banyak kamu
menulis, semakin besar rasa cinta itu," mata berkaca-kaca itu melahirkan
air bening yang meniti di pipi lembutmu. "Aku mohon, jangan berhenti
menulis, agar aku punya alasan untuk terus mencintaimu."[]
" ... Di dalam masyarakat ada orang yang suka memeriksa jadwal waktu kedatangan dan keberangkatan alat transportasi, seharian ia terus memeriksa jadwal itu. Juga ada orang yang mau membuat perahu sepanjang satu meter dengan menyambung-nyambungkan batang korek api. Jadi tak aneh bukan kalau di masyarakat ada juga orang yang mau memahami aku?" (Watanabe pada Naoko dalam Norwegian Wood, halaman 209, pengarang Haruki Murakami penerjemah Jonjon Johana penerbit Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, cetakan keempat, Mei 2013)
Terima kasih, Elqi :)
terima kasih kembali... ^_^
BalasHapusMampir juga Elqi :) Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan jejak :D
Hapus